Hai dunia, perkenalkan namaku Richie Richardo. Semua orang memanggilku Richie. Aku pria tampan kelahiran Indonesia asli. Selain tampan, aku juga kaya raya. Umurku baru menginjak 27 tahun. Aku adalah pewaris tunggal perusahaan ayahku yang memiliki banyak anak cabang di seluruh Indonesia.
Status? Aku masih single. Kenapa? Jujur saja, Aku benci kaum hawa. Intinya, aku tak mau menikah!. Bukan karna aku pria penyuka sesama jenis. Aku lelaki normal yang punya hasrat untuk bercinta dengan wanita. Sayangnya, belum ada wanita yang membuatku jatuh cinta. Entahlah, jika ada wanita yang mampu menaklukan hatiku, mungkin dia wanita yang beruntung, itu menurut ku.
VISUAL RICHIE,
Pagi yang ceria.
"Pagi tuan muda." Leon si pelayan muda seusiaku tampak menunduk memberi salam ketika mataku masih terlalu berat untuk dibuka.
Mulutku menguap panjang di susul dengan terbangnya selimut tebal yang sejak semalam rela berbagi kehangatan sekedar menutupi dadaku yang mulus tanpa baju agar tidak kedinginan.
Setelah sekian detik meregangkan otot, aku pun melompat turun dari ranjang king size yang cukup besar untuk di tiduri empat orang dewasa dengan penuh semangat.
Sambil bersiul kecil, aku segera masuk ke kamar mandi melakukan ritual mandi pagi sambil bersenandung lagu metal favoritku tanpa menghiraukan Leon yang masih sabar menungguku di luar kamar.
Cukup lima belas menit, aku telah siap berpakaian dan terlihat tampan memuji diriku sendiri di depan kaca besar yang ada di kamarku. Narsis memang, tapi aku yakin dunia mengakui ketampananku yang memang sulit tandingannya.
"Mari Tuan muda, Tuan besar sudah menunggu anda dari tadi." Ucap Leon mengingatkan.
Mataku menyipit dan berbalik menatap Leon yang mulai resah menungguku lama.
Senyuman tipis mengembang di bibirku.
"Kamu bawel! Kayak nenek-nenek!" bibirku mengerut masam, lalu melangkah keluar kamar mengabaikan Leon yang terbirit-birit mengiringi langkahku dari belakang.
"Pagi ayah!" sebuah tegur sapa singkat untuk ayahku yang jarang bicara sudah cukup bagiku sebagai kalimat penghilang rasa canggung antara aku dan ayah.
Seperti biasa, suasana sarapan pagi diatas meja makan panjang dengan sepuluh kursi yang memisahkan jarak dudukku dengan ayah berlalu dengan suasana hening dan khidmat tanpa ada kata pengantar dan penutup.
Pagi ini, ayah sedikit berbeda.
Ayah yang selalu sibuk dengan bisnisnya di dalam dan di luar negri hingga tak punya banyak waktu untuk bicara atau pun bercerita denganku layaknya ayah dan anak, saat ini tumben-tumbenan duduk santai di teras rumah.
Apakah ayah tidak bekerja hari ini ? pikirku menyimpan rasa heran dalam hati.
Hubungan kami yang selalu kaku membuatku tak berani untuk bertanya.
Begini lah suasana rumahku. Rumah besar dan mewah yang memiliki pekarangan luas untuk parkiran puluhan mobil, serta halaman belakang yang terdapat kolam renang dan lapangan golf itu selalu tenang dan sunyi tanpa keributan.
Pemilik rumah ini cuma Ayah dan Aku. Sementara penghuni yang lain, adalah sepuluh pelayan lelaki dan sepuluh pelayan wanita. Totalnya berjumlah dua puluh orang pelayan. Masing-masing mereka punya tugas dan pekerjaan tersendiri. Tapi hanya satu pelayan yang ku suka, dia lah Leon. Asisten pribadi sekaligus sahabat terbaik ku sedari kecil.
Leon adalah anak lelaki miskin yatim piatu yang aku temukan di jalanan dan aku bawa untuk tinggal bersama atas izin ayahku. Tanpanya, hidupku mungkin kesepian. Hanya Leon yang sering menghibur dan menjadi teman sepermainan ku.
Jika kalian tanya ibuku? Jawabku tidak tahu. Ayahku tak pernah bercerita tentang ibu. Walau aku pernah menanyakannya sekali, aku sudah tak mau bertanya lagi. Karna Ayahku tak mau menjawab, yang terjadi malah menakutkan. Ayah akan mengurung diri di kamar dan menghancurkan semua barang yang ada di dekatnya. Itu sudah cukup membuatku trauma.
Lalu, mengapa aku membenci wanita? Aku juga kurang tahu. Yang pasti, aku tidak menyukai mahkluk lemah yang suka menangis dan sangat manja itu. Atau mungkin, semua karena ibuku?.
Sedari kecil di waktu masih sekolah, begitu banyak anak perempuan yang menyukaiku dan ingin menjadi pacarku. Tapi aku selalu membentak, menakut-nakuti mereka dan menjauhi setiap kaum perempuan yang ingin mendekatiku. Bagiku mereka seperti kuman yang membuatku alergi.
"Richie, duduklah disini!" perintah Ayah.
Bagai dapat durian runtuh. Ayah yang jarang sekali mengajakku untuk duduk bersama, mendadak memanggilku untuk mendekat.
Rasa bahagia bercampur senang membuatku bersemangat dan segera mendekati Ayah dengan senyum hati riang.
"Ya, ayah!" ujarku senang.
Senyuman tipis tampak terukir di wajahnya yang sudah mulai tampak tua dan berkeriput menyambut kedatanganku yang duduk bersamanya di teras rumah belakang.
"Selama ini, kamu selalu menolak untuk Ayah jodohkan. Ayah sudah memberimu banyak kesempatan untuk memilih wanita yang kamu sukai. Tapi sepertinya, kesabaran Ayah sudah habis. Ayah tak mau lagi berkompromi denganmu." Ucap Ayah tegas dan jelas padaku.
DEG!
Denyut jantungku langsung berhenti berdetak mendengar ucapan Ayah yang sangat menakutkan bagiku. Suatu hal yang paling ku benci sejak menginjak dewasa adalah saat Ayah membahas masalah pernikahan.
"Aku tidak mau menikah, ayah." Bantahku jengkel.
Raut wajah ayah seketika berubah mendengar bantahanku. wajahnya tampak murung dan menatapku sedih.
Ayah seakan mengabaikan reaksiku. Beliau melanjutkan perkataannya seakan sikap penolakan dariku tak ada arti baginya.
"Hmm... Seminggu lagi, kita akan kedatangan tamu. Sahabat baik ayah, Haekal dan istrinya akan datang bersama putrinya yang sangat cantik. Gadis itu bernama Alya. Ayah ingin kau segera menikah dengannya." Putus Ayah sangat mengejutkan diriku yang anti perjodohan.
Ayah menatapku tajam tak berkedip. Raut wajahnya yang muram berganti tegang dan menyeramkan.
Aku tercekat, "Tapi Ayah...?!"
"Cukup,! Ini terakhir kalinya kamu membantah! Ayah tak ingin lagi mendengar kata penolakan darimu. Apa kamu mengerti, Richie?!" bentak Ayah marah.
Suara Ayah yang terdengar mulai emosi membuatku merunduk takut. Aku tak sanggup membantah lagi.
"Ayah harap kamu bisa bersikap baik pada Alya. Dia gadis yang cocok untukmu. Jangan kecewakan Ayah!" ucap Ayah kembali menurunkan suaranya.
Tanpa ada komentar, aku terpaksa diam menyimpan kekesalan di hatiku menerima keputusan Ayah yang terasa berat untuk dijalani.
Ayah tersenyum tipis saat memastikan tak ada lagi bantahan yang keluar dari mulutku. Beliau pun meninggalkanku di teras rumah belakang tanpa bicara lagi.
Beberapa menit setelah kepergian Ayah yang masuk ke dalam ruangan pribadinya, aku dan Leon duduk termenung di taman belakang rumah yang penuh rerumputan hijau seraya merenungkan perkataan Ayah yang saat ini membebani pikiranku.
"Leon, apa aku kabur saja?" tanyaku dengan mata menerawang jauh memandang langit biru.
Serta merta mata Leon melotot ke arahku dengan gigi bertaut marah.
"Jangan aneh-aneh Tuan muda, saya tak mau direpotkan harus berkeliling dunia, menyebrang laut dan benua, menjelajahi pulau-pulau hingga menggali lubang semut hanya untuk mencari Anda. Itu cukup menghabiskan masa muda saya." Tutur Leon dengan kalimat yang terdengar lucu hingga menggelitik perutku jadi berguncang.
"Hahaha...!" aku pun tertawa geli.
"Ayah pasti akan menjadikanmu pengantin pria pengganti. Karna di rumah ini, cuma kamu dan aku yang belum menikah, Leon." Gurau ku penuh canda.
Tawaku terus membahana sambil menuding Leon dengan telunjuk tepat mengarah padanya.
Wajah Leon langsung memerah bagai kepiting rebus. Ia mengusap hidungnya yang terasa gatal dengan sebelah punggung tangan kanannya.
"Jika dia memang sangat cantik, saya akan menikahi calon anda itu dengan senang hati." Sahut Leon enteng.
Jawaban Leon membuat hatiku jadi panas.
"Jangan harap! Kamu akan membiarkanku jadi jomblo sendirian hah?!"
Aku mendelik tajam membesarkan mataku ke arah Leon berpura-pura marah.
"Saya ini lelaki normal tuan muda, saya pemuja wanita cantik!" ucap Leon mencibirkan bibirnya.
Leon langsung berdiri, berjalan menjauhiku. Hatiku makin panas karna merasa tersindir.
"Awas kamu Leon! Lihat saja, jika aku bertemu nenek buyutmu, aku akan menikah dengannya dan menjadi leluhurmu!" teriakku jengkel.
Aku membalas leluconnya sambil merebahkan tubuhku di atas rumput halaman belakang.
"Hahaha...! dengan senang hati, saya tidak keberatan Tuan muda!" Leon tertawa terpingkal-pingkal.
Aku mendengus kesal menatapnya bahagia diatas penderitaanku.
Pikiranku pun menerawang jauh. Alya...?! Seperti apa wanita yang di jodohkan Ayah untukku? Aku sedikit penasaran dengan rupanya.
🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺
Selamat datang di karyaku yang lain.
Terimakasih telah membaca 🙏.
Silahkan beri Komentar, Like, Subscribe, Vote
jika kamu suka.
Kritik dan saran akan author terima 🤗
Pantau terus ya episodenya,,, bantu othor untuk mencapai retensi novel agar karya othor gak sia-sia 😭
Seminggu kemudian.
"Hmm... Dia datang!"
Bibirku bergumam pelan menatap Alya dari kejauhan. Mataku tak berkedip memandang sosok perempuan cantik yang saat ini datang bersama kedua orang tuanya memasuki rumah dan duduk di ruang tamu bersama ayahku.
"Dia sangat cantik !" batinku tak bisa mengingkari kecantikannya.
( VISUAL ALYA.....🥰 )
Aku memuji kecantikan parasnya yang memang jarang di temui dari banyak perempuan yang ada di luar sana.
Dia sangat anggun dan lembut. Rambutnya yang panjang terurai dan kulitnya yang putih bersinar pasti akan membuat semua mata orang yang memandangnya akan terpukau kagum dengan kecantikannya. Mungkin aku juga termasuk pengagumnya.
Sepasang bola matanya yang lebar kecoklatan, dengan bulu mata yang lentik mengingatkanku pada boneka barbie.
Anehnya, Senyumnya tampak kaku dan tatapannya terlihat hampa. Raut wajahnya tampak tertekan dan penuh beban.
"Richie, kemarilah! Kenalkan, ini sahabat ayah Om Haekal dan istrinya Tante Rana. Dan ini Alya, putri beliau." Ayah memanggilku dan memperkenalkan Alya serta kedua orang tuanya padaku.
Sebagai Tuan rumah, aku tetap menjaga etika dan sopan santun dengan menyalami kedua orang tua Alya menyembunyikan rasa terpaksa yang mendera hatiku.
Spesial untuk Alya, aku hanya menyentuh sedikit ujung jemarinya. Aku tak ingin tersentuh kulitnya yang terasa asing mengenai kulitku. Sejenak tatapan mataku menghujam tajam ke arahnya yang tampak diam saja tanpa membalas perlakuanku.
Dia seperti patung arca, tanpa ekspresi. Tak ada senyuman di wajahnya. Apalagi tegur sapa. Bibirnya tertutup rapat. Seperti orang bisu.
"Richie, Ajaklah Alya jalan-jalan keliling rumah kita." kata Ayah mengejutkanku.
Ayah menyentuh pundakku pelan dan mengedipkan matanya.
Aku hanya menarik nafas berat dan terpaksa patuh mengikuti keinginan ayah.
"Ya ayah!" sahutku singkat.
Aku mengerti apa maksud perkataan ayah. Beliau menyuruhku mengakrabkan diri dengan patung hidup itu.
"Alya, ayo!" ajakku canggung.
Gadis itu berdiri dengan kikuk. Ia segera mengikuti langkahku setelah kami berpamitan pada ayah dan kedua orang tuanya.
Sepanjang jalan menyusuri taman di halaman belakang rumahku, kami berdua hanya diam tak bersuara. Tak ada kata, ataupun kalimat yang terucap.
Langkah kakiku yang lebar dan cepat, seringkali meninggalkannya yang tampak santai berjalan di belakangku. Ia seakan tak peduli meski kadang tertinggal cukup jauh.
Sesekali aku menghentikan langkahku untuk menunggunya agar jarak kami tidak terlalu jauh.
"Bisakah kamu berjalan sedikit cepat?!" ucapku dongkol.
Sekian detik ku tunggu, Alya tak kunjung mendekat. Aku mulai merasa jengkel karna merasa di abaikan.
"Alya!"
Tak ada jawaban yang kudengar.
Tubuhku seketika berbalik menatapnya yang langsung kaget melihat kemarahan di wajahku.
"Aku bukan patung seperti kamu. Setidaknya bicaralah agar aku tak menganggap mu bisu!" ucapku marah.
Dia tampak tertegun membuat hatiku kesal bukan main melihat ekspresi wajah tanpa dosanya.
Wajahnya berubah pucat setelah mendengar ucapanku. Ia pun menundukkan wajahnya dalam.
"Maaf!" jawabnya singkat dan pelan.
Darahku berdesir. Ternyata ia tidak bisu. Suaranya terdengar sangat merdu dan lembut, membuatku makin penasaran. Seperti apa sebenarnya perempuan yang di jodohkan ayah untukku.
"Apa kamu sudah tahu tentang perjodohan kita?" tanyaku penuh selidik.
Tanpa basi basi, aku langsung bertanya padanya. Menurutku, sangat membosankan bicara dengan patung yang sulit untuk di ajak bicara. Lebih baik to the point saja.
Alya mengangguk pelan pertanda ia telah mengetahui segalanya jauh sebelum ayah memberitahuku.
Ku hembuskan nafas panjang dan dalam. Dadaku terasa sesak dan berat. Sulit bagiku untuk menerima perjodohan ini. Alya tak menarik sama sekali di mataku. Ia bagai patung manekin yang diberi nyawa. Bersuara jika di tanya.
"Apa kamu setuju menikah denganku?" tanyaku penasaran.
Kuharap ia menjawab tidak, agar aku merasa tak sendirian. Tapi harapanku pupus saat Alya menganggukkan kepalanya tanpa berani menatapku untuk sekedar memperlihatkan ekspresi wajahnya.
Batinku berguncang, tak satu pun yang memihakku untuk membatalkan perjodohan itu. Semua orang seakan bersekongkol untuk menjeratku dalam pernikahan tanpa cinta.
Seketika aku membenci Alya. Mengapa ia tidak menolak perjodohan kami berdua? Bukankah kami belum saling mengenal? Kami belum pernah bertatap muka. Apalagi saling cinta.
"Katakan, mengapa kamu menerima perjodohan kita begitu saja?" mataku menatap tajam padanya.
Dalam hatiku menyimpan marah dan geram. Andai saja ia bilang tidak setuju, aku pun akan bersikeras melawan keinginan ayah agar perjodohan itu di batalkan.
"Karna, akulah yang meminta untuk di jodohkan denganmu." Jawabnya dengan suara bergetar.
Perempuan itu mengangkat kepalanya pelan dan memandangku nanar.
Aku tercekat, kaget. Lidahku terasa kelu dan kaku.
"Aku mencintaimu Richie!" ucapnya lagi dengan tatapan aneh kurasakan.
Blamm...!
Dadaku bagai di hantam bongkahan batu besar.
Kata-kata Alya teramat mengejutkanku.
"Itu konyol dan aneh! Kamu seperti wanita murahan yang tak punya harga diri. Mudah sekali kamu mengatakan cinta padaku. Kita baru kenal beberapa menit yang lalu. Apa kamu waras?!" bentakku langsung emosi.
Aku meremehkan perkataannya yang terdengar seperti lantunan syair lagu yang sengaja ia dendangkan untuk menggoda perasaanku.
Sebuah senyuman sinis terukir di sela bibir Alya dari balik sikapnya yang kaku.
"Kita memang baru berkenalan secara langsung. Tapi Aku sudah mengenalmu sejak lama, saat Ayahmu memperlihatkan fotomu padaku, dan itu lebih dari cukup untuk membuatku jatuh cinta."
Jawabannya kembali mengejutkanku.
Aku terbelalak heran. FOTO? Hanya dengan selembar foto diriku, dia sudah bisa memastikan perasaan cintanya.
Semudah itu kah? Apa dia normal? Hatiku mulai di liputi tanda tanya.
Wajar saja, mungkin aku terlalu ganteng! Rasa percaya diriku yang terlalu tinggi, menepis berbagai pertanyaan yang timbul di hatiku.
Sebuah tawa lebar dan keras, berderai keluar dari mulutku.
"Hahaha, ku akui aku memang tampan. Sayangnya, aku mungkin tidak seperti yang kamu duga. Aku bukan pria yang gampang untuk kamu miliki." Ucapku penuh percaya diri.
Aku mentertawakan perasaan konyolnya terhadapku.
Jari telunjuk ku menekan pundak Alya sedikit keras, hingga gadis cantik itu menggeliat sedikit menjauh dariku.
Wajahnya yang putih, tampak berubah merah padam. Sekelebat, ada amarah yang tersirat dari relung matanya yang berganti menatapku dengan tajam lalu meredup hilang dan kembali sendu.
"Aku pasti akan memilikimu!" tegasnya dengan nada yang pelan namun terdengar jelas dan nyata di telingaku.
Ku rapatkan kembali bibirku menghentikan tawa yang mulai sirna.
"Itu tak'kan terjadi!" ucapku dengan nada penuh tekanan.
Alya menghela nafas pendek, ia menatapku dengan ekspresi wajah datarnya.
"Setelah kita menikah, Kamu pasti jadi milikku!" Ujarnya penuh keyakinan.
"Kita tak'kan pernah menikah!" sanggahku tegas.
Gadis itu seakan tak punya rasa malu dan tak tahu diri. Ia bersikeras dengan keyakinan hatinya untuk tetap menikah denganku.
Mataku mendelik tajam, menatap wajah cantiknya dengan geram. Rasanya, ingin ku remukkan wajah kaku yang tanpa senyuman itu.
"Kita pasti menikah, kamu tak bisa menolak perjodohan ini. Aku tak yakin, kamu bisa melawan permintaan Ayahmu." Sindirnya sinis.
Gadis itu mencibirkan bibirnya dan melengos pergi meninggalkan diriku yang terpaku diam mematung tanpa bisa berkata.
Benarkah? Aku tak'kan mampu melawan keinginan Ayahku?
Haruskah aku melarikan diri dari perjodohan itu?
.
.
.
BERSAMBUNG
Tinggalkan jejak mu dengan LIKE, KOMEN, SUBSCRIBE, VOTE 👌 jika kamu menyukai karya ku ini 🤗
Kutunggu bunga bermekaran dari mu dan secangkir kopi hangat sebagai tanda cinta ❤️
Buat lah agar Richie jatuh cinta pada mu wahai para ladies 😍😍😍
Biarkan para bintang bertaburan ⭐⭐⭐⭐⭐ mewarnai Richie dan Alya 😘
Makasih para readers tersayang ku 🥰
Aku sangat geram melihat sikap Alya yang terlalu yakin dan percaya diri.
Langkah kakiku berjalan cepat menghentikan langkah kakinya yang telah lebih dulu pergi meninggalkanku.
"Jangan harap kamu akan mendapatkan apa yang kamu ingin kan dariku." Aku menggertak Alya.
Gadis itu berhenti. Sejenak terdiam menatapku dengan ekspresi dingin, tajam menghujam jantungku.
"Aku pasti mendapatkannya!" ujar Alya penuh keyakinan.
"Apa kamu psikopat?" tanyaku dengan nafas memburu.
Dadaku mulai terbakar emosi yang sedari tadi telah ku coba tahan sekuat tenaga.
Alya tak bergeming. Tak ada rona takut di wajahnya melihat kemarahan yang kini terpampang jelas di wajahku.
Ia hanya menarik nafas berat. Tatapan matanya yang dingin dan tajam perlahan memudar.
"Terserah! kamu mau menilai ku seperti apa. Aku tak'kan merubah pendirianku. Aku hanya akan menikah dengan pria yang ku cintai!" jawabnya pelan namun terdengar tegas.
Aku menggertakkan rahangku kuat. Baru kali ini, aku menemukan perempuan yang sangat egois seperti dia. Aku jadi penasaran, sekuat apa dia mampu bertahan dengan pendiriannya. Apa dia mampu membina rumah tangga dengan orang yang membencinya?.
"Aku akan tunjukan padamu, bagaimana caranya agar kamu jatuh cinta padaku." Ucapnya tiba-tiba mengejutkanku.
Tubuhnya merapat hingga tak ada jarak dengan tubuhku. Wajahnya perlahan terangkat tinggi hingga tatapan mata kami saling bertemu. Aku bisa merasakan hangat tubuhnya dan deru nafasnya yang menghangatkan wajahku.
Apa yang ingin ia lakukan? Apa dia mau menciumku? Dadaku sontak berdegup kencang, bergemuruh hebat.
Rasa aneh mulai menjalar di tubuhku saat wangi aroma parfum yang lembut dari tubuh ya terasa menggelitik hidung. Ku tahan nafas, saat bibirnya yang merah merekah perlahan mendekati bibirku yang seakan menunggu tak mau menghindar.
CUP...!
Ia mengecup bibirku pelan namun terasa singkat. Kecupan itu cukup menggugah hasrat laki-lakiku yang meronta liar butuh pelampiasan lebih. Perempuan itu sangat pintar mencari titik terlemahku.
"Hentikan!" bentakku gugup.
Aku mendorong tubuhnya agar menjauh. Ada aliran listrik yang menyengat saat sentuhan bibirnya meninggalkan kesan di bibirku. Ada rasa janggal yang ingin ku tepiskan jauh-jauh. Apa Alya tahu, ini pertama kalinya aku ciuman. Dan betapa malunya aku, karna yang memulai ciuman itu bukan aku.
Aku yang selama ini menutup diri dan tak tersentuh oleh wanita, adalah pria normal yang juga haus akan belaian dan sentuhan. Sayangnya aku begitu pemilih. Aku merasa terlalu sempurna untuk wanita mana pun. Tak satupun wanita yang membuatku tertarik.
Tapi Alya, kenapa patung hidup itu bisa menggetarkan perasaanku. Aku mulai di hinggapi rasa takut. Entah apa yang ku takutkan. Aku ingin menyangkal perasaan itu. Aku ingin mengingkari detak jantungku yang sedari tadi tak mau diam.
"Lebih baik kita kembali ke dalam. Kita sudah terlalu lama bicara di luar." Ajakku mencari alasan.
Egoku, harga diriku sebagai lelaki nyaris di kalahkan oleh pesona Alya.
Dia wanita yang berbahaya! Begitu aku menilai dirinya.
Tanpa menoleh lagi untuk melihat reaksi dirinya, Aku segera berbalik meninggalkan dirinya yang entah bagaimana keadaannya.
Yang ku tahu, ia muncul di belakangku setelah beberapa menit aku memasuki ruang tamu dan berjalan menghampiri Ayah yang menyambut kehadiran kami dengan senyuman lebar.
"Ayah, Richie mau ke toilet. Bentar," bisikku berbohong pada Ayah.
Tanpa menaruh rasa curiga sedikitpun, Ayah mengizinkan aku untuk pergi dengan anggukan kepala.
Aku pun segera berlalu dari ruang tamu dengan menghembuskan nafas lega. Kehadiran Alya dan kedua orang tuanya di sana, cukup membuat dadaku terasa sesak.
KABUR!
Mungkin cuma itu jalan alternatif yang melintas di benakku. Aku bingung harus berbuat apa lagi. Pendirian Alya yang kuat, menggagalkan rencanaku untuk menghentikan perjodohan itu.
Sosok Alya yang angkuh dan berkharisma tinggi bak Ratu pantai selatan itu sangat menakutkan. Aku tak ingin menikah dengannya. Perempuan itu lebih menyeramkan dari pada seorang penyihir.
Paras cantiknya yang tanpa senyuman bisa saja menyihirku dan menguasai semua aspek kehidupanku yang cinta kebebasan. Segitu bencinya Aku melihat dirinya yang terlihat nyaris sempurna tiada cela.
Aku terlalu sulit mencari sisi lemah dirinya yang bermental kuat seperti baja. Walau Aku bersikeras mengatakan tidak. Ia tetap memegang teguh pendiriannya untuk tetap menerima perjodohan mereka.
"Leon, apa yang harus kulakukan?" tanyaku gundah.
Aku menepuk bahu Leon yang ku temukan sedang asyik bermain game di ponselnya di teras belakang rumah. Tepukan dariku yang lumayan keras, serta merta mengejutkan Leon. Ia terperanjat kaget dan terlihat kecewa berat saat ponselnya ku rebut dari tangannya dengan cepat. Ia pun menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan menatapku dengan wajah memelas.
"Ada apa tuan muda? Anda begitu resah." Tanyanya pura-pura peduli padaku.
Padahal aku bisa menebak apa yang ada dalam benaknya saat ini. Ia hanya memikirkan ponsel miliknya yang saat ini ada di tanganku.
"Perempuan itu menyeramkan!" desisku marah.
Antara rasa benci pada Alya dan rasa jengkel melihat Leon yang asyik main game seolah hidup tanpa beban, cukup membuatku dongkol setengah mati.
"Perempuan mana yang anda maksud?" tanya Leon berlagak pilon.
"Siapa lagi kalau bukan nenek sihir itu. Si vampir muka pucat, patung arca yang bicara sedikit tapi menyakitkan." Gerutuku kesal berkepanjangan.
"Nenek? Vampir? Patung? Apa, apa maksudnya tuan muda?" Leon menatapku tak mengerti.
Raut wajah Leon yang menatapku heran seperti orang bodoh, membuatku makin dongkol. Ingin rasanya ku permak hidungnya yang pesek agar panjang seperti Pinokio.
"Alya, perempuan yang di jodoh kan Ayah untukku. Dia itu psikopat!" tuduhku sesuka hati.
Leon membuka mulutnya lebar dengan mata melotot bulat seperti bola. Ia pun bergegas menutup mulutnya dengan sebelah tangannya.
"Duh, gawat sekali kalau begitu. Apa Tuan besar tidak salah pilih jodoh untuk anda?" tanya Leon dengan nada setengah berbisik.
"Ayah menyukai Alya. Apa yang harus aku lakukan Leon?" keluhku murung.
Aku berharap ada solusi darinya. Leon menatapku bimbang. Tak ada jawaban yang ku dengar keluar dari mulutnya. Hanya keputusan singkat yang sempat terpikirkan tadi olehku kembali melintas di benakku.
"Aku harus kabur !" gumamku sedih.
Tak ada pilihan lain. Aku harus berani menentang keinginan Ayahku. Satu-satunya cara untuk menghindari perdebatan, hanya KABUR!.
.
.
.
BERSAMBUNG
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!