Malam yang begitu tenang dan cerah bertabur bintang, sinar rembulan bersinar terang mengiringi keindahan suasana rumah dimalam hari, sayup-sayup terdengar suara perbincangan adik kakak yang sedang asik bercerita di kamarnya, namun suasana hangat itu berubah menjadi dingin seperti cuaca malam ini.
"Seandainya ayah dan ibu masih hidup, kita tidak akan hidup seperti ini." Kata Syila sambil memanyunkan bibirnya.
"Sabar, kakak ada disini bersamamu." Kata Cahaya sambil menggenggam kedua tangan adiknya.
"Tapi aku takut, Kak." Kata Syila.
"Takut apa?" Tanya Cahaya.
"Usia Kakak sudah 20 tahun, bagaimana jika nanti paman menjodohkanmu." Jawab Syila.
"Setelah Kakak menikah, Kakak pasti ikut suami dan aku sendirian disini." Lanjut Syila.
"Kamu ini bicara apa, kakak sudah berjanji sama ayah dan ibu untuk menjagamu." Kata Cahaya sambil mengelus pipi adiknya.
"Mana mungkin aku meninggalkanmu sendiri." Lanjut Cahaya.
"Janji ya." Kata Syila sambil mengangkat jari kelingkingnya.
"Iya." Kata Cahaya sambil menautkan jari kelingkingnya dengan adiknya.
"Ayo tidur, sudah malam! Besok harus sekolah." Kata Cahaya sambil mengusap kepala adiknya, namun Syila hanya diam sambil menunduk sedih.
"Ada apa?" Tanya Cahaya heran.
"Aku ingin pindah sekolah, Kak." Jawab Syila masih dalam posisi yang sama.
"Kenapa?" Tanya Cahaya.
"Aku sering dibuli di sekolah, disini juga begitu. Rasanya aku tidak betah jika terus tinggal disini, Kak." Jawab Syila sambil menatap sedih kakaknya.
"Ayo kita pergi dari sini, Kak!" Lanjut Syila sambil berkaca-kaca.
"Syila." Kata Cahaya sambil memeluk adiknya.
"Jangan menangis, kakak akan selalu bersamamu." Kata Cahaya menenangkan adiknya yang menangis didalam pelukannya.
"Kakak akan bekerja keras agar mendapatkan uang untuk cari kontrakan dan pergi dari sini, meski harus melawan paman dan bibi. Demi memenuhi janji Kakak kepada almarhum ayah dan ibu untuk menjagamu." Batin Cahaya sambil mengusap lembut kepala adiknya.
.....
Disisi lain, Aryo yang merupakan paman dari Cahaya sedang menelepon seseorang, mereka sedang membicarakan soal hutang.
"Bagaimana jika saya menawarkan keponakan saya saja, Pak? Saya benar-benar belum punya uang." Kata Aryo
"Apa? Kamu ingin menjual keponakanmu sendiri." Kata seseorang ditelepon dengan nada sedikit tinggi.
"Bukan begitu maksud saya, Pak." Kata Aryo panik.
"Begini, saya sarankan putra bapak itu dinikahkan agar ada yang mengurusnya, sekaligus menyembuhkan luka batinnya. Keponakan saya ini sangat baik, cantik, sabar, dan penyayang. Saya yakin jika keponakan saya ini bisa membantu penyembuhan putra Bapak." Jelas Aryo.
"Lagi pula dia anak yatim piatu dan saya sendiri agak kesulitan untuk menafkainya dalam kondisi seperti ini. Saya merasa bersalah kepada orang tuanya karena tidak bisa mengurusnya dengan baik. Jika keponakan saya menjadi menantu bapak, maka dia mendapatkan kehidupan yang layak. Begitu, Pak." Lanjut Aryo.
Tak ada jawaban dari sana, Aryo semakin cemas jika rencananya akan gagal.
"Kalau begitu bawa dia padaku, aku ingin melihatnya besok." Kata orang tersebut setelah diam beberapa saat.
"Baik, Pak." Kata Aryo sambil bernafas lega, kemudian memutuskan panggilannya.
"Ternyata tidak sesulit yang aku kira." Kata Aryo sambil tersenyum licik.
.....
Cahaya sedang bersiap-siap untuk berangkat bekerja, sambil berdiri didepan cermin ia merapikan jilbabnya. Hari ini ia begitu bersemangat mengingat janjinya kepada adiknya tadi malam, namun baru saja ia keluar kamar, langkahnya dihentikan oleh pamannya.
"Cahaya, hari ini kamu gak usah kerja. Kamu ikut aku saja." Kata Aryo.
"Kemana, paman?" Tanya Cahaya.
"Sudah ikut saja."
"Ada apa ini, pasti paman menginginkan sesuatu." Kata Cahaya didalam hati merasa curiga.
"Maaf Paman aku tidak bisa, aku akan berangkat sekarang." Kata Cahaya kemudian melanjutkan langkahnya.
"Kamu ingin melawan." Kata Aryo dengan nada sedikit tinggi.
"Cahaya, kamu gak usah kerja lagi. Pamanmu sudah mencarikan tempat tinggal dan kehidupan yang layak buat kamu." Kata Sita tiba-tiba datang yang merupakan bibinya.
"Maksud Bibi apa?" Tanya Cahaya sambil menyipit keheranan.
"Pamanmu sudah memilihkan calon suami yang akan merubah hidupmu." Jawab Sita sambil tersenyum.
"Apa!" Kata Cahaya terkejut.
"Aku." Kata Cahaya tidak melanjutkan kata-katanya karena dipotong oleh Aryo.
"Sudah jangan membantah! Kamu ikut aku sekarang!" Kata Aryo sambil ingin menarik tangan Cahaya, namun Cahaya menghindarinya.
"Tidak, maaf aku belum siap menikah dan aku akan cari sendiri calon suami untukku." Kata Cahaya kemudian bergegas meninggalkan paman dan bibinya.
"Cahaya, berhenti!" Teriak Aryo namun tidak diguris oleh Cahaya.
"Jika kamu melawan, maka adikmu yang akan jadi penggantinya." Kata Sita dengan nada sedikit tinggi yang seketika berhasil menghentikan langkah Cahaya.
"Bibik bicara apa? Syila masih SMA, Bik." Kata Cahaya dengan nada sedikit tinggi.
"Jika begitu jangan membantah atau Syila yang akan jadi penggantinya." Kata Sita.
"Dan jangan coba-coba untuk melarikan diri, atau kau akan menerima akibatnya sendiri." Kata Aryo sambil menunjuk Cahaya.
"Kalian mengancamku, aku sama sekali tidak takut." Kata Cahaya tidak mau kalah.
"Oh, berani melawan kamu ya. Apa kamu lupa dimana kamu tinggal, dan siapa yang memberimu makan setiap hari, membiayai sekolah adikmu. Begini caramu berterima kasih kepada kami, hah." Kata Sita.
"Bukan begitu, tapi." Kata Cahaya tidak melanjutkan kata-katanya karena dipotong oleh Aryo.
"Sudah cukup, jangan membantah, aku tidak ingin mendengar apa pun lagi." Kata Aryo.
"Ya Allah apa yang harus aku lalukan." Kata Cahaya didalam hati.
"Tunggu apa lagi, ayo pergi!" Kata Aryo.
"Iya." Kata Cahaya pasrah.
Dengan langkah berat Cahaya mengikuti pamannya, ia tidak menyangka ketakutan adiknya benar-benar akan terjadi. Entah bagaimana jika adiknya tahu tentang ini, sedangkan Cahaya sendiri tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolaknya. Disepanjang perjalanan ia hanya diam sambil melihat keluar dari jendela mobil.
"Ingat ya, bicara yang baik dan sopan. Jangan lupa tersenyum, dan jangan menunjukkan keterpaksaan." Kata Aryo kepada Cahaya, namun tidak dijawab.
.....
Dikediaman keluarga Permana terlihat seorang pria muda tampan yang duduk dikursi roda, sudah lengkap dengan seragam kantornya bersama dengan asistennya, yang mendorong kursi rodaya keluar dari kamarnya. Baru sampai di ruang tamu, ternyata ibunya sudah menunggunya.
"Zeyyan, kamu mau berangkat kekantor?" Tanya Riana sambil berjalan mendekati putranya.
"Iya, Ma." Jawab Zeyyan datar.
"Bisakah untuk hari ini kamu tetap di rumah." Kata Riana lembut.
"Tidak." Kata Zeyyan sambil menoleh kearah ibunya sebentar.
"Ayo, Fan!" Kata Zeyyan kepada asistennya untuk kembali mendorong kursi rodanya.
"Baik, Tuan." Kata Efan mematuhi perintah bosnya.
"Tapi, Zeyyan." Kata Riana ingin menghentikan Zeyyan, namun tidak direspon sama sekali.
"Huft." Riana menghela nafas kerena sikap putranya itu.
"Zeyyan sudah berangkat, Ma?" Tanya Endra yang merupakan suaminya Riana.
"Sudah, Pa." Jawab Riana.
"Apa Papa yakin untuk menikahkan Zeyyan?" Tanya Riana ragu, sambil menatap sendu kepada suaminya.
"Ya kita lihat dulu seperti apa gadis itu." Jawab Endra sambil terseyum.
.....
Setelah sampai di sekolah Syila tidak langsung masuk, melainkan ia hanya berdiri didepan pintu gerbang. Mengingat dirinya sering dibuli di sekolah ia ragu ingin masuk kesana, jika bukan teringat akan kakaknya ia sangat malas untuk bersekolah. Setelah cukup lama berdiri, Syila menarik nafas panjang dan mulai melangkahkan kakinya untuk memasuki sekolah tersebut. Dan benar saja ia sudah ditunggu oleh tiga mahasiswa di depan kelas, yang biasa meminta uang kepadanya.
Bersambung.....
Cahaya dan Aryo telah sampai di kediaman permana, terlihat bangunan besar dan megah bak istana yang membuat Cahaya tercengang kagum melihatnya.
"Subhanallah, inikah rumahnya." Ucap Cahaya didalam hati.
"Ini rumahnya, bersikaplah dengan baik." Kata Aryo kepada Cahaya.
"Kenapa Paman tidak menjodohkan kak Diva saja, jika sekaya ini?" Tanya Cahaya kepada Aryo namun tidak dijawab.
"Tidak dijawab, berarti ada yang sesuatu yang disembunyikan. Makanya paman menjodohkan aku dengan keluarga sekaya ini, diakan licik." Gerutu Cahaya didalam hati.
"Ya Allah bagaimana jika ternyata kakek-kakek yang akan menikahiku nanti." Kata Cahaya didalam hati merasa hawatir, jika dirinya akan dijodohkan dengan seorang kakek-kakek seperti difilm-film.
Dengan langkah pelan Cahaya memasuki rumah tersebut dengan perasaan yang tidak karuan. Bibirnya komat-kamit terus membaca doa, berharab nasibnya tidak seburuk yang ia bayangkan. Dirinya semakin tegang setelah bertemu dengan Riana dan Endra, namun berusaha untuk tetap tenang.
"Jadi ini keponakanmu itu?" Tanya Endra.
"Iya, Pak." Jawab Aryo.
"Siapa namamu?" Tanya Riana sambil memperhatikan penampilan Cahaya dari ujung kepala hingga ujung kaki.
"Cahaya, Nyonya." Jawab Cahaya sambil tersenyum.
"Cahaya?" Kata Riana heran.
"Cahaya Fatiyaturahma." Jelas Cahaya.
"Fatiyaturahma artinya kebahagiaan, dan orang tua saya memberi nama itu berharap hadirnya saya bisa membawa cahaya kebahagiaan." Lanjut Cahaya sambil tersenyum.
"Eh, kenapa aku menjelaskan itu. Apa pentingnya itu bagi mereka." Kata Cahaya didalam hati.
"Nama yang bagus." Kata Riana.
"Terlihat lembut dan sederhana." Kata Riana didalam hati.
"Tapi apa kamu yakin ingin menikah dengan putra kami, putra kami itu mengalami kelumpuhan?" Tanya Riana.
"Oh, jadi putranya. Pantas paman menjodohkannya denganku dan bukannya kak Diva, ya setidaknya bukan kakek-kakek." Kata Cahaya didalam hati.
"Iya, Nyonya." Jawab Cahaya.
"Heh, kok iya-iya aja sih. Gak aku gak mau." Kata Cahaya didalam hati rasanya ingin menolak tetapi tidak bisa.
"Kamu ikhlas menerimanya?" Tanya Riana lagi dengan serius.
"Iya, Nyonya. Saya ikhlas menerimanya." Jawab Cahaya sambil tersenyum.
"Tidak, tidak, tidak." Kata Cahaya didalam hati rasanya ingin berteriak.
"Bagaimana, Pa?" Tanya Riana kepada Endra.
"Terserah kamu saja." Jawab Endra.
"Baiklah, kami akan segera menentukan tanggal pernikahannya." Kata Riana setuju.
"Baik, Nyonya." Kata Aryo sambil tersenyum senang.
"Kenapa mereka setuju." Kata Cahaya didalam hati.
.....
Lagi-lagi Syila dibuli oleh teman-temannya dan tak ada satu pun yang mau membantunya, karena tidak berani melawan para tukang buli tersebut. Syila selalu dipalak setiap pagi oleh tiga orang siswa laki-laki.
"Syila, uang sakunya mana?" Tanya salah satu siswa sambil menyodorkan tangannya.
"Gak ada, aku gak bawa uang." Jawab Syila ketus dan ingin melanjutkan langkahnya, namun dihadang oleh ketua geng tukang palka itu yang bernama Reno.
"Jangan bohong, kamu akan tahu sendiri akibatnya jika melawan." Kata Reno sambil menyoel pipi Syila.
"Jangan pegang-pegang." Kata Syila kesal sambil menepis tangan Reno.
"Masih sok berani aja ya." Kata Reno.
"Geledah tasnya!" Kata Reno memerintahkan kedua temannya untuk menggeledah tasnya Syila. Sedangkan Syila hanya diam dan membiarkan mereka menggeledah tasnya.
"Gak ada, Ren. Cuma kotak bekal." Kata salah satu teman Reno sambil menujukkan sebuah kotak bekal.
"Aku sudah bilang kalau gak bawa uang." Kata Syila.
"Coba sini ku lihat!" Kata Reno sambil mengambil kotak bekal tersebut.
"Kamu ingin mengambilnya juga." Kata Syila heran.
"Tenang-tenang aku balikin kok." Kata Reno sambil membuka kotak bekal tersebut.
"Nih, habisin ya." Kata Reno sambil melempar kotak bekal yang terbuka tersebut ke wajah Syila.
"Hahaha." Tawa ketiganya merasa puas melihat wajah Syila yang berlumuran dengan bekal yang ia bawa.
Syila begitu geram dengan ketiga siswa tersebut dan membalasnya dengan melempar nasi dan sayur yang berserakan di lantai itu kewajah mereka bertiga, namun malah mengenai baju siswi yang juga sering membulinya.
"Syila!" Teriak siswi tersebut marah, sedangkan Syila lari ke kamar mandi untuk membersihkan wajahnya.
"Gak usah dikejar, kita akan balas dia nanti." Kata Reno mencegah siswi tersebut yang ingin mengejar Syila.
.....
Cahaya begitu gelisah dengan apa yang telah terjadi, bagaimana bisa dia dengan mudahnya menerima perjodohan ini. Entah bagaimana nasipnya nanti, bahkan ia tidak tahu seperti apakah calon suaminya itu. Dan sekarang yang paling ia cemaskan adalah adiknya, sudah pasti Syila akan kecewa dengan apa yang terjadi.
"Ya Allah, kenapa ini terjadi padaku. Aku harus bagaimana. Malangnya nasibku." Kata Cahaya didalam hati.
"Yang paling penting saat ini adalah Syila, bagaimana aku mengatakan kepadanya."
.....
Setelah pulang sekolah Syila kembali dihadang oleh para tukang buli tersebut, mereka menyeretnya ketempat yang sepi agar dengan mudahnya mereka untuk melancarkan aksinya. Syila didorong hingga jatuh, kemudian dilempari tepung dan disiram air. Tidak hanya itu saja, mereka juga menuangkan seember sampah keatas kepalanya Syila dan salah satu dari mereka merekam video pembelian tersebut sambil tertawa dan tanpa rasa kasihan sama sekali. Sedangkan Syila hanya menangis pasrah karena tidak bisa berbuat apa-apa dan juga tidak ada satu orang pun yang tahu tentang itu. Cukup lama ia berdiam diri sambil meratapi nasibnya, tanpa sadar hari sudah sore.
#
"Kenapa Syila belum pulang." Kata Cahaya didalam hati sambil melihat jam.
Cahaya mulai cemas karena sampai saat ini adiknya belum pulang juga, ia pun pergi mencarinya ke sekolah, namun sekolah tersebut sudah tutup dan sudah tak ada satu orang pun disana. Ia mencoba menghubunginya berkali-kali, namun nomornya tidak aktif, kemudian mencoba menghubungi teman-temannya, namun tetap tidak mendapatkan petunjuk yang membuatnya semakin cemas.
"Syila kamu ada dimana, apa yang terjadi padamu." Kata Cahaya sambil berjalan menyusuri tempat-tempat yang kemungkinan adiknya ada disana.
"Apa mungkin." Kata Cahaya teringat satu tempat yang belum ia datangi.
#
Dan benar saja Syila ada disana, tempat itu tidak lain adalah makam kedua orang tuanya.
"Ayah! ibu! Aku tidak sanggup hidup seperti ini, hiks hiks." Kata Syila sambil menangis dan bersandar memeluk batu nisan almarhum ibu dan ayahnya.
"Aku ingin ikut bersama kalian saja, hiks hiks hiks."
"Syila!" Teriak Cahaya sambil berlari menghampiri adiknya.
"Kakak, hiks hiks."
"Astaghfirulloh, apa yang terjadi padamu?" Tanya Cahaya melihat penampilan adiknya yang tidak karuan.
"Aku dibuli, Kak. Hiks hiks." Jawab Syila sambil menangis.
"Syila." Kata Cahaya sambil memeluk adiknya.
Sejak itu Syila tidak berani pergi ke sekolah lagi, ia hanya berdiam diri dirumah.
.....
Zeyyan selalu menyibukkan diri di kantor untuk mengisi rasa bosannya dan selalu saja pulang malam. Endra dan Riana menunggu kedatangannya untuk memberitahu jika dirinya akan segera menikah, dan seperti yang Riana duga Zeyyan sangat marah dan bersikeras untuk menolaknya kerena masa lalunya yang buruk, meski begitu Endra tetap memaksanya.
"Apa kalian sudah gila, sudah ku katakan bahwa sampai kapan pun aku tidak akan menikah!" Kata Zeyyan dengan nada tinggi.
"Mau sampai kapan kamu akan seperti ini?" Tanya Endra.
"Sampai mati." Jawab Zeyyan dingin.
"Mau gak mau pokoknya kamu akan menikah. Titik." Kata Endra tegas kemudian pergi meninggalkannya.
"Aaggrrhh." Kata Zeyyan kesal dan melempar vas bunga yang didekatnya.
Prank
Bersambung.....
Cahaya sedang membereskan piring kotor yang berada di meja makan, bersama adiknya yang duduk disebelahnya, tanpa membantunya karena Syila baru sembuh dari demam setelah dibuli beberapa hari yang lalu.
"Kakak, tidak bekerja?" Tanya Syila sambil melihat kakaknya.
"Kamu kan baru sembuh." Jawab Cahaya sambil fokus mencuci piring diwastafel.
"Kakakmu tidak akan bekerja lagi, besok dia akan menikah." Kata Diva yang tiba-tiba datang mengambil air minum.
"Apa? Jangan bercanda itu tidak lucu." Kata Syila ketus.
"Diva tidak bercanda, mulai sekarang kamu harus belajar mandiri dan tidak bergantung pada kakakmu terus." Kata Sita ikut nimbrung pembicaraan Diva.
"Apa itu benar, Kak Aya?" Tanya Syila kepada Cahaya, namun tidak dijawab.
"Kalau Kak Aya diam, berarti bener." Kata Syila kesal.
"Em. Itu." Kata Cahaya ingin menjelaskan, namun Syila sudah pergi lebih dulu dari sana sebelum Cahaya selesai berbicara.
"Syila!" Kata Cahaya memanggil adiknya namun tidak digubris sama sekali. Setelah selesai beres-beres Ia pun segera menyusul adiknya ke kamar.
"Syila!" Kata Cahaya sambil berjalan menghampiri adiknya yang sedang berbaring diatas tempat tidur sambil memeluk guling.
"Kakak jahat, Kakak mengingkari janji." Kata Syila masih dalam posisi yang sama.
"Bukan begitu, Syi. Kakak itu." Kata Cahaya tidak melanjutkan kata-katanya karena di potong oleh adiknya.
"Sudah, aku tidak ingin mendengar alasan apa pun." Kata Syila sambil menutup telinganya dengan bantal.
"Aku ingin sendiri." Kata Syila lagi.
Cahaya tidak bisa berbuat apa-apa, ia hanya pasrah dengan keadaan dan membiarkan adiknya seperti itu dan pergi meninggalkannya, karena ia tahu jika Syila sangat kecewa, itu terlihat dari perubahan sikapnya yang biasanya selalu manja padanya.
Setelah Syila tahu jika kakaknya akan menikah, ia hanya mengurung diri di kamarnya. Perasaan Cahaya semakin kacau dengan sikap adiknya itu, ia sudah berusaha membujuknya untuk makan namun sampai malam pun Syila masih tidak mau makan.
"Syila, tolong jangan seperti ini." Kata Cahaya sambil berkaca-kaca.
"Syila, hiks hiks." Kata Cahaya sambil menangis kerena sudah tidak bisa menahan air matanya.
"Iya, aku akan makan." Kata Syila yang akhirnya beranjak dari tempat tidurnya karena tidak tega dengan kakaknya.
.....
Waktu begitu cepat berlalu, hari pernikahan Cahaya dan Zeyyan pun telah tiba. Namun acara pernikahan tersebut hanya digelar dengan sederhana karena mereka hanya dinikahkan secara siri dan tidak mengundang banyak orang.
Bagaimana layaknya pengantin wanita biasanya, Cahaya dirias dengan secantik mungkin dengan memakai gaun pengantin berwarna putih yang elegan dengan jilbab dan hiasan yang senada dengan gaunnya. Cahaya terlihat begitu cantik dan anggun di hari yang menyedihkan baginya, ditambah Syila tidak mau menghadiri acara itu, ia pun tidak bisa berbuat apa-apa hanya bisa pasrah menjalaninya, seperti boneka yang dikendalikan sesuai keinginan pemiliknya.
Begitu pun dengan Zeyyan, hari ini adalah hari yang tidak ada artinya sama sekali baginya, hanya hari kedua yang buruk baginya, setelah apa yang terjadi pada dirinya satu tahun yang lalu.
"Bagaimana para saksi, sah?"
"Sah."
Pernikahan itu berjalan dengan lancar, Zeyyan mengucapkan ijab kabul dengan lancar hanya perlu satu tarikan saja meski itu terpaksa, namun tak ada senyum bahagia dari pasangan pengantin ini, bagaikan kopi hitam tanpa gula.
#
Waktu berlalu acara itu pun sudah selesai, kini perangan pengantin itu sudah berada di kamarnya.
"Apa yang sebenarnya kamu inginkan?" Tanya Zeyyan dingin tanpa sambil menatap tajam istrinya yang sedang duduk di sofa sambil menunduk.
"Apa maksudmu?" Tanya Cahaya sambil meninggalkan kepalanya.
"Katakan saja jika kamu menginginkan uang, aku akan memberikannya berapa pun yang kamu inginkan asal kamu pergi dari sini." Jawab Zeyyan.
"Maaf, saya memang orang miskin tapi saya tidak serakah dengan harta." Kata Cahaya merasa tersinggung dengan pertanyaan Zeyyan.
"Saya tidak menginginkan apa pun dari dirimu." Lanjut Cahaya.
"Lalu kenapa kamu mau menikah denganku?" Tanya Zeyyan lagi, namun tidak dijawab.
"Katakan!" Kata Zeyyan dengan nada sedikit tinggi.
"Saya rasa anda sudah tahu dengan alasannya." Kata Cahaya sambil mengalihkan pandangannya.
"Sudah ku duga kamu menginginkan sesuatu dariku." Kata Zeyyan.
"Ingat satu hal, aku terpaksa menikahimu jadi jangan berharap lebih. Dan satu lagi, aku tak ingin disentuh olehmu." Kata Zeyyan sambil menunjuk istrinya.
"Dan kau tidur di sofa."
"Paham!"
"Iya." Kata Cahaya lembut sambil mengepalkan tangan karena perkataan Zeyyan yang dilontarkan pada dirinya. Sedangkan Zeyyan pergi keluar dari kamar meninggalkan Cahaya sendiri.
"Huft." Cahaya menghela nafas untuk menetralkan perasaannya.
"Astaghfirullohahazim, kuatkanlah hambamu ini Ya Allah." Kata Cahaya didalam hati.
.....
Hari semakin malam, tapi Cahaya belum juga tidur, ia masih saja gelisah memikirkan adiknya, berkali-kali ia mencoba menghubunginya sambil mondar-mandir kesana-kemari, namun tidak ada jawaban, ia sangat cemas jika terjadi sesuatu dengannya.
"Kemana dia, jam segini belum juga tidur." Kata Zeyyan sambil melihat sekeliling kamar dan tidak mendapati keberadaan istrinya, karena penasaran ia pun pergi mencarinya.
#
Syila tidak peduli dengan ponselnya yang terus berdering sejak tadi, ia hanya berbaring ditempat tidur sambil memeluk guling. Karena sudah lama mengurung diri di kamar, ia merasa haus kemudian beranjak bangun dan pergi ke dapur untuk mengambil air minum. Belum sampai di dapur langkahnya terhenti karena samar-samar mendengar suara Aryo bersama anak dan istrinya berbincang-bincang sambil tertawa bahagia. Karena penasaran ia pun pergi menguping pembicaraan mereka.
"Ternyata memang tidak ada ruginya kita menampung anak-anak itu." Kata Sita.
"Iya bisa melunasi hutang malah dapat bonusnya." Kata Diva.
"Hahaha. Sudahku bilang mereka itu ada gunanya, yang menguntungkan buat kita." Kata Aryo.
"Ya benar juga, Cahaya begitu mudah dimanfaatkan." Kata Diva.
"Tentu, dia sangat menyayangi adiknya. Jika ingin lagi kita bisa menggunakan Syila untuk meminta Cahaya memberikan uang pada kita. Suaminyakan sangat kaya." Kata Sita.
"Bener baget." Kata Diva.
#
"Apa? Jadi Kakak dipaksa oleh mereka dengan menggunakan aku. Kasihan Kak Aya, pasti dia sangat hawatir karena ku abaikan." Kata Syila didalam hati, kemudian segera kembali ke kamarnya dan mengangkat telepon kakaknya.
#
Cahaya duduk dilantai sambil bersandar di tembok, masih sambil terus menghubungi adiknya berharap Syila mau memaafkannya dan mengangkat telponnya.
"Angkat Syila angkat." Kata Cahaya sambil berlibangan air mata.
"Kakak mohon." Kata Cahaya lirih.
#
"Sedang apa dia." Kata Zeyyan melihat istrinya dari jauh.
"Syila?" Kata Zeyyan mendengar samar-samar istrinya menyebut satu nama.
"Siapa Syila." Kata Zeyyan penasaran dan memantaunya.
#
"Halo, assalamualaikum." Ucap Syila dari telepon.
"Waalaikumsalam."
"Syila, alhamdulullah akhirnya kamu mengangkat telpon kakak." Kata Cahanya sambil mengusap air matanya dan tersenyum senang.
"Iya, Kak. Maaf."
"Kakak yang minta maaf."
"Tidak, Kak. Kak Aya gak salah, aku yang salah."
"Kak Aya terpaksa melakukan ini."
"Maaf sudah membuatmu cemas."
"Tidak, tidak apa-apa."
"Apa kamu baik-baik aja disana?"
"Iya, Kak. Aku baik."
"Kamu sudah makan atau belum?"
"Sudah, Kak."
"Syukurlah kalau begitu, jaga diri kamu baik-baik ya. Kakak belum bisa menjengukmu."
"Iya, Kak."
"Kakak juga jaga diri baik-baik disana."
"Nanti kalo suami kakak galak bilang aja sama aku, biar aku pukul pakai sepatu." Kata Syila mencoba menghibur kakaknya.
"Iya." Kata Cahaya sambil tetsenyum senang karena adiknya berhadil menghiburnya.
"Ya sudah ini sudah malam, kamu tidur ya."
"Iya."
"Assalamualaikum, Kakakku sayang."
"Waalaikumsalam, Adikku sayang." Ucap Cahaya dan mengakhiri panggilannya.
"Alhamdulillah, terima kasih Ya Allah karena sudah mengabulkan doaku." Kata Cahaya didalam hati sambil tersenyum.
#
"Hah, pandai bersandiwara. Dia pasti menginginkan belas kasihan dariku." Kata Zeyyan kemudian pergi kembali ke kamar.
Bersambung......
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!