NovelToon NovelToon

Terjebak Reverse Harem

Lila Dan Kampung Halaman

"Wanita jalang...! Kenapa kau tidak mau mendengar kata-kataku? Gugurkan anak itu atau aku bunuh kau?"

"Bunuh saja aku! Bunuh...!"

"Aku sudah muak padamu, bajingan...!"

"Tolong, tolong aku...! Tolong bebaskan aku dari kesengsaraan ini!"

Lila tersentak, ia terbatuk-batuk saat serangan trauma itu membuatnya merasa tercekik. Tanpa sadar kedua tangannya memegang lehernya. Ini adalah yang ketiga kalinya mimpi buruk itu menyerang.

Ia mencoba mengambil nafas dalam-dalam dan menahannya selama beberapa detik sebelum akhirnya menghembuskan nafasnya perlahan.

"Sakit-" rasa sakitnya masih terasa. Entah sudah berapa kali ia membiarkan tubuhnya menjadi sasaran kekerasan dari pria itu dan anehnya, sulit baginya untuk lepas dari cengkramannya meski sudah empat bulan sejak semua itu berakhir.

Ia mengangkat kepalanya dari atas bantal setelah melihat cahaya masuk melalui celah-celah jendela kamarnya. Hari ini dia sudah bertekad untuk kembali Brisbane, kampung halamannya, tempat ia dibesarkan dan tumbuh menjadi pemimpin geng anak-anak di kota itu.

Lila membuka ponselnya, 20 panggilan tak terjawab masuk dari ibunya dan belasan pesan yang bernada sama.

'Kau tidak boleh pergi. Aku tidak mengizinkanmu pergi!'

Pesan yang dikirim oleh ibunya semua bernada sama, larangan bahwa ia tidak diizinkan kembali ke kampung halamannya.

"Maaf, Ibu. Aku akan tetap pulang. Aku merindukan masa kecilku dan ingin hidupku yang dulu kembali."

***

Brisbane, Australia

24 September 2023

"Anda yakin akan turun di sini, Nona?" Tanya supir taksi. Lila melihat keluar jendela untuk memastikan bahwa dia sudah turun tepat di depan rumah lamanya yang ia tinggalkan 10 tahun yang lalu.

Sebuah rumah tua yang terlihat tak terawat, dulu ia tinggal di rumah itu bersama kedua orangtuanya dan kakak perempuannya sampai akhirnya mereka memutuskan untuk pindah ke Bali, Kota kelahiran ibunya yang merupakan orang Indonesia.

"Ya, berhenti di sini saja, Pak!" Ucapnya. Supir taksi mengentikan taksinya dan Lila langsung membuka pintu.

Seperti yang sudah ia duga, rumah ini tak terawat sama sekali sejak mereka pergi demi menghindari para penagih hutang yang terus mengejar ayahnya.

"Apa masih ada barang lain yang tertinggal, Nona?"

"Saya rasa sudah semuanya, terima kasih banyak."

"Baiklah, kalau begitu saya permisi dulu. Sampai jumpa?"

Lila tersenyum melepas kepergian sang supir taksi. Jalanan di daerah ini terlihat sepi terutama di bagian rumahnya. Ia masih ingat dibelakang rumahnya ada sebuah danau tempat ia dan keempat sahabat masa kecilnya sering berenang saat musim panas tiba. Alih-alih berenang di kolam renang yang ada di rumah Henry yang super kaya, mereka lebih suka berenang di danau.

Dua orang wanita paruh baya berjalan menuju ke arahnya, mereka tampaknya hanya ingin lewat, namun cara mereka memandangnya sembari berbisik membuatnya langsung menyadari bahwa mereka sedang membicarakannya.

"Dasar penggosip-" ia langsung bergumam pelan tepat saat kedua wanita itu lewat, berharap mereka bisa mendengar sindirannya.

Kedua wanita itu melotot dengan sinis saat menyadari bahwa mereka disindir secara langsung, mereka buru-buru pergi dan itu membuatnya ingin tertawa.

Ternyata suasana kota ini dan lingkungan perumahan ini masih sama seperti yang terakhir kali ia tinggalkan 10 tahun lalu. Ia menarik kopernya menuju rumah yang terlihat cukup menakutkan dan berdiri di depan pintu untuk memeriksa apakah pintu rumah ini terkunci atau tidak.

"Tidak dikunci, ternyata ayah memang tidak pernah ingat untuk mengunci pintu sebelum pergi." Ucapnya sambil menarik kenop pintu.

Muncul suara berderit yang cukup keras saat pintu dibuka secara paksa. Karena sudah tak terawat, kondisi pintu ini menjadi susah dibuka. Tiga ekor tikus melompat dan berlari keluar rumah dan membuatnya langsung menjerit.

"Tikus...!" Lila menjerit bukan karena ia takut tikus, melainkan karena terkejut.

"Hahaha..." Terdengar suara tawa dari arah belakang. Ia langsung menoleh untuk melihat bocah mana yang berani menertawakannya.

"Siapa itu yang tertawa?" Ucapnya kesal. Namun anak-anak nakal itu langsung berlari sebelum ia sempat memergoki mereka.

Ini adalah masalah baru mengingat ia harus membersihkan tempat ini dengan ekstra. Rumah yang kotor, penuh debu dan reot bukan tempat yang layak untuk ditinggali. Namun ini adalah rumahnya, lebih tepatnya adalah rumah ayahnya. Selain itu rumah ini tidak pernah dijual karena itu rumah ini masih menjadi haknya.

"Dasar anak-anak nakal, aku hampir saja mati." Ia melangkah dengan hati-hati hanya untuk mendengar lantai yang berderit. Sempat terpikir untuk berubah pikiran dan mencari rumah lain untuk disewa, namun tabungannya yang tersisa membuatnya harus berhemat.

"Siapa disitu?" Seseorang memanggilnya. Kali ini bukan suara anak-anak. Melainkan suara wanita dewasa. Karena panik, ia langsung mencari tempat bersembunyi.

Ia melihat sebuah pintu menuju ruang bawah tanah rumahnya yang berada di dapur. Ia bersembunyi di dalam sana seperti seekor tikus yang ketahuan tinggal di dalam rumah secara ilegal.

"Ya ampun, apa yang aku lakukan? Kenapa juga aku harus bersembunyi seperti pencuri di rumahku sendiri?" Batinnya. Sekarang ia harus menahan dirinya dari kegelapan dan bau lembab yang memenuhi ruang bawah tanah.

Ia mendengar suara langkah kaki seseorang dan ia yakin wanita yang memanggilnya itu yang sedang mencarinya. Namun karena merasa tidak enak, ia memutuskan untuk keluar dari tempat persembunyiannya dan menampakkan wujudnya.

"M-maafkan saya, saya tidak bermaksud untuk-"

"Siapa kau?" Tanya wanita itu. Lila terkejut karena waja wanita ini sangat tidak asing baginya.

"Bibi Erika?"

"Kau tahu namaku?"

"Aku Lila, Bibi. Camila Adriana Cohen, teman baik Pierre."

"Lila? Oh ya Tuhan, kau Lila?" Wanita itu terkejut setelah mengetahui siapa wanita muda yang diam-diam masuk dan bersembunyi di rumah kosong ini.

"Maafkan aku, Bibi. Aku benar-benar tidak bermaksud untuk-"

"Kenapa kau mengendap-endap seperti itu? Ya Tuhan, seharusnya kau bisa datang seperti biasa."

"Aku melihat rumah ini kosong dan terbengkalai. Jadi, jika aku masuk begitu saja pasti akan sangat aneh."

"Oh ya Tuhan, kau sangat cantik. Kau benar-benar sudah berubah, Lila." Bibi Erika terus berdecak kagum. Ia seolah tak percaya bahwa Lila si gadis nakal yang selalu berpenampilan seperti anak laki-laki berubah menjadi wanita yang sangat cantik dan feminim.

Lila tertawa canggung, sejujurnya ia ingin menanyakan tentang Pierre. Namun ia belum siap untuk mengetahui sesuatu tentang salah satu dari sahabat masa kecilnya itu.

"Pierre akan pulang esok lusa, apa kalian sudah janjian untuk bertemu?"

"Pierre? Dia tidak tinggal di sini lagi?"

"Dia menetap di Sydney sekarang, dia sangat sibuk."

"Jadi, apa Pierre sudah masuk ke klub sepakbola?" Lila mencoba menerka, karena sejauh yang ia tahu terakhir kali mereka bertemu 10 tahun yang lalu, Pierre mendapatkan rekomendasi dari salah satu klub sepakbola terkenal dan itu adalah mimpinya sejak kecil.

"Sebenarnya ini rahasia, tapi karena kau adalah teman masa kecilnya. Aku akan memberitahumu."

"B-benarkah?"

"Sekarang Pierre sudah menjadi supermodel terkenal."

***

Undangan Reuni

"Sungguh? Pierre menjadi supermodel? Bagaimana bisa?"

"Hahaha...memang terdengar mengejutkan. Padahal dulu dia sangat tidak suka difoto. Namun karena alasan khusus, dia berubah pikiran."

"Alasan khusus?"

"Sayangnya dia merahasiakan itu,"

"Begitukah?"

"Jadi kemana saja kau pergi selama ini? Pierre sibuk mencari keberadaanmu. Dia menduga kau pindah ke Indonesia, tapi dia tidak tahu di kota mana kau tinggal."

"Pierre mencariku?"

"Sejak kau dan keluargamu pindah 10 tahun yang lalu, tidak ada seorangpun yang tahu kemana kalian pergi. Teman-temanmu, Pierre, Henry, Aiden dan Jacob, aku sangat yakin mereka merasa sangat sedih dan kehilangan. Namun sekarang sayangnya hubungan mereka semakin renggang."

"Sungguh? Tapi-" Lila tak tahu apa yang harus ia katakan. Ia tidak tahu apa-apa tentang kota ini dan masih keempat temannya. Sejak ibunya memaksanya untuk ikut pindah ke Indonesia, ibunya memutuskan seluruh kontak dengan kehidupan masa lalunya.

Bibi Erika menyentuh lembut wajahnya yang terlihat sedih, ia merasa bersalah karena sudah memberitahu sesuatu yang seharusnya bukan dia yang mengatakannya.

"Tinggalah di rumah ini, orang-orang itu tidak akan datang lagi untuk mencari ayahmu. Sekarang rumah ini kosong dan tidak terawat."

"Baiklah, Bibi."

"Jika kau butuh bantuan, beritahu aku. Aku pasti akan membantumu!"

"Terima kasih banyak."

***

"Supermodel? Itu tidak mungkin, bukankah dulu dia bilang akan menjadi atlet sepakbola?"

Lila menghela nafas, meski dia sudah sangat bersemangat untuk membersihkan seluruh sampah dan kotoran di rumah ini. Namun setiap kali ia teringat kembali dengan pembicaraannya dengan Ibu Pierre pagi ini membuat fokusnya teralihkan .

Lila terduduk lemas di atas lantai, pikirannya mulai dipenuhi dengan kejutan demi kejutan. Rumah ini terasa sangat sunyi dan saat ia membuka jendela, ia bisa melihat Danau Milliam Blue yang berada di belakang rumahnya masih terlihat sama seperti dulu.

Dari samping rumahnya, ia melihat anak laki-laki yang mengejeknya tadi pagi saat ia baru masuk ke rumah ini. Ia tidak tahu bahwa anak itu tinggal di rumah yang sama dengan rumah Pierre. Dia ingat bahwa Pierre punya adik laki-laki yang lahir saat mereka masuk SMA.

"Apa jangan-jangan anak nakal itu Ricky?" Batinnya. Ia sudah terlalu banyak melamun dan bergumam sepanjang hari ini hingga ia lupa melakukan sesuatu yang penting, yaitu pergi ke supermarket untuk berbelanja.

Ia memutuskan untuk keluar dari rumah yang orang-orang di kota ini anggap sebagai rumah hantu dan pergi menuju toserba terdekat yang berada di sekitar pusat pertokoan.

"Selamat datang?" Sapa seorang pegawai wanita yang berdiri di belakang meja kasir.

Lila menatap pegawai wanita itu sekilas, wajahnya terasa tidak asing. Rambutnya yang pirang dengan wajah berbintik.

"Sepertinya aku kenal dia," batinnya. Wanita itu tersenyum ramah padanya saat Lila yang tak sadar terus melirik kearahnya.

Setelah mengambil keranjang belanja, Lila langsung berjalan mengelilingi rak demi tak untuk membeli barang yang ia butuhkan.

"Sepertinya sudah semua, aku hanya perlu membayarnya sekarang." Gumamnya sembari melangkah menuju kasir yang terlihat sepi tanpa antrian.

Lila menyerahkan keranjang berisi belanjaannya yang cukup banyak kepada petugas kasir. Ia langsung membaca tanda pengenal yang terkalung di leher wanita ini.

"Barbara Atkins?"

"Apa ada yang kurang?" Tanya wanita itu.

"Maaf, apa boleh saya tanya sesuatu?"

"Iya, ada apa?"

"Apa kamu Barbara Atkins yang dulu sekolah di SMA Louisville!"

"Itu benar, ada apa?"

"Oh ya ampun, ternyata benar, kau Barbara. Apa kau tidak ingat aku?" Tanyanya dengan senyum lebarnya, berharap wanita ini masih mengingatnya.

Barbara menatap Lila dengan lekat, mencoba mengingat kembali sosok wanita cantik yang berdiri di hadapannya saat ini.

"Apa kita saling mengenal?"

"Barbara, aku Lila, Camilla Cohen yang tinggal di depan Danau Milliam Blue."

"Lila? Kau Lila?"

"Ahaha...iya benar!"

"Lila? Oh ya Tuhan, ini mustahil." Raut wajah ragunya berubah histeris setelah mengingat sosok Lila si 'Trouble maker'

"Kau sudah ingat sekarang? Apa kabar? Sudah lama tidak bertemu,"

"Aku baik-baik saja, tapi bukannya kau pindah saat musim panas kelas 11?"

"Iya, aku kembali ke kota ini pagi ini. Kau bekerja di sini?"

"Ya begitulah, kau sudah bertemu dengan Henry dan yang lainnya?"

"Belum, apa mereka masih tinggal di kota ini?

"Tidak satu pun dari mereka berempat yang masih tinggal di kota ini. Aku dengar, Henry sudah menjadi CEO di beberapa perusahaan  milik ayahnya."

"B-benarkah? Tapi kalau dia sepertinya tidak mengejutkan lagi, dari dulu dia memang sangat kaya."

"Iya benar, kalau Jacob tadi siang aku bertemu dengannya."

"Jake? Dia di kota ini? Apa dia tinggal rumah ayahnya?"

"Aku rasa dia masih di sini, tadi siang dia masuk ke toko ini bersama putrinya untuk membeli es krim."

"Jake sudah menikah?"

"Kau tidak tahu? Apa kalian tidak pernah bertukar kabar?"

"S-sebenarnya tidak," jawabnya ragu.

"Bukankah dulu kalian berlima sangat dekat?"

"Iya, tapi aku pergi tanpa mengucapkan perpisahan pada mereka. Jadi, kami tidak pernah saling berhubungan lagi."

"Sayang sekali, Jake terlihat sangat tampan, aku sampai salah mengira, seingatku dulu dia yang paling pemalu dan pendiam."

"Itu benar, seperti apa dia sekarang? Pasti tingginya tidak bertambahkan?"

"Tidak, justru dia cukup tinggi. Mungkin sekitar 185 cm, tubuhnya juga atletis, pokoknya sangat tampan." Membicarakan pria tampan membuat Barbara mulai bersemangat dengan pembicaraan ini. Apalagi kondisi toserba yang sedang sepi, jadi mereka bisa berbincang lebih lama.

"Apa dia juga membawa istrinya? Aku penasaran siapa istrinya."

"Istri Jake sudah meninggal,"

"Meninggal? Kau serius?"

"Iya, aku dengar istrinya meninggal saat meliharkan putrinya. Aku datang ke pesta pernikahan mereka, istrinya sangat cantik. Aku dengar, istri Jake itu putri pemilik rumah sakit ternama dan kebetulan Jake bekerja sebagai dokter di rumah sakit itu."

"Begitu ya? Aku benar-benar tidak tahu-" raut wajah Lila berubah sendu, kenyataan bahwa ia sudah melewatkan banyak hal membuat dirinya sangat menyesal.

"Kau coba saja datang ke rumah orang tuanya, siapa tahu dia masih di sana!"

"Dia tinggal di mana sekarang?"

"Jake tinggal di Sydney, aku tidak tahu apakah dia tinggal sendirian atau bersama putrinya."

"Begitu ya?"

"Kau sangat cantik, aku benar-benar tidak percaya tadi."

"Benarkah? Hahaha...terima kasih, kalau begitu, aku pulang dulu ya?"

"Oh iya, tunggu!"

"Ada apa?"

"Kau tidak mau datang ke acara reuni SMA?"

"Reuni?"

"Iya, kemarin aku mendapat undangannya. Reuninya dilaksanakan di Hotel The Walter hari sabtu nanti pukul enam sore. Sebaiknya kau datang juga!"

"Tapi, aku tidak diundang. Rasanya tidak enak kalau aku-"

"Jangan bicara begitu, kau tidak diundang karena tidak ada yang menyimpan nomor ponselmu. Lagi pula, Jonathan yang menjadi panitia acara berpesan untuk menyampaikan undangan pada teman-teman lain yang tidak mendapat undangan secara langsung."

"Baiklah, nanti akan aku pikirkan!"

"Tidak! Pokoknya kau harus datang. Kita bisa pergi berdua, kau tinggal di mana?"

"Aku tinggal di rumahku."

"Kau tinggal di rumah berhantu itu?"

"Rumah berhantu?"

"M-maaf, maksudku rumahmu itu sudah sangat lama kosong'kan?"

"Iya, kami pindah dan dulu rumah itu sempat ingin dijual, tapi entah mengapa tidak ada yang mau membeli rumah itu."

"Oh ya Tuhan, sayang sekali. Jadi kau benar-benar akan tinggal di rumah itu?"

"Aku akan tinggal di rumah itu untuk sementara waktu karena aku tidak punya tempat lain."

"Baiklah, kalau begitu minta nomor ponselmu. Nanti akan aku hubungi!"

Lila yang bingung dengan undangan mendadak ini hanya bisa mengangguk setuju persis seperti orang yang sedang dihipnotis.

Setelah bertukar nomor ponsel, Lila pun pamit dengan informasi baru yang memenuhi kepalanya saat ini. Sebenarnya, ia juga ingin bertanya tentang Aiden. Apalagi, Aiden adalah soulmate baginya dalam melakukan hal-hal konyol dan gila.

Ia mengangkat kepalanya, memandang langit yang mulai gelap. Di atas langit, jutaan bintang terlihat sangat indah. Ia terpana, ini adalah pemandangan malam yang sangat ia rindukan. Kenangan disaat ia dan teman-temannya duduk di atas bukit Rosemary di malam hari hanya untuk menikmati indahnya langit yang dipenuhi bintang.

***

Bertemu Kembali

Lila membuka pintu, wajah terpukau Barbara langsung menyambutnya. Mulut Barbara terbuka lebar, ia merasa rendah diri melihat bagaimana cantiknya Lila. Secara tak langsung, Barbara langsung membandingkan dirinya meskipun ia sudah memakai dress terbaik yang ia miliki dan berdandan ke salon.

"Ya Tuhan, kau cantik sekali!" Pujian tak tanggung-tanggung keluar dari mulut Barbara. Tentu itu adalah pujian yang tulus dan jujur melihat berapa cantiknya Lila sekarang.

Lila tersenyum kikuk, ia sudah biasa mendengar pujian seperti itu dari orang lain. Namun dari salah seorang teman lama, tentu itu membuatnya sedikit tidak nyaman.

"Kita pergi sekarang?" Tanya Lila agar kecanggungan ini bisa segera berakhir. Ia berjalan melewati Barbara yang masih saja terpukau.

"Hei, Lila!"

"Apa?"

"Berapa ukuran bramu?"

"Kenapa kau tanya itu?"

"Kerena aku iri sekali dengan punyamu!" Ucapnya. Matanya tertuju pada belahan dada Lila yang terlihat sangat menggoda dari balik dressnya.

Lila tersenyum, ia tak tahu bahwa ada wanita yang merasa iri dengan ukuran payudara yang ia miliki disaat ia merasa risih karena ukurannya yang di atas rata-rata.

"Apa aku harus menjawabnya?" Ucapnya dengan nada bercanda.

"Hei ayolah, Lila. Apa itu asli? Atau diperbesar?"

"Tentu saja asli. Untuk apa aku memperbesarnya?"

"Kalau begitu berapa ukurannya?"

"Kenapa kau sangat penasaran?"

"Tentu saja! Kalau ukuranku 36A!"

"Aku tidak tanya!"

"Hahaha..." Barbara tertawa membuat Lila ikut tertawa. Mereka berjalan di pinggir jalan sembari menunggu taksi yang lewat.

"Jika aku bilang, pasti kau tidak akan percaya!"

"Memangnya berapa?"

"34F!"

"Apa? Oh ya Tuhan, ternyata lebih besar dari dugaanku! Kau bisa menggoda mata para pria dengan dress yang kau kenakan!"

"Benarkah? Tapi aku tidak mau menggoda siapapun. Aku hanya ingin datang sebentar, kemudian pulang jam sembilan."

"Jam sembilan? Yang benar saja?"

"Aku tidak kenal siapapun disana!"

"Tidak kenal siapapun? Jadi Jake, Pierre, Aiden dan Henry bagaimana? Mereka mungkin akan datang. Bagaimana bisa kau bilang tidak kena dengan mereka?"

Lila terdiam sejenak, jika mengingat mereka berempat justru membuatnya semakin tidak ingin datang ke acara reuni. Memikirkan bagaimana reaksi mereka saat melihat penampilannya yang sangat 'feminim' seperti ini, ia mungkin tidak akan bisa tidur selama tiga hari karena harus menanggung malu.

Sebuah taksi lewat di depan mereka, Barbara langsung melambaikan tangan agar taksi tersebut berhenti. Setelah memberitahu alamat yang mereka tujuan, taksi melaju dengan kecepatan normal menuju salah satu hotel bintang lima termegah di kota ini.

Di perjalanan, Lila tak berhenti menelan ludah. Matanya tak lepas dari kaca mobil yang menangkap pemandangan jalan yang dulu biasa ia lewati hampir setiap hari. Ada kerinduan yang aneh dan itu sulit untuk dimengerti olehnya.

Saat taksi sampai di depan gedung hotel, jantungnya berdetak semakin cepat. Tubuhnya gemetar, ia berusaha menyembunyikan wajahnya dengan menunduk. Di sampingnya, Barbara menggandeng mesra tangannya dengan penuh percaya diri.

Setelah memasuki aula tempat reuni diselenggarakan, suasana reuni yang sebenarnya mulai terasa. Puluhan orang memenuhi ruangan, ada yang duduk sambil menikmati hidangan yang didedikasikan, ada yang mengobrol sambil memamerkan kekayaan, ada pula yang saling bercanda mengenang masa-masa sekolah.

Lila tak tahu di mana keempat temannya itu atau bisa dibilang sebagai mantan temannya. Ia berharap tidak bertemu mereka sekarang karena ia masih belum siap.

"Ya ampun, ternyata ramai sekali yang datang. Di mana murid-murid kelas kita dulu? Oh, mereka di sebelah sana! Lila, ayo!" Ujar Barbara sembari menarik tangannya.

"Ah t-tidak, Barbara! A-aku di sini saja-"

"Apa yang kau katakan? Mereka pasti senang bertemu denganmu!"

"Aku tidak bersama kalian sampai kelulusan, karena itu aku tidak pantas untuk-"

"Apa yang kau katakan? Lila, ayolah! Oh itu Pierre'kan? Pierre..!" Barbara yang sembrono langsung memanggil Pierre yang berdiri beberapa langkah di hadapan mereka sambil memegang segelas anggur.

"Ya Tuhan, mati aku!" Batin Lila. Ia benar-benar ketakutan sampai ingin sekali kabur dari tempat ini. Namun Barbara yang bertindak semaunya sendiri langsung menarik paksa tangannya menghampiri Pierre dan teman-teman mereka yang sudah berkumpul.

Pierre menoleh saat melihat Barbara melambaikan tangan kearahnya, di sampingnya, Aiden juga ikut menoleh sambil memperhatikan dia wanita yang berjalan menghampiri mereka dengan reaksi yang berbeda.

"Hai Pierre, hai Aiden? Kalian berdua masih ingat aku, iyakan?" Tanya Barbara dengan penuh percaya diri. Dia tersenyum menggoda kepada dua pria yang terlihat bingung dan saling menatap satu sama lain.

"Kau siapa ya? Apa kami mengenalmu?" Tanya Aiden. Mendengar suara berat Aiden, Lila bergidik. Keringat dingin mulai mengalir membasahi tubuhnya. Dan seperti orang bodoh, ia enggan mengangkat wajahnya.

"K-kalian tidak ingat aku? Aku Barbara Atkins, saat kelas 11 kita pernah satu kelompok saat berkemah bersama Lila." Ucapnya sambil tersenyum lebar.

Pierre tersenyum, ia tak ingin mempersulit hal ini dan menganggap bahwa ia masih mengingat Barbara Atkins Atkinson. Sementara Aiden, ia melempar tatapan tajam bukan hanya pada Barbara, tapi juga pada Lila yang masih terus menunduk ketakutan.

"Aku mengingatmu. Bagaimana kabarmu, Barbara?" Tanya Pierre dengan ramah. Seperti gayung bersambut, Barbara langsung merespon pertanyaan pria tampan yang berdiri di hadapannya ini.

"Kabarku baik. Syukurlah kau masih mengingatku. Kalau begitu, kalian berdua juga pasti masih mengingat Lila?"

"Lila? Apa maksudmu?" Tanya Aiden dengan sinis. Nada bicaranya terdengar sangat dingin dan secangkir tak langsung mengundang orang-orang di sekitar mereka memperhatikan mereka.

Dua orang pria mengenakan setelan jas rapi datang menghampiri Aiden dan Pierre setelah mendengar nama Lila disebut-disebut.

"Ada apa ini?" Tanya pria bermata  biru dengan rambut pirang yang menawan. Tiga menit yang lalu, pria ini dikelilingi oleh banyak orang, bukan hanya wanita, namun juga pria. Jelas terlihat bahwa dia adalah orang yang sangat penting dan mencolok di sini. Sementara pria berambut coklat gelap dengan mata coklat yang berdiri di sampingnya, terlihat lebih tenang dan bersahaja.

Namun mereka berdua memiliki ketertarikan khusus saat ada orang lain yang membahas tentang Lila meski hanya menyebut namanya.

"Tidak ada apa-apa, Henry!" Ujar Pierre. Namun Henry tidak langsung berpikir demikian. Dia langsung menunjukkan arogansinya.

"Apa urusanmu dengan Lila?" Tanya Henry. Tatapan matanya jauh lebih dingin dan menyeramkan dari pada Aiden. Membuat Barbara yang tak tahu apa kesalahannya hanya bisa terdiam membeku.

"A-aku hanya ingin bilang kalau-"

"Aku permisi!" Tepat sebelum Barbara menyelesaikan kalimatnya. Lila buru-buru beranjak sebelum ketahuan bahwa dia ada di sini.

"Tunggu...!" Seru Henry memanggilnya. Lila langsung menghentikan langkahnya. Tubuhnya gemetar, ia tak tahu apa yang harus ia lakukan dan apakah memang begini reaksi yang wajar saat bertemu kembali dengan teman lama?

"Siapa kau?" Tanya Henry. Ia mengernyitkan dahinya seolah mencurigai sesuatu. Sebagai seorang CEO dari perusahaan ternama, ia berpikir bahwa ia punya kuasa untuk memanggil seseorang sesuka hatinya.

Lila menghentikan langkahnya, dengan gugup ia membalikkan tubuhnya dan perlahan mengangkat wajahnya disaat hampir semua orang di ruangan ini memperhatikannya.

Saat wajahnya terlihat dengan jelas, mata Henry, Jacob, Pierre dan Aiden terbelalak. Mereka tercengang, tak percaya dengan apa yang mereka lihat. Sementara itu Lila yang sudah tertangkap basah tahu bahwa tak ada yang bisa ia lakukan selain mengucapkan salam dengan gugup.

"Hai semuanya, apa kabar?"

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!