Rani terbangun dengan kepala berdenyut setelah satu minggu tidak sadarkan diri. Cahaya matahari yang menembus tirai sutra membuatnya mengerjap. Seketika, ia terkesiap. Ini bukan kamarnya yang sempit di kontrakan. Ia berada di kamar seluas ballroom, dengan perabotan mewah yang bahkan tak pernah ia impikan.
Panik, ia berlari ke cermin. Wajah asing menatap balik, cantik, namun bukan dirinya. Rambut hitam panjang menggantikan rambut pendeknya. Kulit putih mulus menggantikan kulitnya yang kecokelatan. Ia mengenakan gaun sutra berwarna merah marun yang membalut tubuh rampingnya dengan sempurna. Kalung berlian berkilauan di lehernya, senilai lebih dari gaji setahunnya sebagai guru TK.
"Apa yang terjadi?" bisiknya gemetar. Rani mencoba mengingat kecelakaan yang menimpanya.
Flashback
Pagi itu, Rani sedang berjalan kaki menuju sekolah tempatnya mengajar TK. Jalanan cukup ramai dengan lalu lintas pagi hari. Rani, yang biasanya selalu berhati-hati, hari itu sedikit tergesa-gesa karena khawatir terlambat.
Saat ia hendak menyeberang jalan, lampu penyeberangan masih berwarna merah. Namun Rani, yang melihat jalan agak lengang, memutuskan untuk menyeberang. Ia tidak menyadari sebuah mobil sport mewah yang melaju kencang dari tikungan.
Mobil sport itu dikemudikan oleh seseorang melaju kencang menabraknya hingga terpental beberapa meter. Mobil itu sendiri kemudian oleng dan menabrak tiang lampu jalan.
Lamunan Rani tiba-tiba buyar saat seseorang membuka pintu kamar. Seorang pria tampan berjas mahal masuk, wajahnya datar tanpa emosi.
"Kau sudah bangun," ujarnya dingin. "Cepat bersiap. Kita ada acara amal dalam satu jam."
Rani terpaku. Ia mengenali pria itu , Dimas Pratama, konglomerat terkenal yang sering muncul di televisi. Dan pria itu memanggilnya seperti... istrinya?
Perlahan, kepingan ingatan asing merasuki pikirannya. Ia adalah Adinda Pratama, istri Dimas. Mereka menikah enam bulan lalu dalam pesta megah yang jadi perbincangan seantero negeri.
Namun ingatan itu terasa palsu. Jauh di lubuk hatinya, Rani tahu ia bukan Adinda. Entah bagaimana, jiwanya telah berpindah ke tubuh wanita lain.
Saat Dimas berbalik pergi, Rani melihat tatapan dinginnya. Tak ada cinta di sana, hanya kekosongan. Ia teringat gosip yang beredar bahwa pernikahan Dimas dan Adinda hanyalah sandiwara, sebuah kesepakatan bisnis antara dua keluarga berpengaruh.
Saat Dimas berbalik pergi, Rani melihat tatapan dinginnya. Tak ada cinta di sana, hanya kekosongan. Ia teringat gosip yang beredar, bahwa pernikahan Dimas dan Adinda hanyalah sandiwara, sebuah kesepakatan bisnis antara dua keluarga berpengaruh.
Rani kembali menatap pantulan dirinya di cermin, jemarinya gemetar menyentuh wajah asing yang kini menjadi miliknya.
"Nyonya Adinda," panggil sebuah suara lembut.
Rani berbalik, mendapati seorang wanita paruh baya berseragam rapi berdiri di ambang pintu.
"Saya Bi Inah, asisten rumah tangga Anda," ujar wanita itu sopan. "Tuan Dimas menunggu di bawah. Mobil sudah siap."
Rani mengangguk kaku, berusaha menenangkan detak jantungnya yang menggila. Ia melangkah keluar, mengikuti Bi Inah menyusuri lorong-lorong marmer mansion megah keluarga Pratama.
Di ruang tengah, Dimas berdiri membelakanginya, berbicara di telepon dengan nada tegas. Rani mengamati sosoknya - tegap, berwibawa, dan tampan. Namun ada sesuatu yang dingin, hampir kejam, dalam caranya bergerak.
Dimas mengakhiri panggilannya dan berbalik. Matanya menyapu tubuh Rani tanpa emosi, seolah menilai sebuah aset.
"Kau tampak... memadai," ujarnya datar. "Ayo berangkat. Jangan membuatku terlambat."
Di mobil mewah yang meluncur membelah kota, Rani duduk kaku di samping Dimas. Pikirannya berkecamuk. Bagaimana ia bisa terjebak dalam situasi ini? Terakhir yang ia ingat, ia sedang menyeberang jalan menuju sekolah tempatnya mengajar. Ada suara klakson nyaring, lalu... kegelapan.
Mendadak, sebuah kenangan asing melintas di benaknya. Adinda adalah wanita yang tubuhnya kini ia tempati dan juga mengalami kecelakaan pada hari yang sama. Mobil sportnya menabrak truk di jalan tol. Apakah mungkin...?
"Kau ingat apa yang harus kau lakukan, bukan?" suara Dimas memecah lamunannya.
Rani mengangguk ragu, bersyukur ingatan Adinda membantunya. "Tersenyum, bersikap ramah, dan... menandatangani cek sumbangan."
Dimas mendengus. "Dan jangan sampai kau membocorkan rahasia kita pada wartawan. Ingat perjanjian kita."
Rani menelan ludah. Perjanjian apa? Namun sebelum ia sempat bertanya, mobil mereka berhenti. Kamera-kamera wartawan langsung menyorot, menyilaukan matanya.
Saat Dimas membukakan pintu dan mengulurkan tangan, Rani menarik napas dalam. Ia harus bertahan, setidaknya sampai ia mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Dan mungkin... menemukan jalan pulang ke kehidupannya yang dulu.
Sementara itu, jauh disana si pemilik mobil sport terbaring koma di rumah sakit umum, Ia adalah si istri konglomerat, Adinda yang berada di dalam tubuh asli Rani.
Sedangkan disampingnya, seorang pria muda duduk menggenggam tangannya erat. Air mata mengalir di pipinya.
"Rani, kumohon bangunlah," bisiknya parau. "Aku mencintaimu. Kembalilah padaku."
Pria itu adalah Bima, tunangan Rani, ia tak menyadari bahwa yang terbaring koma bukanlah tunangannya, melainkan Adinda.
tiba-tiba terdengar suara langkah kaki mendekat membuat Bima mengangkat wajahnya. Dokter Surya, dokter senior yang menangani Rani, masuk ke dalam ruangan. Raut wajahnya yang serius membuat jantung Bima berdegup kencang.
"Bima," panggil Dokter Surya lembut, "bisa kita bicara sebentar?"
Bima mengangguk pelan, enggan melepaskan tangan tunangannya. "Tentu, Dok. Bagaimana... bagaimana kondisi Rani?"
Dokter Surya menarik napas panjang sebelum menjawab. Matanya memancarkan simpati saat ia berkata, "Kondisinya masih kritis, Bima. Kami sudah melakukan semua yang kami bisa selama satu minggu, tapi..."
"Tapi apa, Dok?" potong Bima, suaranya bergetar menahan emosi. "Tolong katakan yang sebenarnya. Saya siap mendengarnya."
Dokter paruh baya itu menghela napas berat. "Rani mengalami cedera kepala yang cukup parah. Saat ini, kami tidak bisa memastikan apakah dan kapan dia akan sadar."
Kata-kata itu menghantam Bima bagai palu godam. Ia merasakan dunianya seolah runtuh dalam sekejap. "Maksud dokter... Rani mungkin tidak akan bangun lagi?" tanyanya lirih, suaranya nyaris tak terdengar.
Dokter Surya meletakkan tangannya di bahu Bima, berusaha memberi kekuatan. "Saya tidak bisa mengatakan itu dengan pasti. Dalam kasus seperti ini, kita harus siap menghadapi segala kemungkinan."
Air mata yang sejak tadi Bima tahan akhirnya tumpah. Ia menunduk, bahunya berguncang menahan isak. "Apa yang harus saya lakukan, Dok?" tanyanya di sela tangis.
"Teruslah berdoa dan beri dia dukungan," jawab Dr. Surya lembut. "Bicaralah padanya. Terkadang, pasien koma bisa mendengar suara orang-orang yang mereka cintai."
Bima mengangguk pelan, matanya kembali menatap wajah pucat tunangannya yang terbaring diam. Betapa ia merindukan senyum cerahnya, tawa riangnya yang selalu menghangatkan hati.
"Dan Bima," lanjut Dokter Surya dengan hati-hati, "saya tahu ini berat, tapi... mungkin sebaiknya keluarga mulai mempersiapkan diri untuk segala kemungkinan."
Kata-kata itu menusuk hati Bima. Ia tahu apa yang dokter maksud, namun hatinya menolak untuk menerima. "Saya mengerti, Dok," bisiknya parau. "Terima kasih."
Dokter Surya mengangguk simpati sebelum meninggalkan ruangan, meninggalkan Bima sendirian dengan pikirannya yang berkecamuk. Pemuda itu kembali menggenggam tangan Rani, air matanya jatuh membasahi jemari kekasihnya yang dingin.
"Rani, kumohon," bisiknya lirih, suaranya penuh permohonan. "Kembalilah padaku. Aku akan selalu menunggumu. Selalu."
Blitz kamera menyilaukan mata Rani saat ia melangkah keluar dari Rolls-Royce hitam mengkilap, tangannya bertaut dengan Dimas. Senyum palsu terpatri di wajahnya, hasil dari latihan bertahun-tahun Adinda di depan cermin. Gaun merah marunnya berkilau di bawah cahaya lampu sorot, membuat para wartawan semakin bersemangat.
"Nyonya Adinda! Tuan Dimas! Sebelah sini!"
"Nyonya, bagaimana perasaan Anda menyumbang untuk rumah sakit anak?"
"Tuan Dimas, apa rencana ekspansi bisnis Anda selanjutnya?"
Teriakan wartawan membahana. Rani berusaha keras menahan diri agar tidak menoleh setiap kali nama 'Adinda' disebut. Ia harus terbiasa, setidaknya untuk sementara.
"Tersenyumlah lebih lebar," bisik Dimas di sela-sela lampu blitz. "Mereka suka melihat gigi putihmu itu."
Rani menurut, meski otot-otot wajahnya terasa kaku. Ia bisa merasakan tatapan menilai Dimas, seolah mengukur setiap gerak-geriknya.
Dimas membimbingnya memasuki gedung megah tempat acara amal diselenggarakan. Tangannya di pinggang Rani terasa berat dan dingin. Rani menahan dorongan untuk menjauh.
"Ingat," bisik Dimas tepat di telinganya saat mereka melewati pintu masuk berlapis emas. "Kau mencintaiku. Kita pasangan bahagia. Jangan buat kesalahan seperti di acara terakhir."
"Kesalahan apa?" Rani bertanya pelan, namun Dimas mengabaikannya.
Rani mengangguk kaku. Mereka melangkah ke aula utama yang dipenuhi tamu-tamu berpakaian mewah. Aroma parfum mahal bercampur dengan bau champagne memenuhi udara. Lampu kristal raksasa menggantung di langit-langit, memantulkan cahaya keemasan ke seluruh ruangan.
"Dimas! Adinda! Senang kalian bisa hadir!"
Seorang pria paruh baya menghampiri mereka, diikuti wanita cantik yang terlihat lebih muda darinya. Rani merasakan ingatan Adinda membisikkan nama mereka: Gunawan Wiraatmaja, pemilik grup properti terbesar di negara ini, dan istrinya yang ketiga, Felicia.
"Gunawan, senang bertemu denganmu," Dimas menjabat tangan pria itu. "Bagaimana proyek di Bali?"
"Berjalan lancar. Berkat bantuanmu tentunya," Gunawan tertawa, perutnya yang buncit bergoyang. "Kau harus datang melihatnya sendiri. Resort kita akan jadi yang terbaik di Asia Tenggara."
"Tentu, aku akan mengatur jadwalku," Dimas tersenyum diplomatis.
Mata Gunawan beralih pada Rani. "Dan Adinda, kau semakin cantik saja. Bagaimana kabarmu, Nak?"
Rani tersenyum, bersyukur atas ingatan Adinda yang membantunya. "Baik sekali, Om Gunawan. Bagaimana dengan Tante Felicia?"
Felicia tersenyum, namun matanya menatap Rani dengan sorot yang sulit diartikan. Ada kilatan... kecurigaan? "Aku baik-baik saja, sayang. Oh, kudengar kau akan membuka butik baru?"
Rani terdiam sejenak. Butik? Ia tak menemukan ingatan apa pun tentang hal itu dalam kepala Adinda. Keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya.
"Ah, itu masih rencana," Dimas menyela cepat, tangannya meremas pinggang Rani sebagai peringatan. "Adinda masih fokus pada yayasan amalnya saat ini. Benar kan, sayang?"
Rani mengangguk, lega atas intervensi Dimas. "Benar. Yayasan adalah prioritas utama saya saat ini."
"Yayasan?" Felicia menaikkan alisnya. "Bukankah minggu lalu kau bilang ingin fokus di dunia fashion?"
Jantung Rani berdegup kencang. Ia bisa merasakan tatapan tajam Dimas padanya.
"Ah, itu..." Rani tergagap.
"Istriku punya banyak minat," Dimas tertawa, suaranya terdengar sedikit tegang. "Tapi untuk saat ini, kami sepakat yayasan lebih penting. Bukan begitu, sayang?"
Rani mengangguk cepat. "Benar sekali. Membantu sesama adalah passionku."
Felicia masih menatapnya curiga, tapi untungnya Gunawan mengalihkan pembicaraan.
"Ngomong-ngomong soal membantu sesama," ujarnya. "Kudengar kalian akan menyumbang cukup besar malam ini?"
Dimas tersenyum lebar. "Tentu saja. Kami percaya berbagi adalah bentuk syukur atas kesuksesan kami."
"Ah, sungguh mulia," Gunawan mengangguk-angguk. "Berapa yang akan kalian sumbangkan, kalau boleh tahu?"
Dimas tersenyum misterius. "Itu akan jadi kejutan nanti. Tapi aku jamin, jumlahnya cukup untuk membuat headline besok."
"Oh, selalu penuh kejutan," Felicia tertawa kecil. "Ngomong-ngomong Adinda, bagaimana kabar ibumu? Kudengar beliau sedang tidak enak badan?"
Rani terkesiap. Ibu Adinda? Ia sama sekali tidak punya informasi tentang ini.
"Eh... beliau..." Rani tergagap.
"Sudah jauh lebih baik," Dimas kembali menyelamatkan situasi. "Berkat perawatan intensif dari dokter terbaik. Iya kan, sayang?"
Rani mengangguk cepat. "Be-benar. Ibu sudah membaik."
"Syukurlah," Felicia tersenyum, tapi matanya masih menyiratkan kecurigaan. "Mungkin kita bisa mengunjunginya bersama minggu depan?"
"Ah, sayangnya minggu depan jadwal kami sangat padat," Dimas menjawab cepat. "Mungkin lain kali?"
"Tentu, tentu," Gunawan menepuk bahu Dimas. "Kalian pasangan muda yang sibuk. Oh! Itu bukannya Menteri Keuangan di sana? Ayo kita sapa dia, Dimas."
Dimas mengangguk. "Tentu. Adinda sayang, kau tidak keberatan kan kalau aku tinggal sebentar?"
"Tidak apa-apa," Rani tersenyum lemah.
Percakapan berlanjut, namun pikiran Rani melayang jauh. Ia merasa seperti boneka, digerakkan oleh tali-tali tak terlihat. Setiap kata yang ia ucapkan, setiap senyum yang ia berikan, semua terasa palsu. Aroma parfum mahal dan champagne yang memenuhi udara terasa menyesakkan.
"Aku akan mengobrol dengan Tante Felicia," ujar Rani pelan pada Dimas.
Dimas mengangguk kaku. "Jangan lama-lama. Dan ingat..."
"Iya, aku tahu," potong Rani, berusaha tersenyum. "Aku mencintaimu, kita pasangan bahagia."
Begitu Dimas dan Gunawan pergi, Felicia langsung menarik Rani ke sudut ruangan yang lebih sepi. Suara musik jazz lembut mengalun di kejauhan.
"Oke, Adinda. Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Felicia tajam. Aroma parfum mahalnya tercium kuat.
"Ma-maksud Tante?" Rani berusaha terdengar tenang, meski jantungnya berdegup kencang.
"Jangan pura-pura," Felicia menyipitkan mata. "Kau bertingkah aneh sejak tadi. Kau lupa soal butikmu, soal ibumu... Ada apa sebenarnya?"
Rani menelan ludah, tangannya gemetar memegang gelas champagne. "Saya... saya hanya sedang tidak enak badan, Tante. Mungkin kecapekan."
Felicia menatapnya lekat, matanya yang berpengalaman seolah bisa menembus kebohongan Rani. "Ini bukan hanya soal hari ini. Kau sudah aneh beberapa minggu terakhir. Apa Dimas... melakukan sesuatu padamu?"
"Tidak!" Rani menjawab cepat, terlalu cepat. "Dimas... dia suami yang baik."
"Benarkah?" Felicia memiringkan kepalanya, anting berliannya berkilau tertimpa cahaya lampu kristal. "Karena kau tahu, Adinda... kalau kau butuh bantuan, kau bisa cerita padaku. Aku tahu pernikahanmu dengan Dimas hanya sandiwara, tapi jika dia menyakitimu..."
"Tidak, Tante. Sungguh, tidak ada apa-apa," Rani berusaha tersenyum meyakinkan, meski keringat dingin mulai membasahi keningnya.
Felicia menghela napas, aroma mint tercium dari napasnya. "Baiklah. Tapi ingat, kau punya pilihan, Adinda. Jangan biarkan dirimu terjebak dalam situasi yang tidak kau inginkan."
"Maksud Tante?" tanya Rani hati-hati.
"Kau tahu maksudku," Felicia merendahkan suaranya. "Jika kau ingin keluar dari pernikahan ini, aku bisa membantumu. Aku punya koneksi yang bisa..."
Sebelum Felicia menyelesaikan kalimatnya, Dimas kembali menghampiri mereka. Senyumnya lebar, tapi tidak mencapai matanya.
"Maaf mengganggu obrolan kalian, ladies," ujarnya dengan suara berat yang dibuat-buat ramah. "Tapi sudah waktunya untuk pidato dan penyerahan sumbangan. Kau siap, sayang?"
Rani mengangguk kaku, merasakan tangan Dimas yang dingin di pinggangnya. "Tentu."
Saat berjalan menuju podium, Rani berbisik pada Dimas, "Apa yang harus kukatakan?"
"Tidak usah bicara apa-apa," jawab Dimas dingin. "Cukup tersenyum dan tandatangani ceknya. Biar aku yang urus sisanya."
Rani akhirnya menurut dan Dimas membawanya ke podium. Ini saatnya memberikan sumbangan. Rani merasakan tatapan ratusan pasang mata tertuju padanya.
"Saya dan istri tercinta, Adinda," Dimas memulai pidatonya dengan suara lantang, "dengan bangga menyumbangkan dana sebesar sepuluh miliar rupiah untuk pembangunan rumah sakit anak."
Tepuk tangan meriah memenuhi ruangan. Rani melihat kilatan lampu blitz dari para fotografer.
"Kami percaya bahwa anak-anak adalah masa depan bangsa," Dimas melanjutkan. "Dan mereka berhak mendapatkan fasilitas kesehatan terbaik."
Rani maju, tangannya gemetar memegang pena untuk menandatangani cek. Jumlah uang yang tertulis di sana lebih besar dari apa yang bisa ia bayangkan. Sebagai guru TK, gajinya bahkan tak cukup untuk membayar satu malam di hotel tempat acara ini digelar.
"Silakan, Nyonya Adinda," seorang panitia menyodorkan cek padanya. "Tanda tangan Anda di sini."
Rani menatap kertas di hadapannya. Sepuluh miliar rupiah. Dengan uang sebanyak itu, ia bisa membangun puluhan TK di daerah terpencil. Ia bisa memberi makan ribuan anak jalanan. Tapi di sini, uang sebesar itu hanya untuk pencitraan semata.
"Adinda?" Dimas berbisik, nada suaranya memperingatkan.
Rani tersadar dari lamunannya. Ia cepat-cepat menandatangani cek, berusaha meniru tanda tangan Adinda yang pernah ia lihat di dokumen-dokumen di rumah.
Tepuk tangan kembali membahana saat Rani menyerahkan cek itu pada perwakilan yayasan rumah sakit. Ia memaksakan senyum, berharap tidak ada yang menyadari kegugupannya.
Setelah acara formal berakhir, para tamu mulai berbaur. Rani berdiri di sudut ruangan, segelas champagne di tangan sebagai tameng. Ia mengamati orang-orang di sekitarnya. Tawa dan obrolan mereka terdengar palsu di telinganya.
"Membosankan, bukan?"
Rani terlonjak. Felicia sudah berdiri di sampingnya, tersenyum misterius. Wanita itu memegang segelas martini, cincin berliannya berkilau di bawah cahaya lampu.
"Maaf?" Rani berusaha menjaga suaranya tetap tenang.
"Semua sandiwara ini," Felicia mengedikkan bahu ke arah kerumunan. "Kau terlihat tidak nyaman. Tidak biasanya."
Rani menegang. Apakah aktingnya sebagai Adinda begitu buruk?
"Saya... hanya sedikit lelah," Rani berusaha tersenyum. "Banyak yang harus diurus akhir-akhir ini."
Felicia menatapnya lekat. "Kau berbeda, Adinda. Ada sesuatu yang berubah." Ia memiringkan kepalanya. "Apa yang sebenarnya terjadi antara kau dan Dimas?"
Rani merasakan jantungnya berdegup kencang. "A-apa maksud Tante?"
"Oh, ayolah," Felicia tertawa kecil. "Kita berdua tahu pernikahan kalian hanya sandiwara. Tapi akhir-akhir ini... kalian terlihat lebih canggung dari biasanya."
Sebelum Rani sempat menjawab, Dimas muncul di sampingnya. Wajahnya terlihat tegang. "Maaf, Felicia. Aku harus membawa istriku pergi. Ada urusan penting yang harus kami selesaikan."
Tanpa menunggu jawaban, Dimas menarik Rani menjauh. Cengkeramannya di lengan Rani terasa menyakitkan.
"Apa yang kau bicarakan dengan Felicia?" desis Dimas saat mereka sudah di luar gedung. Udara malam yang dingin menerpa wajah Rani.
"Tidak ada," Rani menjawab jujur. "Dia hanya..."
"Cukup!" Dimas memotong, matanya berkilat marah. "Kau hampir saja mengacaukan segalanya. Ayo pulang."
Rani menurut, tidak berani membantah. Saat mobil mereka meluncur menembus malam, ia menatap keluar jendela, memandangi kerlip lampu kota. Dalam hati, ia bertanya-tanya, akankah ia bisa menemukan jalan pulang ke kehidupannya yang dulu?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!