“Mama... Mama...”
Alita berlari mengejar bayang-bayang ibunya ke arah kolam renang yang berada di belakang rumah.
“Ma... Mama mau ke mana, kenapa mama lari-lari. Mama...” Alita berhenti sewaktu adzan Maghrib terdengar samar-samar dan bayang-bayang wanita berambut panjang dan berdaster rusak hilang dari pandangannya.
"Ma... mama..." Alita melangkahkan kakinya dengan ragu-ragu di pinggir kolam renang. "Ma... mama... Mama ngumpet di mana?"
Alita bergeming ketika semilir angin berhembus, menggugurkan daun-daun tua pohon rambutan dan mangga yang tumbuh subur di belakang rumah orang tuanya yang berbatasan dengan sungai.
Semilir angin berlalu. Alita celingukan. Rasa penasaran tetap membawanya melangkah ke balik pepohonan tempat terakhir dia melihat bayang ibunya.
“Mama jangan bercanda dong. Papa bilang mama pergi kerja, mama sekarang mau kasih surprise aku ya...” seru Alita setelah melakukan pencarian ke balik pohon sambil berusaha mengagetkan jantung ibunya yang bernama Miranda Janita.
“Mama beneran mau main petak umpet? Alita takut, Ma. Di sini gelap. Alita juga kangen tau sama mama. Alita ngalah deh, Papa bilang mama—”
Langkah Alita terhenti ketika sebuah mangga jatuh ke kolam dan itu mengagetkannya.
Alita mendongak, rintik-rintik hujan silih berganti berjatuhan dari tebalnya awan gelap yang menggantung di langit.
“Mama mau bikin kejutan buat aku?”
Suasana belakang rumah yang nyaris tidak sepi oleh suara alam dan hewan-hewan malam membuat Alita melangkah dengan ragu-ragu ke arah tumpukan batu-bata baru yang berada di dekat tanggul sungai.
“Mama..."
Belum selesai rasa penasarannya. Suara petir dan gemuruh menggelegar. Alita berlutut sambil menutup kedua kupingnya.
“Mama... Alita takut. Mama...” Tubuh Alita bergetar hebat sampai puncak dari rasa takutnya, dia menangis.
-
Di lain tempat. Dari dalam rumah besar bercat putih, bibi Darmi tergesa-gesa mencari Alita sambil memanggil namanya berulang kali sejak dia menuruni anak tangga.
“Lita ... Nona Alita. Ya Allah Gusti, kamu di mana, Nduk!” Bibi Darmi bingung, pasalnya, wanita paruh baya dengan daster batik dan berjalan tanpa alas kaki itu tadi hanya meninggalkan Alita untuk mengambil semprotan obat nyamuk di dekat dapur.
"Kenapa kamu cepat banget ngilang dari ruang keluarga, Nduk? Kamu itu ke mana toh..."
Bibi Darmi meraih payung dari dalam jambangan di dekat pintu utama seraya menghidupkan seluruh lampu luar.
Setelah mengucapkan kalimat basmallah, bibi Darmi keluar rumah di bawah hujan deras.
Bibi Darmi pergi ke warung yang berada di depan gerbang rumah, menanyakan keberadaan Alita karena dipikirannya paling gampang Alita pergi jajan. Tapi tidak ada yang melihat Alita keluar dari pintu gerbang. Bapak di warung itu bilang, tidak ada orang yang berlalu lalang sewaktu Maghrib datang, terutama keadaan dan minimnya penerangan jalan di kawasan itu masih terbilang jarang.
Bibi Darmi mengangguk dan langsung mengingat pintu gerbang masih terkunci rapat sebelum ia keluar tadi. Bibi Darmi pun kembali pulang untuk mencari Alita di dalam rumah dengan pikiran yang kian cemas ketika petir datang silih berganti.
“Apa non Alita pergi ke belakang rumah?” Kelopak mata Bibi Darmi membeliak seolah-olah dia telah menemukan petunjuk dan tidak habis pikir mengapa Alita berani pergi ke belakang rumah seorang diri sewaktu Maghrib.
“Gusti, Pak Gio bisa marah-marah ke bibi ini kalo non Alita hilang!" Kecemasan bibi ini Darmi meningkat, terlebih bocah seusianya masih rawan di gondol wewe gombel yang disinyalir sering berada di sekitar sungai.
Bibi Darmi menyusuri jalan sempit berlumpur di samping rumah dengan hati-hati.
“NONA ALITA!” teriak Bibi Darmi tak jauh dari kolam renang.
Tidak ada siapa-siapa lagi di rumah itu selain mereka berdua setelah Giorgio pamit ke Bali untuk melakukan kunjungan kerja.
“Nona Alita, Ya Allah Gusti. Petunjuk-Mu. La Maujuda Illallah.”
DUAR!!!
Alita menjerit keras.
Sekonyong-konyong Bibi Darmi menolah ke arah pepohonan. Matanya menyipit, berusaha menebus guyuran hujan dan kegelapan dengan kondisi matanya yang minus.
“NON... NON ALITA...” teriaknya sebisa mungkin.
Bocah yang meringkuk ketakutan itu kaget. Wajahnya yang semula tegang mendadak berselimut lega.
“Bibi.” sahut Alita dengan suara parau yang nyaris tak mungkin sampai ke kuping tua Bibi Darmi.
“Non... Nona... Apa nona di sana?” panggil Bibi Darmi sembari melangkah, dan dalam langkahnya yang cekatan Bibi Darmi menyadari sebuah unsur X yang mengelilinginya.
“Non, ini Bibi Darmi. Nona Alita bisa berdiri?”
Dalam keadaan ketakutan, Alita merangkak ke arah Bibi Darmi dengan sisa tenaganya.
“Bi... bibi... Alita—”
Bibi Darmi mengerjapkan mata sambil memastikan apa yang dilihatnya tidak salah. Sepasang kaki pucat dengan kulit mengelupas yang bercampur darah dan tanah menggantung di atas tubuh Alita.
Bibi Darmi tidak berani menatap semakin ke atas, dia memilih menghampiri Alita dan menarik bocah itu menjauh dengan gerakan cepat.
“Wakul robbi a'uudzubika min hamazaatisy-syayaathiin wa a'udzubika robbi ayyahdhuruun.” ucap Bibi Darmi berulangkali sambil terseok-seok ke arah rumah.
“Ya Allah...” Bibi Darmi menoleh ke belakang, memastikan sosok itu tidak mengikuti sebelum menutup pintu rumah. “Apa yang aku lihat tadi semoga salah!”
Bibi Darmi bersimpuh untuk membalas pelukan Alita yang menggigil ketakutan dan kedinginan.
“Baca takbir, Nduk. Baca takbir.” Bibi Darmi mengingatkan dengan suara tersengal-sengal.
Alih-alih melakukannya, Alita justru semakin menangis ketakutan ketika suara bel rumah berbunyi.
Alita dan Bibi Darmi saling bertatapan. Merasakan suatu yang sama tanpa menjelaskannya.
Alita menggeleng kuat-kuat. “Jangan di buka, Bibi. Jangan... Alita takut!”
Bibi Darmi kali ini setuju. Tak peduli siapapun yang berkunjung sekarang dirinya terlalu lelah dan takut untuk membukanya.
Ting tong... Ting tong...
Alita mengguncang lengan bibi Darmi.
“Alita mau Papa yang pulang, Bi. Telepon Papa sekarang. Alita takut.” ucap Alita dengan suara bergetar.
Bibi Darmi mengusap air matanya sambil mengangguk. Tertatih-tatih dia mengajak Alita ke kamarnya yang berada di dekat dapur untuk mengambil ponsel.
Bibi Darmi mendorong pintu. Sial, matanya menangkap jejak kaki basah yang mengarah ke kasur sebelum dua pasang mata itu langsung memandangi sesosok wanita sedang menyisir rambut di dekat jendela.
Dengan cekatan Bibi Darmi menutup pintunya seraya menarik Alita ke arah pintu utama beriringan dengan suara bel rumah yang terus berbunyi. Cepat-cepat dengan tangan gemetar ia menarik daun pintu sambil berharap bukan lagi sosok itu yang hadir di depan mata.
“Papa... Papa...” Alita melepas tangannya dari Bibi Darmi dan menubruk tubuh Giorgio.
Lelaki berusia empat puluhan itu mengernyit heran. “Kenapa kalian basah kuyup begini? Ada apa?”
Alita mendongak. “Mama, Pa. Aku lihat mama jadi hantu. Mama jadi hantu!”
-
-next & happy scary-
Gio membopong tubuh Alita dengan raut wajah tidak percaya akan cerita yang putrinya sebutkan, namun kecemasan jauh lebih tampak dimatanya yang lelah setelah mengarungi samudra cinta dan perjalanan yang menyenangkan di Bali bersama Mona. Istri keduanya yang sinis terhadap Bibi Darmi.
“Tidak mungkin Mama jadi hantu, Lita. Mama baru kerja. Jauh sekali dari sini. Kalau Mama pulang pasti Papa yang jemput di bandara bareng Bibi Darmi dan Alita. Ya kan, Bi?”
Bibi Darmi gelagapan, alih-alih menjawab atau membalas tatapan Gio yang penuh penekanan, ia meraih koper-koper yang terkena tempias air. ‘Aku yakin ada yang tidak beres ini...’ Matanya celingukan seakan memastikan apa yang ia lihat di kamarnya tidak pindah ke depan rumah.
“Mari masuk saja, Pak. Non Alita harus mandi biar tidak masuk angin.” ucap Bibi Darmi sambil mendahului juragannya masuk rumah.
Gio menyunggingkan senyum terpaksa. “Alita tenang saja, Papa sudah pulang dan bisa menemanimu sekarang.” ucapnya lembut sambil mengusap air di wajah putrinya.
“Sekarang kita ke kamar, Lita harus mandi terus nanti Papa buatkan susu hangat dan pancake!”
Alita menggeleng tidak mau. “Lita tetap nggak bisa tenang, Papa. Dadanya Lita masih jedug-jedug!” Gadis kecil itu membenamkan wajahnya di leher ayahnya seolah bersembunyi.
“Mama jadi hantu, Mama bisa terbang mirip kupu-kupu!”
Gio seketika melangkahkan kakinya menuju kamar Alita dengan serius. Kesabaran tampaknya hilang darinya. “Kamu kebanyakan lihat film hantu sama Bibi dan guru pianomu, Lita. Khayalanmu terlalu tinggi!”
Lampu kristal di ruang keluarga sontak berkedip-kedip, hidup-mati, hidup-mati, dan bergoyang seakan-akan ada yang menggerakkannya.
Mona memegangi lengan Gio seraya merapatkan tubuhnya. Dia mendongak. “Mas, aku juga takut. Nggak bisa peluk aku juga?” bisiknya genit.
Gio meliriknya sekilas sedang Bibi Darmi sibuk mengucapkan doa-doa dengan jantung yang masih berdetak kencang. Tapi Gio dengan entengnya berkata, “Itu pasti hanya konsleting listrik. Besok pagi Papa perbaiki.”
Gio menurunkan Alita setelah tiba di kamarnya yang bernuansa merah muda. Alih-alih langsung mandi, Alita justru memandangi Mona yang ikut ke kamarnya.
“Kenapa Tante ini ada di rumah kita, Pa? Siapa Tante ini?”
Gio mendelik ketika Mona nyaris menjawabnya. “Tante ini Tante Mona, pengasuh baru Alita.”
Alita pun terlihat senang, pengasuh baru selain Bibi Darmi di rumah sebesar itu? Siapa yang menolak?
Lain halnya dengan Alita yang menjulurkan tangan untuk berkenalan. Mona menatap Gio dengan tidak terima.
“Lakukan saja!” desak Gio pelan.
Mona mengulurkan tangannya hingga dinginnya telapak tangan Alita terpapar di kulitnya. “Panggil Tante aja, dan Tante ini pengasuh premium dari Papa buat kamu!”
“Makasih, Pa.”
Gio menghela napas dan mengangguk. “Kamu hidupkan senter hp, Mon. Dan tolong temani Alita mandi.”
Wajah keberatan tampak betul di wajah Mona, walau lagi-lagi tatapan Gio mengubah jawabannya. “Kan rencananya gak gini, Mas.” bisik Mona ketika Gio membuka lemari.
Gio menoleh. “Kita bicarakan lagi besok, situasinya baru genting.”
Mona mencebikkan bibir selagi Gio menaruh baju ganti Alita di meja.
“Kamu ikut ke atas, Bi. Tinggalkan saja kopernya di bawah!” titah Gio.
Bibi Darmi terlihat enggan untuk menurutinya, namun melihat betapa gelap dan hawa mencekam semakin meningkat di rumah itu, Bibi Darmi mengikutinya dengan langkah waspada.
Gio menatap sekeliling sambil mengikuti Bibi Darmi yang setiap langkahnya terasa ragu menginjak semakin dalam ke lantai dua.
Alita tidak boleh mengetahui pernikahanku dengan Mona. Anak itu tidak boleh membenciku.
“Apa ada orang lain di rumah ini?” tanya Gio.
“Tidak ada siapapun di rumah ini, Pak! Bu Miranda...”
Gio berdecak. Tidak mungkin Miranda di rumahnya, Miranda sudah...
Bibi Darmi mengepalkan kedua tangannya. “Apa yang terjadi, Pak. Apa yang Bapak sembunyikan?”
“DIAM!” bentak Gio dengan suara pelan. “Tidak ada yang aku sembunyikan, Bi!”
Bibi Darmi mengangguk. Kalah bukan berarti kalah, dan mengalah untuk sebuah permainan tebak-tebakan adalah taktik. “Baiklah, Pak. Sekarang ada yang bisa saya bantu?”
Gio memandangi lantai bawah dari pinggir pembatas. “Mona akan tinggal di sini sementara waktu! Tolong perlakuan dia seperti Miranda.”
Pyarr...
Gio dan Bibi Darmi terlihat kaget ketika pecahan kaca berhamburan di lantai dan udara luar menyibak tirai, mengembuskan udara dingin dan memperlihatkan kegelapan di luar rumah.
Gio menatap Bibi Darmi yang menunduk dengan tubuh gemetar. “Sejak magrib tadi situasinya tidak beres, Pak. Bibi takut ini ada apa-apa.”
Bulu kuduk Gio meremang. Suara Miranda yang memanggilnya hilang dan tenggelam dari arah jendela pecah.
“Mas Gio... Mas Gio... Mas Gio...”
Gio menepuk lehernya seolah hembusan angin yang lembut dan merayap di tubuhnya seperti untaian kata yang Miranda ucap dengan manja.
“Mas Gio... sayangku...”
“Jangan ganggu!” bentak Gio sambil berputar, mengawasi penjuru rumah yang dia pahami betul ada apa-apanya sekalipun itu sepi dan gelap. Gio menggeleng. “Jangan ganggu apapun putusanku!”
Bibi Darmi yang melihat gelagat aneh Gio semakin ketakutan. Batinnya tidak tenang.
”Allahuakbar. Ya Allah Gusti, lindungi kami.”
Bibi Darmi berusaha menuruni anak tangga sambil berulangkali menoleh ke arah belakang. “Bapak sebaiknya istighfar!”
Gio berhasil membukanya jas dan kemejanya untuk menggaruk tubuhnya yang mendadak gatal. “Temani Alita, Bi. Aku bisa mengurus ini sendiri!”
-
-next-
Gio keluar dari kamarnya setelah semua teror yang merayapi tubuhnya hilang. Darah segar keluar dari cakaran kukunya sendiri saat terjadi sebuah kesengsaraan yang membunuh kesadaran dan kesabarannya. Luka-luka di tubuhnya seolah-olah ingin menyaingi romantisme bulan madunya yang penting hingga meremehkan teror itu sulit dicapai nalarnya.
Gio terlihat sulit mengenyahkan perasaan bahwa semua masalahnya takkan terjadi jika bukan karena kelalaiannya. Semua kesengsaraan itu menggugah sifat alaminya yang memang kejam dan pemarah.
“Mona... Mona...” teriak Gio sambil menuruni anak tangga. Lampu kristal telah menyala, pun tangis Alita kembali terdengar.
“Ada apa ini?” tanya Gio dari ambang pintu.
Alita melepaskan diri dari pelukan Bibi Darmi seraya menuding Mona. Wanita muda yang memakai gaun bunga-bunga itu sontak heran sendiri mengapa Alita begitu.
“Aku cuma mandiin dia, Mas.” ucap Mona.
Alita menggeleng, alih-alih berkata bahwa Mona memelototinya dengan ganas dia terkejut dengan tubuh ayahnya.
“Papa kenapa? Kenapa badan Papa begitu?”
Gio menepis tangan Alita yang berusaha menyentuhnya. “Jangan sentuh-sentuh Papa, Lita. Ini masih sakit semua!” bentaknya sambil menjauh.
Alita menggabungkan diri ke pelukan Bibi Darmi. Takut sekali dengan ayahnya yang baru pertama kali membentaknya.
Bibi Darmi mengelus rambut Alita, berusaha menenangkannya. “Istighfar, Pak! Anak ini tidak salah apa-apa.”
Gio mendesis sewaktu mimik wajah Alita mengintipnya takut-takut. “Tante Mona ikut Papa sebentar, kamu sama Bibi. Tidur!”
“Tadi Papa janji mau bikin susu hangat dan pancake.” gumamnya sambil memandangi Bibi Darmi.
Sepotong senyum pada yang sedih Bibi Darmi berikan sementara Gio dan Mona sudah keluar kamar.
“Bibi nanti yang bikin, kamu keringkan rambut dulu biar Bibi ke dapur.” Gegas Alita meraih tangan Bibi Darmi sebelum betul-betul pergi ke dapur, “Lita ikut. Lita takut sendirian.”
Bibi Darmi mengangguk agar semua jauh lebih baik. Setidaknya, mereka bersama di malam yang tidak henti-hentinya memberi kejutan.
“Habis ini kita tidur, Non. Bibi capek.” ucap Bibi Darmi sambil menaruh sepiring pancake hangat di meja. Aromanya luar biasa menjadi pelipur rumah megah Miranda yang dibangun atas usaha dan kegigihannya.
“Ini susunya masih lumayan panas, minumnya pelan-pelan!”
Alita menggosok-gosok matanya yang lelah.
“Kalo Mama pulang kerja, Papa pasti nggak akan marah-marah sama Lita. Iya kan, Bi?”
Bibi Darmi membiarkan jawaban jujur menerjangnya dengan singkat, cukup lecutan tajam akan kenangan pahit itu menggenangi kepala. Lebih baik berbohong pada si kecil yang gamang akan keberadaan Ibunya. Kasian dia.
“Doakan saja Mama tenang, Mama baik-baik saja. Tapi ini pancake cepat di makan.” Bibi Darmi menguap, tidak mau sembrono dalam berkata-kata. “Bibi sudah ngantuk, Non. Bajunya Bibi juga masih basah ini, bisa masuk angin!”
Alita menyeringai sewaktu Bibi Darmi pura-pura menggigil kedinginan. “Papa tadi juga janji mau nemenin aku tidur. Papa nyebelin, Papa...”
Bibi Darmi menaruh jari telunjuknya di depan mulut sambil menggelengkan kepala. “Papa baru capek, Non. Capek. Alerginya mungkin kumat, jadi gatal, jadi galak. Jadi Nona tidur sama Bibi saja sampai Papa sembuh, kasian.”
Alita meraih sendok dan garpu, bersiap menyantap pancake-nya yang berlimpah susu kental manis coklat dan potongan stroberi.
“Lita lebih suka bobo sama Bibi Darmi, Bibi Darmi empuk mirip roti sobek.” Senyum Alita yang terlihat tulus di mata Bibi Darmi itu ayal membuat seorang wanita yang telah melihat asam garam kehidupan di rumah itu trenyuh.
“Bibi tunggu Non sampai selesai makan.”
“Asik...” Dengan lahap gadis kecil itu menyantap pancake-nya seakan kejadian yang menimpanya tak terlalu membebani pikiran.
-
“Mas... badanmu kenapa? Kok tiba-tiba begini, tadi belum ya... Kena ulat bulu ini?” keluh Mona dengan heran sekaligus jijik. Darah-darah itu mengotori ketampanan dan kegagahan suaminya.
Sementara Gio menaiki anak tangga, bayang-bayang yang lumayan menakutkan terpikirkan olehnya, menjadi gelisah seperti putus asa.
“Kamu pikir habis dari mana aku sampai kena ulat bulu?” ucap Gio keras.
Mona mendengar tapi tidak menyahut, dia justru sibuk menolehkan kepalanya ke kiri. Ke jendela kaca tanpa gorden yang berbatasan dengan taman samping rumah sambil mengernyit. Dan secara tiba-tiba dia meraih lengan Gio, membuat pria itu menggertaknya.
Alih-alih marah, sikap manja Mona tetap luruh pada Gio. Dia memindahkan sebagian bobot tubuhnya ke pelukan Gio. Pria itu terheran tapi mendapati tubuh Mona gemetar dan begitu rapuh, dia melupakan ketidakseimbangan permasalahannya.
“Kamu kenapa?”
“Apa ada orang lain di sini?”
Gio menggiring Mona menuju kamarnya. Di kamar yang masih terpajang rapi foto pernikahannya dengan Miranda, Gio mengigit bibirnya kuat-kuat. Menahan perih yang timbul karena pelukan yang Mona lakukan meskipun keduanya telah duduk di tepi ranjang.
“Tidak ada siapa pun di rumah ini, Mon.”
“Mon?” Mona membeo sambil memandangi Gio tidak senang. Dan sesuatu yang dia tahan-tahan sejak memandikan Alita segera tercurahkan. “Kenapa sih pernikahan kita harus disembunyikan dari Alita? Kenapa juga aku harus jadi pengasuh? Nggak banget tau, Mas.”
Mona terlihat bermuram durja. “Kamu gak siap sama risikonya, Mas? Nggak siap kamu?”
Gio merasa Mona bergerak-gerak gelisah di sebelahnya. Sekarang jelas dia hanya bersandiwara dengan menyebut ada orang lain di rumah itu.
“Kamu mau apa sekarang? Mau bilang ke Lita kalo kamu pengganti Mamanya? Kamu pikir semudah itu Alita dan Darmi tidak ngomong ke siapa-siapa?” Gio menunjuk kepala Mona. “Mikir, jangan cuma pakai perasaanmu yang baru senang sampai lupa posisimu gimana!”
Mona beranjak. Tatapannya mengarah ke foto Gio dan Miranda. “Takdir sudah memutuskan hubungan kita dengan nggak adil, Mas. Iya, aku ngerti, jadi yang kedua emang gak bebas. Tapi jadi pengasuh? Kamu ngerendahin aku!”
Gio mengeram, tercekik pelbagai jenis perasaan rumit dan ganjil. “Kalo gitu kamu keluar sekarang, aku males ribut! Aku capek.”
“Tapi aku tadi lihat orang ngintip kita, Mas! Di jendela!” sembur Mona sambil menoleh. Jantungnya berdebar-debar tak karuan. “Dia senyum-senyum, apa dia tukang kebun kurang ajar?”
“Mana ada tukang kebun bisa panjat dinding?” bentak Gio. “Kamu paling salah lihat!”
Terus terang Mona tersinggung dengan ucapan Gio. Terlebih-lebih matanya masih sehat tak berkacamata. “Orang itu kelihatan jelas banget. Apa jangan-jangan maling? Ada maling di rumah ini?” tukasnya dengan tidak tenang.
Gio berdecak. Tidak mungkin ada maling di rumahnya. Siapa yang berani menyusup ke rumah keluarga Miranda, orang yang disegani dan tidak bisa di pandang sebelah mata di kampung itu?
Mona berhasil mengunci pintu kamar, dia pun pergi ke arah jendela seraya menyibak tirai untuk memastikannya sudah terkunci. Disaat itu pula, cengiran bodoh dari wajah pucat dan bermata sinis yang sempat ia lihat tadi muncul, menempel pada kaca. Matanya bergerak-gerak tidak pasti, berdarah-darah. Mereka berpandangan selama beberapa saat sebelum Mona menjerit histeris. Sadar akan hal sinting yang dilihatnya.
-
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!