De Heaven Hotel jam 21.00
Masih terlihat banyak orang yang merayakan pesta besar. Bukan sebuah ikatan perjanjian suci yang di gelar. Melainkan seperti acara hajatan yang mengundang rekan bisnis dan keluarga besar dari Christopher.
Pendiri sekaligus pemilik perusahaan properti yang ternama di kotanya.
Meski sang pemilik sudah tiada beberapa tahun silam namun perusahaan nya tetap jaya dan mungkin lebih maju berkat anak bungsunya yang menggantikan.
Meski mendapatkan penolakan dari kakak kedua nya namun dia juga tidak bisa berbuat apa-apa
Karena perintah itu tersirat pada sebuah surat wasiat sementara. Bahwa ia harus menggantikannya menjadi pemimpin perusahaan Properti tersebut.
Sedangkan kakak tertuanya tidak berharap sepeserpun harta dari orangtuanya.
Ia sudah bahagia dengan keluarga kecil nya di tempat ia sekarang.
Akhirnya setelah melewati perundingan yang panjang William memberikan sebuah usul agar anak dari kakaknya tertua di berikan izin untuk pulang ke Indonesia.
William berharap kelak sang keponakan bisa ikut andil mengurus anak perusahaan.
Sang Mama menyetujui saran yang di berikan, namun baru di tahun ke empat setelah sepeninggalan kakeknya tersebut Alice menyanggupi permintaan sang Oma.
Di sebuah rooftop hotel De Heaven.
Ada sepasang wanita tengah berdiri berhadapan setelah berdebat beberapa percakapan.
Sang wanita paruh baya yang masih tidak terima dengan keputusan Alice untuk pulang dan memilih mengawasi gerak-gerik nya.
Sampai di saat Alice tiba-tiba hilang dari kerumunan ia segera menyusul mencari keberadaan Alice.
Sampai di dekat lift dia melihat bayangan Alice hilang.
Segera ia mendekat melihat ke lantai mana Alice pergi.
Setelah mengetahui di mana lift tersebut berhenti Berlian lalu naik ke lift dari sebelahnya untuk menyusul Alice.
Di rooftop Hotel De Heaven
PLAK
"Kenapa kamu harus kembali disaat keluargaku sudah bahagia!"
Teriak wanita paruh baya dengan sorot mata yang membara memancarkan kebencian yang berapi-api.
Ketika ia berhasil menemukan seseorang incarannya yang berdiri seorang diri.
"Hem.. Apa kini kamu takut denganku?"
Sudut bibir Alice terangkat menampilkan
senyum sinis nya seolah dia menganggap remeh tamparan wanita tersebut.
Meski sebenarnya Alice menahan rasa panas yang membekas merona di pipinya.
Namun itu tidak sebanding dengan sakit di hatinya.
"Hah! Woh! Aku Berlian Christoper tidak akan pernah takut dengan siapapun apalagi dengan anak ingusan sepertimu!"
Tampik Berlian dengan angkuhnya seolah dia tidak pernah takut dengan apapun yang di hadapinya.
Apalagi dengan seorang anak kecil seperti Alice yang menurutnya hanya lalat kecil.
"Baguslah...Mulai detik ini nikmati sisa hidupmu dengan bahagia dan berhati-hatilah. Aku masih memberimu kesempatan emas jadi ingatlah jangan kau si-a si-a kan!"
Tegas Alice dengan kata penuh penekanan, sorot mata tajam dan wajah datarnya mampu menghipnotis siapapun yang berhadapan dengannya menjadi ciut.
Ya, meskipun usianya akan memasuki seperempat abad namun tidak ada yang tau bahwa gadis lugu sepertinya memiliki dua topeng yang berbeda.
Hanya orang-orang tertentu saja yang mengetahui bagaimana muka lain Alice.
Sudah enggan peduli Alice lebih memilih pergi meninggalkan bibinya yang masih mematung membelakanginya di rooftop.
Lantas Alice bergegas menuruni tangga menuju Toilet. Ia ingin membasuh wajahnya sebelum kembali berkumpul dengan keluarganya di bawah.
"Mama..."
Panggil seorang wanita yang usianya hampir seumuran dengan Alice berjalan menghampiri nya.
Seketika ekspresi Bibi Berlian berubah dari yang syok menjadi tersenyum dengan hangat.
Ia masih sibuk dengan melihat hamparan lampu dari tempatnya berdiri.
"Mama kemana aja sih? Moza nyariin dari tadi taunya di sini."
Ucap Moza dengan merangkul tubuh mungil mamanya.
"Mama tadI ke toilet sayang. Tiba-tiba mama penasaran sama tempat ini jadi mama kesini. Maaf ya sayang. Yasudah ayo kita ke bawah lagi."
Ajak berlian kepada putrinya. Moza pun hanya membalas dengan anggukan dan menggandeng tangan mamanya.
Lalu keduanya beranjak pergi menuju restoran di lantai bawah.
Apa tadi dia tidak bertemu dengan Alice ya?
Batinnya menilai pertanyaan Moza sebab dia tidak bertanya kenapa Alice juga berjalan dari tempat ini.
Akhirnya merekapun berjalan menaiki Lift kembali berkumpul dengan keluarga besarnya.
Netra Berlian memindai seluruh ruangan tapi tidak di temukan anak kecil yang ia maksud. Anak kecil yang sekarang sudah tumbuh menjadi wanita yang menyeramkan menurutnya.
Waktu sudah semakin larut namun keadaan Hotel Bintang Lima tersebut masih begitu meriah dengan tamu dan keluarga besar.
Pasalnya Oma Rochelle memang membooking hotel 2 hari penuh hanya untuk mengadakan pesta untuk menyambut kepulangan cucu kesayangannya.
CEKLEK
Diikuti langkah tergesa setelah bunyi pintu yang di buka dengan keras.
"Ha! Tutup tirainya, berani sekali kau mengganggu tidurku." Teriak si gadis mungil sembari menarik selimut menutupi hingga seluruh tubuhnya.
"Dasar anak nakal!" sahut oma tak kalah nyaring. " Kamu tidak pernah bisa berubah". Sambung Oma Rochelle dengan gelengan kepala. Ia pun mendekati Ranjang King Size klasik warna putih dan menarik selimut yang menggulung tubuh cucu kesayangannya.
"Ha! Apa kamu tidak mendengarkanku? Dasar Tu.. "
Seketika ucapan Alice terhenti saat dia tersadar siapa yang berdiri dengan berkacak pinggang penuh amarah di hadapannya.
"O.. Oma.. " Lanjut Alice dengan wajah yang cengiran khas nya.
"Mau jadi apa anak perawan jam segini masih malas-malasan, lihat itu sepupumu sudah sejak pagi bantuin nyiapin sarapan"
Balas Oma dengan ekspresi masih seperti seekor harimau yang siap menerkam mangsanya.
"Dasar anak nakal." Ujar oma dengan memukul kecil bokong Alice yang baru saja bangkit dari ranjang nya. pukulan tersebut juga membuat yang punya terbelalak kaget kesakitan.
"Baiklah oma, tapi tolong Oma jangan mulai membandingkan aku dengan Moza kami berbeda." Sambung Alice dengan mimik yang memelas berjalan menuju kamar mandi.
Tak lupa ia menyambar handuk yang tergantung sebelah pintu kamar mandi.
"Aduh Oma! Sakit." Rengek yang punya bokong. Mengusap bekas pukulan sang Oma.
"Biarin aja, bahkan kamu juga tidak pernah dengar dan peduli saat oma mu ini merengek mengeluh sakit." Gerutu oma sambil memalingkan wajah.
Mendengar omanya bertingkah seperti itu Alice pun berbalik lari dan memeluk omanya.
Setelahnya mereka saling berpelukan menumpahkan rindu yang bertahun-tahun terbendung.
Segera Oma menghapus bulir bening yang menerobos begitu saja sebelum Alice menyadari.
Meski air mata bahagia namun tidak ingin membuat Alice salah faham.
Di kamar itu merekapun melanjutkan cerita yang terlewatkan saat terpisah.
Dan Alice memutuskan untuk pergi dari rumah sampai Alice bisa seperti sekarang.
Namun tidak semuanya Alice ceritakan, hanya bab bahagia saja.
ia enggan membuat sang Oma memikirkan kemungkinan terburuk yaitu rasa bersalah yang seumur hidup bisa terpatri di dalam hati.
"Morning ponakan gemes?" Sapa seorang laki-laki yang berjalan dari kamarnya menuju ruang makan mengekor pada Alice yang berjalan di depannya.
"Uncle William!" Seru Alice kegirangan menoleh ke sumber suara lalu berlari menghambur ke pelukan laki-laki yang barusan menyapanya.
"Kenapa? Kamu kangen ya denganku?"
Goda William seraya tangannya mengulur mengacak rambut ponakannya tersebut.
"Enggak! Yah! Jangan acak rambutku, kebiasaan deh aku bukan anak kecil lagi tau! "
Teriak Alice mendongok menatap pamannya dengan bahagia, bukan Alice namanya jika tidak usil iapun mengulurkan tangannya mencubit perut datar William.
"Aw.. Sakit Al!" Keluh William mengusap bekas cubitan Alice lalu mengurangi pelukan.
"Biarin! Siapa suruh!" Balas Alice cekikikan melihat pamannya kesakitan.
"Emang kamu beneran gak rindu sama cowok ganteng di depanmu ini? Bahkan banyak wanita yang rela mengantri jadi pacar Uncle." Ucap William dengan Percaya Dirinya.
"Nggak deh! Dimataku Uncle itu jelek! Mereka aja yang sakit matanya. Hahahha... Wlekkk" ejek Alice menjulurkan lidah menertawakan pamannya, ia pun segera berlari takut kalau kena jitak.
"Awas Ya! Jangan lari kamu!" Teriak William geram tidak terima dengan ejekan Alice.
Seperti sudah jadi kebiasaan sedari kecil mereka selalu membuat suasana rumah bak istana tersebut menjadi ramai. Ada saja tingkah usil yang mereka lakukan, dari saling meledek , kejar-kejaran, saling menyembunyikan mainan sampai adu mulut yang membuat Alice menangis.
Pada akhirnya Oma Rochelle lah yang berhasil mendamaikan, sampai saat ini pun di usia yang sudah menginjak kepala 2 mereka masih asyik bertengkar seperti waktu kecil.
"Dasar anak-anak nakal." Gumam Oma dari lantai dua, bibirnya tersenyum menyaksikan anak & cucunya berlarian seakan tidak ada yang mau mengalah.
"Oma! Uncle nakal!" Rengek Alice melambaikan tangan dari ruang makan.
"Jangan dengerin anak manja ini Ma" Teriak William tak kalah keras.
"Sudah-sudah kalian sudah bukan anak kecil lagi jangan berantem malu sama umur! Ayo lebih baik kita segera sarapan." Seru Oma seraya menuruni anak tangga menghampiri keduanya.
"Siap Nyonya Besar!." Jawab mereka serempak lalu saling pandang terjadilah tawa renyah diantara mereka.
Para asisten yang melihatnya di buat ikut tertawa melihat tingkah kedua majikannya. Apalagi asisten rumah tangga yang belum lama bekerja di Rumah Besar Christopher pasti heran. Tapi tidak dengan Bi Mirah dan mang Asep, pemandangan seperti ini sudah sering mereka saksikan sejak dulu.
Bahkan Bi Mirah dan Mang Asep dibuat ribet dengan kejailan William yang sering mengerjai Alice.
Seakan mengulang kejadian berapa tahun yang lalu, sarapan pagi ini begitu riuh & penuh suka cita. Keheningan yang dirasakan setelah kepergian sang suami kini perlahan mulai sirna berkat kedatangan Alice & William.
"Bi.. sekarang ada Non Alice rumah jadi rame ya? Nyonya Rochelle juga jadi seger, gak kayak kemarin sebelum Nona datang. Wajahnya murung terus jarang senyum." Bisik Rima pada Bi Mirah yang sibuk mengupas buah untuk hidangan cuci mulut.
"Sstttt... Jangan gitu Rim nanti nggak enak kedengaran sama Nyonya. Alhamdulillah kalo keadaan yang buruk sudah membaik." Ucap Bi Mirah.
"Iya bi, maksudnya Rima juga ikut seneng gitu. Tapi orangtuanya Non Alice kok gak ikut pulang ya?" Tanya Rima mulai penasaran.
"Hah wes gausah penasaran pada saatnya kamu bakal tau sendiri. Udah selesaikan itu cucian piringnya, masih banyak kerjaan kita." Ajak Bi Mirah.
***
Ditempat lain ada wanita paruh baya yang sedang serius mengamati tablet di genggamannya. Tangannya pun mengepal dengan geram, mimik wajahnya berubah masam dan sorot matanya berubah menjadi tajam seperti kobaran api.
"Bersenang-senanglah kamu Alice, kita lihat siapa yang Akan bertahan lebih lama. Aku akan kembali menghancurkan mu hingga lenyap tanpa sisa. Agar kamu Florence bisa merasakan apa yang aku rasakan, kehilangan kakaknya Moza."
Janji Berlian dengan bibir bergetar penuh dendam.
Tanpa banyak orang sadari, Berlian telah menempatkan seseorang di rumah besar Oma Rochelle untuk jadi mata-matanya, mengintai pergerakan Alice. Melaporkan segala yang dilakukan maupun di bicarakan Alice.
Dia hanya tidak ingin terjebak dalam rencana yang telah disusun Alice, seperti ancaman Alice saat di rooftop Hotel tempo hari.
Tok Tok Tok
Tiba-tiba terdengar suara langkah dilanjutkan ketukan pintu.
"Ma, ayo sarapan dulu? Papa sudah nungguin di bawah." Seru Moza dari balik pintu kamar sang mama.
"Iya sayang, kamu duluan turun bentar lagi mama nyusul". Sahut Berlian dari dalam kamar, bergegas dia menyembunyikan tablet yang digenggamnya disebuah laci meja riasnya.
Berlian baru saja mendapat kiriman video yang memperlihatkan betapa bahagianya acara sarapan pagi di Rumah Besar Oma. Bagaimana tingkah William dan Alice yang membuat Oma Rochelle terlihat tersenyum bahagia.
Senyum yang dulu sering ia tampilkan saat sang suami masih di sisinya.
Namun semuanya terasa suram saat kepergian Papa Anthony.
Setelah memantaskan wajahnya di cermin Berlian pun lalu bergegas keluar dari kamar dan turun menuju ruang makan.
Selang beberapa waktu mereka berkumpul di meja makan, seperti biasa mereka makan dengan begitu lahap dan bersemangat. Sesekali bercerita tentang kegiatan masing-masing atau sekedar bercanda hal yang remeh. Keadaan keluarga Berlian begitu harmonis, terlihat dari bagaimana Marvel memperlakukannya dengan lembut.
Begitupun Berlian dia selalu membantu suaminya mempersiapkan segala kebutuhannya sebelum pergi ke kantor.
Moza yang memperhatikan tingkah kedua orang tuanya begitu bahagia membuat dirinya ingin memiliki keluarga yang harmonis seperti kedua orang tuanya kelak. Tak terasa bulir bening melewati pipinya begitu saja tanpa permisi.
"Moza? Ada apa nak? Kenapa menangis?" Ucap Mama Berlian memperhatikan putri semata wayangnya. Lalu tanpa basa-basi ia mendekat dan menariknya dalam pelukan.
"Ah kenapa jadi mellow gini, Moza baik-baik saja ma. Moza hanya bahagia melihat Papa dan Mama begitu harmonis. Semoga pernikahan Papa dan Mama langgeng terus ya. Moza juga pengen suatu saat bisa seperti Papa dan Mama. Seandainya ya ma Kakak masih diizinkan Tuhan disini dia pasti juga sangat bahagia ya ma?"
Ujar Moza yang berada di pelukan sang mama sambil mengusap air matanya.
"Sstttt... Moza, sudah jangan menangis lagi ya nak. Kakakmu pasti juga sangat bahagia melihat kita disini bahagia. Mama dan papa tidak akan membiarkan Kamu menderita, kami tidak akan melakukan hal bodoh seperti dulu lagi."
Berlian pun mencoba menenangkan Moza sambil mengusap pelan mahkota putrinya tersebut.
"Benar sayang, sudah cukup kesedihan kita. Kini saatnya kita bahagia" Ucap Marvel ikut berjalan mendekati Moza dan Berlian. "Kita do'akan kakakmu Bahagia di surga ya."
Ketiganya lantas berpelukan saling menguatkan, mengingat bagaimana kelam masa lalunya menimpa mereka. Meski hampir berpisah, tapi pada akhirnya Oma Rochelle dan William lah yang menyatukan mereka kembali.
Menyadarkan bahwa takdir Tuhan yang bekerja, dan bukan karena kemauan seseorang.
Beberapa hari selanjutnya di sebuah kantor milik Christopher Company.
BRUK
Sontak mata Alice membulat sempurna, terkejut mendapati dirinya sudah berada dalam pelukan seorang laki-laki. Tubuhnya yang kecil mampu ditopang hanya dengan satu tangan. Alice mematung terpaku dengan pesona laki-laki di hadapannya, dengan jarak yang begitu dekat dia bisa melihat garis wajah yang hampir sempurna seperti yang sering ia lihat di tempat nya tumbuh dewasa.
Namun kali ini berbeda ada guratan yang khas dalam dirinya, aura yang terpancar seolah menghipnotis mata Alice untuk terus menatapnya.
Pandangan mereka saling bertemu untuk beberapa saat, hingga laki-laki tersebut menyadari keadaan di sekeliling mereka riuh berbisik-bisik.
"Wah siapa wanita itu, kenapa Pak Steven bisa menatapnya lama." Ucap salah seorang karyawan.
"Ahhh... Andaikan itu aku pasti aduh bakal mendadak pingsan aku." Jawab teman lainnya.
"Ekhem... sudah lihatnya? Kamu berat."
Dengan nada dan intonasi yang datar Steven berdehem menyadarkan imajinasi Alice.
Saat tersadar Alice segera berdiri, Sontak wajahnya merah merona melihat dirinya yang jadi bahan tontonan para karyawan.
Iapun segera membenahi rambut dan pakaiannya.
"Heh! Kalo jalan lihat pakai mata!" Bentak Alice berusaha menutupi rasa malunya.
"Sudah salah tidak minta maaf malah teriak-teriak! Ini kantor bukan taman bermain untuk lari-lari."
Balas Steven dengan nada tak kalah ketusnya sembari memunguti berkas yang berceceran di lantai
Diapun berlalu meninggalkan Alice yang masih berteriak padanya, ia merasa tidak terima dengan perlakuan Steven. Alice memang sengaja menggunakan sepatu kets berwarna putih tulang dengan setelan celana kain pendek berwarna coklat susu selutut ditambah blezer berwarna senada.
Rambut yang dikuncir seperti ekor kuda membuat Alice terlihat seperti di usia belasan tahun.
Sial pagi-pagi sudah bikin moodku jelek saja. Siapa sih dia sombong banget. Batin Alice melihat kepergian Steven.
Alice pun bergegas beranjak meninggalkan lobby menuju ke ruangan Direktur. Mengantisipasi sebelum akhirnya adik mamanya tersebut membuat laporan pada Oma bahwa di hari pertamanya magang sudah terlambat.
Di kehidupan nyata, Alice adalah sosok yang ambisius nan disiplin mengingat dia adalah seorang Direktur di perusahaan yang ia rintis. Usianya baru hampir memasuki seperempat Abad namun jangan salah banyak penghargaan yang di raihnya dengan tangannya sendiri. Tanpa sepengetahuan banyak orang bahkan orangtuanya dia berhasil mendirikan sebuah perusahaan kecantikan meskipun belum banyak produk yang terkenal, namun dia bertekad agar bisnisnya bisa mendunia.
Tok Tok Tok
Setelah ia izin kepada sekretaris Direktur dia mengetuk sebuah pintu kaca di depannya.
Meskipun di rumah Alice dan William sangatlah dekat namun tidak bisa dipungkiri Alice begitu gugup dan pucat untuk saat ini.
Berulangkali ia mengatur nafas untuk mengurangi detak jantung yang tidak stabil, sesekali ia merapikan rambut serta pakaiannya.
"Masuk"
Ucap seseorang dari dalam ruangan yang
terdengar tegas dan berwibawa. Tidak seperti saat dirumah, dikantor William adalah sosok yang berbeda. Dia harus jadi panutan bagi karyawannya, tak segan William akan mengingatkan langsung jika ada pekerjaan karyawannya yang tidak sesuai aturan.
"Hallo Nona Alice. Bagaimana ini, kenapa bisa terlambat di hari pertama bekerja. Hem bagaimana jika Nyonya Rochelle mengetahui kejadian ini"
Rancu William saat melihat Alice masuk ke ruangannya dengan wajah yang pucat Pasih.
"Yah Uncle!" Ucapannya pun tertahan manakala ia melihat sosok seseorang laki-laki yang sedang berdiri didepan meja Direktur tersebut.
"Lah kamu? Apa yang kamu lakukan disini?" Lanjut Alice menyelidik dari ujung kepala sampai bawah penampilan seseorang yang tidak asing baginya itu.
"Terimakasih Pak, jika sudah tidak ada yang akan di bahas lagi saya izin permisi"
Pria tinggi putih yang mengenakan kacamata tersebut berbicara setelah menengok sebentar ke arah Alice.
Iapun menunduk hormat pada Pak Direktur lalu pergi melewati Alice yang masih mematung.
"Hei! Tunggu!"
"Kamu belum menjawab pertanyaanku"
"Uncle William siapa dia,laki-laki itu yang sudah membuat ku terlambat" Adu Alice sambil mengerucutkan bibirnya mengadukan pria tersebut agar dia selamat dari ancaman Pamannya.
"Oh jadi kalian sudah saling kenal? Baguslah kedepannya kalian akan bekerjasama jadi akan lebih mudah untuk mengajarimu. Dia akan jadi atasanmu selama kamu disini, karena sekertaris nya sedang cuti hamil maka kamu Alice Isabelle harus menggantikannya sebagai sekertaris." Jelas William.
"Ah Uncle Come on. Apa nggak ada bagian lain selain berkolaborasi dengan Pria Kutub itu. Kenapa gak rundingan dulu sih Uncle, main bikin keputusan sendiri aja." rengek Alice sambil berjalan menuju sofa mendaratkan tubuh nya.
"Oh kalo kamu tidak mau ya tidak apa-apa ,nanti Uncle bakal bilang sama Oma kalo kamu hari ini telat dan bekerja dengan ogah-ogahan" ancam William dengan tangan yang bersedekap di dada.
"Ancam aja terus! Terserah lah Om." Akhirnya Alice pun pasrah daripada harus adu argumentasi dengan pamannya, ujungnya juga kalah telak kalo sudah berhadapan dengan Oma Rochelle nantinya.
"Bagus Nona Alice. Namanya Steven dia adalah Manager di sini. Jadi baik-baik ya kalian, selamat bekerja sama dengan nya. Oiya satu lagi di kantor jangan panggil Uncle, tapi panggil Pak Wil-li-am." Goda William dengan mengulum senyum melihat wajah kusut keponakannya tersebut.
"Hah! Sukanya ngancam. Awas aja setelah tiga bulan bakal aku bales nanti." Ancam Alice
Bukan Alice namanya, negosiasi yang di jalani dengan William atas maksud Oma Rochelle mengandung syarat. Yaitu hanya untuk tiga bulan ke depan saja, jika Alice bisa bertahan maka Oma Rochelle harus mengabulkan keinginan Alice.
Termasuk keinginannya untuk tidak bekerja di perusahaan Omanya.
Namun jika dalam tiga bulan Alice tidak betah maka dengan berat hati Alice harus mau mengurus satu anak perusahaan cabang milik keluarga Christopher.
Dengan demikian William berinisiatif untuk memberikan posisi di bagian sekertaris menggantikan Clara. Banyak ia mendengar bahwa bekerja dengan Steven seperti bekerja dengan mesin waktu yang tidak bisa berhenti sejenak. Ditambah Steven yang seperti Pria Kutub yang super dingin.
Tapi tak di pungkiri hasil kerja Steven selalu membuat William Puas. Karena sama sekali tidak ada yang buruk sedikitpun.
"Oke. Siapa takut.!" Jawab William santai.
Ia telah menyusun rencana agar Alice bisa keluar sebelum waktu tiga bulan agar bisa mengambil alih satu anak perusahaan. Dengan demikian berjalannya waktu Alice bisa di oper ke Pusat menggantikan William nantinya.
"Auk ah Uncle.! Benci sama Uncle.!" Rengek Alice memonyongkan bibirnya.
William hanya bisa geleng-geleng lalu tersenyum menanggapi tingkah keponakannya tersebut. Dalam hati William bahagia akhirnya dia bisa kembali melihat Alice dari jarak dekat kembali. Semoga bisa mengobati rasa rindunya yang lama terpendam.
Dan juga bisa mengabulkan janjinya pada Papahnya yang sudah berpulang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!