"Kau akan berangkat jam berapa ke Meksiko?" tanya Daniel, matanya tak lepas dari berkas-berkas penting yang sedang ia siapkan untuk perjalanan ke Chicago.
Lukas, yang tampak asyik dengan game online di ponselnya, menjawab tanpa mengalihkan pandangannya, "Nanti siang aku akan berangkat dengan jet pribadiku."
Dalam keheningan yang sesekali dipecahkan oleh suara klik ponsel Lukas dan desah nafas Daniel yang sibuk, terlintas tugas besar yang mereka emban. Sang bos, Aarav, telah memberikan kepercayaan besar kepada kedua pria ini. Daniel harus terbang ke Chicago untuk mengurus AG Company sementara Arthur berlibur dengan istrinya. Tugas itu diperberat dengan amanah menjaga Erina, adik perempuan Aarav, yang tinggal di Chicago.
Lukas, di sisi lain, mendapatkan tugas ke Meksiko. Ada masalah di cabang perusahaan di sana yang membutuhkan penanganan khusus. Meski tampak santai, pikiran Lukas sudah memetakan langkah-langkah strategis untuk menyelesaikan persoalan yang akan dihadapinya di negeri seberang.
Lukas menyudahi permainannya, menatap sahabatnya yang sibuk merapikan berkas-berkas. "Kau pasti sudah tidak sabar menjadi babysitter," goda Lukas, suaranya penuh canda, membayangkan betapa Daniel akan kesulitan menjaga Erina, si bocah tengil itu.
Daniel tersenyum, tak kalah jenaka. "Iya, aku bahkan sudah menyiapkan susu dot khusus untuknya nanti," jawabnya, nada suaranya berbaur antara tawa dan sindiran halus.
Tawa Lukas pecah mendengar jawaban sahabatnya. "Aku sangat bersyukur karena dikirim ke Meksiko dan bukan Chicago," katanya dengan nada lega, sembari menatap Daniel yang mulai sibuk lagi dengan pekerjaannya.
Daniel menatap Lukas sejenak, kemudian menggelengkan kepala sambil tersenyum. "Nikmatilah Meksiko, sahabatku. Siapa tahu, di sana kau menemukan lebih dari sekadar masalah perusahaan."
Lukas mengangkat alisnya, tersenyum penuh makna. "Aku akan bersenang-senang disana dan mencicipi rasa para wanita cantik dan seksi tentunya." timpal Lukas.
*
*
*
Chicago
Daniel turun dari helikopternya yang mendarat dengan anggun di helipad markas The Devils. Para anak buahnya berbaris rapi, menyambut kedatangan sang tuan dengan penuh hormat.
Dengan langkah gagah, Daniel memasuki markas itu sambil menyalakan rokoknya. "Kalian sudah menyiapkan apartemenku?" tanyanya kepada salah satu anak buahnya.
"Sudah, Tuan. Namun, pagi tadi bos besar memerintahkan Anda untuk tinggal sementara di mansion Tuan Shen agar bisa mengawasi Nona Erina lebih dekat," jawab anak buahnya dengan sigap.
Daniel menghembuskan asap rokoknya, memandang anak buahnya dengan tatapan tajam. "Apalagi perintahnya?"
"Anda bisa ke perusahaan besok, Tuan. Sore ini, Anda dijadwalkan menjemput Nona Erina di kampusnya," jawabnya.
Daniel mengangguk singkat, lalu bergegas menuju mansion Shen. Perjalanan ini akan menjadi pengganti tugas Arthur dan Shen yang sedang berlibur bersama para istri mereka. Setibanya di mansion, Daniel disambut oleh para pelayan yang sudah menunggu.
"Selamat datang, Tuan Daniel," ucap Kepala Pelayan dengan hormat.
"Hmm, terima kasih atas sambutannya," jawab Daniel singkat.
"Di mana kamarku? Aku ingin beristirahat sebentar sebelum menjemput Nona Erina," lanjutnya.
Kepala Pelayan itu pun mengantarkan Daniel ke kamarnya yang sudah disiapkan di lantai satu. Daniel merebahkan tubuhnya di ranjang yang empuk, merasakan sedikit kelegaan sebelum ia harus menghadapi tantangan baru di hadapannya. Di dalam keheningan kamar, pikirannya melayang pada sosok Erina, gadis tengil yang harus ia jaga, sambil mempersiapkan diri untuk petualangan yang tak terduga di Chicago.
Daniel menyandarkan tubuhnya di mobil sport mewahnya yang telah dipersiapkan dengan sempurna. Kacamata hitam bertengger di wajahnya yang dingin namun mempesona, menambah aura misterius yang membuat setiap mata tertuju padanya. Sosok Daniel yang tampan dan gagah itu tak ayal menjadi pusat perhatian di gerbang kampus. Ia menghisap rokoknya dengan tenang, asapnya mengalun perlahan di udara, sementara pandangannya menyapu sekeliling.
Para mahasiswa tampak berbisik-bisik, mengagumi pria tampan yang berdiri dengan angkuh di depan gerbang. Beberapa di antaranya bahkan memberanikan diri mengambil foto secara diam-diam, terpesona oleh karisma yang terpancar dari Daniel.
Tak lama kemudian, Erina muncul dari pintu utama kampus, matanya langsung tertuju pada sosok Daniel. Ia berjalan mendekat, merasa campuran rasa kagum dan penasaran. Daniel memadamkan rokoknya dan melepaskan kacamata hitamnya saat melihat Erina mendekat.
Erina tersenyum sumringah melihat kehadiran sosok Daniel ia pun sedikit berlari menghampirinya. "Kau sudah lama menungguku?" Tanya Erina tersenyum.
"Tidak, baru lima menit nona." Jawab Daniel datar.
Lalu Daniel membukakan pintu untuk Erina dan setelah itu ia pun masuk juga kedalam mobil dan melajukan nya. "Oh ya, apa kau sudah tahu jika kau akan tinggal di mansion?" tanya Erina.
Daniel mengangguk ringan, pandangannya tetap fokus pada jalan di depan mereka. "Hmm," jawabnya singkat.
Erina sedikit cemberut karena sifat Daniel yang sangat dingin itu. *Okay akan ku taklukkan pria menyebalkan ini* batin Erina menyunggingkan senyumnya.
"Berhenti di kafe itu, aku ingin membeli kopi," ucap Erina, menunjuk sebuah kafe di pinggir jalan.
Daniel menghentikan mobilnya di pinggir jalan, lalu Erina dengan cepat melepaskan sabuk pengamannya. "Tunggulah sebentar," ucapnya sambil tersenyum lebar sebelum keluar dari mobil.
Dari dalam mobil, Daniel memperhatikan Erina melalui dinding kaca kafe. Ia melihatnya mengantri, dikelilingi oleh kerumunan orang yang juga ingin memesan kopi. Waktu berlalu, dan antrian yang panjang membuat kesabaran Daniel mulai terkikis.
Setelah beberapa saat, Erina akhirnya keluar dari kafe. Daniel yang sudah sedikit kesal karena menunggu, bernafas lega melihat Erina muncul dengan secangkir kopi di tangan. Namun, rasa lega itu segera berubah menjadi kebingungan ketika Erina tidak berjalan ke arah mobil, melainkan menyebrang jalan dan masuk ke dalam toko roti di seberang.
Daniel mengumpat pelan, merasa kesal, dan segera keluar dari mobil untuk menyusul Erina. Ia masuk ke dalam toko roti, matanya langsung tertuju pada Erina yang terlihat santai menikmati roti dan kopinya di sudut toko.
"Nona, apa yang kau lakukan?" tanyanya dengan nada dingin menatap kesal padanya.
Erina menatap Daniel dengan senyum manis, seakan tak terganggu oleh nada suara dan ekspresi kesal pria itu. "Aku lapar dan butuh energi. Lagi pula, apa salahnya menikmati sedikit waktu di sini?" jawabnya sambil menggigit roti dengan santai.
Daniel menghela nafas panjang, berusaha menahan kesalnya menghadapi wanita di depannya
"Duduklah, kau akan lelah jika berdiri terus," ucap Erina sambil menyesap kopinya.
Meski merasa sedikit kesal, Daniel akhirnya duduk di sebelah Erina dan menunggu wanita cantik itu menghabiskan makanannya. Sambil menunggu, Daniel membuka ponselnya, jemarinya dengan cekatan menari di atas layar. Sementara itu, Erina memperhatikan pria tampan itu dengan mata yang penuh rasa ingin tahu, mencoba menangkap kilasan dari sosok yang begitu dingin namun memikat di depannya.
Di tengah kesibukannya, Daniel sesekali melirik ke arah Erina yang duduk tak jauh darinya, menyadari tatapan penuh makna yang diarahkan padanya. "Berapa lama kau akan disini?" tanya Erina memecah keheningan.
"Sampai tuan Arthur dan tuan Shen pulang." Jawab Daniel datar, lalu ia kembali fokus ke layar handphonenya.
Tiba-tiba, Erina berdiri, dan Daniel pun ikut berdiri dengan reflek, mengira bahwa wanita itu telah selesai dengan makanannya. Namun, tebakan Daniel ternyata salah. Erina kembali menuju meja kasir dengan langkah santai untuk memesan roti lagi.
Daniel mengumpat dalam hati, frustrasi semakin meluap. *Sabar, Daniel, ini baru hari pertama untukmu,* batinnya, merasa semakin kesal karena tugasnya yang penting untuk menyiapkan beberapa dokumen bagi perusahaan besok tertunda hanya karena harus mengasuh wanita yang tengil ini.
Bersambung
Daniel D’Este
Erina Ben
Meksiko
Lukas melangkah turun dari jet pribadinya dengan anggun, kakinya menyentuh landasan dengan penuh wibawa. Di bawah sana, anak buahnya telah berbaris rapi, siap menyambut kedatangannya di tanah Meksiko yang terik. Matahari senja memancarkan sinarnya yang keemasan, menciptakan bayangan panjang di landasan pacu.
Salah satu anak buahnya maju dengan hormat, menyerahkan kunci mobil sport hitam yang mengilap di tangan. "Mana kuncinya?" tanya Lukas dengan suara tenang namun penuh otoritas, tatapannya tajam seperti elang yang mengawasi mangsanya.
Anak buahnya segera menyerahkan kunci itu dengan sikap hormat. "Ini, Tuan," ucapnya singkat namun penuh penghormatan.
Lukas menerima kunci tersebut, mengangguk ringan sebagai tanda terima kasih yang diam. Tanpa banyak bicara, ia berjalan menuju mobil sport hitam yang sudah dipersiapkan. Kilauan cat hitamnya berkilau di bawah sinar matahari, menambah kesan misterius dan elegan pada kendaraan itu.
Setelah membuka pintu mobil dan duduk di belakang kemudi, Lukas merasakan sentuhan kulit mewah yang dingin di tangannya. Dengan satu gerakan halus, ia menyalakan mesin yang menderu halus, seolah mengerti bahwa tuannya kini siap untuk beraksi. Ia melirik sebentar ke kaca spion, memastikan segalanya siap sebelum melaju.
Anak buahnya masih berdiri di sana, mengawasi mobil sport itu meluncur dengan mulus meninggalkan landasan. Lukas mengemudi dengan tenang, menikmati perjalanan menuju apartemen yang akan menjadi tempat persinggahannya selama di Meksiko.
Sesampainya di apartemen, Lukas memarkir mobilnya dengan presisi. Ia keluar dari mobil, menghirup udara malam yang mulai menyelimuti kota. Lampu-lampu jalanan berkelip lembut, menyambut malam yang penuh misteri dan janji.
Lukas memasuki apartemennya, interiornya modern dan mewah, cocok dengan seleranya yang tinggi. Ia menyalakan lampu, cahayanya memantul di dinding kaca yang menghadap pemandangan kota yang gemerlap. Duduk di sofa yang nyaman, Lukas mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang.
"Apakah semuanya sudah siap?" suara Lukas terdengar tegas, seperti angin malam yang menusuk tulang.
Di ujung telepon, suara yang tak kalah tegas menjawab, "Semua dokumen sudah disiapkan, Tuan, sesuai dengan perintah Anda."
Lukas tersenyum tipis, bibirnya melengkung dengan kepuasan yang halus namun penuh makna. "Bagus. Aku akan datang ke perusahaan besok pagi, dan pastikan semuanya sudah berada di ruang meeting."
"Siap, Tuan."
Percakapan singkat itu berakhir, meninggalkan Lukas dalam keheningan yang sarat dengan rencana dan strategi. Ia memandang keluar jendela, menatap gemerlap kota Meksiko yang berkilauan di bawah cahaya bintang, seolah menyimpan sejuta rahasia yang siap untuk diungkap.
*
*
*
Pagi harinya, matahari Meksiko bersinar lembut, menyelimuti kota dengan cahaya keemasannya. Lukas, setelah mempersiapkan dirinya dengan pakaian formal yang rapi, melangkah keluar dari apartemennya dengan aura wibawa yang tak terbantahkan. Mobil sport hitamnya menunggu dengan setia di depan, mesinnya berderu halus saat ia duduk di balik kemudi.
Hanya butuh waktu lima belas menit bagi Lukas untuk tiba di perusahaan. Perjalanannya diiringi oleh irama jalanan kota yang mulai sibuk dengan aktivitas pagi. Ia memarkirkan mobilnya di lobi perusahaan, menyerahkan kunci mobil pada petugas keamanan yang sudah siap menanti.
"Selamat pagi, Tuan Lukas," sapa petugas keamanan dengan hormat.
"Pagi," balas Lukas singkat, matanya memancarkan ketegasan. "Pastikan mobil ini diparkir dengan baik."
"Siap, Tuan," jawab petugas itu sambil mengambil alih kemudi.
Lukas melangkah masuk ke dalam gedung perusahaan dengan penuh percaya diri. Suasana di dalam kantor sudah mulai sibuk, para karyawan bergerak cepat, memastikan segala sesuatu siap untuk kedatangan bosnya. Di lift, Lukas berdiri tegak, matanya memandang lurus ke depan, pikirannya terfokus pada pertemuan yang akan segera berlangsung.
Sesampainya di lantai atas, pintu lift terbuka dengan suara yang lembut. Lukas melangkah keluar, menuju ruang meeting dengan langkah mantap. Di dalam ruangan, meja besar telah dipenuhi dengan dokumen-dokumen penting yang tertata rapi. Para eksekutif sudah menunggu dengan cemas, mata mereka tertuju pada pintu yang baru saja dibuka.
"Selamat pagi, semuanya," sapa Lukas, suaranya tenang namun penuh otoritas. "Mari kita mulai."
Para eksekutif mengangguk, mengambil tempat mereka masing-masing. Lukas duduk di kursi utama, memandang sejenak ke arah mereka sebelum membuka salah satu dokumen di depannya. "Saya harap semua sudah siap."
Pertemuan pun dimulai, dan di dalam ruang meeting itu, Lukas memimpin dengan karisma dan ketegasan, memastikan setiap keputusan diambil dengan penuh pertimbangan. Di luar jendela, matahari terus naik, menyinari kota Meksiko yang penuh kehidupan, seolah memberkati setiap langkah dan keputusan yang diambil di dalam ruangan tersebut.
Pukul sembilan malam, Lukas akhirnya melangkah keluar dari gedung perusahaannya. Hari pertamanya diwarnai dengan lembur, dipaksa menghadapi segudang masalah yang menggerogoti waktu dan tenaganya. Yang paling mendesak adalah kecelakaan di bagian pengiriman barang, yang membuat semua kiriman rusak parah. Untungnya, tidak ada korban jiwa dalam insiden itu, namun kerugian materi tetap saja membuat kepalanya berdenyut.
Lukas mengenakan kacamata hitamnya, seolah berusaha menyembunyikan lelah yang terpendam di balik matanya. Ia melangkah menuju mobil sportnya. Dengan kecepatan sedang, ia melaju di sepanjang jalanan yang mulai lengang, membiarkan pikirannya melayang terbawa suasana malam.
Saat berhenti di lampu merah, telinganya menangkap suara yang lembut dan menenangkan, melodi yang meresap hingga ke relung hati. Suara itu datang dari trotoar jalanan, membuat Lukas secara otomatis menoleh ke arah sumber suara.
Di sana, di bawah pancaran lampu jalan yang temaram, berdiri seorang wanita muda yang cantik. Ia memegang gitar dengan anggun, suaranya mengalun lembut, menyejukkan siapapun yang mendengarnya. Lagu yang ia nyanyikan membawa ketenangan, seperti embun yang menyapa daun di pagi hari. Orang-orang mulai berkumpul, membentuk lingkaran di sekitarnya, terpesona oleh keindahan suaranya.
Lukas memandanginya dengan penuh minat, merasakan sesuatu yang hangat menyelimuti hatinya yang lelah. Ia membuka kaca mobil, membiarkan suara itu masuk dan memenuhi ruang hatinya. Wanita berambut merah itu, dengan senyumnya yang tulus, tampak begitu memukau dalam kesederhanaannya.
Saat lampu lalu lintas berubah hijau, Lukas enggan untuk pergi. Ia masih ingin menikmati momen itu, namun suara klakson dari mobil di belakangnya memaksa ia untuk melanjutkan perjalanan.
Sambil melaju, pikiran Lukas masih tertinggal di tempat itu, di mana suara lembut wanita berambut merah itu seakan masih mengikutinya, memberi ketenangan yang ia butuhkan setelah hari yang melelahkan. Sesampainya di apartemennya, Lukas duduk di balkon, memandang ke langit malam yang bertabur bintang, membiarkan momen indah itu terukir dalam ingatannya.
Di keheningan malam yang sepi, suara indah wanita tadi sayup-sayup teringat lagi olehnya, seolah membisikkan janji bahwa esok hari akan lebih baik. Melodi itu menari-nari dalam pikirannya, menjadi pengingat bahwa dalam dunia yang penuh dengan kekacauan dan masalah, masih ada keindahan sederhana yang bisa ditemukan, jika kita cukup beruntung untuk mendengarnya. Lukas tersenyum tipis, merasa sedikit lebih ringan setelah melewati hari yang melelahkan.
Bersambung
Lukas Castello
Juliette
Seorang pelayan mengetuk pintu kamar Erina dengan lembut, suara ketukan itu menggema di koridor sunyi. "Nona Erina, makan malam telah siap," katanya dengan sopan.
Tak lama kemudian, Erina keluar dari kamarnya, mengenakan gaun elegan yang berdesir mengikuti langkahnya yang anggun. Ia berjalan menuju ruang makan dengan langkah ringan, namun ketika sampai di sana, matanya tidak menemukan sosok Daniel di meja makan yang telah diatur dengan indah.
"Bibi, di mana Daniel?" tanya Erina.
"Tuan Daniel masih sibuk di kamarnya, Nona," jawab pelayan wanita itu, membungkuk sedikit sebagai tanda hormat.
Erina mengangguk pelan, memikirkan sesuatu sejenak sebelum memutuskan untuk pergi mencari Daniel. Ia melangkah menuju ke kamar Daniel. Saat sampai di depan pintu kamar Daniel, ia mendengar ketukan pelan dari pintunya yang terbuka sedikit.
Dengan hati-hati, Erina membuka pintu kamar itu.
CKLEK
Ia menutupnya lagi dengan perlahan, memastikan tidak ada suara yang mengganggu keheningan malam. Erina berjalan mengendap-endap menuju sofa tempat Daniel duduk, matanya terpaku pada sosok pria itu yang terlihat fokus menatap layar laptopnya.
"Oh my, tampannya," gumam Erina pelan, hatinya terpesona oleh ketampanan Daniel yang tampak semakin memikat ketika ia serius seperti sekarang ini.
Daniel, dengan insting tajamnya, tentu saja menyadari kehadiran Erina di kamarnya. "Ada apa, Nona?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptopnya, suaranya tetap tenang namun penuh wibawa.
Erina tersenyum karena telah ketahuan oleh Daniel, ia lalu duduk di sebelah Daniel di sofa panjang itu. "Aku tidak melihatmu di ruang makan tadi, jadi aku datang kemari," katanya, matanya memandang penuh perhatian ke arah Daniel.
"Nona bisa makan lebih dulu, karena aku sedang sibuk," jawab Daniel dengan nada datar, seperti biasanya.
Erina mengernyitkan dahi, tak puas dengan jawaban Daniel. "Kalau begitu, aku akan menyuruh pelayan untuk membawakan makan malamnya ke sini saja, agar kau tak perlu keluar," serunya dengan penuh semangat.
"Tidak perlu, Nona..." ucapan Daniel terhenti ketika Erina menyelanya dengan sigap.
"Tenang saja, aku akan menemanimu," katanya, beranjak cepat keluar untuk menyuruh pelayan menyiapkan makan malam di kamar Daniel.
Daniel menggelengkan kepalanya, melihat wanita super aktif itu. Ia pun kembali menatap layar laptopnya.
Tak lama kemudian, Erina kembali dengan senyum lebar, diikuti oleh pelayan yang membawa nampan berisi makan malam. "Ini dia, makan malam kita," katanya dengan ceria, menempatkan makanan di meja kecil dekat sofa.
"Nona, kau tidak perlu melakukan ini," ujar Daniel.
Erina duduk kembali di sebelahnya, menatap Daniel dengan mata bersinar. "Aku ingin. Lagipula, siapa yang bisa menikmati makan malam sendirian?" ucapnya.
Daniel menghela napasnya dan akhirnya ia pun mengikuti keinginan wanita itu dengan makan malam di dalam kamarnya, sembari makan Daniel juga sesekali melihat kearah laptopnya karena ia harus mengejar projek besar yang sedang ia lakukan bersama dengan Lukas.
*
*
*
Pagi itu, di ruang tengah yang elegan, Daniel duduk dengan gagahnya. Namun, kesabarannya yang setipis tisu benar-benar diuji ketika ia harus menunggu Erina yang masih sibuk bersiap-siap di lantai atas. "Oh God, apa dia menggunakan resep kue untuk merias wajahnya?" gerutu Daniel, matanya melihat jam ditangannya dengan rasa frustrasi yang makin memuncak.
Tidak lama kemudian, suara langkah ringan terdengar menuruni tangga. Akhirnya, Erina muncul dengan penampilan cantik nya. Tanpa sedikit pun rasa bersalah karena telah membuat Daniel menunggu cukup lama, Erina berjalan ke arah Daniel, menyandang ransel berukuran sedang di punggungnya.
"Sorry, kau pasti sudah lama menunggu," seru Erina dengan tenang, senyum manis menghiasi wajahnya.
"Hmm," jawab Daniel singkat, meski nada suaranya tak bisa menyembunyikan rasa kesalnya.
Mereka berdua pun keluar bersama dari mansion, Daniel membukakan pintu mobil sportnya untuk Erina. Setelah memastikan Erina masuk, ia menyusul masuk ke dalam mobil dan segera melajukannya menuju kampus Erina terlebih dahulu.
Suara mesin mobil mengaum lembut ketika Daniel menekan pedal gas, melaju dengan kecepatan tinggi. "Hei, santai saja. Kau tidak perlu terburu-buru ke perusahaan, sekarang perusahaan dalam keadaan seimbang," ucap Erina.
Daniel tidak menjawab, pandangannya fokus ke jalan di depan. Ia tetap diam, membiarkan kecepatan mobil berbicara untuknya. Tak lama kemudian, mereka sampai dan Daniel menghentikan mobilnya di depan gerbang kampus.
"Daniel, kau tahu, kadang-kadang kita perlu mengambil napas dan menikmati momen-momen kecil dalam hidup. Seperti saat ini, perjalanan pagi yang tenang, pemandangan yang indah. Kita tidak harus selalu berlari," katanya sebelum keluar dari mobil.
Daniel melirik kearah Erina dimana wanita itu sama sekali tidak menyadari jika sumber kekesalannya pagi ini adalah karena wanita itu sendiri.
Erina tersenyum, lalu menambahkan dengan nada yang ceria, "Okay, semoga harimu menyenangkan, Tuan Daniello," ucapnya sembari membuka pintu dan keluar dari mobil.
Erina melambaikan tangan sebelum melangkah masuk ke dalam kampus, Daniel melihatnya dengan ekspresi datar lalu Daniel melajukan kembali mobilnya ke perusahaan.
Di kampus yang penuh dengan riuh rendah suara mahasiswa, Erina duduk bersama teman-temannya di kafetaria, menikmati makan siang yang sederhana namun penuh canda tawa. Suasana di sekitar mereka begitu ceria, seolah tak ada beban dunia yang bisa mengganggu kebahagiaan mereka.
"Heii, sekarang ayo ceritakan tentang bodyguard hot-mu itu, Erin," seru Laura.
"Aku melihatnya kemarin di depan gerbang kampus. Dia langsung menjadi pusat perhatian para mahasiswa, bahkan mereka mengambil gambarnya," lanjutnya dengan semangat, matanya membesar mengingat kejadian itu.
"Aku juga melihatnya. Dia sangat tampan dan seksi. Huuu," sahut Sofie dengan nada menggoda.
Erina tertawa kecil, senyum nakal terukir di bibirnya. "Hei, hei, dia milikku," ucapnya dengan nada bercanda, namun ada sedikit kebanggaan dalam suaranya.
Laura dan Sofie tertawa mendengarnya. "Kau yakin bisa menaklukkannya, Rin? Dia terlihat sangat dingin," ucap Laura, mencoba mengusik sahabatnya.
"Ck, kau meragukan pesonaku, girl?" balas Erina sambil mengibaskan rambutnya dengan gaya dramatis, membuat teman-temannya tertawa lebih keras.
Laura menggelengkan kepala dengan senyum lebar. "Tidak, bukan begitu. Hanya saja, dia tampak begitu serius dan profesional. Aku penasaran bagaimana kau bisa mendekatinya."
Erina menatap kedua temannya dengan mata penuh percaya diri. "Pesona bukan hanya soal penampilan, Laura. Ini tentang bagaimana kau membuat seseorang merasa. Dan aku yakin, di balik sikap dinginnya, ada sisi hangat yang bisa aku temukan."
Sofie mengangguk setuju, senyum lembut di wajahnya. "Kau benar, Erin. Kadang-kadang, yang dingin di luar justru yang paling hangat di dalam, terutama di bagian ranjang," ucap Sofie dengan nada menggoda, dan mereka bertiga langsung tertawa lepas.
Laura menutup mulutnya sambil tertawa. "Oh, Sofie! Kau benar-benar nakal," katanya sambil menggelengkan kepala.
Erina menggeleng dengan senyum di wajahnya. "Kalian benar-benar tak ada duanya," ujarnya.
"Kalian pasti akan tergila-gila padanya jika aku menceritakannya," lanjutnya.
Laura bersandar ke kursinya, menatap Erina dengan mata yang menyipit penasaran. "Oh, ayolah! Kami ingin tahu semua tentangnya. Bagaimana dia bisa begitu hot dan misterius sekaligus?" Sofie mengangguk setuju, tatapannya tak kalah penasaran.
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!