NovelToon NovelToon

Ijabah Cinta

01

Sebuah mobil BMW berwarna hitam kini tengah menderu di tengah malam yang kini bertabur bintang - bintang. Angin sepoi - sepoi tampak berhembus ke segala arah ketika seorang perempuan berambut hitam legam membuka kaca jendela mobil.

Kedua matanya kini berbinar menatap lautan luas yang kini terlihat ketika mobil mulai menapaki jembatan.

Perempuan itu tak menyangka di usia yang terbilang muda itu dirinya sudah di lamar oleh seorang lelaki namun yang jadi pertanyaan di dalam benaknya, "kenapa harus lelaki yang statusnya sudah menduda dan memiliki seorang putra? Lalu apakah tidak ada lelaki yang masih belum menikah untuk bersanding dengannya."

Itu adalah sebuah pertanyaan yang selalu di katakan di dalam benak perempuan itu terlepas dari rasa gembiranya karena sudah akan menjejaki dunia pernikahan.

Perempuan itu bernama Yulianti Fitriana. Seorang perempuan berusia dua puluh tahun itu akan dinikahkan oleh anak kerabat dekat ayahnya bernama Adiyaksa Cokroaminoto.

Awalnya, Yulianti tidak ingin menikah lebih dulu karena umurnya masih belum pas untuk menikah dan dirinya tidak mau menikah lebih dulu karena ia masih ingin bekerja dan melakukan kebahagiaan yang di rasakan oleh para remaja pada umumnya.

Namun, dirinya terkejut ketika malam itu, Ayahnya yang bernama Sapto Budiarto tiba -tiba telah meminang dirinya pada seorang lelaki dan ia terkejut ketika tahu bahwa yang meminangnya adalah seorang duda beranak satu.

"Yuli."

Panggilan dari seseorang membuat lamunan perempuan tentang ayahnya dan juga lelaki yang akan menikahinya pun terputus.

Yuli menoleh dan menatap wajah ibunya yang terlihat cantik dan juga sumringah. Namanya Ibu Dewi kusuma. Perempuan yang sudah melahirkan Yulianti itu kini menggenggam punggung tangan Yulianti.

Perempuan itu berbicara pelan pada putrinya. "Kenapa, nak? Aku sedari tadi melihat wajahmu sepertinya tidak suka dengan acara ini?"

Senyum terbit di wajah Yulianti. Yulianti tidak mau karena alasan dia masih ragu menikah di umurnya sekarang membuat hati ibunya turut sedih.

"Tidak, Ibu. Aku tidak memikirkan hal itu. Aku cukup senang dengan acara ini hanya saja, aku berpikir ayah terlalu terburu - buru untuk mencari calon pendamping untukku."

"Karena sebetulnya yang aku inginkan adalah aku ingin bekerja terlebih dulu, menyempurnakan masa depanku dulu sebelum menjajaki dunia pernikahan."

Ibu Dewi menganggukkan kepala. Perempuan itu paham akan apa yang di minta dan di inginkan oleh anak perempuannya itu.

Namun, karena ini adalah keputusan suaminya, perempuan itu tak bisa membantah. Dirinya juga teringat akan pembicaraan suaminya itu pada dirinya di kamar yang mengatakan bahwa Pak Sapto sangat dan ingin mempunyai seorang cucu dari putri satu - satunya itu.

"Maafkan kesalahan ayahmu dan juga Ibu yang terlalu memaksakan dirimu untuk segera menikah dan kau juga harus memahami ayahmu yang ingin punya cucu darimu."

"Iya, Ibu. Aku juga mengerti keadaan ayah, karena aku sudah sering melihat ayah begitu mendambakan cucu dariku dan mungkin ini adalah waktu yang tepat untukku yang akan menikah dan aku akan berikan cucu untuknya nanti."

"Terima kasih, sayang. Kau sudah mengerti keadaan ayahmu ini."

"Sama - sama, Ibu."

...🕌🕌🕌...

Di tempat lain, tepatnya di sebuah rumah besar bertingkat dua, terlihat beberapa orang tampak sibuk menyajikan beberapa menu makanan dan juga minuman.

Pemilik rumah tersebut yakni Bapak Cokroaminoto dan juga Ibu Laras Dwitasari tengah bersiap - siap untuk acara makan malam.

Acara makan malam bersama calon besan dan juga calon menantunya. Hari ini adalah hari dimana mereka akan mengadakan pertemuan bersama calon besan dan menantunya untuk membahas masalah pernikahan putra dan putri mereka.

"Kau sudah siap, sayang?" Tanya Ibu Laras. Perempuan itu segera berdiri dan menghampiri dan membantu Pak Cokro memakaikan dasi di leher lelaki itu.

"Aku sudah siap dan aku berharap semoga pertemuan dengan mereka berjalan dengan lancar dan anak perempuan mereka setuju untuk menikah dengan anak kita."

"Semoga saja, doa kita terkabul dan anak kita segera mendapatkan calon pendamping. Aku merasa kasihan pada putra kita yang sibuk mengurus perusahaan sambil mengurus cucu kita dan sudah saatnya anak kita mendapat calon pendamping untuk mengurus putra dan cucu kita dan semoga saja mereka cocok."

"Amin."

Di lain tempat, perbincangan juga terjadi di salah satu sudut rumah yang lain, tepatnya di sebuah kamar yang terdapat beberapa aksesoris dan pernak - pernik anak laki - laki.

Tempat tersebut adalah merupakan kamar seorang anak yang bernama Damar Adiputra.

Lelaki berumur enam tahun itu merupakan cucu dari seorang bapak Cokroaminoto dan sekarang lelaki kecil itu menatap dirinya di atas cermin bersama seorang lelaki berumur dua puluh lima tahun dan dia adalah ayahnya yang bernama Adiyaksa Cokroaminoto.

Mereka sama - sama tengah merapikan kemeja mereka yang senada yaitu memakai kemeja berwarna putih dan terlihat keduanya sangat tampan.

Damar melirik ayahnya yang masih berkutat di atas cermin dengan menarik kemeja Adiyaksa. "Ayah, kenapa kita harus memakai baju ini?"

Adiyaksa melirik sebentar anaknya sebelum menyibukkan diri kembali merapikan kemejanya di balik cermin. "Karena kita akan bertemu seseorang dan kau juga harus ikut karena ini tentang masa depan kita."

"Masa depan." Gumam lelaki kecil itu.

"Ting tong.. "

Sebuah bel rumah berbunyi dan menandakan bahwa tamu yang sedari tadi di tunggu mereka sudah datang ke rumah mereka.

Adiyaksa segera menggandeng tangan anaknya bergegas keluar dari kamar. Tampak dari jauh, Pak Cokroaminoto membuka pintu dan memasang wajah sumringah.

"Selamat datang, Pak Sapto dan Bu Dewi. Mari silahkan masuk." Ujar Pak Cokroaminoto mempersilahkan tamunya masuk ke dalam rumah.

Bersamaan dengan itu, Adiyaksa bersama putra sudah turun dari kamar yang berada di tingkat dua. Adiyaksa terkejut ketika kedua tatapannya mengarah pada seorang perempuan yang kini memakai sebuah gaun.

Entah kenapa dirinya merasa tersanjung dengan paras perempuan tersebut dan dirinya mulai bertanya - tanya, siapa perempuan itu? Apakah perempuan itu yang akan dijodohkan ayahnya padanya?"

"Ayah" Damar lagi - lagi menarik kemeja ayahnya membuat Adiyaksa tersadar.

Lelaki itu menatap putranya. "Ada apa?"

Damar menunjuk keluarga Pak Sapto yang kini sudah duduk di meja makan dengan jari mungilnya. "Siapa itu, Ayah?"

Adiyaksa mengedikkan bahunya. "Kalau kau ingin tahu, ayo kita kesana."

Adiyaksa dan Damar segera mengayunkan langkah menghampiri ruang makan. Tanpa sengaja, kedua tatapan Adiyaksa tertuju pada Yulianti yang sama - sama melihatnya.

Terlihat Yulianti gugup ketika berhadapan dengan suasana seperti itu. Dirinya baru tahu bahwa lelaki pilihan ayahnya itu terlihat tampan begitu juga dengan anaknya.

"Sebelum kita membicarakan tentang pernikahan putra dan putri kita. Silahkan untuk mencicipi hidangan yang sudah ada di meja makan." Pak Cokroaminoto membuka pembicaraan.

...Bersambung. ...

02

"Sebelum kita membicarakan tentang pernikahan putra dan putri kita. Silahkan untuk mencicipi hidangan yang sudah ada di meja makan." Pak Cokroaminoto membuka pembicaraan.

Tak lama kemudian, terlihat hening yang terjadi di ruang makan dan hanya ada suara sendok yang beradu dengan garpu.

Masing - masing sibuk dengan makan malam mereka, tak ada kata - kata yang terucap karena hal itu memang sudah tradisi keluarga Cokroaminoto.

Adiyaksa membantu Damar melepas kulit udang dan menyendokkan udang tersebut ke dalam mulut Damar dan hal itu menjadi perhatian dari Yulianti.

Sejenak, Yulianti begitu terpana ketika melihat interaksi antara anak dan juga ayah itu dan hal itu juga membuat Ibu Dewi yang duduk di samping Yulianti memegang punggung tangan putrinya itu.

Yulianti segera tersadar dan menoleh menatap ibunya yang kini tersenyum padanya. "Apakah kau masih ragu untuk menikah dengan lelaki itu?"

Senyum tipis kini tersungging di bibir Yulianti. "Entahlah, Bu. Aku belum bisa memutuskan karena dari yang ku lihat interaksi antara lelaki itu dan juga anaknya sangat baik namun hatiku masih ragu."

Ibu Dewi yang paham akan pikiran dari anaknya itu segera berkata dengan lugas.

"Segera putuskan pendapatmu tentang perjodohan ini karena hari ini adalah keputusan yang kau ambil dan apabila hari ini kau menerima lelaki itu menjadi suami kamu maka besok atau lusa kita akan segera menyelenggarakan akad nikah antara dirimu dan juga lelaki itu."

"Baik, Ibu."

...🕌🕌🕌...

Setelah acara makan malam selesai, mereka yang berada di ruang makan pun segera memulai topik yang akan di bicarakan hari itu juga, mengenai pernikahan putra putri mereka.

Terlihat Ibu Laras memanggil membisikkan pada Adiyaksa yang menyuruh lelaki itu untuk memindahkan anaknya ke kamar karena pembicaraan akan segera di mulai.

"Ajaklah anakmu ke kamarnya karena sebentar lagi pembicaraan mengenai pernikahanmu segera di mulai."

"Baik, Ibu."

Adiyaksa lantas bergegas mengajak putranya untuk ke kamar dengan menggandeng bocah kecil itu. Setelah tiba di kamar, Damar segera bertanya pada ayahnya tentang ayahnya yang mengajaknya ke kamar.

"Ayah, kenapa ayah mengajak aku ke sini? Tanya Damar dengan polosnya.

Senyum tersungging di bibir Adiyaksa sembari duduk menunduk, menjajarkan tubuhnya dengan tubuh anaknya tersebut.

"Dengar sayang, dibawah ada obrolan orang dewasa jadi, Damar ayah antar ke kamar dan itu tidak boleh dan tidak baik untuk anak kecil seperti dirimu."

Damar memasang wajah cemberut namun di sisi lain bocah kecil itu paham jika obrolan dewasa tidak boleh di dengarkan. "Tapi, ayah. Nanti kalau sudah selesai dengan obrolan orang dewasa, ayah kesini, kan?"

"Iya, ayah janji, kalau obrolan ayah sama orang - orang di bawah selesai, ayah akan kemari lagi menemani kamu."

"Janji, ya. Ayah." Damar menunjukkan jari kelingkingnya yang segera di tautkan dengan jari kelingking Adiyaksa.

"Ayah janji." Kata Adiyaksa pelan "Kalau begitu, sekarang Damar tidur, ya. Hari sudah larut malam."

Damar menangguk dan segera berbaring di ranjang sedangkan Adiyaksa segera menyelimutinya. Dengan telaten, Adiyaksa meninabobokan anaknya itu hingga bocah kecil itu terlelap.

Lelaki itu segera keluar dari kamar dan berkumpul kembali dengan orang - orang yang masih berada di meja makan.

"Bagaimana? Apakah Damar sudah tidur?" Tanya Ibu Laras setelah Adiyaksa duduk kembali di samping perempuan tersebut.

"Sudah Bu."

Pak Cokroaminoto selaku pemilik rumah pun segera memulai perbincangan. "Saya selaku orang tua orang tua dari Adiyaksa dan orang tua dari Yulianti telah sepakat ingin menjodohkan Adiyaksa dengan nak Yulianti."

"Kita tahu bahwa istri dari Adiyaksa telah lama meninggal dunia dan meninggalkan Adiyaksa beserta anak semata wayang mereka yang masih kecil dan kami selaku orang tua dari Adiyaksa ingin sekali mencarikan jodoh untuk Adiyaksa dan kebetulan sekali, nak Yulianti belum ada jodohnya."

"Dan untuk saat ini, keputusan ada di tangan Adiyaksa dan juga Yulianti. " Seluruh mata kini memandang Adiyaksa dan juga Yulianti.

Baik Yulianti dan juga Adiyaksa sama - sama saling melihat. Terlihat ada keraguan di antara mereka berdua dan Adiyaksa lah yang akhirnya berbicara. "Kalau begitu, apa bisa kita berdua saling bicara dulu, kita ingin saling mengenal satu sama lain."

Semua orang yang berada di ruang makan pun setuju dengan usulan tersebut dan menyuruh mereka berdua saling berbicara empat mata.

Baik Adiyaksa dan juga Yulianti segera berdiri dan berjalan ke sebuah taman di belakang. Samar - samar, terdengar Ibu Dewi berbicara dengan Ibu Laras. "Semoga perjodohan ini di berikan kelancaran."

"Amin."

...🕌🕌🕌...

Angin sepoi - sepoi kini berhembus ke segala arah tengah menyaksikan dua orang muda dan mudi yang kini duduk di sebuah kursi taman.

Terlihat kegugupan melanda mereka berdua, tak ada satupun yang memulai untuk berbicara, mereka hanya saling memandangi bintang - bintang yang berkilauan di langit malam.

Adiyaksa melirik sedikit Yulianti yang masih menatap langit malam. Tampak kekaguman kini terlihat di wajah lelaki itu hingga sebersit senyuman hadir di bibirnya.

Adiyaksa kembali menatap langit malam kembali sembari berkata "Sebetulnya, aku begitu kaget ketika ayah mau menikahkan aku dengan seseorang karena aku tak begitu yakin akan pernikahan selanjutnya."

"Sejak istriku itu meninggal hingga sekarang, aku berprinsip bahwa aku hanya memikirkan pekerjaan aku dan juga anakku yang semakin hari semakin dewasa."

"Mungkin karena orang tuaku kasihan padaku yang setiap hari sibuk dengan pekerjaan dan juga sebagai orang tua tunggal, maka orang tuaku memberi usulan jika aku mempunyai pendamping."

"Aku ingin sekali menolak namun orang tuaku terus memaksaku ingin sekali melihat diriku yang ingin mempunyai pasangan."

Yulianti yang mendengarkan curhatan Adiyaksa kini menoleh. "Sejujurnya aku juga sama denganmu. Aku sebenarnya ingin menolak perjodohan ini karena aku ingin sekali seperti teman - teman aku yang lain, mendapatkan pekerjaan dan menyenangi apa yang menjadi kesukaan bisa tersalurkan."

"Lalu, kapan kau ingin menikah?"

Pertanyaan itu membuat Yulianti membeku namun ia mengedikkan kedua bahunya. "Aku tidak tahu, tapi yang jelas, hal itu bukan sekarang untuk aku lakukan? Dan sebenarnya aku masih memilih lelaki yang cocok untuk diriku dan menjadi imam bagiku."

"Kalau aku ingin menjadi imam kamu, apakah kau bersedia untuk menikah denganku? Aku tahu membuat keputusan yang benar - benar pasti itu sangat sulit di lakukan, tapi kata hati seseorang siapa yang tahu."

Tubuh Yulianti terlihat masih membeku saat mendengar jawaban dari seorang Adiyaksa. Entah kenapa mendengar suara dari Adiyaksa membuat tubuh Yulianti gemetar.

Melihat tak ada reaksi apapun dari Yulianti membuat Adiyaksa mengibaskan tangan di depan wajah Yulianti dan membuat Yulianti tersadar.

"Hei, aku bertanya padamu? Apakah kau mau aku yang menjadi imam bagimu?"

Yulianti menatap Adiyaksa lama sembari dirinya berpikir "Apakah ini saatnya untuk dirinya melabuhkan hati untuk seseorang? Dan kalau benar begitu, apakah yang ada di hadapannya sekarang adalah lelaki yang di turunkan Tuhan untuk dirinya."

Yulianti mengangguk mantap dan sebersit senyuman kini di perlihatkan oleh perempuan itu. "Aku bersedia untuk kau menjadi imam bagiku."

"Alhamdulilah."

...Bersambung....

03

"Alhamdulilah."

Senyum kini terbersit di bibir keduanya. Entah kenapa setelah mengatakan hal itu dan juga mendengarkan ucapan demi ucapan membuat keduanya sangat mantap untuk menapaki jenjang yang lebih serius.

"Tapi, ada satu syarat yang aku inginkan darimu sebelum besok pernikahan itu di laksanakan." Ucap Yulianti membuat senyum Adiyaksa kini perlahan memudar.

"Apa itu? Tolong beritahu aku agar aku bisa segera memberikannya padamu." Adiyaksa berkata - kata dengan sungguh - sungguh.

"Setelah aku menikah dengan dirimu, tolong bimbinglah aku dan sekaligus mengenal Tuhanku lebih dalam. Aku ingin sekali mempunyai pasangan yang bisa membimbing diriku dalam segi dunia dan juga akhirat."

Terlihat Adiyaksa menghembuskan nafasnya. Kedua matanya kini menatap kedua mata Yulianti dengan sungguh dan tanpa di rasakan oleh lelaki itu, air mata kini terlihat di pelupuk kedua matanya.

Adiyaksa lantas menggenggam erat kedua punggung tangan Yulianti. "Terima kasih kau sudah menerima aku dan kekurangan diriku serta aku berharap untuk kau menerima Damar sebagai seorang anak bagimu."

Melihat ketulusan hati yang di keluarkan oleh Adiyaksa membuat seluruh tubuh perempuan itu gemetar, wajah yang sedari tak ada ekpresi kini berubah menjadi sendu, senyum lantas terbersit di bibir tipisnya.

"Aku berjanji padamu untuk selalu menjaga dan menyayangi Damar sebagai anakku sendiri." Ucap Yulianti mantap.

"Lalu, bolehkah aku menciummu dan sekaligus membuat pertanda kalau kau dan aku sudah menerima satu sama lain."

Mendadak Yulianti terdiam. Baru pertama kali dirinya akan di ajak untuk mencium bibir dan seketika jantungnya berdetak lebih keras. Apakah dirinya akan menolak atau menerima ciuman dari seorang lelaki yang baru di kenal dan akan menjadi calon suaminya kelak?

Namun seketika jiwanya meronta dan akhirnya Yulianti mengiyakan Adiyaksa untuk menciumnya. Adiyaksa lantas mencium Yulianti namun bukan di bibir melainkan di kening perempuan itu.

Lelaki itu tahu, belum saatnya dirinya mencium bibir perempuan yang sebentar lagi akan menjadi istrinya tersebut.

Karena dia belum menjadi imam sepenuhnya untuk Yulianti. Lelaki itu sangat mengerti adab sebelum pernikahan karena lelaki itu sudah merasakan sebelumnya.

... 🕌🕌🕌...

Setelah bercengkrama cukup lama dan mengenal satu sama lain, Adiyaksa dan juga Yulianti segera masuk ke dalam rumah dan tepatnya di ruang makan.

Tampak di sana, baik keluarganya Adiyaksa maupun keluarganya Yulianti terlihat berbicara bersama. Mereka layaknya sebuah keluarga yang baru saja bertemu.

Pembicaraan mereka pun terhenti ketika melihat Adiyaksa dan juga Yulianti tengah masuk ke dalam ruang makan.

Mereka semua yang ada di ruang makan pun tertegun ketika saat melihat Adiyaksa kini menggandeng tangan Yulianti yang berarti keduanya sudah menerima satu sama lain dan akan melanjutkan ke jenjang yang lebih serius.

Ibu Laras kini berdiri dan menghampiri keduanya. Perempuan itu menatap Adiyaksa dan Yulianti secara bergantian.

Meski sudah ada pertanda namun Ibu Laras ingin memastikan bahwa apa yang di lihatnya dan juga orang - orang yang ada di ruang makan itu lihat, memang benar adanya dan bahwa mereka berdua sudah menerima satu sama lain.

"Bagaimana, nak? Apakah kalian ada kecocokan satu sama lain atau apa di antara kalian tidak ada kecocokan?" Ucap Ibu Laras. Kedua matanya memandang Adiyaksa dan juga Yulianti secara berganti.

Semua yang ada di ruang makan terdiam dan rasa penasaran pun kini menguasai mereka kala menunggu jawaban dari dua muda - mudi berbeda status tersebut.

Adiyaksa maupun Yulianti sama - sama saling tatap dan senyum tercetak di bibir kedua muda - mudi itu kala menandakan bahwa mereka sudah menerima satu sama lain dan segera melewati ke jenjang yang lebih serius.

Seluruh keluarga pun tampak senang dengan keputusan Adiyaksa maupun Yulianti dan dengan begitu maka besok acara akad nikah akan segera di laksanakan.

Baik keluarga Adiyaksa dan juga keluarga Yulianti memberikan selamat pada kedua muda - mudi tersebut dan semuanya pun mendoakan yang terbaik buat mereka berdua.

Setelah acara keluarga berakhir dan sebelum Yulianti berpamitan untuk pulang dan mempersiapkan semuanya, perempuan itu lantas meminta izin untuk mengunjungi kamar Damar.

Adiyaksa lantas mengizinkan dan bersama Yulianti, mereka pun segera mengayunkan langkah masuk ke dalam kamar Damar.

Dengan langkah pelan, Yulianti menghampiri dan duduk di tepi ranjang. Senyum tipis kini tersungging di bibir perempuan itu.

Tangannya terulur, mengusap rambut Damar yang tengah tertidur dengan pulas. Dirinya tak percaya bahwa sebentar lagi dia akan menjadi ibu bagi anak yang ada di hadapannya ini.

Adiyaksa lantas memegang pundak Yulianti hingga membuat perempuan itu menatap sejenak Adiyaksa sebelum menatap kembali Damar yang tertidur dengan pulas.

"Aku tak percaya, bahwa sebentar lagi aku akan menjadi ibu bagi Damar. Wajah ini nantinya akan sebentar lagi aku lihat di setiap hariku." Yulianti lantas mengecup kening Damar sebelum berdiri.

"Aku akan pulang sekarang dan aku akan kembali lagi besok." Pamit Yulianti pada Adiyaksa.

"Baiklah, hati - hati."

...🕌🕌🕌...

Keesokan harinya, undangan pernikahan antara Adiyaksa dan Yulianti mulai disebar. Beberapa orang pun tampak bahagia karena akan melihat putra dari Cokroaminoto itu akan segera melangsungkan pernikahan.

Beberapa kerabat pun juga turut membantu menyebar undangan dan sekaligus membuat makanan dan minuman untuk acara akad nikah yang akan berlangsung pada sore hari.

Meski terlihat mendadak namun tak membuat semangat orang - orang terdekat pun luntur dan ikut membantu dalam acara sakral tersebut.

Tanpa mereka ketahui, seseorang mengetahui undangan pernikahan tersebut saat seorang bertudung itu bertandang ke rumah kerabatnya.

Terlihat sekali wajahnya penuh kebencian membaca isi pesan yang tertulis di undangan berwarna emas tersebut dan dirinya harus menghentikan kebahagiaan keluarga Cokroaminoto.

...🕌🕌🕌...

Sementara itu, Adiyaksa mengajak Damar dan juga Yulianti berkunjung ke sebuah butik dan juga ke tempat Make Up Artist untuk berdandan sekaligus mengecek busana yang sebelumnya sudah di pesan.

Damar yang sebelumnya tidak tahu pun ikut senang karena sebentar lagi, dirinya akan memiliki seorang Ibu yang ada di setiap harinya.

Dengan menaiki mobil, Adiyaksa segera tiba di butik langganan Ibu Laras. Mereka bertiga pun segera masuk dan seorang lelaki berumur sekitar 38 tahun menyambut mereka bertiga.

lelaki yang bernama Johan Aditya itu sangat senang dan mengucapkan selamat kepada Adiyaksa dan juga Yulianti dan si kecil Damar.

Johan segera menunjukkan jas dan juga sebuah kebaya untuk Yulianti dan tak lama kemudian, mereka sudah memakai jas dan juga kebaya yang akan di kenakan saat akan nikah.

Mereka layaknya sebuah keluarga yang sangat harmonis, terlihat Yulianti yang begitu akrab dengan Damar membuat Adiyaksa juga turut senang dan bahagia melihat mereka berdua.

"Aku berharap, dengan acara pernikahan ini akan menjadi awal kebahagiaan aku dan juga anakku." Tutur Adiyaksa dalam hati.

...Bersambung....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!