NovelToon NovelToon

Life After Breakup.

CHAPTER 1 PROLOG.

Rintik-rintik hujan terdengar halus di luar jendela, padahal matahari belum sepenuhnya terbit. Suara tetesan air hujan yang menenangkan membuat suasana pagi jadi sedikit lebih lambat. Untuk sebagian orang, pagi yang seperti ini hanya akan membuat malas untuk bergerak. Ingin tidur lagi, mungkin? Hanya berbaring dan merasakan ketenangan.

Tapi Zoya tahu bahwa tidak ada waktu untuk bermalas-malasan.

“C'mon, wake up, time to work!” ucapnya, berusaha menyemangati dirinya sendiri. Tak ada yang bisa menyemangati lebih baik daripada dirinya sendiri, bukan? Itulah yang Zoya percaya. Setiap pagi adalah tantangan, dan dia tahu bahwa untuk meraih impian, dia harus bangun dan beraksi.

Sesampainya di Boutique Wedding, tempat Zoya bekerja, ia menyambut hari dengan semangat. Zoya bukan hanya seorang desainer biasa. Dia seorang desainer di salah satu butik pernikahan terbaik di Singapore, yang tentunya datang dengan tanggung jawab besar.

"Zai, gimana proyek untuk klien kita bulan depan? Sudah dirancang?" tanya Miss Anna, bos Zoya, dengan nada suara yang cukup serius.

"Sudah, Miss. Ini sebentar lagi selesai," jawab Zoya, tersenyum tipis. Pekerjaan sebagai desainer pernikahan memang penuh tantangan, apalagi kali ini dia sedang menangani klien yang menginginkan pernikahan dengan dua budaya yang berbeda. Kliennya berasal dari keluarga Muslim-China.

"Ok, good job!" ucap Miss Anna sambil tersenyum dan berlalu keluar dari ruangan Zoya.

Zoya menarik napas lega, namun pikirannya tak berhenti bekerja. Klien pernikahan sering kali memiliki permintaan yang sangat detail—dari pemilihan bahan hingga desain yang sesuai dengan tradisi agama mereka. Itulah sebabnya, Zoya selalu merasa senang bisa menggabungkan berbagai unsur budaya dalam satu desain. "Beruntungnya saya," pikirnya sambil tersenyum dalam hati.

Namun dalam hati, Zoya juga berpikir tentang hidupnya sendiri. Tentang jodoh. Tentang cinta. "Seperti apa ya jodoh saya nanti? Apa dia non-Muslim atau sama-sama Muslim?" batinnya, bertanya-tanya. Seperti yang sering dia pikirkan, yang terpenting bukan siapa dia, tetapi apakah dia akan menerima dan mencintainya apa adanya.

Hari pun berlalu, dan jam sudah menunjukkan pukul 7 malam. Waktunya pulang.

Namun sebelum itu, Zoya berencana untuk mengisi perutnya terlebih dahulu. Lebih baik makan dulu sebelum terlambat, pikirnya. Tak jarang Zoya pulang larut karena pekerjaannya yang menumpuk. Biasanya, ia meluangkan waktu untuk makan malam di tempat favoritnya sebelum kembali ke apartemen.

Di jalan, udara malam yang dingin disertai angin sepoi-sepoi membuat Zoya menarik jaketnya lebih erat. Musim hujan sedang berlangsung, meski hujan belum turun deras. Zoya berjalan santai, namun tiba-tiba angin yang berhembus kencang membuat rambut yang ia ikat dengan rapi terurai tak karuan. Tertutup seluruh wajahnya, membuat Zoya sedikit kesulitan melangkah.

Tapi sebelum Zoya bisa membalikkan badan untuk mencari perlindungan dari angin, sebuah suara terdengar di depannya.

"Hey, beautiful!" suara bariton itu memanggil dengan santai.

Zoya terkejut, namun tetap tidak menjawab. Ia terus berjalan, berharap orang itu akan pergi.

"Tidak punya telinga ya?" tanya suara itu lagi, kali ini sedikit lebih keras.

Zoya yang merasa terganggu hanya menjawab singkat, "Sorry." Lalu ia mempercepat langkahnya, berharap bisa menghindari obrolan yang tidak diinginkan.

Namun, pria itu malah mengikuti Zoya. Ia berjalan cepat, sementara Zoya tetap berjalan kaki. Pria tersebut menggunakan mobil, dan Zoya pun merasa cemas, bertanya-tanya dalam hati, ‘Apa dia mau nabrak saya? Atau mau ngikutin saya karena masih nggak terima?’

Zoya akhirnya sampai di kedai makan langganannya, tempat yang sudah lama ia kenal. Tempat ini adalah tempat yang paling nyaman baginya untuk beristirahat setelah seharian bekerja. Pemilik kedai, seorang wanita yang Zoya panggil Aunty, adalah orang pertama yang menolongnya ketika ia baru tiba di Singapore, belum punya banyak uang, dan belum mengenal siapa pun.

"Hi, Aunty!" sapa Zoya dengan senyuman hangat saat memasuki kedai.

"Hallo, Zoya. Baru balik?" tanya Aunty, sambil menyiapkan meja untuk Zoya.

"Iya, Aunty. Hah, sedang ada proyek, banyak mau. Mau ini, mau itu," keluh Zoya sambil duduk di meja yang biasa ia pilih.

"Iya, sabar saja. Namanya juga kerja, tidak ada yang langsung instan," jawab Aunty bijaksana.

Zoya tersenyum kecil, merasa sedikit lebih ringan setelah berbicara dengan Aunty. "Iya, Aunty," jawabnya, meski sedikit malas. Bukan malas sebenarnya, hanya saja dia merasa lelah.

"Saya order seperti biasa, ya," ucap Zoya, dengan suara yang sudah hafal akan apa yang dia pesan.

Tapi, saat dia menoleh ke belakang, Zoya hampir terkejut. HAH!

Di sana, berdiri seseorang yang baru saja dia temui. Ahid.

Ahid Jamilie, pria yang pernah ia temui beberapa waktu lalu di kafe. Zoya ingin pura-pura tidak tahu, tapi sesuatu dalam dirinya tidak bisa mengabaikan kehadiran pria itu.

Ahid pun sama, tidak terlalu peduli. Dalam hatinya, dia hanya berpikir, “Perempuan gila tadi.”

Namun, di sisi lain, Ahid memikirkan kembali kejadian tadi. Ia tahu Zoya bukan orang sembarangan, tetapi entah kenapa, perasaan yang tiba-tiba muncul di hatinya justru membuatnya sedikit bingung. Kenapa dia begitu merasa tertarik?

Zoya hanya melanjutkan hari seperti biasa. Seperti tidak ada yang aneh. Tapi dalam hatinya, dia tahu, tidak ada yang benar-benar biasa. Segala sesuatu selalu memiliki cerita.

CHAPTER 2 Pertemuan Yang Tak Terduga

Ahid memilih duduk lalu membuka laptop yang dia bawa. Sambil menunggu makanan datang, waktu Ahid dipakai untuk bekerja lagi. "Time is money," pikirnya.

Di meja sebelah, Zoya juga duduk, hanya berjarak dua meja dari Ahid. Dia lebih memilih membuka handphone dan membaca novel online.

Makanan datang, Zoya langsung menutup handphone yang dia genggam dan meletakkannya di samping.

Ahid pun sama. Makanan datang, dia menutup laptop dan meletakkannya di kursi kosong di sampingnya.

Keduanya duduk diam, hanya menikmati makanan favorit masing-masing. Setelah seharian bekerja, otak dan tubuh mereka lelah. Kini, mereka menikmati makanan yang masih panas, sampai harus meniupnya dulu. Hangat di perut, tubuh pun mulai rileks.

Tak lama, Aunty datang dan tak sengaja memperhatikan mereka. Sekilas, cara makan mereka, selera mereka, dan tentunya, terasa sangat klop.

"Kenapa pisah gitu duduknya? Tidak mau lebih kenal lagi?" goda Aunty kepada mereka.

Keduanya langsung menoleh ke arah Aunty.

"NO, thanks!" jawab mereka kompak.

"Memang jodoh tidak akan kemana," goda Aunty lagi.

Ahid hanya diam. Baginya, itu bukan hal yang penting.

Berbeda dengan Zoya, yang tidak terima jika dikatakan jodoh dengan Ahid.

"Sorry ya, Aunty, saya tidak tertarik!" ucap Zoya tegas.

"Iya-iya, awal-awal memang tidak tertarik, karena memang belum saling mengenal," jawab Aunty, sambil tersenyum nakal.

Zoya tersenyum kecut, namun melanjutkan, "Saya mau ada laki-laki yang datang sayangkan saya serius, bukan laki-laki tidak jelas dan pemarah."

"Pemarah? Siapa?" gumam Ahid dalam hati, tapi hanya dia yang mendengarnya.

"Sorry ya, perempuan gila yang mau bunuh diri lalu lupa, saya pun tidak tertarik dengan anda!" ucap Ahid sambil melirik Zoya dengan tatapan sinis.

Zoya, yang tidak terima dengan tuduhan itu, menjawab cepat, "Zoya mau bunuh diri, kenapa? Banyak tekanan kerja?" Tanya Aunty, terlihat khawatir.

"NO, Aunty. Sebanyak-banyaknya masalah yang ada, Zoya tidak ada niat bunuh diri," jawab Zoya, menjelaskan dengan nada biasa. Memang itulah kenyataannya.

"Lalu, apa yang dimaksud dengan bunuh diri?" tanya Aunty, masih serius.

"Itu hanya angin, Aunty. Haha, tadi pas Zoya mau ke sini, di luar banyak angin. Pas Zoya mau nyebrang jalan, ikat rambut Zoya lepas," jawab Zoya sambil tertawa kecil.

Ahid terus memperhatikan percakapan itu dengan telinga yang masih setia mendengarkan. Tapi melihat Zoya yang tertawa, entah kenapa, dia merasa ada sesuatu yang manis dari senyumnya.

"Eh, apa sih? Bicara manis? Siapa yang manis?" pikir Ahid, merasa bingung dan tak enak, tapi entah kenapa dia merasa ada yang aneh.

"Kalau ada apa-apa, Zoya mesti tetap cerita ke Aunty, ya. Kita kan bukan orang lain," ujar Aunty dengan tulus.

"Makasih, Aunty. Berasa saya punya keluarga di sini," jawab Zoya dengan senyum lembut.

"Sama, Aunty pun anggap Zoya seperti saudara sendiri," ucap Aunty, dengan senyum ramah.

"Tidak sekalian pelukan, terlalu drama!" seru Ahid, yang mulai tidak sabar.

"Siapa sih, seperti ada orang bicara, tapi tidak ada wujudnya?" ucap Zoya sinis, matanya menyipit tajam ke arah Ahid.

"Memang perempuan gila!" maki Ahid dalam hati.

"Laki-laki tidak jelas!" jawab Zoya dengan ekspresi tak suka, melirik Ahid dengan tajam.

"Khm... Jangan berantem terus, mending kenalan, iya kan?" Aunty mencoba menengahi, mengingatkan keduanya.

"Buang waktu, mending tidur. Aunty, ini bayarnya. Zoya pamit ya, Aunty," kata Zoya, sudah terlalu lama di sana dan merasa tidak nyaman lagi.

......................

Setelah Zoya pergi...

......................

"Aunty, mungut dia dari mana?" tanya Ahid dengan nada heran.

"Heh! Kalau bicara, jangan bicara seperti itu. Aunty tidak suka ya!" jawab Aunty dengan sedikit marah. "Apa yang kamu bilang? 'Pungut' terlalu kasar, Ahid."

Ahid hanya terdiam, merasa canggung. Dia tahu, Aunty hanya ingin menghubungkan mereka, tetapi sepertinya keduanya masih belum siap untuk itu.

CHAPTER 3 ~Tersangka ~

Esoknya

Dengan rutinitas yang sama, Zoya berangkat menuju boutique menggunakan MRT Singapore. Selama ini, dia memang belum berniat membeli kendaraan pribadi. Urusan dokumen pembelian, pajak, dan segala administrasi lainnya terasa ribet. Jadi, dia lebih memilih naik bus atau menggunakan Grab.

Sesampainya di boutique, Zoya langsung menuju ruangannya.

"Good morning, Miss," sapa Zoya pada atasannya.

"Good morning, Zair," jawab Miss Anna dengan senyum.

"Zair, sudah sampai mana desain yang kamu buat? Saya mau lihat," tanya Miss Anna.

"Ada, Miss. Nanti saya kasih lihat ke Miss Anna," jawab Zoya.

Zoya pamit untuk mengambil laptop dari ruang kerjanya, berniat membawanya ke ruang kerja Miss Anna. Namun, saat membuka file di laptop, dia terkejut.

Tik... tuk... tik... tik...

Tidak ada suara keyboard yang biasa terdengar saat dia mengetik. Zoya memeriksa file yang dimaksud. Namun... hilang.

"Jelas-jelas sudah saya save," dalam hati Zoya bertanya-tanya, kebingungan.

"Hah, gimana ini? Klien sudah banyak meminta, Bos pun sama. Kalau file yang saya buat selama ini hilang, gimana?" gumamnya dalam hati, gelisah.

Zoya pun bergegas menuju ruangan Miss Anna.

Tok... tok... tok...

"Masuk," ucap Miss Anna dari dalam.

"Excuse me, Miss, I'm so sorry," ucap Zoya dengan nada nervous.

"Why, Zair?" tanya Miss Anna, sedikit khawatir.

"File yang Miss Anna minta hilang. Sudah saya pastikan save, tapi tidak ada. I'm so sorry," jawab Zoya dengan cemas.

"HAH! Kenapa bisa hilang, Zair?! Kamu di sini kan sudah lama! Tiga tahun loh, bukan tiga hari, bukan pertama kali masuk juga!" Miss Anna terlihat marah, suaranya meninggi.

Karena file itu sangat penting untuk klien mereka yang membutuhkan materi tersebut minggu depan.

"I'm so sorry, Miss," jawab Zoya dengan suara pelan, merasa sangat bersalah.

Di ruangan lain, di tempat yang sama...

"Haha, rasain kamu, Zoya. So-so'an sih! Jadi anak emas di sini, jangan mimpi!" ucap Anita dengan sinis, saat melihat Zoya berlarian cemas.

Anita lah yang diam-diam menghapus file Zoya kemarin. Dia cemburu, merasa selalu kalah bersaing dengan Zoya yang selalu menjadi kesayangan Miss Anna. Padahal, Anita lah yang lebih senior di boutique ini.

......................

Di luar boutique

......................

Ahid, yang baru selesai meeting dengan klien, kebetulan melintas dan melihat seorang perempuan yang pernah dia tabrak—atau lebih tepatnya, perempuan yang ingin bunuh diri kemarin.

"Perempuan gila," gumam Ahid dalam hati, melihat Zoya yang tampaknya sedang terburu-buru keluar dari boutique.

Penasaran, Ahid melangkah ke dalam boutique, mendekati pintu.

Excuse me, ucap Ahid pada seorang pegawai di luar.

"Iya, ada yang bisa dibantu, Tuan?" tanya Anita, yang kebetulan berada di luar ruangan.

"Boleh panggilkan...," kata Ahid terpotong, karena dia tidak tahu nama perempuan itu.

"Iya, Tuan," jawab Anita, menunggu instruksi lebih lanjut.

"Dia," ucap Ahid sambil menunjuk Zoya yang baru saja keluar dari ruangan Miss Anna, tampak cemas.

Zoya terkejut saat mendengar nama dirinya disebut.

"Eh..." ucap Zoya, terkejut.

"Eh, tadi kenapa ya? Saya tidak sengaja lihat ada ribut-ribut," tanya Ahid, penasaran dengan keributan yang baru saja terjadi.

Tiba-tiba, Miss Anna keluar dari ruangannya.

"Tuan Ahid, ada yang bisa dibantu?" tanya Miss Anna, mengenali Ahid Jamilie, programmer muda yang terkenal dan juga tampan.

"Kalau boleh tahu, kenapa tadi ada ribut-ribut ya? Saya tidak sengaja melihat dari luar," tanya Ahid, mencoba mencari tahu.

"Oh, itu. Zair tidak sengaja menghilangkan file klien penting kita. Tapi sudah oke, Tuan. Zair akan buat ulang," jawab Miss Anna, mencoba menjelaskan situasi.

"Boleh saya lihat?" tanya Ahid, menanggapi dengan serius.

Zoya dan Anita yang masih ada di sana, mendengar percakapan itu dengan cemas. Mereka menunggu jawaban.

Tak... tak... tak... tak... suara keyboard yang cepat dan terampil terdengar. Ahid mulai mengetik, membuat suasana semakin tegang.

"Done," ucap Ahid, setelah beberapa detik.

Dia lalu melihat ke arah Anita.

Ya, Ahid baru saja meretas CCTV dan file yang ada di laptop Zoya.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Semua mata tertuju pada Anita, yang mulai terlihat gugup. Sudah jelas siapa yang berada di balik hilangnya file Zoya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!