NovelToon NovelToon

Menikah Dengan Hot Daddy

MDHD 1

"Sheila!"

Sheila yang sedang berjalan membawa pengepel sontak menoleh ke arah atasannya yang merupakan kepala cleaning service di toko mainan terbesar di kota New York.

"Ya, Bram?" tanya Sheila, wanita berumur 22 tahun itu menghampiri atasannya dengan wajah ceria.

Bram berkacak pinggang melihat tingkah rekan kerjanya yang satu ini. "Ck, kau ini sama atasan tidak ada sopan-sopannya. Panggil aku yang sopan kalau di tempat kerja," gerutunya.

Sheila memutar kedua bola mata malas. "Siap, Pak Sopan," ledeknya pada sang sahabat yang jarak umurnya terpaut 13 tahun.

Pria berumur 35 tahun itu menghembuskan napas kasar, sulit rasanya bicara dengan gadis bar-bar seperti Sheila. Jika tidak mengingat tempat, sudah ia sentil telinga sahabatnya itu sampai merah.

"Tuh di lantai satu, ada bocah laki-laki yang menumpahkan es krim, kamu pel sana!" Bram memberitahu Sheila dengan santai.

Kedua mata Sheila mendelik lebar, mulutnya menganga seperti ikan koi.

"Apa?! Lagi? Astaga, padahal aku baru saja mengepel lantai satu." Sheila menggerutu kesal dengan bibir manyun ke depan.

Bram menahan tawa melihat wajah jenaka Sheila. Baginya, kesialan wanita itu adalah hiburan untuknya.

"Huh, nasib punya sahabat tidak ada akhlak." Sheila memasang wajah dibuat sesedih mungkin.

"Kusumpahi burungmu bobok panjang!" Seketika wajah Sheila berubah ceria saat melontarkan sumpah serapah pada Bram.

Wanita berambut pirang dan panjang itu mengambil langkah seribu, alias lari meninggalkan Bram yang tergagu di tempat dengan hidung kembang kempis.

"Sheila Cowles!" Bram menggeram tertahan dengan kedua tangan memegangi aset kebanggaannya.

Sheila berlari meninggalkan sahabatnya yang meradang.

"Hu hu huhh, gila banget deh si Bram kalau lagi kesal," ucap Sheila sambil menggeleng-gelengkan kepala. Dadanya naik turun dengan napas terengah-engah karena jurus melarikan diri yang ia lakukan.

Sheila mengatur napas perlahan, ia menarik napasnya dalam-dalam.

Matanya terpaku pada lantai yang tercemar dengan noda es krim rasa coklat.

"Bocah selalu saja menyusahkan!" gerutu Sheila.

Sheila dengan langkah berat melangkah maju, meletakkan papan peringatan kuning bertuliskan 'Lantai Basah', sebelum akhirnya mulai menggerakkan pengepel di atas lantai dengan tekanan yang cukup kuat, mewakili kekesalan dalam hatinya.

"Sudah beres, waktunya mengerjakan yang lain," gumam Sheila sambil mengangkat alat-alat pembersihnya, kecuali papan kuning yang berisi peringatan itu.

Wanita berambut panjang bewarna pirang itu dengan santai berbalik dan melangkah pergi.

Baru enam langkah terlaksana, namun sebuah pekikan seorang wanita menarik atensi Sheila yang membuat langkahnya terhenti.

Bugh!

"Ahhh s-sakit. Ya Tuhan i-ini sakit sekali," jerit seorang wanita berperut buncit, merintih kesakitan sambil memegangi perutnya yang menghantam lantai.

Sheila membalik badan, matanya membelalak lebar, tangannya bergetar hebat. Alat pembersih di tangannya jatuh seketika, menciptakan bunyi nyaring yang menguar di udara.

Keadaan lantai satu di Toys Station mendadak riuh.

Orang-orang beralih menatap Sheila dengan tatapan tajam dan menuduh, seolah-olah Sheila adalah dalang dari musibah yang baru saja menimpa seorang wanita hamil yang malang.

Seluruh tubuh Sheila membeku, ia tak dapat menggerakkan kakinya yang bergetar. Tatapan tajam dari para pengunjung di Toys Station membuatnya merasa menjadi seorang penjahat.

"Darah!"

"Ya Tuhan dia berdarah."

"Astaga!"

Keributan mulai terjadi, suara para pengunjung membuat Sheila semakin ketakutan dan merasa tertekan.

Darah? Sekujur tubuh Sheila mendadak lemas. Ia baru saja melakukan dosa besar.

Tiba-tiba dua orang petugas keamanan berlari menghampiri wanita hamil yang tengah meringkuk kesakitan.

"Nyonya besar," panggil dua penjaga keamanan Toys Station.

Jder!

Bagai tersambar petir di siang bolong, mata Sheila semakin terbelalak, seluruh tubuhnya menegang sempurna.

Nyonya? Sheila menggigit bibir bawahnya dengan perasaan kacau.

"Hei kau! Cepat ke sini, kau harus ikut bersama kami!" teriak salah satu petugas keamanan, suaranya menambah kebisingan di tempat itu.

Sheila tersentak, matanya terbelalak saat ia merasakan tatapan semua orang menyorot ke arahnya. Dengan langkah gemetar ia menuruti perintah itu.

Menghampiri wanita yang tergolek lemah di lantai, Sheila melihat darah mengalir deras dari pangkal paha wanita itu.

Mata Sheila berkaca-kaca saat menyadari betapa mengerikannya keadaan si wanita hamil.

Dengan lutut lemas Sheila berjongkok di sebelah wanita hamil itu, ia meraih tangan wanita itu dengan tangan bergetar, kepalanya dipenuhi dengan rasa bersalah yang teramat besar.

"S-selamatkan putri kembarku," ucap wanita hamil itu terdengar lirih.

Kepala Sheila mengangguk lemah dengan mata menatap wajah wanita itu dengan penuh penyesalan, ia tak lagi perduli dengan tatapan menghakimi dari para pengunjung dan rekan kerjanya.

Pandangan mata Sheila hanya tertuju pada si wanita hamil yang hampir kehilangan kesadarannya.

Tiba-tiba, deru suara ambulans memecah perhatian orang-orang. Petugas kemanan bergerak cepat, mengangkat tubuh wanita hamil itu dengan sigap.

Sontak genggaman tangan Sheila pada wanita itu terlepas. Sheila bangkit dari berjongkoknya.

"Tolong selamatkan dia," desis Sheila pada petugas yang menggendong tubuh wanita hamil itu.

Permohonan Sheila bagai angin lalu, petugas itu berjalan cepat membawa tubuh lemah si wanita.

Sheila dengan penuh rasa bersalah ikut berlari mengejar langkah petugas keamanan.

Saat Sheila hampir menginjak pintu keluar, Bram datang dengan membawa wajah kecewa.

Deg!

Tatapan itu membuat Sheila semakin tersudut, namun ia berusaha mengabaikannya, dan kembali mengejar langkah yang tertinggal.

Sheila tiba di luar, ia merasa hampa, tatapannya terpaku pada wanita hamil yang diangkut masuk ke dalam ambulans.

"Masuk!"

Sheila dikagetkan dengan perintah kasar dari petugas kemanan tempat dia bekerja. Tubuhnya tersentak, ia dengan tergesah menyusul masuk ke dalam ambulans.

Dilihatnya wanita itu meraung kesakitan dengan suara lemah.

"Jus, jus je ...." Wanita hamil itu tak dapat menyelesaikan perkataannya, kegelapan lebih dulu merenggut kesadarannya.

Sheila semakin panik, ia tak dapat melakukan apa pun selain berdoa sembari menatap paramedis membantu menstabilkan wanita itu.

Suara sirine ambulans menambah kengerian disepanjang perjalanan menuju rumah sakit.

...***...

Di rumah sakit, Sheila berdiri mondar-mandir di depan ruang ICU, jantungnya berdebar tak karuan.

Dinginnya rumah sakit menusuk hingga ke tulang Sheila yang terasa lemas.

Tiba-tiba seorang dokter keluar dengan wajah tak terbaca.

"Anda keluarga pasien?" tanya dokter berjenis kelamin pria pada Sheila.

Sheila dengan cepat menggelengkan kepala.

Salah satu petugas keamanan yang ikut dengan Sheila tak dapat melakukan apa pun selain menunggu kedatangan seorang pria yang tak lain adalah suami dari wanita hamil yang saat ini tengah berjuang di dalam ruang ICU.

"Kami membutuhkan persetujuan dari keluarga pasien untuk melakukan transfusi darah dengan segera," ucap sang dokter dengan nada serius, menyiratkan urgensi yang tidak terbantahkan.

Perkataan dokter membuat perasaan Sheila tambah gelisah. Ia tak tau harus melakukan apa.

Di tengah kecemasan yang melanda Sheila, tiba-tiba suara bariton seorang pria mengagetkannya.

"Saya suami dari pasien!" sela Leonard dengan penuh kekhawatiran, wajahnya pucat disertai mata yang memerah tajam.

Deg!

Jantung Sheila nyaris berhenti berdetak ketika sorot mata tajam pria itu menatapnya dengan kejam.

Bersambung ....

Hai Zeyeng, ini adalah novel terbaru Othor.

Jangan lupa like, komen dan vote ya😍🏃

Kalau boleh bacanya jangan loncat-loncat ya zeyengku😍😘

MDHD 2

"Selamatkan istri dan anak-anak saya, Dokter" desak Leonard pada sang dokter dengan suara beratnya yang terdengar serak.

Dokter itu menatap wajah Leonard dengan serius seraya berkata, "Pasien mengalami pendarahan yang mengharuskan kami mengambil tindakan untuk mengeluarkan bayi Tuan lebih awal. Tuan bisa menandatangani informed consent ini agar tindak operasi bisa segera dilakukan."

Mata Leonard membeliak lebar, dengan wajah cemas ia mengambil lembaran kertas yang diberikan oleh sang dokter, lalu membubuhkan tanda tangannya di atas kertas itu dengan tangan bergetar.

Dengan tergesah Leonard memberikan lembar persetujuan medis yang sudah ditandatanganinya ke pada dokter.

Dokter itu pun menerimanya. "Kami akan berusaha melakukan yang terbaik," ucap sang dokter.

Leonard bersandar pada dinding rumah sakit, ia menatap kepergian dokter yang menangani istrinya dengan perasaan khawatir yang teramat besar.

Suasana terasa begitu mencekam, Leonard memijat pangkal hidungnya dengan kepala tertunduk menatap lantai.

Beban berat seakan menghantam kepala Leonard dalam satu waktu, membuat ganjalan besar yang menghimpit dadanya.

Leonard mengangkat kepalanya, ia berjalan dengan kaki melangkah lebar, sorot matanya terlihat sangat tajam dan mengerikan.

Sheila yang berada tidak jauh dari Leonard sontak memundurkan langkah, tatapan membunuh dari pria di depannya membuat sekujur tubuh Sheila bergetar ketakutan.

Kepala Sheila menoleh ke kanan, tepat ke arah si petugas keamanan yang bekerja di Toys Station. Namun, bukannya mendapat bantuan, Sheila malah mendapat delikan mata penuh permusuhan dari si petugas kemanan itu.

Sheila terhenyak, ia tidak dapat kabur. Suami dari wanita yang terpeleset itu menarik kedua pundaknya dengan kasar.

Grep!

"Ahss, maaf maaf." Sheila meringis kesakitan, pria itu menekan pundaknya terlalu kuat.

Leonard tidak menghiraukan ringisan kesakitan dari wanita yang dirinya cengkram.

Tulang pada pundak Sheila terasa sakit, pria bermata tajam itu seakan ingin meremukkan pundaknya menjadi bubur.

"Lepas, sakit tau!" desis Sheila, ia berusaha menarik diri dari pria kasar yang menyakitinya.

Salah satu sudut bibir Leonard terangkat tinggi, ia tertawa hambar dengan suara teramat pelan. "Sakit? Sakit kau bilang?" cibir Leonard. "Lebih sakit mana dengan yang istriku rasakan?!" lanjutnya sembari mengguncang bahu Sheila dengan kuat.

Glek!

Sheila menelan ludah dengan susah payah, tenggorokannya terasa tercekat. Apa yang dikatakan pria tersebut memang benar, ia adalah wanita jahat yang menyebabkan seseorang wanita hamil harus berjuang di dalam ruang ICU.

Kenyataan itu menampar keras Sheila, ia tak lagi melawan saat pria berbadan tegap serta tinggi itu mengguncang tubuhnya berulang kali.

"Kenapa kau diam saja, ha?!" Leonard mendorong tubuh Sheila hingga tubuh langsing itu terhuyung ke belakang, beruntung Sheila tidak terjengkang ke atas lantai.

Sheila mengangkat kepalanya, menatap pria di depannya dengan mata berkaca-kaca.

"A-aku minta maaf," ucap Sheila lirih.

"Kata maaf tidak membuat istriku baik-baik saja." Geram Leonard dengan mata berkilat marah.

"Ya, aku tau." Kepala Sheila mengangguk-angguk lemah. "Jika aku bisa menggantikan posisinya saat ini, pasti akan aku lakukan," ucap Sheila, air mata yang sedari tadi ditahannya berakhir luruh dengan deras.

Dada Leonard naik turun, napasnya terasa berat seakan ada batu besar yang mengganjal di dadanya.

Leonard berbalik, membelakangi Sheila yang menangis sesenggukan. Ia tidak sedikit pun merasa bersalah telah membuat wanita itu menangis. Dirinya lebih memilih menghampiri petugas keamanan yang bekerja di toko mainan miliknya.

"Bagaimana kronologi kejadian yang menimpa istriku?" tanya Leonard dengan suara serak saat menyebut kata 'istri'.

Petugas keamanan yang bernama Bean tersebut membuka mulutnya, ia mulai menjelaskan kronologi secara lengkap.

Kuku-kuku Leonard memutih, tangannya mengepal sangat kuat hingga kuku-kukunya menancap di telapak tangannya, menimbulkan sebuah luka kecil yang mengeluarkan darah.

Leonard tidak dapat membayangkan bagaimana rasa sakit yang menimpa istri tercintanya.

Sheila yang menyimak percakapan di antara bos serta rekan kerjanya hanya bisa menggigit bibir sambil menahan isak tangisnya. Ia dapat melihat kemarahan yang begitu besar dari pancaran mata bosnya.

"Jadi ... dia adalah cleaning service di toko mainanku?" tanya Leonard pada Bean dengan suara menggeram marah.

Bean menganggukkan kepala, mencoba menahan gejolak emosinya sendiri. "Benar, Tuan."

"Dasar wanita iblis!" hardik Leonard, menuding wajah Sheila dengan jari telunjuknya.

Sheila tersentak, seluruh tubuhnya bergetar ketakutan, tatapan penuh kebencian yang dilayangkan Leonard padanya membuat air matanya kian berdesakan keluar.

"Ahrg!" Leonard menyugar rambutnya dengan kasar, ia tidak dapat melampiaskan kemarahannya mengingat saat ini dirinya sedang berada di rumah sakit.

"Aku akan membuatmu membusuk di dalam penjara! Cam kan itu!" ancam Leonard penuh permusuhan.

Di penjara? Sheila menggelengkan kepala lemah, sorot matanya penuh permohonan, ia tidak mau dimasukkan ke dalam jeruji besi dan menghabiskan masa mudanya di dalam tempat asing bersama para penjahat.

Namun, Leonard tidak terpengaruh dengan tatapan memohon Sheila.

Sheila tak dapat melakukan apa pun, ia hanya gadis yatim piatu yang hidup sebatang kara tanpa keluarga.

Selama ini Sheila bekerja keras hanya sekadar untuk menyambung hidup. Tidak sedikit pun ia berharap hidup bahagia, ia hanya ingin ketenangan, namun tampaknya Tuhan tidak membiarkan dirinya hidup seperti apa yang ia mau.

Sheila menarik napas dalam-dalam, ia melirik Leonard yang setia berdiri di depan pintu ruang ICU.

Cukup lama mereka menunggu, sampai pintu ruangan putih itu terbuka.

Seorang dokter muncul, dan datang menghampiri Leonard dengan wajah yang membuat Leonard merasa cemas.

"Bagaimana keadaan istri dan anak-anak saya?" tanya Leonard penuh kekhawatiran.

"Kedua putri tuan lahir dengan selamat, hanya saja karena kondisi yang lemah kedua putri tuan harus ditempatkan dalam inkubator," jelas sang dokter.

Leonard merasa tidak puas dengan jawaban dari dokter. "Lalu bagaimana keadaan istri saya?" desaknya tidak sabaran.

Dokter itu sedikit menundukkan kepala, dengan perlahan dokter berucap, "Maaf, karena pendarahan hebat istri tuan tidak dapat diselamatkan."

Deg!

Wajah Leonard berubah pucat pasih, bibirnya bergetar, matanya memerah serta berkaca-kaca.

Dunia seakan berhenti berputar, Leonard mundur perlahan dengan langkah goyah, ia menggelengkan kepalanya kuat dengan lelehan air mata yang tidak lagi dapat ditahan.

"Anda bohong! Istri i-striku tidak mungkin meninggalkanku sendiri!" teriak Leonard dengan napas terputus-putus.

Sheila menutup mulut dengan kedua telapak tangannya, tubuhnya yang lemas luruh di atas lantai rumah sakit. Ia pembunuh! Dengan berderai air mata, Sheila menatap kedua telapak tangannya.

"Aku pembunuh," rintih Sheila, menyesali semua yang telah terjadi.

Sheila menoleh ke arah Leonard, ia merangkak menghampiri pria itu. "Maaf maaf," ucap Sheila sambil terisak dengan tubuh berlutut di bawah kaki Leonard.

Leonard menundukkan kepala, melihat wajah pembunuh istrinya dengan tatapan penuh kebencian.

Dengan ringan Leonard mengangkat tinggi tangannya, melayangkan tamparan ke wajah Sheila dengan kekuatan yang dahsyat.

Plak!

Bersambung ....

Bagaimana nasib Sheila selanjutnya?

Hai Zeyeng, jangan lupa klik tombol favorit ♥️(+) agar mendapat notifikasi setiap novel ini update. Lope sekebon 😘😘😘

MDHD 3

Pipi Sheila memerah, tamparan keras yang dilayangkan oleh Leonard meninggalkan jejak lima jari di pipinya.

Dengan pandangan mata nanar, Sheila menengadahkan kepala seraya memegangi pipinya yang terasa panas.

Leonard mendengus kasar, ia menarik kakinya menjauh dari Sheila yang masih berlutut di hadapannya.

Hawa di antara keduanya begitu mencekam, Leonard dengan kesedihan dan kemarahannya menatap Sheila begitu tajam.

"Awasi dia, jangan sampai wanita iblis ini kabur!" perintah Leonard pada Bean dengan suara serak.

"Baik, Tuan." Bean dengan sigap berdiri di samping Sheila, memelototi wanita itu dengan penuh ancaman.

Sheila tidak perduli dengan tatapan si petugas keamanan yang berlagak seperti pahlawan itu. Ia menolehkan kepala, mengikuti gerak Leonard yang pergi masuk ke dalam ruangan ICU.

Tanpa kata Sheila beranjak berdiri, ia memperhatikan punggung Leonard dari kejauhan.

"Kau ini, kerja kok tidak becus. Lihat! Nyonya Zora kehilangan nyawanya gara-gara dirimu, dasar wanita jahat!" cibir Bean.

Kedua tangan Sheila mengepal, ia menoleh ke arah pria berbibir julid di sebelahnya.

"Bisakah kau diam? Tolong jangan memperkeruh keadaan," balas Sheila sengit, matanya yang terus mengeluarkan bulir bening menatap marah ke arah Bean.

Bean, pria gemuk berambut hitam itu membalas tatapan Sheila tak kalah tajam. Ia berdecih dengan angkuh seraya memutar bola mata malas

"Sebentar lagi masuk penjara saja sok hebat menyuruhku diam," ucap Bean sewot.

Sheila menarik napas dalam-dalam, membuang wajah ke arah lain, menghindari tatapan dari pria julid di sebelahnya.

Tiba-tiba Leonard keluar dari pintu ruang ICU, Sheila yang melihatnya sontak memundurkan badan karena Leonard keluar bersamaan dengan brankar yang didorong oleh tim medis.

Bibir Sheila bergetar melihat seorang wanita yang seluruh tubuhnya ditutupi dengan selimut rumah sakit.

Brankar itu berhenti tepat di dekat Sheila berdiri.

"Sayang bangun, jangan seperti ini. Bagaimana dengan anak-anak kita? Bagaimana denganku?" Leonard mengiringi jasad istrinya dengan deraian air mata.

Raungan Leonard menusuk hingga ke telinga Sheila, membuat Sheila semakin merasa bersalah pada pria tampan bertubuh tinggi itu.

"Saya tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan tuan saat ini, tapi saya dan para dokter ada di sini, bersedia mendengarkan serta membantu tuan sebanyak yang kami bisa," ucap sang dokter, memberikan semangat ke pada Leonard yang menangisi jasad istrinya.

Leonard tidak menghiraukan perkataan dokter di sampingnya, ia tetap memegangi brankar rumah sakit yang membawa tubuh tak bernyawa sang istri.

"Ada dua putri cantik yang sangat membutuhkan, Tuan," tambah dokter tersebut.

Leonard mengangkat kepalanya, ia sangat terpukul akan perginya sang istri sampai melupakan dua malaikat kecil yang baru hadir di hidupnya.

"Pihak rumah sakit akan segera mengurus kepulangan istri tuan ke rumah duka, permisi," ucap dokter, sebelum akhirnya brankar rumah sakit kembali didorong untuk tindak selanjutnya.

Leonard mundur dengan langkah goyah, ia terduduk di bangku rumah sakit dengan kepala tertunduk.

Air matanya terus mengalir, kepergian sang istri yang tidak terduga membuatnya sangat terpukul.

Sheila tidak berani mendekati Leonard, ia berdiri dengan jarak yang cukup jauh dari pria yang sedang berduka itu.

Cukup lama mereka dalam posisi seperti itu, sampai sebuah suara memanggil nama Leonard.

"Leo, bagaimana keadaan menantu dan cucu Mommy?" Hanny, ibu dari Leonard berjalan dengan tergesa, raut wajahnya tampak sangat khawatir.

Suara wanita berumur 63 tahun itu memecah keheningan di antara Leonard, Sheila serta Bean.

Sontak mereka menoleh ke arah sumber suara.

"Zora ... Zora meninggalkanku, Mom," ucap Leonard dengan suara serak.

"Apa?!" Mulut Hanny menganga lebar, ia terkejut dengan apa yang putra semata wayangnya katakan.

"T-tidak mungkin! Tadi Zora izin sama Mommy pergi ke toko mainanmu, dia mau membeli box music untuk calon bayi kembar kalian, t-tidak mungkin Zora meninggal!" Hanny menggeleng tidak percaya.

Sheila menunduk takut, kedatangan ibu dari Leonard membuatnya semakin merasa tersudut.

"Dia!" Jari telunjuk Leonard membidik ke arah Sheila yang tengah berdiri di dekat pintu ruang ICU. "Dia orang yang membuat Zora pergi secepat ini," sungut Leonard.

Deg!

Hati Sheila seakan ditikam dengan beribu belati, saat perkataan Leonard terus menudingnya sebagai seorang pembunuh.

"M-maksudmu apa, Leo?" tanya Hanny dengan suara yang lemah. Ia bahkan harus berpegangan pada dinding rumah sakit agar kakinya tetap kuat menompang tubuh rentanya.

Leonard berdiri, ia berjalan menghampiri Sheila yang ketakutan.

Grep!

Dengan kasar Leonard menarik lengan Sheila, menyeretnya secara paksa ke hadapan Hanny, sang mommy.

Sheila yang ditarik tidak dapat memberontak karena kekuatan Leonard tak sebanding dengan kekuatannya.

"Wanita ini yang membuat Zora terpeleset hingga meninggal!" ungkap Leonard, menghempaskan lengan Sheila dengan kuat.

Tubuh Sheila terhuyung ke depan, dengan jantung berdebar kencang ia mencoba mengangkat kepalanya secara perlahan.

"Kau ... pembunuh menantuku!" Mata Hanny menelisik Sheila dari atas kepala hingga ujung kaki.

"Bukan, aku bukan pembunuh!" Sheila menggelengkan kepala kuat, namun suaranya terdengar begitu lirih.

Hanny beralih menatap ke arah putranya, Leonard. "Bagaimana dengan keadaan cucu kembar, Mommy?" tanyanya pelan, tidak memperdulikan sangkalan wanita muda di depannya.

Leonard menarik napas berat, wajahnya menunjukkan kesedihan yang tidak terbendung.

"Kata dokter, kedua putriku harus ditempatkan di dalam inkubator untuk sementara waktu," jelas Leonard pada ibunya.

Mendengar hal itu, membuat Hanny menangis. Ia tidak tega dengan nasib malang yang menimpa kedua cucunya.

"Ya Tuhan, mereka kehilangan sosok mommy-nya di usia sekecil ini," ucap Hanny terisak pilu.

Sheila memejamkan mata kuat, hatinya merasa teriris, mendengar wanita tua itu membicarakan nasib malang dua bayi yang tidak berdosa.

"Semua ini gara-gara dia, Mom. Aku harus segera menelepon pihak yang berwajib," sergah Leonard.

Sontak mata Sheila terbuka lebar, jantungnya nyaris berhenti berdetak karena ucapan penuh emosi Leonard.

"Jangan, Leo!" Hanny menghentikan pergerakan putranya yang hendak merogoh saku.

Leonard menatap wajah ibunya dengan tatapan tidak percaya, begitu pun dengan Bean yang berada di antara mereka.

Kenapa sang mommy melarang Leonard? Padahal jelas-jelas Sheila adalah penyebab kematian Zora.

Hanny menyeka air matanya yang mengalir, ia menatap Bean dengan wajah berubah tegas.

"Kau, kembalilah bekerja!" seru Hanny pada Bean yang sedari tadi asyik menonton kemalangan keluarganya.

Bean tampak tidak rela. Namun, mau tidak mau ia pergi menuruti perintah dari ibu bos-nya, pemilik toko mainan terbesar dan hotel berbintang lima di kota New York.

Kini hanya ada Sheila, Leonard dan Hanny di tempat itu.

Suasana terasa begitu mencekam, dinginnya rumah sakit menusuk hingga ke tulang-tulang Sheila.

"Maksud mommy apa melarangku untuk menghubungi pihak berwajib? Dia harus segera mendapatkan hukuman atas perbuatannya!" ucap Leonard merasa geram, ia tidak mengerti ke mana arah pikiran ibunya.

Hanny menarik napas dalam-dalam, ia menatap putranya dan wanita muda di depannya secara bergantian.

"Daripada menghukumnya seperti itu, lebih baik nikahi dia, jadikan wanita muda ini sebagai pengasuh seumur hidup untuk kedua cucuku," ucap Hanny tenang.

Deg!

Tubuh Sheila menegang seketika, matanya membelalak lebar.

Menikah?

Bersambung ....

Bagaimana kisah selanjutnya?

Kalau rame, besok Othor double up ya🤭

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!