NovelToon NovelToon

Tergila-gila Padamu

Prolog

Dua tahun yang lalu

Gadis bersurai hitam itu keluar dari Audi A8 hitam yang membawanya, begitu seorang petugas valet membukakan pintu mobilnya. Dia berjalan menuju lift dari area parkir VIP itu. Di dalam lift, ia mematut diri dari bayangan pintu dengan perasaan tidak tenang, penampilannya sudah sempurna— dalam balutan midi dress viscose Kiton warna putih. Antara bingung juga senang. Orang tuanya tiba-tiba saja mengajak makan malam tanpa memberitahu tujuannya, tapi ada yang membuatnya bahagia, pujaan hatinya juga akan ada di sana. Pintu berdenting terbuka.

"Nona Safira, benar?" Tanya petugas yang menunggu di depan pintu besar menuju ruangan private.

"Iya."

Pintu pun didorong. Lalu nampak Pak Rudi di sana.

"Nona Safira sudah datang." Petugas itu berkata pada Pak Rudi— sekretaris Ayahnya.

"Silakan, Nona." Pak Rudi membawanya untuk masuk lebih dalam lagi.

...

Di sana sudah ada semuanya. Ibu dan Ayahnya. Gavin dan kedua orang tuanya juga ada duduk di depan meja makan berukuran besar.

"Ayo duduk Safira!"

Safira mengikuti perintah Ayahnya. Dia duduk di sebelah Ibunya dan berseberangan dengan Gavin.

"Sebaiknya kita menikmati hidangannya dulu sebelum memulai pembicaraannya." Papanya Gavin menjadi pembuka acara.

"Ya, kita menyantap hidangan saja dulu." Ayahnya Safira mengangguk setuju.

Karena dua kepala keluarga sudah setuju, maka sebagai anggota yang lain hanya mengikuti saja. Enam orang pelayan wanita datang mendorong hidangan makanan mereka lalu mulai menatanya. Safira menerima steak yang sudah disiapkan untuknya.

"Safira sepertinya steak kita tertukar. Kamu tidak seharusnya mendapat bagian rib eye." Gavin berkata untuk menghentikan Safira yang hendak memotong dagingnya.

"Ah, masa, sih?" Safira bingung lalu melirik piring Gavin. Baginya tampak sama saja.

"Coba mama lihat. Ah iya, gimana sih, ko bisa salah? Gavin kamu tukeran sama Safira, ya." Mamanya Gavin khawatir lalu membantu menukar piring.

"Maaf bu, saya tidak tahu. Saya pikir ini sama saja." Pelayan yang sebelumnya menata makanan Safira itu membungkuk.

"Ko sama saja? Kan jelas-jelas bentuk dan teksturnya berbeda. Nanti saya bicara sama manajer kalian. Mempekerjakan pelayan tidak profesional. Buruk sekali," omel Mamanya Gavin kesal.

"Maafkan junior saya, Tuan, Nyonya. Dia baru masuk bekerja hari ini." Salah satu dari mereka membungkuk membantu temannya.

"Pantas saja tidak becus. Lain kali jangan pakai pelayan baru untuk acara penting," gerutu Mamanya Gavin masih kesal.

"Sudahlah tidak perlu diperpanjang lagi, hari ini kita bertemu bukan untuk mendebatkan makanan." Ibunya Safira menengahi.

"Terima kasih, Nyonya." Kedua pelayan itu pun keluar dari ruangan. Disusul empat lainnya.

Tidak ada yang berbicara lagi setelahnya. Safira memakan steak-nya lalu melirik Gavin yang juga menatap ke arahnya. Laki-laki itu seolah bertanya 'apa kamu baik-baik saja?' dan Safira mengangguk.

Tidak lama setelah makanan penutup selesai disantap, Papanya Gavin memulai perbincangan.

"Sepertinya kita tidak perlu berbasa-basi lagi, ya." Matanya melirik semua orang di sana. "Sebenarnya tujuan makan malam ini saya ingin melamar putri pak Ivan Halim untuk anak saya Gavin Prayudha."

Safira terkejut. Bukan tidak senang, ia hanya tak percaya akan secepat ini dan juga sepertinya hanya dirinya yang belum tahu. Karena semua orang di sini tidak menunjukkan kekagetan yang sama.

"Bagaimana Safira? Apa kamu bersedia menerima Gavin?" Tanya Papa Gavin.

"Safira pasti setuju. Hanya untuk waktu pertunangan biar dia saja yang memutuskan." Ayahnya yang menjawab.

"Safira kamu ingin melakukan pertunangan itu kapan?" Ibunya kini bertanya.

"Kalau om Reksa dan keluarga tidak keberatan, Safira ingin mengadakan acaranya pas ulang tahun yang ke-17." Meskipun dia masih terkejut dengan situasi saat ini, tapi ia tidak boleh membuat yang lain menunggu jawaban.

"Bagus sekali sayang, sekalian kita adakan pesta saja," ujar Mama Gavin penuh antusias.

"Padahal sudah mau bangkrut tapi masih memikirkan pesta," sindir Ibunya Safira.

"Stella!" Ayahnya memberi peringatan.

"Maaf, anggap saja aku tidak mengatakan apapun." Ibunya Safira berkata pelan dan berekspresi datar.

"Iya, tidak apa-apa mbak," ucap Mama Gavin.

Safira melirik Gavin. Ia tidak ingin lelaki itu membenci Ibunya. Tapi Gavin tersenyum padanya. Ia pun lega.

"Aku juga setuju kalau ada pesta tante. Sekalian undang semua kerabat dan juga teman-teman kak Gavin." Safira mengutarakan persetujuannya.

"Karena ini acara Safira dan Gavin, biarkan mereka memutuskan acaranya sendiri saja. Kita sebagai orang tua cukup mengawasi dan menyempurnakan." Papa Gavin menyampaikan saran bijaknya.

"Ya, lebih baik seperti itu saja. Dan untuk besok, atur saja pertemuan dengan kakak saya. Selebihnya kita bahas bersama nanti," ujar Ayahnya Safira.

Kakak ayahnya berarti direktur Bank Swasta keluarga Halim. Ternyata benar apa yang diucapkan Ibunya. Safira bergumul dengan pikirannya sendiri.

.

.

"Kamu yakin belum mau pulang?" Gavin bertanya seraya menyampirkan jaketnya pada pundak Safira.

"Ya. Aku masih suka di sini." Safira menjawab sambil mengeratkan jaket itu.

Tidak ada yang berbicara lagi setelahnya. Hanya ada kebisuan dan belaian angin malam yang semakin dingin.

Safira melirik dari samping. Karena kebingungannya malam ini ia lupa memuji sang pujaan hati. Dengan balutan jaket Kiton warna putih— hadiah dari-nya tahun lalu— menampilkan sosok lelaki itu menjadi lebih tampan. Dan ia pun terpikat lagi. Sekarang pipinya terasa panas.

"Safira maaf, sebenarnya aku ingin melamarmu bukan dalam situasi seperti ini. Tapi Papa—"

"Aku tahu. Aku percaya sama kak Gavin. Untuk masalah orang tua kita biar mereka saja yang mengurusnya."

"Terima kasih. Aku sayang kamu."

"Aku juga sayang kak Gavin."

Gavin mengambil tangan Safira lalu menggenggamnya.

"Ayo aku antar kamu pulang. Tidak baik berlama-lama di luar."

Tapi Safira tak bergeming sedikit pun.

"Ini adalah gedung hotel dengan lantai tertinggi. Kita bisa melihat lampu-lampu kota dari sini. Langit juga kelihatan lebih dekat."

"Jadi kamu ingin acaranya diadakan di sini?"

"Bagaimana kakak bisa tahu?"

"Terlihat jelas dari kalimatmu itu."

"Hahaha. Kamu memang hebat."

Setelah itu hening kembali menyelimuti keduanya.

"Aku ada satu permintaan."

"Apa itu?"

"Aku ingin pergi sekolah seperti orang lain, apa bisa?"

"Tapi kondisimu kan—"

"Aku tahu. Aku hanya ingin mencoba hidup normal sekali saja."

"Baiklah, aku akan mencoba bicara pada Ayahmu."

"Yeay, makasih."

"Tentu, ayo kita pulang!"

"Ayo!"

.

.

Empat tahun yang lalu

"Katty, kemari!"

Seekor kucing persia berbulu abu datang menghampiri Safira. Kucing itu bermanja ria di kaki sang pemiliknya. Safira lantas memangku lalu mengelus kucing kesayangannya itu.

Si kucing tampak nyaman berada dalam pangkuan Safira.

"Safira kamu main di sini juga?" Seseorang menyapa Safira.

"Eh, Gita! Aku ngajak main Katty di taman ini."

Gita adalah putri teman Ibunya.

"Oh, kalau gitu mending Katty main sama Louis." Gita memangku kucing berbulu putih.

"Boleh."

Kedua kucing itu pun diturunkan oleh pemiliknya. Safira dan Gita bercengkrama di bangku taman sementara kucing mereka berlarian bersama.

Tiba-tiba saja Katty dan Louis saling mengeong layaknya bermusuhan. Keduanya pun lantas berlari saling kejaran.

"Tidak, Katty!" Teriak Safira lalu mengejar kucingnya.

"Mereka kenapa sih?" Tanya Gita yang juga menyusul Safira berlari.

"Aku tidak tahu."

Gita berlari mendahului Safira yang tidak bisa berlari kencang. Kedua kucing itu terus berlarian hingga ke jalan raya. Louis berhasil menyeberang dengan selamat dan saat Katty hendak menyusul, sebuah mobil berkecepatan tinggi melaju. Safira ingin menyelamatkan Katty– kucingnya.

"Katty!"

"Safira, awas!"

Tiinnn

Krekk

Seharusnya sekarang Safira merasakan badan mobil menghantamnya dengan keras. Seharusnya sekarang ia terkapar di aspal dan merasakan kebas di seluruh tubuhnya. Tapi ia malah berdiri dan seseorang memeluknya.

Orang itu melepaskan pelukannya lalu berteriak, "kamu itu gila, ya?!"

Safira tidak menjawab dan malah menangis.

"Heh, kamu hampir mati dan sekarang menangis. Punya otak gak sih?!" Laki-laki itu berteriak kesal.

Safira menangis semakin kencang.

"Memangnya kamu punya nyawa 10?!"

"S-sekarang a-aku sendirian." Safira berkata sambil sesegukan.

"Maksudnya?"

"K-katty meninggal."

Sekarang laki-laki itu mulai paham sambil melirik ke arah mayat kucing yang mengenaskan. Sebenarnya ia ingin muntah tapi ditahannya sekuat mungkin. Jangan sampai perempuan di depannya melihat kondisi kucingnya itu.

"Ayo pergi!" Laki-laki itu menarik tangan Safira.

"T-tapi Katty–"

"Aku akan menyuruh seseorang mengurusnya."

Akhirnya Safira mengikuti laki-laki itu dan ternyata mereka pergi kembali ke taman. Ia belum melihat nasib kucing kesayangannya karena sibuk menangis. Tapi mungkin hatinya juga tidak cukup siap melihat.

"Sudah, jangan menangis lagi!"

"Iya." Safira mengusap jejak air mata di pipinya.

"Namaku Gavin."

"Aku gak nanya."

"Cuma ngasih tahu. Kamu tunggu di sini sebentar!"

Gavin berlari meninggalkannya di taman. Dan mau-mau saja Safira mengikuti perintahnya. Tidak lama Gavin pun kembali lagi.

"Ini buat kamu."

"Apa ini?"

"Cilok. Aku gak tahu sih cilok yang ini enak apa enggak, tapi aku bisa jamin setelah ini perasaan kamu jadi lebih baik."

Safira menatap bulatan makanan dalam plastik di tangannya. Warnanya merah gelap dan ada tusuk kayu. Baru kali ini ia melihatnya.

"Ayo makan!"

"Apa hubungannya cilok sama perasaan aku?"

"Coba aja dulu."

Gavin memakan tusukkan ciloknya lalu mengunyahnya seraya menunjukkan ekspresi seperti memakan sesuatu yang sangat enak. Safira pun jadi tergoda dan mencobanya.

Keras, pikirnya.

Teksturnya kenyal dan butuh beberapa kali kunyahan agar bisa ditelan sempurna.

"Gimana?"

"Ngeselin!"

"Lah ko ngeselin?"

"Kan cape ngunyahnya."

"Nah, sama kaya perasaan sedih kamu. Hati dan pikiran kamu juga cape kalau kamunya sedih terus. Kasihan."

"Dih, sok tahu."

"Dibilangin gak percaya."

"Iya deh percaya sama mamang cilok."

"Kenapa manggil mamang cilok, sih?"

"Terserah aku, dong." Safira akhirnya tersenyum kecil.

"Nama kamu siapa?"

"Safira."

"Oke Safira, mulai hari ini kamu jadi langganan cilok aku, ya."

"Ya gak mau lah. Eh, perempuan yang sebelum kejadian sama aku kemana ya?"

Safira teringat pada Gita.

"Tadi kabur begitu aku datang."

Safira mengangguk.

.

.

TBC

Semangat Safira

Safira tengah merekam setiap baris kalimat yang ada di buku dalam genggamannya. Bahkan kedatangan seorang pelayan yang meletakkan piring berisi potongan buah di sampingnya tak ia hiraukan. Fokusnya begitu penuh untuk belajar. Lain hal ketika ponselnya tiba-tiba bergetar. Dengan semringah ia membukanya.

GavinP : Sedang apa?

Safira membalas dengan mengirimkan foto selfie dirinya dengan latar rak buku ruang belajarnya.

GavinP : Apa aku mengganggu?

SafHalim : Tentu saja tidak 😁

GavinP : Butuh bantuan?

SafHalim : Ya 🙁

GavinP : Kirim aja soalnya

SafHalim : Aku butuh kamu di sini 🤗

GavinP : 😳

SafHalim : Serius ih

GavinP : Emang siapa yang gak serius?

SafHalim : Jadi ke sini?

GavinP : Iya

SafHalim : Kapan?

GavinP : Nanti malam

SafHalim : Kenapa nanti? Kan butuhnya sekarang

GavinP : Ya udah sekarang

"Apa yang kamu lakukan?!"

Safira hampir melemparkan ponsel karena terkejut mendengar teriakan sang Ibu.

"Ibu."

"Apa kamu tidak belajar?"

Ibunya masuk. Penampilannya sudah rapi dalam balutan Martha Jacket silk serta skirt dari Loro Piana, sepertinya hendak pergi ke sekolah.

"Aku belajar bu, tadi balas chat kak Gavin sebentar."

"Sini ponselnya! Ibu sama Ayah ingin kamu fokus belajar, jadi jangan sampai mendapat peringkat dua. Kamu harus menjadi yang pertama di ujian masuk ini!"

Ponselnya direbut paksa oleh Ibunya. Safira hendak meminta kembali tapi urung ia lakukan.

"Ibu kan tahu kondisi aku kayak gimana. Aku gak mungkin—"

"Mungkin! Ibu tahu perkembangan belajar kamu, setidaknya untuk ujian kali ini jangan membuat malu sebagai anak kepala yayasan." Ibunya meyakinkan Safira dengan membelai rambutnya dan menatap dalam matanya.

"Iya, bu."

"Lanjutkan belajarnya!"

Sang ibu pun keluar dari ruang belajar Safira. Meninggalkan putrinya yang kembali fokus belajar.

.

.

SafHalim : Tidak usah datang. Aku sedang sibuk belajar

Gavin sudah bisa menebak kalau Safira pasti ketahuan main ponsel oleh Ibunya.

"Vin, jajan yuk! Laper gue." Aditya menjatuhkan pantatnya di kursi sebelah Gavin.

"Kita tunggu Reza dulu."

"Samperin aja yuk!" Gavin mengangguk lalu mengikuti langkah Aditya.

Mereka keluar dari kelas lalu berjalan berpindah bangunan menuju kelas 1-A. Tidak lama mereka sudah mencapai ruangan di mana Reza berada.

"Reza!" Teriak Aditya seraya masuk begitu saja ke dalam ruangan.

Reza yang sebelumnya tengah mengerjakan sesuatu di laptop pun sontak mendongak. "A-ada apa?"

"Kita ke kantin yuk! Laper."

"Tapi aku harus kerjain tugas."

"Udah, nanti aja." Aditya terus memaksa Reza hingga akhirnya bersedia.

Gavin sendiri malah bersender di pintu memperhatikan kedua orang itu.

Tidak banyak murid yang berada di kelas karena memang ini jam istirahat. Dan beberapa siswi yang ada di sana memperhatikan ketiganya dengan tatapan kagum. Reaksi wajar untuk siswa tampan dan populer.

.

.

"Eh, bukannya dia Gavin si nomor 1 itu?"

"Mana?"

"Itu yang tengah."

"Maksudnya nomor 1 apa sih?"

"Gantengnya, pinternya, tajirnya, semuanya deh."

"Iyah sih emang ganteng."

"Nah kaaannn..."

Aditya mendesah mendengar percakapan para gadis yang mereka lewati. "Bertambah lagi cewek yang bakal patah hati begitu tahu status Gavin. Kasihan."

"Emang Gavin beneran mau tunangan?" Reza bertanya karna ia pikir itu hanya gossip Aditya dan memang ia pun belum pernah melihat sosok kekasih Gavin.

"Baru mau."

"Tapi pasti." Gavin mengoreksi.

"Ya 'kan, belum juga TENG acaranya, berarti belum jadi."

Tiba-tiba saja seorang perempuan berjalan ke arah mereka dan berhenti tepat di depan Gavin.

"Sayang, kamu mau ke kantin, ya? Kenapa gak ngajak aku?" Perempuan itu tersenyum lebar dengan mata yang berkedip cepat seperti memberi kode akan sesuatu.

Mereka bertiga membisu karna merasa tidak mengenal perempuan itu. Sedangkan si perempuan menoleh ke belakang seperti memastikan sesuatu lalu segera menarik Gavin pergi bersamanya.

"Eh, kok malah pergi sih." Aditya protes.

"Kamu kenal dia?" Tanya Reza.

"Ya, mana gue tau. Gila tuh cewek main serobot aja," gerutu Aditya.

Mereka berdua pun menyusul Gavin yang diculik perempuan asing.

.

.

Perempuan itu pun melepaskan tangan Gavin setelah memastikan keadaan sekitar aman. "Maaf ya, aku udah bertindak gak sopan. Tapi makasih tadi itu kamu udah nolongin aku."

Gavin mengangguk. Hanya bisa menerima saja karna memang kejadian tadi begitu cepat. "Emang tadi itu kenapa?"

"Salah satu pelangganku di resto akhir-akhir ini bertindak aneh. Dia sering bertanya tentang masalah pribadi, memaksa untuk mengantar pulang, dan sekarang yang paling parah dia mengikutiku sampai sekolah. Aku pikir dia ingin memastikan apakah benar pacarku itu ada, seperti yang aku ceritakan padanya. Kurasa dia itu gila."

"Dan kamu tidak punya pacar?"

Perempuan itu mengangguk. "Ya, karna itu terjadilah peristiwa tadi. Aku benar-benar minta maaf."

"Lain kali pilih saja orang lain. Kamu bisa laporkan orang asing itu pada guru."

Perempuan itu sedikit terkejut dengan ucapan Gavin yang dingin dan kasar. "Tentu saja, dan terima kasih untuk tadi."

"Kalian saling kenal?" Tanya Aditya yang baru saja tiba bersama Reza.

"Gak," jawab Gavin.

"Lah, terus?" Aditya menggaruk kepalanya.

Perempuan itu pun menjelaskan rangkaian kejadian seperti yang sebelumnya diceritakan pada Gavin.

"Jadi nama kamu siapa?" Reza mengajukan pertanyaan.

"Maura kelas 2-F."

Aditya membelalak. "Kelas F? Dan kamu berani sentuh Gavin seperti tadi? Wah, kasus ini."

Maura mulai resah. "K-kasus apa?"

Aditya berdecak. "Kamu gak tahu Gavin ini?" Sambil menunjuk orangnya.

Maura menggeleng.

Aditya melotot. "Kamu yakin sekolah di sini? Bukan di gua?"

"Dit, jangan keterlaluan." Gavin menegur.

"Tapi dia ini harus tahu siapa itu seorang Gavin."

Maura membungkuk. "Aku minta maaf untuk permasalahan tadi. Aku juga berjanji tidak akan mengulanginya."

"Hmm..." Aditya mengangguk dengan mata yang menilai penampilan Maura dari atas rambut hingga ujung kaki.

Maura memang lumayan cantik, Aditya mengakui. Gayanya sederhana sekali. Tanpa mengenakan barang branded seperti yang lain. Rambut hitamnya yang panjang diikat asal.

Maura yang mulai tidak nyaman pun pamit setelah mengucapkan permintaan maaf lagi.

"Lo percaya sama ceritanya dia gitu aja?" Tanya Aditya.

"Kalaupun dia bohong, gak ada ruginya, toh kita 'kan gak saling kenal."

Aditya berdecak akan tingkah cuek Gavin.

"Dit, kamu udah kenyang? Perasaan kita belum makan yah," celetuk Reza.

Aditya pun sontak menggerutu. "Tuh 'kan, gara-gara itu cewek jam makan gue telat."

Gavin dan Reza pun tersenyum lebar.

.

.

Tok Tok

Safira yang sebelumnya tengah belajar di dalam ruang belajar kecil di kamarnya pun berhenti.

"Siapa?" Safira berteriak. Sebenarnya ia merasa terganggu padahal sudah memberi pesan pada pelayan agar tidak ada siapapun yang masuk sampai besok.

"Paket..."

"Hah, kok ada tukang paket yang masuk rumah." Safira bergumam seraya keluar ruang belajar untuk membuka pintu.

"Permisi Nona, saya mengirimkan paket berupa pujaan hati nona." Gavin tersenyum lebar.

Sangat tampan.

Safira tertawa. "Apaan sih, gak jelas banget."

"Tapi senang 'kan?"

"Iya, selamat sudah membuat Safira senang, puas?"

"Tentu saja, Nona besar."

"Eh, aku gak besar ya."

"Oh, iya juga ya, Nona cantik kalau gitu."

"Kalau cantik baru betul."

Gavin mengacak rambut Safira, membuat sang empunya cemberut. Ia mengalihkan tatapannya pada ruang kecil berwarna putih yang lebih menyerupai lemari. Sangat kontras dengan kamar Safira.

"Apa itu?"

Safira melihat apa yang menarik perhatian Gavin. "Oh, itu ruang belajar tambahan yang dipasang Ibu."

"Kamu 'kan punya ruang belajar sendiri."

"Ibu bilang, belajar di ruang yang lebih kecil bisa membantuku untuk fokus."

"Jadi selain mengikuti kelas seperti biasa, kamu juga harus belajar di dalam sini?"

"Ya, ibu ingin aku mendapat peringkat 1 dalam ujian masuk besok."

Safira kaget karna tiba-tiba saja Gavin menariknya dalam pelukan lalu mengusap rambutnya. "Kenapa?"

"Padahal kamu tidak perlu pergi sekolah, cukup belajar seperti biasanya. Kamu harus memikirkan kondisimu sendiri."

"Sekali ini saja, kak. Hanya untuk ujian. Setelahnya aku tidak akan memaksa lagi."

"Baiklah, aku mengerti."

Clek

Mereka sontak menjaga jarak begitu pintu kamar mengayun terbuka.

"Oh, ada kamu." Ibu Safira masuk ke kamar dengan pakaian yang lebih santai.

"Iya, tante. Saya kesini mau bertemu Safira."

"Sayang sekali tapi Safira harus belajar untuk besok." Ibunya Safira tersenyum pongah.

"Saya bisa membantu Safira belajar, tante."

Ibunya hendak berargumen lagi tapi urung dilakukan. Melainkan ia melengos seraya pergi begitu saja dari kamar itu.

"Kamu lihat tadi muka Ibu. Pasti dalam hatinya kesel banget sama kamu."

"Asalkan aku tetap calon menantunya, aku tidak peduli."

Safira tersenyum. "Kak, aku mau bilang sesuatu."

"Apa itu?"

"Sampai jumpa nanti di sekolah."

Gavin tersenyum. "Ya, sampai jumpa."

.

.

Stella membanting pintu kamar, membuat penghuni lain kamar itu terperanjat.

"Ada apa? Kenapa wajahmu merah begitu?" Ivan meletakkan buku yang sebelumnya tengah dibaca ke atas nakas.

"Aku tidak suka pada anak sok pintar itu."

"Maksudmu Gavin?"

"Ya, siapa lagi. Waktu itu aku sudah tidak setuju dengan pilihanmu."

"Lo, bukannya kamu yang bilang dia nomor 1?"

"Memang itu faktanya, tapi 'kan bisa memilih orang lain."

"Untuk urusan penerus, aku tidak ingin yang sembarangan. Aku yakin Gavin bisa diandalkan."

"Terserah kamu saja." Stella pun menyerah kali ini, tak mau mendebat lagi.

"Bagaimana dengan Safira?"

"Sejauh ini lumayan. Dari hasil tes guru lesnya dia sudah berkembang jauh."

"Baguslah. Jangan terlalu keras padanya."

"Ya, setelah ini. Aku tidak ingin posisiku sebagai kepala yayasan diragukan. Apalagi di pertemuan keluargamu yang sering membanggakan anak mereka."

"Tahanlah sebentar lagi, kita akan punya Gavin. Sekarang kamu mandi dulu, setelah itu kita bersantai." Ivan berbisik di telinga Stella seraya mengusap bahunya perlahan.

.

.

TBC

Kejutan mendadak

Pagi itu jantung Safira berdegup kencang, bukan karna penyakitnya, melainkan rasa gugup yang melandanya. Jam di tangannya pun sampai berbunyi memberi peringatan. Sebelum keluar dari lift ia menghela napas dahulu. Bibir yang sebelumnya bersiap merekah itu kini layu. Tidak ada siapapun di meja makan. Tidak ada orang tua yang menyambutnya.

"Bi, Ibu sama Ayah di mana?" Safira bertanya pada Bi Surti yang datang menyiapkan makanan di meja.

"Sudah berangkat, Non." Bi Surti —pelayan pribadinya di rumah— pun kembali pergi ke dapur.

"Bahkan hari sepenting ini pun tidak ada." Ia bergumam pada dirinya sendiri.

.

.

Ujian masuk SMA Harapan (Halim Rangka Pandu) semakin membeludak lebih dari tahun-tahun sebelumnya. Wajar saja, mengingat SMA ini menjadi favorit di Ibu Kota. Bukan hanya fasilitas yang menjanjikan, sistem pendidikan pun jadi acuan para orang tua memilih SMA Harapan. Apalagi persentase lulusannya diterima Universitas Nasional terbaik dan Universitas luar negeri yang sangat tinggi, mencapai 85%, orang tua mana yang tidak tergiur. Semua ruang kelas di sembilan bangunan kelas penuh. Dan ujian belangsung hingga sore karena dibagi beberapa sesi.

Ya, sisi lain yang menjadikan SMA Harapan terkenal adalah karena memiliki sembilan bangunan besar untuk ruang kelas. Satu bangunan terdiri dari tiga lantai yang tiap lantainya diisi satu kelas. Dan lengkap dengan fasilitas penunjang belajarnya seperti laboratorium khusus perkelas.

Safira mengumpulkan kertas ujiannya paling awal. Sebenarnya ia masih memiliki banyak waktu dan guru pengawas pun mempertanyakan keputusannya, tapi karena kondisinya tidak mendukung ia pun memantapkan hati menyerahkan lembar ujiannya itu. Dan lagi ia sudah mengulang soal-soalnya. Kepalanya pusing, salahkan ia karena hanya meminum air saat jam istirahat. Badannya bisa saja ambruk kalau tidak ada yang menahannya begitu keluar ruang ujian.

"Kamu kenapa?"

Ternyata Gavin yang menahan tubuhnya. Laki-laki itu membantunya berdiri dengan benar. Lalu menatapnya khawatir.

"Kepalaku pusing, kak."

"Ayo ke mobil."

Safira hampir saja berteriak akan tindakan Gavin yang memangkunya tiba-tiba. "Turunin. Malu tahu."

"Gak usah malu. Daripada pingsan 'kan ribet."

Akhirnya Safira diam. Meskipun hatinya berdebar tidak karuan. Untung saja suasana masih sepi karna ujian belum berakhir. Dalam posisi sedekat ini ia jadi bisa menatap wajah pujaan hatinya dengan sangat dekat. Kulitnya yang putih, hidung mancung, dan bibir yang saat tersenyum manis sekali. Semuanya Safira suka. Dan ia bersyukur ada di lantai 3, jadi punya kesempatan lebih lama. Tapi kasihan juga Gavin, mungkin saja Safira bertambah berat badan. Kepalanya sudah tidak terlalu pusing karena lonjakan kebahagiaannya saat ini.

Akhirnya mereka sampai di parkiran. Safira pun masuk ke dalam Audi R8 milik Gavin. Dan Gavin duduk dibalik kemudi.

"Tumben bawa mobil. Apa ini gak berlebihan?"

"Ini minum dulu." Gavin memberikan botol air pada Safira. "Hari ini kan spesial sama kamu, jadi harus yang lebih privasi."

Safira tersenyum lantas meminum airnya.

"Gak sia-sia dong aku bawa sandwich buatan Mama, ternyata akan berguna. Ini makan dulu." Gavin memberikan kotak makan.

Safira menerimanya dengan suka cita. Ia memakan roti itu dengan lahap. Matanya berbinar bahagia. Ternyata di hari ini ia mendapat kebahagiaan yang tidak disangka.

"Enak."

"Kalau makan jangan sambil nangis." Gavin mengusap air mata yang lolos dari sudut mata Safira.

"Aku itu bahagia ada kamu hari ini."

Gavin tersenyum lalu mengangguk. Ia memandangi Safira yang menikmati sandwich-nya, menunggunya sampai selesai. "Gimana ujiannya?"

"Sejauh ini lumayan lancar. Kita tunggu hasilnya aja."

"Kerja bagus. Sebagai hadiahnya, kamu mau pergi ke mana?"

"Hadiah apa?"

"Kamu 'kan sudah kerja keras. Jadi aku kasih kamu hadiah."

"Ada satu tempat yang aku mau."

Gavin pun menancap gas pergi ke tempat yang di maksud Safira.

.

.

"Kamu yakin mau ke tempat ini?"

"Memang apa yang salah dengan ini?"

Gavin menatap restoran burger cepat saji di depannya. Tempatnya sedang populer akhir-akhir ini dan sekarang pun ada banyak pengunjung. Memang tidak ada yang salah dengan restorannya, tapi lain lagi kalau menyangkut Safira.

"Kamu kan—"

"Katanya mau ngasih hadiah." Safira cemberut.

"Asal jangan di sini."

"Please." Safira memberikan tatapan paling memelas miliknya.

Gavin mendesah. Pasrah. "Oke."

Safira hampir meloncat kegirangan. Ini kali pertama ia makan di sini, seumur hidupnya. Dan yang menemaninya adalah sang pujaan hati. Apalagi yang lebih membahagiakan dari itu.

Gavin mendorong pintu kaca restoran itu. Ternyata di dalamnya lebih ramai dari yang terlihat di luar. Mereka pun mengantri untuk memesan.

"Biar aku yang pesan. Kamu duduk aja." Gavin mengusap rambut Safira.

"Aku mau nugget dengan mustard dan double cheese burger."

"Iya. Sana kamu duduk."

"Aku duduk dipojokan sana." Safira menunjuk meja dipojokan dan Gavin mengangguk. Lalu Safira pun berjalan menuju meja itu.

Setelah menunggu sekitar tiga orang kini giliran Gavin memesan. Kasirnya ada empat, jadi proses pemesanan berlangsung cepat.

"Silakan mau pesan apa kak?"

"1 nugget dengan mustard, 1 double cheese buger, 1 beef burger duluxe, 1 french fries, dan 2 air mineral."

"Eh?"

Gavin yang sebelumnya melihat papan menu di atas kini beralih pada seruan yang keluar dari mulut petugas kasir di depannya.

Gavin menaikkan alisnya. "Kenapa? Apa kurang jelas?"

"T-tidak, kak. Saya ulangi lagi ya pesanannya—" dan petugas itu pun menyebutkan kembali pesanan Gavin.

Tidak butuh waktu lama pesanan Gavin pun selesai. Tapi ada tambahan dua cola di nampannya.

"Ini gratis untuk kamu. Sebagai ucapan terima kasih untuk waktu itu."

"Terima kasih apa?"

"Kamu... lupa?"

Gavin sedikit tidak nyaman. Dia takut menyinggung perempuan di depannya, tapi mau bagaimana lagi dirinya memang tidak mengingat apapun.

"Aku Maura."

"Oh. Tapi maaf aku gak minum soda. Terima kasih." Gavin pun pergi membawa nampannya tanpa soda. Tidak ingin memperpanjang antrian di belakangnya.

"Mba, cepetan dong! Malah asyik ngobrol." Pelanggan selanjutnya sudah berseru marah.

"E-eh, iya maaf kak." Maura pun melepaskan pandangannya dari Gavin lalu melayani pelanggan selanjutnya.

"Ini dia." Gavin meletakkan nampan berisi pesanan mereka di meja.

"Wah, selamat makan." Safira pun dengan semangat melahap makanannya.

Gavin tersenyum melihat cara makan Safira yang berbeda dari biasanya. Tanpa ada table manners, tanpa garpu dan pisau. Dan sosok Safira saat ini lebih seperti anak gadis pada umumnya. Polos dan ceria.

"Uhuk... uhuk..."

"Kalau makan itu pelan-pelan." Gavin membuka tutup botol air mineral lalu diberikan pada Safira. "Ketahuan 'kan belum pernah makan burger."

"Kan memang belum."

"Wah, apa kata orang ya kalau tahu Nona Safira yang terhormat baru pertama kali mencoba makanan sejuta umat ini."

"Udah deh gak usah ngeledek." Safira cemberut dan Gavin pun tertawa.

.

.

"Makasih ya kak untuk hari ini. Tidak akan pernah aku lupakan."

Mereka sudah sampai di depan rumah Safira tapi ia masih enggan turun dari mobil Gavin.

"Iya. Aku juga senang hari ini."

"Aku mau kita sering-sering kaya tadi, ya."

"Kaya tadi yang mana? Digendong apa yang lain?" Gavin menggoda Safira.

"Ih, apaan sih malah bahas digendong." Wajah Safira memerah. "Maksud aku itu yang makan burger."

"Oh, yang itu. Kan janjinya juga sekali. Berarti tadi itu terakhir."

"Gak seru banget."

"Kondisi kamu itu kan lebih penting."

Tiittt Tiittt

Gavin menoleh pada jam tangan Safira yang berbunyi. Jam digital itu menunjukkan detak jantung Safira dan sekarang jantungnya sedang berpacu tidak normal.

"Safira!"

"Ah..."

"A-ada apa?" tanya Gavin panik.

"S-sakit..."

Safira menekan dadanya yang mulai terasa nyeri. Rasa sakit yang ia rasakan itu membuat napasnya pun seakan ikut terenggut. Lalu perlahan kesadarannya memudar.

Gavin langsung berlari keluar mobil lalu memutar untuk membuka pintu samping. Dan kemudian menggendong tubuh Safira yang tidak sadarkan diri. Dia berlari secepat mungkin untuk sampai pintu utama.

"Bi... Bi Surti!" Dia berteriak.

Bukan hanya Surti yang datang, melainkan beberapa pelayan yang mendengar teriakan Gavin ikut datang ke ruang tamu.

"A-ada apa, Den?" tanya Surti gelagapan.

"Cepat panggil Dokter Lukman!" Setelahnya Gavin menggendong Safira menuju lift naik ke lantai atas. Dua orang pelayan mengikutinya.

Gavin membaringkan Safira di atas ranjang dan meminta pelayan yang lain untuk membawa alat-alat medis yang biasa Safira butuhkan. Gavin bersyukur karna dokter Lukman tiba setelah alat-alat medis siap.

"Bagaimana kondisinya tadi?" tanya Dokter Lukman begitu masuk ke kamar. Pria jangkung itu melemparkan tas kerjanya pada Gavin.

"Aku tidak tahu persis. Tiba-tiba saja jamnya berbunyi lalu dia pingsan."

"Mari kita lihat."

Dokter Lukman pun segera memasang alat-alat medis pada tubuh Safira. Dua orang wanita berpakaian perawat muncul dengan koper berisi botol-botol cairan. Salah satu perawat itu memasang infus dan yang lain membantu dokter memberikan suntikan obat. Monitor yang menunjukkan tanda vital Safira itu kini berbunyi normal setelah sebelumnya tidak stabil. Dua perawat tadi keluar dari kamar.

"Bukan serangan jantung?" tanya Gavin memperhatikan Safira yang terbaring.

"Bukan. Syok. Apa kalian melakukan sesuatu tadi siang?"

"Ya, dia terus memaksa makan burger."

"Terkadang kita harus lebih keras kepala daripada dia."

"Ini yang terakhir." Gavin tersenyum getir lalu perlahan mendekat ke ranjang dan duduk ditepi. "Hebat juga ya dokter bisa cepat sampai kemari."

"Kebetulan aku baru pulang dari rumah sakit."

"Terima kasih, dok. Apa perawat tadi juga tinggal di komplek ini?"

"Mereka 'kan tinggal di rumah ini."

Gavin mengerutkan dahi. "Apa?"

"Kamu tidak tahu? Satu bulan ini kondisi Safira memburuk. Ivan sengaja mempekerjakan dua perawat untuk situasi seperti tadi."

"Aku tidak tahu." Gavin berucap pelan.

"Ya sudah, aku pulang dulu." Dokter Lukman menepuk bahu Gavin lalu mengambil tas yang sebelumnya diletakkan Gavin di atas meja rias.

"Bagaimana keadaan Non Safira?" Surti datang menghampiri setelah kepulangan dokter.

"Sekarang baik-baik saja. Apa Om dan Tante sudah pulang?"

"Tuan dan Nyonya ada acara makan malam. Saya akan memberitahu kalau keadaan Nona sudah membaik." Surti pun kembali keluar kamar.

Gavin memandang sendu sosok Safira yang terpejam. Wajahnya pucat. Padahal beberapa jam yang lalu wajah itu masih berseri. Bibirnya pun masih merona. Ia mengusap puncak kepala Safira.

"Semoga mimpimu indah di sana. Sampai jumpa besok, sayang."

.

.

TBC

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!