NovelToon NovelToon

Beringin : The Sacred Tree System

Chapter 1

Cianjur, situs purbakala megalitikum gunung padang, sekelompok peneliti yang terdiri dari arkeolog, geologist dan para asistennya, terbangun di sisi timur situs purbakala tempat mereka menggali, seorang pria paruh baya terduduk diam di dalam tenda sambil membersihkan kacamatanya, dia menoleh melihat beberapa orang masih tertidur di dalam tenda.

“Apa yang terjadi ? aku ingat aku sedang beristirahat di tenda dan tiba tiba aku kehilangan kesadaran dan....ingatan,” ujarnya dalam hati sambil memakai kacamatanya.

“Breek,” tiba tiba tendanya di buka, pria itu menoleh melihat seorang wanita berwajah pucat dan nampak ketakutan berdiri di depan tendanya, pakaiannya kotor penuh dengan lumpur dan rerumputan, sepertinya dia juga baru bangun,

“Prof Adit, cepat keluar, ada yang aneh di situs penggalian kita,” ujar wanita itu.

“Ada apa ?” tanya Adit sambil berdiri.

“Anda lihat sendiri saja, ayo cepat prof,” jawab sang wanita.

Adit berlari keluar tenda mengitkuti sang wanita yang menjemputnya, Adit bisa melihat banyak orang yang masih terbaring di tanah dan hanya beberapa yang sudah sadar, Adit melihat ke langit, masih ada retakan di langit dan kondisi langit sangat gelap, namun cahaya matahari sudah menembus masuk dan semakin lama semakin meluas menerangi bumi.

“Lihat prof,” sang wanita menunjuk ke lubang yang di buat oleh tim penggalian di sisi timur situs purbakala.

Adit melangkah maju, dia tidak percaya dengan apa yang di lihatnya, di depannya ada sebuah gerbang terbuka yang konon menurut juru kunci adalah pintu masuk ke dalam situs. Beberapa orang pria dan wanita yang sudah sadar menghampiri Adit dan wanita yang berdiri di sebelahnya,

“Dokter Dwi, cepat kumpulkan orang orang yang sudah siuman, kita selidiki masuk ke dalam,” ujar Adit menoleh ke wanita sebelahnya.

“Eh...sekarang prof ? apa perlu kita minta ijin dulu dari pemerintah daerah atau dari penduduk sekitar ? sebab bagi mereka situs ini keramat kan ?” tanya Dwi.

“Saat ini tidak perlu, kita akan tulis laporan kepada mereka, barusan ada fenomena aneh terjadi dimana semua menjadi gelap dan jujur saja aku tidak ingat apa apa, kemudian terbangun di tenda, kurasa fenomena itu yang membuka pintu situs ini,” ujar Adit.

“Benar juga, kalau di pikir pikir, barusan apa yang terjadi ya ? aku hanya merasa tiba tiba tubuhku limbung dan...aku melihat langit retak, kemudian apa yang terjadi aku tidak tahu dan aku terbangun di semak semak, ketika melihat jam tangan ternyata kita kehilangan waktu selama delapan jam, tapi sekarang cerah dan jam ini masih menunjukkan waktu yang sama seperti sebelum fenomena itu terjadi, aneh,” gumam Dwi.

“Itulah sebabnya kita harus menyelidiki pintu ini sekarang, kita tidak tahu fenomena apa barusan dan apakah hanya melanda tempat kita saja atau malah seluruh indonesia bahkan dunia,” ujar Adit.

“Hmm anda benar, baiklah, (menoleh ke belakang) Irwan, Budi dan Eno, kalian ikut kami masuk ke dalam, cepat siapkan peralatan dan keperluan untuk mengambil sampel,” ujar Dwi.

“Baik bu,” jawab Irwan, Budi dan Eno.

Ketiganya langsung berlari ke arah perkemahan mereka dan bersiap siap. Tak lama kemudian, mereka kembali membawa peralatan lengkap dan mulai menuruni tepi lubang untuk masuk ke dalam pintu yang menganga terbuka. Begitu masuk ke dalam, ke limanya terhenti karena melihat pemandangan yang sangat luar biasa, mereka melihat kalau mereka berada di dalam sebuah lorong yang panjang dengan dinding terbuat dari batu hitam di hiasi oleh mural mural yang tidak bisa di identifikasi. Adit mendekat ke sebuah mural di sebelah kiri dan menyorotkan senter ke arahnya.

Mural itu menggambarkan makhluk sejenis manusia yang berkepala botak dan bermata besar sedang berdiri di depan para manusia yang menyembahnya, di atas mereka banyak sekali pulau pulau yang sepertinya melayang di udara. Adit mengeluarkan smartphonenya untuk berniat memfotonya, tapi ketika dia melihat smartphonenya, ternyata smartphonenya mati walau dia ingat dia mengambilnya dari tenda sebelum masuk dalam posisi di charge.

“Hmmm,” ujar Adit.

“Ada apa prof ?” tanya Dwi.

“Situs ini sepertinya masih aktif.....medan elektromagnetik situs ini menghancurkan smartphone ku, lihat,” ujar Adit sambil memperlihatkan smartphonenya.

Dwi langsung mengambil smartphone miliknya dari kantungnya dan melihatnya, ternyata smartphonenya dalam keadaan sama seperti milik Adit, yaitu dalam keadaan mati. Adit menoleh melihat ke arah salah satu dari tiga asisten yang masuk bersamanya,

“Irwan, tolong kamu keluar dari sini, pergi ke notaris Toni di kota dan bilang sama dia kalau aku minta dia menjalankan wasiat ku, lalu berikan ini sama dia dan minta dia kirimkan bersama seluruh titipan ku ke rumah, dia akan tahu apa yang harus dia lakukan ketika melihat benda ini,” ujar Adit sambil memberikan sebuah gantungan kunci kristal yang berbentuk unik dan menyala kepada Irwan.

“Ba..baik prof, tapi kenapa ?” tanya Irwan.

“Seperti yang ku bilang barusan, situs ini aktif, aku tidak tahu apa yang akan terjadi di dalam, hanya untuk berjaga jaga saja,” ujar Adit tersenyum sambil melirik ke Dwi yang mengangguk.

“Aku mengerti prof, gimana doc ?” tanya Irwan kepada Dwi.

“Silahkan dan kalau sudah kembali ke sini,” jawab Dwi.

“Aku mengerti, kalau begitu saya taruh bawaan saya di sini, permisi prof Adit dan dokter Dwi,” ujar Irwan sambil menaruh tas punggung dan peralatannya.

Irwan mengantungi gantungan kunci itu di kantung jaketnya dan berbalik keluar dari pintu gerbang, namun ketika Irwan melangkah keluar, “greeeek,” terdengar bunyi keras di belakangnya, Irwan menoleh dan melihat pintu tertutup sehingga nampak seperti bukit sebelum pintu terbuka. Wajah Irwan langsung pucat dan dia langsung mendekati bukit di mana pintu sebelumnya berada, dia memukul mukul bukit itu dan meneriakkan nama teman temannya, prof Adit dan dokter Dwi dengan panik.

Beberapa hari setelahnya, karena laporan dari Irwan yang bertujuan menyelamatkan prof Adit dan seluruh rekan rekannya yang berada di dalam situs, petugas dari pemerintah daerah memeriksa situs tersebut, mereka menganggap laporan Irwan hanyalah lelucon belaka karena memang tidak ada bukti yang di temukan di lokasi untuk memperkuat laporannya. Irwan tidak berputus asa, dia mencoba berbicara dengan juru kunci yang menjaga situs itu, namun lagi lagi Irwan tidak berhasil karena juru kunci menganggap semua itu adalah kesalahan mereka sendiri dan dirinya memilih tidak mau ikut campur karena takut menyinggung leluhur.

Karena putus asa, akhirnya Irwan mengatakan kepada pihak universitas yang menjadi sponsor penggalian dan proyek penggalian di hentikan. Irwan menjalankan amanat terakhir prof Adit menemui notaris Toni. Ketika bertemu dengan sang notaris, Irwan sedikit kaget karena ternyata prof Adit menitipkan semuanya termasuk rumah warisan keluarganya kepada sang notaris semenjak bercerai dengan istrinya. Irwan memberikan gantungan kunci kristal berbentuk unik kepada sang notaris yang langsung memasukkannya ke dalam sebuah kotak besi bersama dengan berkas berkas lainnya.

Setelah selesai mengurus wejangan terakhir prof Adit, Irwan yang masih belum menyerah, berusaha mengumpulkan beberapa koneksinya untuk kembali lagi ke situs itu dan meneruskan penggaliannya dengan tujuan menyelamatkan rekan rekannya yang masih berada di dalam situs. Koneksi yang dia hubungi datang dari berbagai kalangan dan bukan hanya peneliti, akhirnya beberapa pebisnis handal dan beberapa profesional yang terkesiap dengan cerita Irwan yang memang melihat ada apa di dalam situs itu, bergabung dan menggalang dana untuk membuka lagi penggalian secara pribadi dan tentunya tanpa ijin dari otoritas setempat.

Chapter 2

Empat bulan kemudian, di sebuah universitas, terlihat seorang pemuda bertubuh kekar sehingga kemejanya terlihat seperti kesempitan dan berwajah tampan dengan rambut cepaknya, sedang duduk di tepi taman yang berada di halaman kampus, dia terlihat merenung melihat smartphonenya. Tiba tiba, punggungnya di tepuk seseorang,

“Oi Ardo, ngapain lo duduk sendirian di sini ?” tanya seorang pemuda di belakang.

Ardo menoleh, dia melihat seorang pemuda berparas tampan, berambut panjang dan beranting berdiri di belakangnya, pemuda itu memakai kemeja asal asalan dan celana jeans yang sobek.

“Ah elo Ki, ngagetin gue aja lo,” ujar Ardo.

Pemuda yang bernama Oki itu langsung melompat duduk di sebelah Ardo yang sedang termenung. Dia melihat smartphone yang di pegang Ardo,

“Bokap lo belom balik Do ?” tanya Oki.

“Belom, dah empat bulan ga ada kabar,” ujar Ardo.

“Eh lo berdua ngapain disini ?” tanya seorang gadis di belakang keduanya.

Ardo dan Oki menoleh, dia melihat sosok seorang gadis cantik yang berdiri sambil mendekap sebuah map dan menahan rambutnya yang panjang supaya tidak berantakan tertiup angin,

“Far, apa kabar ? terakhir kita ketemu di pernikahan Rudi dan Santi ya, lo jadi ya pindah ke aussie ?” tanya Ardo.

“Iya, ini gue lagi ngurus transkrip buat di kirim ke sono,” jawab Farah.

“Loh lo biasanya bareng Rudi ama Santi kan, kemana mereka ?” tanya Oki.

“Mereka lagi nganter kedua ade mereka ke bandara, ade ade mereka mau studi di luar negeri,” jawab Farah.

“Loh lo kok ga ikut ?” tanya Ardo.

“Ga lah, udah ada ade gue yang wakilin,” jawab Farah.

“Oh gitu,” ujar Ardo.

“Dah ya, gue jalan dulu, bokap nunggu di tempat parkir soalnya, bye Do, Ki,” ujar Farah.

“Ya, hati hati ya,” balas Ardo dan Oki.

Setelah Farah berlalu, keduanya menatap Farah yang kian menjauh dari belakang, Ardo tiba tiba berdiri,

“Dah ya Ki, gue cabut,” ujar Ardo.

“Mo kemana lo ?” tanya Oki.

“Ke gym dulu, trus jemput ade gue yang paling kecil di sekolahnya,” ujar Ardo.

“Oh ya udah, gue di sini dulu deh, nunggu si Lisna, katanya mau pulang bareng gue, sekarang dia lagi di panggil dosen,” ujar Oki.

“Ok deh, gue jalan ya, bro,” balas Ardo.

Ardo melangkah ke tempat parkir motor yang tidak jauh dari taman, dia terus melihat layar smartphone yang menampilkan pesan tidak berbalas kepada ayahnya. Selagi menatap smartphonenya, tiba tiba “dling,” sebuah pesan masuk ke dalam smartphonenya. Ardo menghentikan langkahnya dan membaca pesannya, dia langsung menekan tombol telepon dan menelpon,

“Kak, gimana nih,” ujar seorang gadis.

“Tenang dulu Del, aku pulang sekarang, tahan jangan sampai mereka masuk ke dalam rumah,” ujar Ardo.

“Tapi aku cuman sama Andin loh, Anisa masih di sekolah,” ujar seorang gadis yang di panggil Del oleh Ardo.

“Pokoknya tunggu, aku pulang sekarang,” ujar Ardo sambil menutup teleponnya.

Ardo memegang keningnya dengan jari tangannya dan memejamkan mata, setelah itu dia langsung bergegas ke motornya dan menaikinya, Ardo memacu motornya pergi dari kampus untuk segera menuju ke rumahnya.

“Gue ke gym nya besok ajalah, sekalian pamit,” ujar Ardo dalam hati.

Jalan yang berliku liku, Ardo lalui menggunakan sepeda motor dengan kecepatan tinggi, akhirnya setelah dua puluh menit lebih, dia sampai di depan sebuah rumah tua yang nampak di bangun pada jaman belanda di wilayah bendungan hilir dan ada sebuah pohon beringin besar yang sepertinya berada di halaman belakang rumah tersebut. Ardo menghentikan motornya di depan rumah karena ada sebuah mobil parkir tepat di depan rumahnya. Dia langsung berlari masuk ke dalam pagar. “Ckrek,” ketika Ardo membuka pagar, terlihat dua orang pria berkemeja kantoran dan memakai name tag sebuah bank menoleh melihat dirinya.

Di belakang orang itu ada dua gadis cantik yang memakai seragam sma terlihat sedang menghalangi pintu masuk, di belakangnya ada seorang gadis cantik berkacamata yang bersembunyi ketakutan dan memakai seragam smp. Ardo melewati kedua pria itu dan langsung berdiri di depan sang gadis.

“Kak Ardo,” ujar kedua gadis itu yang wajahnya nampak lega ketika melihat Ardo.

“Adel, kamu masuk dulu ama Andin, biar aku yang ngomong ama mereka,” ujar Ardo kepada adiknya.

“Iya kak, yuk Ndin,” balas Adel.

“I..iya kak Adel,” balas Andin.

Setelah kedua adiknya masuk ke dalam, Ardo menutup pintunya, dia langsung berdiri tegap di depan kedua pria berkemeja yang nampak lebih kecil dari dirinya.

“Anda siapa ?” tanya seorang pria.

Ardo melihat name tag yang di pakai oleh pria yang bertanya kepadanya, nama pria itu adalah Felix dan di sebelahnya bernama Idris,

“Saya Ardo, saya anak pertama bapak Aditya Prasetyo, ada yang bisa saya bantu ?” tanya Ardo sopan.

Melihat tubuh Ardo yang jauh lebih besar dari mereka dan nampak kekar seperti seorang binaragawan, keduanya mundur sedikit ke belakang.

“Gini mas Ardo, rumah ini kan di jaminkan ke bank kami oleh ayah anda, apa anda mau membaca terlebih dahulu perjanjian kreditnya ?” tanya Felix sopan sambil membetulkan kacamatanya.

“Tidak perlu pak, saya sudah tau, masalahnya ayah saya menghilang sejak empat bulan lalu dan tidak ada kabarnya sama sekali, saya sendiri tidak bisa menghubungi beliau,” ujar Ardo.

“Wah repot juga ya, begini mas Ardo, saya dan rekan saya kesini karena di perintah atasan, tercatat di pembukuan kami, kalau ayah anda belum membayar cicilan selama satu tahun lebih, tapi biasanya dia bisa kami temui dan membuat kesepakatan dengan kami, tapi kesepakatan nya juga tidak di penuhi oleh beliau, kalau begini bank kami bisa memutuskan untuk menyita rumah anda,” ujar Felix menjelaskan.

“Aduh...jangan dulu pak, saya masih mencari ayah saya, boleh tidak saya minta waktu dulu untuk mencoba menghubungi beliau lagi ?” tanya Ardo.

Mendengar pertanyaan Ardo, Felix dan Idris saling menoleh satu sama lain dan berdiskusi, kemudian terlihat Idris kembali ke mobil sambil menempelkan smartphonenya di telinga. Langkah Idris berhenti di depan pagar, kemudian dia berbalik dan berjalan kembali ke depan Ardo,

“Mas Ardo, barusan saya telepon atasan saya, beliau kasih waktu dua minggu untuk mencari ayah anda, nanti dua minggu lagi kita berdua kembali lagi ya,” ujar Idris yang sepertinya lebih senior dari Felix.

“Baik, pak, terima kasih pak,” ujar Ardo tersenyum sambil menjabat tangan Idris.

Setelah bertukar nomor dan berpamitan dengan Ardo, Felix dan Idris berjalan ke mobil mereka dan pergi meninggalkan rumah Ardo. Langsung saja Ardo bernafas lega, namun hatinya tetap was was sebab waktu yang di berikan padanya untuk menemukan ayahnya hanya dua minggu. Ardo memasukkan motornya ke dalam rumah dan menutup pagarnya, ketika dia berbalik berjalan ke dalam,

“Do...Ardo,” seseorang memanggil nya.

Ardo menoleh, wajahnya langsung nampak kesal karena dia melihat orang yang sangat tidak ingin dia temui memanggilnya,

“Ada apa om Sam ?” tanya Ardo kesal.

“Eh rumah lo mau di jual ya ? jual ama gue ya, gue mau bikin kos kosan di tanah lo,” ujar Sam.

“Denger darimana om kalau ni rumah mau di jual ?” tanya Ardo bingung.

“Lah barusan orang bank kan, daripada di sita mending lo jual ama gue,” jawab Sam.

“Setan banget dah nih orang, kalau bukan tetangga udah gue hajar nih orang dari dulu,” ujar Ardo dalam hati mendengar ucapan Sam.

“Ga di jual om, ntar nunggu papa pulang aja kalau mau ngomong soal beginian,” ujar Ardo.

“Ya udah, kalau berubah pikiran ketok pager gue di sebelah ya, gue tunggu loh,” ujar Sam sambil melangkah pergi.

Dengan hati yang kesal, Ardo berbalik berjalan masuk ke dalam rumahnya, di dalam dia di sambut oleh kedua adik perempuannya,

“Gimana kak ?” tanya Adel.

Ardo menceritakan pembicaraan dirinya dengan kedua orang bank yang datang barusan, wajah Adel dan Andin mendadak menjadi kaget, keduanya langsung termenung,

“Trus kalau sampai dua minggu papa ga ketemu gimana ? rumah kita di sita ? kita mau tinggal dimana kak ?” tanya Andin.

“Tenang Ndin, kita usahain dulu cari papa,” ujar Ardo yang tidak bisa mengatakan hal lain selain mencari ayahnya.

“Sisa duit kita makin menipis loh kak, bulan depan buat bayar uang sekolah kita udah ga ada, aku pusing kak,” balas Adel.

“Aku kerja Del, makanya sekarang aku berniat berenti dari gym dan cari kerjaan, soal itu ga usah khawatir,” ujar Ardo.

“Tapi berarti kakak ga jadi atlet mma dong ? itu kan cita cita kakak ?” tanya Adel.

“Ya mau gimana lagi, hidup kita lebih penting kan, kalian tenang aja,” jawab Ardo tersenyum sambil memegang kepala kedua adiknya.

“Maaf ya kak, kalau aku lulus aku juga akan cari kerja,” ujar Andin.

“Lah kamu harus terusin ke sma dulu kan, mana ada yang terima kerja kalau lulusan smp, udah ku bilang jangan di pikirin, kalian sekolah aja seperti biasa,” ujar Ardo.

“Iya kak,” ujar Andin menunduk.

“Aku sekarang udah naik ke kelas 3 sma kak, ntar kalo lulus aku bantu kerja sambil kuliah, itu juga kalau kita punya uang untuk aku kuliah,” ujar Adel.

“Udah udah, ga usah bahas yang terlalu ke depan dulu, fokus sama masalah di depan mata, kita harus mencari papa,” ujar Ardo.

“Apa kita hubungi mama aja ya ?” tanya Andin.

“Ngapain, mama di aussie kan, udah merid lagi ama orang sana dan udah punya keluarga lain, udah, ga usah hubungi mama,” jawab Adel kesal.

“Kamu belum bisa memaafkan mama ya ?” tanya Ardo.

“Iyalah, pergi ninggalin kita gitu aja, sekarang enak enakan di sana sama laki barunya dan liat aja...kita sengsara di sini, payah...dasar mama tiri huh,” jawab Adel ketus.

Ardo dan Andin tidak bisa membantah ucapan Adel, Ardo mengelus kepala Adel yang terlihat emosi sampai hampir menangis karena mengungkit soal ibu mereka dan Andin mengelus punggung Adel.

Chapter 3

Tiba tiba, “ding..dong,” terdengar suara bel berbunyi, “permisi paket,” ujar seorang pria berteriak di depan rumah. Ketiganya menoleh melihat ke arah pintu keluar rumah mereka. Ardo berdiri dan melangkah ke pintu, dia melihat seorang kurir mengendarai sepeda motor berada di balik pagarnya, ketika dia menghampiri sang kurir,

“Paket untuk mas Ardo, benar ya ?” tanya sang kurir.

“Iya...saya Ardo,” jawab Ardo.

Sang kurir langsung memberikan paketnya dan mengambil smartphonenya, setelah itu dia langsung pergi begitu saja meninggalkan Ardo yang bingung. Ardo melihat paketnya, tertulis nama pengirim di dus yang panjangnya seperti kotak sepatu namun lebih lebar,

“Lah dari kantor notaris di daerah cianjur ?” tanya Ardo dalam hati.

Buru buru dia masuk ke dalam rumah dan masuk ke ruang tengah tempat dia berkumpul bersama kedua adiknya, Ardo duduk di sofa dan menaruh paketnya di meja, kedua adiknya melihat paket aneh yang di kirim pada Ardo.

“Paket apa itu kak ?” tanya Andin sambil menaikkan kacamatanya.

“Tau, yang ngirim kantor notaris di cianjur,” jawab Ardo.

“Hah...notaris ?” tanya Adel kaget.

Ardo mengangkat paketnya dan mengguncangnya, dia mendengar sesuatu di dalamnya dan menimbang beratnya,

“Hmm berat juga nih paket, coba buka aja apa ?” tanya Ardo kepada kedua adiknya.

“Buka aja kak,” ujar Andin antusias.

“Iya kak, siapa tau isinya duit,” ujar Adel yang jadi antusias juga.

Ardo merogoh kantungnya dan mengambil kunci motornya, kemudian dia menggores selotip yang menutup dus itu dan merobeknya, setelah dus terbuka, ternyata di dalamnya ada sebuah kota dari besi seperti kotak penyimpanan dan ada sebuah kunci tergantung di depannya. Ardo menoleh melihat kedua adiknya yang antusias di depannya, dia mengambil kuncinya dan memasukkannya ke dalam lubang kunci di kotak besi tersebut. “Klek,” kunci terbuka, Ardo membuka kotak besi itu.

Di dalamnya mereka melihat banyak surat surat, di antaranya adalah surat sertifikat rumah, surat hibah dan surat waris yang menuliskan kalau rumah tersebut di wariskan kepada Ardo dan tiga orang adiknya. Setelah itu, mereka melihat sebuah surat dari sebuah universitas yang merupakan surat permohonan maaf dan di baliknya ada sebuah surat pengantar dari kantor notaris.

Ardo membuka suratnya dan membacanya, wajah ketiganya langsung berubah karena surat tersebut mengatakan kalau ayah mereka menghilang ketika sedang meneliti situs purbakala di cianjur yang di katakan sebagai piramid tertua di dunia, tepat ketika terjadi fenomena aneh dimana semua orang tertidur masal dan langit menjadi gelap. Pihak universitas baru mengetahui seminggu setelah terjadinya fenomena dan ketika Ardo melihat tanggal surat di kirimkan ternyata memang tanggal tersebut adalah seminggu setelah fenomena aneh yang melanda semua tempat terjadi.

“Tapi saat itu ga langsung di kirim ke kita ya ?” tanya Ardo dalam hati.

Ardo menyingkirkan surat dari universitas untuk membaca surat dari kantor notaris di belakangnya. Di surat dari kantor notaris, menjelaskan kalau setelah bercerai, ayah mereka pergi ke notaris tersebut dan meminta supaya notaris mengurus semuanya kemudian mengirimkan nya pada Ardo anak pertamanya atas perintah darinya. Ardo, Adel dan Andin mendadak lemas, surat dari universitas dan notaris itu terlepas dari tangan Ardo yang bingung dan tidak tahu harus berkata apa. Dia melirik ke arah surat dari kantor notaris dan sertifikat tanah yang berada di dalam box,

“Berarti sertifikat ini baru selesai di balik nama dan baru di kirimkan ke kita,” gumam Ardo.

“Fe..fenomena aneh ? berarti yang waktu itu tau tau kita bangun di jalanan dong kak ?” tanya Andin.

“Iya, waktu kita ke puncak beberapa hari sebelum kejadian itu, di surat yang di tinggalkan di meja makan rumah nenek, papa bilang emang dia mau ke cianjur kan, waktu kita bangun tidur pagi pagi, dia udah ga ada,” jawab Ardo.

“Papa cuman ninggalin surat dan akhirnya kita berempat pulang naik taksi online, aku masih ingat jelas soal itu dan beberapa hari setelahnya, aku bangun di trotoar dekat sekolah, benar benar membingungkan,” ujar Adel.

Ketiganya kembali terdiam, mereka merenung sambil melihat isi kotak besi yang penuh dengan surat surat. Ardo mengangkat kotaknya dan menutupnya karena berniat menyimpannya, tapi sebelum dia berdiri, “klotak,” terdengar sesuatu di dalam kotak yang bergerak membentur dinding kotak. Ardo kembali membuka kotaknya dan ketiganya melihat sebuah gantungan kunci kristal dengan sebuah pecahan fosil dahan pohon yang sudah membatu di dalam kristal bening tersebut. Andin mengambil gantungan kunci itu dan mengamatinya,

“Ini bukan gantungan kunci, ini batu kristal di jadikan gantungan kunci, boleh buat aku ?” tanya Andin.

“Ambil aja, ga tau juga papa dapet darimana gantungan kunci itu,” jawab Ardo.

“Simpen aja Ndin, siapa tau berharga kan, ntar kamu bawa bawa malah ilang repot,” balas Adel.

“Iya juga ya kak, ga jadi deh,” ujar Andin menaruh lagi batu kristalnya di dalam kotak.

Setelah semua di masukkan kotak, Ardo berdiri dan menyimpan semuanya di lemari yang berada di ruang tengah tempat menaruh pajangan. Tiba tiba, “dling,” sebuah pesan masuk ke dalam smartphone Adel, dia langsung melihatnya,

“Oh Nisa ke apartemen dulu katanya, temennya mau pindah sekolah ke bekasi jadi mau perpisahan, dia ama Oliv dan Gisel juga, katanya sore aja jemputnya,” ujar Adel.

“Ya udah kalo gitu,” ujar Ardo yang kembali duduk di sofa.

“Trus ama orang bank bilang apa nih ? masa kita bilang papa hilang, ga mungkin kan ?” tanya Adel.

Belum sempat pertanyaan Adel di jawab, tiba tiba “dring...dring...dring,” smartphone Andin berdering nyaring, dia langsung melihat layarnya untuk melihat siapa yang menelponnya. Wajah Andin langsung berubah ketika melihat nomor yang tertulis di layar smartphonenya, dia memberikan smartphonenya kepada Ardo yang juga sama terkejutnya ketika melihat nomor asing dari luar negeri tertera di layar smartphone. Ardo berdiri dan berjalan keluar rumah membawa smartphone Andin.

“Ada apa mah ?” tanya Ardo.

“Heh Ardo, suruh bapak lo urus tuh utang, jangan sampe orang bank nelepon gue lagi nyari dia, emang kemana sih dia ? kabur ya ?” tanya seorang wanita di telepon.

Ardo terdiam, tangannya mengepal karena mendengar suara parau ibunya di telepon yang terdengar jauh, di tambah suara seorang laki laki yang sayup sayup terdengar menggunakan bahasa asing.

“Lo denger ga Do ?” tanya ibunya.

“Denger mah,” jawab Ardo singkat dengan suara gemetar.

“Tolong ya, jangan ganggu gue lagi, gue udah ga ada hubungannya dengan kalian, bilang ama orang bank, jangan sampe mereka telepon gue lagi, paham,” teriak sang ibu.

“Tuuut..tuuut,”

Telepon di matikan, Ardo menekan smartphonenya dan tangannya yang mengepal mulai gemetar, dia menarik nafas panjang dan menghembuskannya, dia berusaha menenangkan dirinya dan tidak berniat mengatakan apa yang di katakan sang ibu kepada kedua adiknya, terutama Adel yang masih sangat membenci ibu nya.

“Ampun deh, ada aja ya, jrit, pala gue puyeng jadinya,” ujar Ardo dalam hati.

Ardo kembali masuk ke dalam, dia melihat kedua adiknya termenung duduk berjauhan di sofa yang berada di ruang tengah, Ardo mengembalikan smartphone Andin, tentu saja Andin langsung menatap wajah Ardo yang nampak kusut dan merah, dia berdiri dan meminta Ardo menunduk sedikit kemudian mendekatkan wajahnya ke telinga Ardo.

“Mama ngomong apa kak ?” tanya Andin.

“Macem macem, lagian kamu blok aja nomor dia napa,” jawab Ardo.

“Udah kak, kayaknya dia telepon pakai nomor suaminya karena ga keluar namanya dan kode nya dari ausie,” ujar Andin berbisik.

“Jangan bilang Adel yang telepon barusan mama, bisa repot ntar kalo dia ngambek,” ujar Ardo berbisik.

“Ngerti kak, makanya kita bisik bisik kan,” balas Andin.

Ardo kembali duduk di sebelah Adel, dia melihat adiknya masih termenung diam tidak bersuara di sebelahnya,

“Kamu masih mikirin soal papa ?” tanya Ardo.

Adel tidak menjawab, tapi dia mengangguk, dia menutup wajahnya dengan kedua tangannya, kemudian menoleh melihat Ardo.

“Kita kasih tau Nisa ga nih ?” tanya Adel.

“Gimana ya ? mau ga mau harus kasih tau kan,” jawab Ardo.

“Iya bener kak, nanti biar aku yang kasih tau,” tambah Andin.

“Trus hidup kita gimana ? sekolah ku, Andin dan Anisa belum tentu bisa ke bayar bulan depan,” gumam Adel.

Ardo terdiam, tangannya melambai supaya Andin duduk di sebelahnya, setelah Andin berpindah tempat, kedua tangan Ardo terentang dan merangkul kedua adiknya.

“Seperti yang ku bilang, kalian tidak perlu khawatir,” ujar Ardo.

Kedua adik Ardo merebahkan kepalanya di pelukan kakaknya, Ardo memandang ke depan dengan pandangan kosong karena sebenarnya dia bingung apa yang harus dia lakukan sekarang, sebab kuliahnya juga terancam berhenti tanpa mengetahui kalau seseorang atau sesuatu sedang melihat dirinya dan kedua adiknya melalui sebuah layar hologram berwarna kuning dan duduk di atas pohon beringin yang nampak tua.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!