NovelToon NovelToon

Legenda Sang Ratu Shang Yuan

Luna Shang Yuan (Arc 1: Seruling Perak Yueliang)

Malam di Kerajaan Shang Yuan begitu megah, dipenuhi cahaya bulan yang lembut dan bintang-bintang berkelip di langit.

Di halaman belakang istana, Ratu Luna Shang Yuan melangkah anggun di antara taman bunga yang mekar, aroma harum menyelimuti sekelilingnya. Dia menepi di tepi kolam yang tenang, melihat riak-riak halus yang menciptakan bayangan siluet di permukaan air.

Luna memperhatikan Riak-riak itu dan berbicara pelan kepada dirinya sendiri, "Mengapa, manusia sulit menghargai alam."

Tiba-tiba, bayangan-bayangan hitam melesat melewati pembatas kerajaan, menyerupai hewan serigala buas. Mereka bergerak cepat, berputar mengelilingi Luna, menciptakan suasana mencekam.

"Bagaimana siluman-siluman ini bisa masuk kedalam istanaku?"

Kedua sorot mata Luna menyipit, menilai setiap gerakan mereka dengan ketenangan seorang Ratu. Dalam diam, dia mengeluarkan seruling peraknya bernama Yueliang, yang selalu dibawanya dibalik ikat pinggang.

Ketika bayangan-bayangan itu menyadari ada celah disekitar Luna yang sedang berdiri tenang, mereka melompat dan menerjang ke arahnya dengan raungan menakutkan.

Namun, Luna tidak menunjukkan rasa takut. Dengan penuh ketenangan, dia meniup serulingnya, jemari halusnya menari di atas lubang-lubang seruling, mengeluarkan melodi merdu yang mengalun lembut namun penuh kekuatan.

Suara itu mengalir seperti aliran angin, menciptakan tekanan yang cukup untuk menghempaskan bayangan-bayangan itu, membuat mereka terhempas sekaligus memudar ke dalam kegelapan malam.

Namun, bayangan-bayangan itu mulai berkumpul kembali, kali ini menyatu menjadi sosok siluman ular yang besar, dengan mata merah menyala dan sisik mengkilap.

Luna berhenti bermain melodinya, dia sedikit terkejut dengan sosok itu, "Demi kenyamanan kerajaan yang kupimpin, aku harus segera mengakhirinya."

Ular itu mendesis, memancarkan aura menakutkan, sosok itu siap melahap apa pun di hadapannya. Luna tetap berdiri tegak, tidak terpengaruh oleh ancaman tersebut. Dengan tenang, dia membentangkan seruling di hadapannya, mengusapnya lembut. Dalam sekejap, seruling perak itu bertransformasi menjadi pedang berkilau, tajam dan anggun.

Luna menyodorkan pedangnya kearah sosok siluman itu, "Dengan kekuatan takdir—" suara Luna tenang, namun tegas.

Dia menutup matanya, merasakan aliran energi di sekelilingnya. Siluman ular itu membuka mulutnya, bergerak cepat untuk menelan Luna. Namun, dengan mata yang perlahan terbuka, Luna mengucapkan sesuatu dengan sangat tenang, "Aku akan menghukummu!"

Suhu di sekelilingnya tiba-tiba berubah menjadi sangat dingin, udara yang semula hangat menjadi menggigil. Siluman ular yang meluncur mendekati Luna mulai melambat, seolah terjebak dalam es yang tak terlihat.

Saat hampir menyentuh Luna, siluman itu beku dalam gerakannya yang terpaku, terperangkap dalam dinginnya kekuatan sihir Luna. Perlahan-lahan seluruh tubuh siluman itu membeku, memicu udara yang sangat dingin.

Dengan mata terpejam, Luna memainkan pedangnya dengan anggun. Setiap gerakan adalah tarian, setiap ayunan mengeluarkan kekuatan yang memecah keheningan malam. Siluman ular itu hancur berantakan, serpihan-serpihan es diselimuti oleh kegelapan menyebar ke sekelilingnya, menciptakan tekanan udara dingin yang menyelimuti Luna.

Dengan satu tarikan napas, Luna menatap ke arah langit, "Lagi-lagi... Aku merenggut nyawa makhluk hidup yang tak berdosa."

...- Disinilah Kisah Luna Bergulir sebagai Ratu yang bijaksana -...

...

...

Di sebuah negeri yang jauh, tersembunyi di balik pegunungan yang tertutup kabut, hiduplah seorang perempuan bernama Luna Shang Yuan. Dia dikenal karena suaranya yang merdu dan indah, mampu menenangkan jiwa siapa pun yang mendengarnya. Dalam keheningan alam, Luna sering mengungkapkan pandangannya.

"Menyaksikan gunung yang tertutup kabut, sungai yang tenang mengalir, dan rusa yang menepi di pinggir sungai, manusia belajar bahwa keindahan sejati terletak pada ketenangan dan harmoni alam. Hanya dengan meresapi momen-momen seperti ini, manusia menemukan kedamaian dalam diri sendiri."

Suara Luna bagaikan alunan angin yang berbisik di antara dedaunan, memikat dan mempesona. Dengan balutan hanfu putih yang longgar dan anggun, ia memancarkan aura yang penuh kedamaian. Jubah panjangnya berkibar lembut saat dia melangkah, menciptakan kesan anggun dan penuh rahasia. Di balik hanfunya, tersimpan dua benda yang selalu menemaninya, sebuah belati tajam dan seruling peraknya.

Luna adalah sosok yang cantik alami. Rambutnya panjang dan hitam pekat, terurai bebas hingga pinggang, berkilau seperti sutra di bawah sinar matahari. Wajahnya indah, dengan kulit sehalus porselen, dihiasi sepasang alis rapi dan mata besar yang memancarkan kelembutan. Bibirnya berwarna merah alami, selalu tersenyum tipis, menambah pesona pada keseluruhan penampilannya. Tangan Luna halus dan lentik, setiap gerakannya memancarkan keanggunan. Dia mengenakan perhiasan sederhana, sepasang anting mutiara yang menggantung ringan di telinganya dan gelang perak yang melingkar di pergelangan tangannya.

Ketika itu, dari balik semak-semak, seekor kelinci putih kecil keluar. Bulunya seputih salju dan matanya berkilauan seperti butiran mutiara. Kelinci itu melompat-lompat dengan lincah, mendekati Luna yang berdiri dengan rasa ingin tahu. Luna tersenyum, senyum yang mampu menenangkan hati siapa pun yang melihatnya, bahkan hewan sekalipun.

"Sepertinya kamu ketakutan," katanya dengan suara halus.

Dia perlahan-lahan meraih kelinci itu dengan tangan halusnya, gerakannya lembut dan penuh kasih sayang. Jari-jarinya yang lentik menyentuh bulu kelinci yang lembut, dan kelinci itu tampak merasa aman dalam pelukannya. "Tenang saja, tidak ada yang membahayakanmu di sini, kelinci manis."

Namun, suasana tiba-tiba berubah ketika suara auman terdengar dari balik semak-semak. Dari dalam bayangan pepohonan, seekor serigala buas muncul, matanya tajam menatap kelinci itu dengan kelaparan. Serigala itu adalah makhluk yang menakutkan, dengan tubuh besar dan bulu kasar berwarna abu-abu gelap. Taringnya yang tajam terlihat jelas saat ia mengaum, menandakan ancaman yang nyata.

Luna tetap menampilkan senyuman lembut kepada sang kelinci, "Kelinci manis, kamu mengalami hari yang sulit ya."

Namun, ketika serigala itu melihat Luna, ia terdiam. Matanya yang penuh kebuasan seakan terhalang oleh kehadiran Luna yang penuh ketenangan. Luna tetap berdiri tegak, tidak menunjukkan rasa takut sedikit pun. Dengan penuh kasih sayang, dia memeluk kelinci itu erat-erat, melindunginya dari bahaya yang mengancam. Serigala itu, yang sebelumnya terlihat ganas, kini tampak ragu.

"Pergilah!" perintah Luna kepada serigala itu dengan suara yang tenang namun tegas.

Melihat tatapan mata Luna yang penuh ketenangan dan kekuatan, serigala itu berbalik dan lari ketakutan, menghilang kembali ke dalam kegelapan hutan. Luna menatap kepergian serigala itu sejenak sebelum kembali memperhatikan kelinci di pelukannya. Dia mengelus lembut kepala kelinci itu, memberikan rasa aman yang mendalam.

"Tidak ada ketakutan di hatimu yang mungil, kelinci manis."

Luna Shang Yuan, yang dikenal dengan julukan Moonlit Empress, dia adalah pengguna Aura Qi Mutlak yang sedingin Es. Ketika dia menunjukkan Hakinya, orang-orang yang berhadapannya merasakan adrenalin berbahaya, menciptakan rasa ketakutan dan intimidasi. Itulah yang dirasakan oleh serigala buas saat menghadapi sosoknya, sosok yang mampu menaklukkan kegelapan dengan seribu ketenangan.

Teh Yui Zheng

Saat Luna berjalan melewati gerbang Kerajaan Shang Yuan, sebuah struktur megah yang menjulang tinggi dengan ukiran-ukiran rumit di permukaannya.

Pintu gerbang yang terbuat dari kayu kokoh itu perlahan terbuka, memperlihatkan jembatan batu yang membentang di atas sungai yang jernih.

Air sungai mengalir tenang di bawahnya, memantulkan kilauan matahari pagi yang membuat pemandangan semakin indah.

Di sepanjang jembatan, bunga-bunga berwarna-warni tumbuh subur, menambah keindahan alami tempat itu.

Penjaga gerbang yang mengenakan baju besi berkilauan menyambut Luna dengan hormat. Mereka membuka jalan dengan penuh penghormatan, mengetahui bahwa kedatangan Luna adalah sebuah kehormatan besar bagi mereka.

Luna melangkah masuk ke dalam kerajaan dengan anggun, setiap langkahnya membawa aura ketenangan yang menyebar ke sekelilingnya.

Saat Luna berjalan di sepanjang jalan-jalan kerajaan, penduduk keluar dari rumah-rumah mereka untuk menyambutnya.

Wajah mereka dipenuhi senyuman, mata mereka bersinar dengan kegembiraan. Anak-anak berlari mendekat, melambai-lambaikan tangan kecil mereka, berharap mendapat perhatian dari Luna.

Luna, dengan senyuman lembut yang selalu menghiasi wajahnya, menyapa setiap orang yang ditemuinya, memberikan sentuhan hangat yang membuat hati mereka terasa damai dan tenang. Kehadirannya membawa keceriaan dan ketenangan yang begitu dalam.

Setelah melewati jalan-jalan penuh dengan keramahan penduduk, Luna akhirnya tiba di kastilnya yang indah.

Kastil itu berdiri megah dengan dinding-dinding putih yang dihiasi oleh tanaman merambat hijau. Di sekeliling kastil, terdapat kolam-kolam yang dipenuhi oleh angsa-angsa putih yang berenang anggun di atas permukaan air.

Kolam-kolam itu dihiasi oleh bunga teratai yang bermekaran, menambah keindahan alam sekitar kastil.

Di tengah taman kastil, terdapat air mancur yang mengeluarkan suara gemericik air yang menenangkan.

Patung-patung marmer yang elegan berdiri di sekitar taman, menambah kesan megah dan artistik. Luna melangkah ke dalam taman, menghirup udara segar yang dipenuhi oleh aroma bunga-bunga yang harum.

Angsa-angsa di kolam berenang mendekat, seolah-olah menyambut kedatangannya.

Luna berdiri di tepi kolam, menatap keindahan sekitarnya dengan rasa syukur.

Tempat ini adalah simbol kedamaian dan keindahan, sebuah tempat di mana dia selalu merasa tenang dan damai.

"Aku ingin sekali semua orang merasakan hal yang sama sepertiku, tanpa memandang berbagai kasta, manusia tetaplah sama."

Luna tahu bahwa di sini, di Kerajaan Shang Yuan, dia menemukan rumah yang penuh cinta dan ketenangan, tempat di mana setiap orang yang berada di dekatnya dapat merasakan keindahan yang sama.

Kemudian. Seorang pelayan perempuan muda bernama Mei Ling mendekati Luna dengan langkah yang anggun, mengenakan pakaian tradisional berwarna merah muda dengan hiasan bordir bunga yang indah.

Di tangannya, ia membawa nampan perak yang berisi cangkir-cangkir porselen halus dan sebuah teko teh berornamen emas. Aroma harum teh yang segar menyebar di udara, menambah suasana damai di sekitar sana.

"Teh Yui Zheng, Nona Luna," kata Mei Ling dengan suara lembut, suaranya seiring dengan ketenangan taman yang mengelilingi mereka.

Dia menawarkan teh itu dengan penuh rasa hormat, menundukkan sedikit tubuhnya sebagai tanda penghormatan.

Luna menatap Mei Ling dengan mata yang lembut dan penuh kasih sayang.

Senyum tipis terukir di bibirnya, membuat wajahnya semakin bercahaya. Dengan gerakan anggun, Luna mengangguk pelan, menyetujui tawaran teh hangat itu.

Anggukannya begitu indah dan penuh keanggunan, seperti anggukan seorang ratu yang bijaksana.

"Terima kasih Mei Ling, aku akan meminumnya," kata Luna dengan suara merdu yang selalu membawa ketenangan. Dia mengambil cangkir teh dari nampan dengan tangan halusnya, merasakan kehangatan yang menyebar dari porselen itu ke telapak tangannya.

Saat Luna membawa cangkir teh itu ke bibirnya, dia menutup matanya sejenak, menikmati aroma teh yang harum.

Ketika dia menyesapnya, rasa hangat dan segar dari Teh Yui Zheng memenuhi mulutnya, memberikan sensasi yang menenangkan. Luna membuka matanya kembali, menatap Mei Ling dengan rasa sayang meskipun seorang pelayan. "Mei Ling, setelah malam tiba kamu bagikan teh ini kesemua orang ya,"

"Teh ini akan membantu mereka setelah menghadapi letihnya dunia." imbuhnya halus, melebarkan senyuman yang paling manis.

Mei Ling, merasa bahagia karena bisa menyenangkan Luna, tersenyum lembut. "Baik, Nona."

Besok paginya, sebelum matahari terbit, Luna bangun dari tidurnya. Ruangan tidurnya masih remang-remang, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang masuk melalui jendela besar di sisi ruangan.

Dengan langkah ringan, Luna mengenakan jubah panjang berwarna putih yang terbuat dari sutra lembut. Rambut hitamnya yang panjang tergerai bebas di punggungnya, memberikan kesan anggun dan penuh kedamaian.

Luna keluar dari kamarnya dan berjalan menyusuri koridor kastil yang panjang.

Koridor itu dihiasi dengan lampu-lampu minyak yang memberikan cahaya lembut, membuat bayangan Luna tampak melayang di dinding-dinding batu yang dingin. Langkahnya hampir tidak terdengar, seperti hembusan angin pagi yang lembut.

Di ujung koridor, Luna melihat seorang penjaga yang tengah berdiri tegak di posnya. Penjaga itu mengenakan baju besi yang berkilauan di bawah cahaya lampu, dengan ekspresi wajah yang tegas dan penuh tanggung jawab.

Luna menghampirinya dengan senyum lembut yang selalu membuat siapa pun merasa tenang.

"Selamat pagi, Yang Mulia," sapa penjaga itu dengan suara rendah namun penuh rasa hormat, menundukkan kepalanya sedikit sebagai tanda hormat.

Luna membalas dengan senyum penuh kelembutan. "Selamat pagi. Terima kasih atas dedikasimu menjaga kastil ini sepanjang malam," ucapnya dengan suara yang menenangkan.

Penjaga itu mengangguk, wajahnya tetap menunjukkan keseriusan. Namun, Luna bisa melihat kelelahan di matanya, tanda bahwa dia telah berjaga sepanjang malam tanpa istirahat.

"Sudah saatnya kamu beristirahat," kata Luna dengan penuh perhatian. "Istirahatlah sekarang, dan biarkan dirimu pulih."

Penjaga itu tampak terkejut dan sedikit ragu. "Tetapi, Yang Mulia, tugasku adalah menjaga keselamatan Anda dan kastil ini."

Luna mengangguk dengan penuh pengertian. "Aku menghargai dedikasimu. Namun, istirahat juga penting agar kamu bisa tetap kuat dan waspada. Istirahatlah dengan tenang, dan biarkan yang lain melanjutkan tugasmu untuk sementara."

Mendengar kata-kata penuh perhatian dari Luna, penjaga itu akhirnya mengangguk dan tersenyum tipis. "Terima kasih, Yang Mulia," katanya dengan rasa terima kasih yang tulus. Dia kemudian berjalan meninggalkan posnya, merasa lega dan bersyukur atas perhatian yang diberikan oleh Luna.

Luna menatapnya pergi, merasa puas karena telah memberikan perhatian yang dibutuhkan. Dia kemudian melanjutkan perjalanannya di sepanjang koridor, menantikan fajar yang sebentar lagi akan menyingsing.

Luna berjalan menuju ruang utama kastil, langkah-langkahnya menggema lembut di lantai marmer yang dingin.

Ruang utama itu luas dan megah, dihiasi dengan pilar-pilar tinggi dan jendela-jendela besar yang memancarkan cahaya pagi yang lembut.

Di dinding-dindingnya tergantung berbagai lukisan keluarga dan pemandangan alam yang indah, menceritakan sejarah panjang Kerajaan Shang Yuan.

Di salah satu dinding, terdapat sebuah lukisan besar yang menampilkan orang tua Luna. Mereka berdiri berdampingan, dengan senyum hangat yang menghiasi wajah mereka.

Lukisan itu adalah peninggalan yang sangat berharga bagi Luna, mengingatkannya pada kasih sayang dan kebijaksanaan yang selalu mereka berikan kepada Luna.

Luna memperhatikan bahwa lukisan itu sedikit miring. Dengan lembut, dia mengangkat tangannya untuk membenarkannya, sentuhan jarinya yang halus mengatur posisi bingkai kayu yang besar.

Ketika lukisan itu kembali tegak sempurna, Luna memandanginya sejenak, mengenang masa-masa indah bersama orang tuanya.

Sementara Luna masih tenggelam dalam pikirannya, seorang pelayan bernama Mei Ling mendekatinya dengan langkah ringan. Mei Ling, yang selalu siap melayani dengan penuh dedikasi, menundukkan kepalanya sedikit sebagai tanda hormat sebelum berbicara.

"Yang Mulia, apakah ada sesuatu yang bisa saya bantu?" tanya Mei Ling dengan suara lembut.

Luna menoleh dan tersenyum lembut. "Mei Ling, aku ingin kamu menyebarkan berita penting nanti siang di depan kastil. Beritahukan kepada semua penduduk bahwa akan ada pengumuman penting."

Mei Ling mengangguk dengan penuh semangat. "Tentu, Yang Mulia. Saya akan memastikan semua orang tahu dan berkumpul tepat waktu."

Luna menatap Mei Ling dengan penuh rasa terima kasih. "Terima kasih, Mei Ling."

Mei Ling tersenyum senang, merasa bangga bisa membantu Luna. Dia segera berbalik dan berjalan dengan cepat untuk melaksanakan perintahnya, memastikan bahwa berita penting tersebut akan disampaikan kepada semua orang di Kerajaan Shang Yuan.

Luna berdiri sejenak di ruang utama, memandang ke arah lukisan orang tuanya sekali lagi.

Dia menarik napas dalam-dalam, pikiran mengatakan bahwa hari ini Luna harus membuat keputusan penting untuk berkelana sendirian sebagai seorang Ratu.

Pendekar Pengembara Sunyi

Di siang hari yang cerah, seorang pria mengenakan pakaian WuXia dengan kain putih yang agak kehijauan berjalan menyusuri hutan yang hening. Tudung lebar menutupi wajahnya, menyembunyikan identitasnya dari siapa pun yang mungkin melihatnya. Hutan di sekelilingnya tenang, hanya terdengar suara burung dan gemerisik dedaunan yang tertiup angin.

Saat pria itu berjalan di antara pepohonan yang tinggi, tiba-tiba seorang penjarah hutan melompat ke udara. Angin mengikuti gerakannya saat ia berputar di udara sebelum mendarat dengan gemilang di depan pria itu. Penjarahan itu adalah seorang wanita, dengan mata tajam yang penuh ancaman. Dia mengenakan hanfu serba hitam, menodongkan belati mengkilap ke arah pria itu.

"Serahkan barang-barangmu," katanya dengan suara penuh determinasi.

Pria itu terdiam, mengenali suara wanita tersebut. Dia menggigit tangkai tanaman yang diambilnya dari hutan, menampilkan senyum menyeringai yang tak menunjukkan rasa takut sedikit pun. Dengan tenang, dia merespons.

"Kau tahu, seorang wanita seharusnya ahli dalam menari, bukan ahli menjarah barang milik orang lain."

Sorot mata wanita itu semakin tajam. "Kalau begitu, rasakan tarianku!" balasnya dengan marah.

Dengan lincah, wanita itu terbang ke udara, menungkik tajam ke arah pria tersebut. Saat mendekat, dia melancarkan serangan belatinya dengan kecepatan tinggi, mengincar leher pria itu. Namun, pria tersebut tetap tak bergeming. Waktu seolah melambat ketika belati mendekati sasarannya.

SRINGGG!!

Waktu kembali normal seketika dengan bunyi dentingan senjata tajam yang memekik di sekitar hutan. Wanita itu terkejut, melihat pedang pria tersebut menahan serangannya dengan mudah. Matanya melebar penuh keheranan.

"Siapa kamu?!" tanyanya, suaranya menggambarkan ketidakpercayaan.

Pria itu mendorong senjatanya, memaksa wanita itu melompat ke belakang, menjaga jarak darinya. "Siapa kamu sebenarnya?!"

Dengan tenang, pria itu membuang tangkai tanaman yang digigitnya, membiarkannya jatuh ke tanah. "Aku berkelana menyusuri berbagai desa. Mungkin orang-orang sudah mengetahui siapa aku, siapa sosok diriku, siapa sosok pengembara ini," katanya sambil perlahan membuka tudung yang menutupi wajahnya.

Ketika tudung itu terbuka, terlihatlah wajah yang menawan dengan tatapan tenang. Rambutnya panjang dan diikat rapi. "Aku dikenal sebagai, pengembara sunyi, Zhenyu Shen!"

Angin bertiup lebih kencang, menghempaskan dedaunan di sekitar mereka. Wanita itu terpaku, terkejut melihat pria di depannya yang memiliki aura luar biasa. Zhenyu Shen memancarkan Haki, membuat wanita itu merasa gentar.

Zhenyu Shen menodongkan pedangnya ke arah wanita berpakaian hitam itu, sorot matanya penuh keyakinan. "Nona, seranganmu memang terlihat mematikan, tapi bagiku, itu tidak apa-apanya. Kenalilah suara burung di sekitar, aku mampu mendengarnya dari jarak sungai di sebelah selatan," ucapnya dengan tenang, tetapi penuh wibawa.

Wanita itu menyeringai, seolah masih menyembunyikan kemampuan yang lebih mematikan. "Jadi, kau memiliki pendengaran yang tajam ya?" tanyanya sinis. "Tapi, aku yakin... kau tak dapat menghindari kemampuanku!"

Zhenyu Shen tersenyum tipis dan memasang kuda-kuda. Dengan perlahan, dia memejamkan matanya. "Aku mendengar semuanya," ucapnya pelan sambil membuka kelopak matanya. Mata hitamnya memperhatikan wanita di depannya dengan tajam. "Aku mendengar takdirmu."

Wanita itu tidak membuang waktu, dia langsung menancapkan belatinya ke tanah. Suara logam yang menancap ke tanah terdengar tajam, menandakan betapa seriusnya dia ingin menunjukan kemampuannya yang kuat.

Dengan satu gerakan cepat, dia merapal tangan di depan dadanya, membentuk isyarat dengan dua jari. Tekanan angin kuat mulai keluar dari tubuhnya, memicu sekumpulan asap tebal yang mengelilinginya, menyembunyikan sosoknya dari pandangan Zhenyu Shen.

Zhenyu Shen tetap tenang, matanya menyipit saat dia mencoba menembus kabut tebal yang mengelilingi wanita itu. Dia menunggu, setiap ototnya siap untuk bereaksi terhadap serangan mendadak. Dalam ketegangan yang mencekam, terdengar suara wanita itu berteriak dari dalam kabut, "Dengarkan panggilanku!"

Zhenyu Shen menajamkan pendengarannya, memperhatikan dengan seksama setiap suara di sekitarnya. "Sepertinya dia memanggil sesuatu," pikirnya, tatapannya semakin fokus.

Dia dapat merasakan perubahan di udara, ada sesuatu yang besar dan kuat bergerak dalam kabut tersebut. Mata Zhenyu Shen berkilat saat dia menyadari bahwa serangan berikutnya mungkin bukan berasal dari wanita itu sendiri, melainkan dari makhluk yang dia panggil.

Di dalam kabut, suara gemuruh mulai terdengar, menggetarkan tanah di bawah kaki Zhenyu. Angin semakin kencang, dedaunan berputar-putar di sekitarnya. Zhenyu Shen tetap berdiri tegak, setiap inderanya waspada, dia siap menghadapi apapun yang muncul dari kabut tersebut.

Kabut itu semakin pekat, dan dari dalamnya, muncul sosok bayangan besar yang menakutkan. Zhenyu Shen mengencangkan genggaman pada pedangnya, "Sepertinya dia memanggil Roh hitam,"

Atmosfer semakin mencekam, Zhenyu Shen tak ada keraguan sedikitpun untuk menantikan wujud makhluk yang akan datang, sementara wanita itu tersenyum penuh percaya diri di balik kabut tebal.

Di tengah hutan yang tenang, suasana tiba-tiba berubah menjadi mencekam ketika wanita berpakaian hitam itu memicu tekanan angin, menghapus kabut yang menyelimutinya. Terlihat jelas di belakangnya muncul seekor makhluk besar menyerupai kelelawar, dengan sayap lebar yang menakutkan dan mata merah menyala.

Zhenyu Shen menyipitkan matanya, mengenali makhluk tersebut. "Itu adalah makhluk Yecha yang dikenal sebagai salah satu iblis malam," ucapnya dengan tenang.

Wanita itu tampak skeptis. Setiap orang yang melihat sosok Yecha biasanya akan lari ketakutan, tetapi Zhenyu Shen malah tersenyum manis. "Sebagai wanita, kau hebat juga bisa memanggil roh jahat itu," lanjutnya, berdiri tegak tanpa sedikit pun pertahanan. "Aku kira, kau akan memanggil seekor Yueliang atau sejenisnya yang dikenal sebagai Empat Kaisar Naga."

Zhenyu Shen menghembuskan napasnya, tatapannya tetap tenang. "Dari aliran mana kau mempelajari ilmu pemanggilan itu?"

Wanita itu kesal melihat aksi yang tak berkesan bagi pria tersebut. "Apakah kau meremehkanku?!" bentaknya.

Zhenyu Shen mengangkat tangannya sedikit. "Tidak, aku tidak meremehkanmu. Aku menghargai kerja kerasmu untuk memanggilnya ke dunia ini," jawabnya dengan nada santai.

"Lalu, kenapa kau tidak takut?!" tanya wanita itu, suaranya penuh emosi.

Siluet mulut Zhenyu Shen menyeringai. "Takut katamu? Tentu saja tidak. Bagiku mengalahkan iblis rendahan seperti Yecha sama halnya seperti aku mengkukus ubi ungu dan menjadikannya bahan sup hangat."

"Aku tak ingin mendengarkan ocehan bodohmu, itu bisa membuatku gila!" ucapnya kesal, tangannya memerintah makhluk panggilannya untuk menyerang pria di depannya. "Serang dia!"

Suasana semakin mencekam ketika kelelawar besar itu mengepakkan sayapnya dan terbang ke arah Zhenyu Shen dengan kecepatan tinggi. Angin berputar di sekitar mereka, menghempaskan dedaunan dan debu.

Namun, Zhenyu Shen tetap tenang. Dengan satu gerakan halus, dia membuka sedikit pedangnya dari selongsongnya. Tak perlu memakan waktu lama, muncul kilatan di antara tubuh makhluk tersebut dan suara tajam logam yang memekik, memecah kesunyian hutan.

Wanita itu terkejut, terbatuk dan tersentak ke belakang oleh dorongan yang kuat. Ketika dia menyadari apa yang terjadi, tubuhnya terhimpit oleh batu besar di belakangnya. Matanya terbuka lebar, terkejut melihat Zhenyu Shen yang kini berdiri di depannya, tangannya menyekik leher wanita itu dengan kuat.

Di belakang Zhenyu Shen, terlihat tubuh makhluk rakasasa yang terbelah dua, darah berceceran di tanah. Bambu-bambu di sekitar mereka nampak hening, hutan itu begitu sunyi, seolah menyaksikan keperkasaan Zhenyu Shen.

"Sudah kubilang, kan?" ucap Zhenyu Shen dengan suara mendominasi. "Aku mendengar takdirmu."

Wanita itu tak bisa berbicara, syok berat membuatnya terdiam. Tak lama kemudian, terdengar bunyi ayunan pedang yang mendesing.

Sringg!

Suara itu begitu tajam dan memekik, menyelesaikan pertarungan dengan cara yang paling dramatis. Zhenyu Shen tetap berdiri tegak, memancarkan aura kekuatan yang tak terbantahkan.

.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!