NovelToon NovelToon

Istri Muda Sang Miliuner

1. Sang Miliuner Telah Mati

Malam telah turun, kegelapan menyelimuti seantero negeri, hanya lampu jalan yang masih menyala. Seluruh gedung-gedung tinggi di Financial District San Francisco telah mematikan lampu, kecuali satu.

Gedung berlantai dua belas itu masih menyala. Seluruh jendelanya yang terbuat dari kaca masih menyorotkan cahaya lampu di dalamnya. Dari kejauhan, tampak masih ada bayangan orang sibuk hilir mudik di dalam gedung. Ini telah hampir tengah malam, tetapi seluruh karyawan masih belum ada yang pulang sedari siang, dan sayup-sayup terdengar telepon berdering tanpa henti. Semuanya sibuk, seluruhnya panik.

Itu gedung Silver Fox Game, Inc., perusahaan game terbesar di Amerika. Selama sepuluh tahun terakhir, harga sahamnya yang terdaftar di bursa saham Nasdaq di New York, telah meningkat dari $14 menjadi $60. Hampir lima kali lipat dari sejak pertama kali melenggang di bursa, bahkan hampir mengalahkan Intel, Corp., perusahaan multinasional Amerika yang bergerak di bidang teknologi dan korporasi, baik dari segi harga maupun secara persentase.

Sepuluh hari yang lalu, suara nyaring sirene ambulan membelah keheningan pagi kota San Francisco. Ambulan itu melaju menuju Presidio Heights. Jelas, yang sedang dalam keadaan darurat adalah salah satu orang terkaya yang bermukim di sana.

Pagi-pagi buta, Gandawasa Natadharma, pemilik Silver Fox Game, Inc., terbangun di rumahnya dengan kepala berputar. Ia terhuyung-huyung berjalan ke pintu kamar mandi dengan perut bagai diaduk-aduk, sebelum pingsan tanpa sempat mencapai pintu.

Ia ditemukan istrinya, yang tampaknya tertidur pulas, satu jam kemudian. Bibir suaminya telah membiru dan tubuhnya dingin. Istrinya menelepon 911 yang segera mengirim ambulan dan melarikan miliuner itu ke rumah sakit.

Setelah pemeriksaan menyeluruh, dan seluruh isi perutnya dikuras, nyawa sang miliuner berhasil diselamatkan.

“Bagaimana kondisi suami saya, Dokter?” Istri sang miliuner, Lily Kanissa Natadharma, yang menunggu seharian tanpa beranjak walau satu menit, bertanya begitu dokter selesai melakukan segala tindakan medis.

“Yang membuat suami Nyonya tidak sadarkan diri adalah keracunan.” Dokter memulai kalimat, yang langsung disambar istri sang miliuner.

“Keracunan? Tapi kami baru pulang dari pesta semalam, mengapa hanya dia yang keracunan?”

Dokter menatap wanita itu sejenak. Wanita yang tampak jauh lebih muda, cantik dan anggun. Wajah tanpa polesan dengan hidung kecil dan bibir kemerahan alami, serta bermata tajam, keseluruhan penampilannya tampak cerdas.

“Pesta apa?”

“Kami baru menghadiri undangan makan malam Presiden John Baker di Washington DC. Suami saya baru mendapat penghargaan Fifty Most Influential Young Entrepreneur -Lima Puluh Pengusaha Muda Paling Berpengaruh, yang ketiga kalinya.”

“Pesta itu selesai hampir tengah malam. Kami baru mendarat kembali di San Francisco tadi subuh, setelah hampir enam jam perjalanan dengan jet pribadi. Itulah sebabnya saya terlambat menemukannya, karena saya tertidur sangat pulas. Awalnya saya pikir dia kelelahan, atau terkena serangan jantung, tapi juga tidak mungkin. Suami saya tidak memiliki riwayat penyakit jantung. Pemeriksaan terakhir EKG-nya sangat bagus. Kami rutin jogging setiap pagi.”

Dokter mengangguk-angguk, agak merenung.

“Hm… kalau begitu sepertinya bukan dari makanan semalam, karena Anda baik-baik saja. Masih harus dipastikan, seluruh isi perutnya telah dipompa dan sampel cairan telah dikirim ke laboratorium untuk diteliti. Sekarang dia sudah stabil tapi masih belum sadar, Anda boleh masuk menemuinya.”

“Baiklah, terima kasih Dokter, mohon lakukan yang terbaik.”

Lily menjabat tangan sang dokter, lalu memasuki ruangan dimana suaminya terbaring dikelilingi selang dan jarum infus yang menusuk pembuluh darah di tangannya.

Hasil lab keluar sore hari itu juga, dan tindakan lanjutan segera dilakukan.

Diperkirakan racun telah menyebar ke seluruh tubuh sang miliuner, sehingga seluruh darah yang mengalir di tubuhnya harus dicuci. Volume darah dalam tubuh manusia kira-kira berjumlah 7% dari berat badan mereka. Berat tubuh Gandawasa adalah 80 kilogram, sehingga volume darah di dalam tubuhnya sekitar 5,5 liter.

Bukan hanya dicuci dan dialirkan kembali, Gandawasa diberi darah utuh sebagai pengganti darah aslinya. Dia menghabiskan 10 kantong darah berisi 500 ml, atau hampir seluruh darah di dalam tubuhnya diganti. Ini untuk mencegah terjadinya infeksi lanjutan dari sisa racun dan bakteri yang sangat berbahaya dan risiko kematian.

Setelah satu minggu, kondisi sang miliuner tampak stabil. Dia telah sadar dan bisa membuka mata, meskipun masih lemah dan belum bisa bersuara.

Namun, kondisi itu tidak berlangsung lama. Keesokan paginya, kondisinya kembali menurun cepat. Tampaknya tubuhnya merespon berlebihan terhadap infeksi atau zat racun yang belum  bersih tuntas, sehingga menyebabkan kerusakan jaringan dan kegagalan organ-organ tubuh.

Setelah koma tiga hari, tadi sore, miliuner asal Indonesia yang telah bermukim lama di negara bagian California itu, dinyatakan meninggal dunia setelah sepuluh hari dirawat di rumah sakit.

Saham Silver Fox Game, Inc. seketika terjun bebas begitu berita itu bocor ke media. Langsung meluncur tanpa hambatan ke tingkat terendahnya, bagaikan air terjun Salto Angel di Venezuela, air terjun tertinggi di dunia setinggi 979 meter. Saham senilai $60 itu kini hanya diperdagangkan di harga $12, bahkan lebih rendah dari nilai ketika pertama kali terdaftar di bursa. Dan masih belum berhenti bergerak turun. Grafiknya per menit menunjukkan lilin-lilin penuh berwarna merah.

Dalam dunia keuangan dan investasi, terutama ketika sahamnya telah menjadi milik publik, adalah wajar jika harganya naik turun di bursa, tergantung dari sentimen dan tren. Namun, berita besar tentang sosok kunci biasanya sangat berpengaruh. Misalnya seseorang penting tiba-tiba mengundurkan diri atau melepaskan jabatan, akan menjadi sentimen negatif yang membuat investor melepaskan saham. Apalagi berita kematian.

Dan kali ini, yang meninggal bukan sosok sembarangan. Ini adalah sang CEO, pemilik perusahaan tersebut. Sehingga hampir seluruh orang yang memiliki saham Silver Fox Game, Inc., yang diperdagangkan dengan kode SFGI di bursa, beramai-ramai melepaskannya dengan panik.

Karena, itu bukan kematian yang wajar. Diduga, kematiannya akibat dibunuh.

2. Istri Sang Miliuner

Kecurigaan pertama tentu saja jatuh pada orang terdekat yang terakhir melihatnya, yaitu istrinya, Lily Kanissa Natadharma. Dalam banyak kasus pembunuhan, 90% pelaku biasanya orang terdekat dan dikenal korban. Sisanya barulah orang asing yang membunuh dengan memilih korban secara acak.

Apalagi, istrinya baru menelepon 911 satu jam kemudian. Itu tampak mencurigakan, bisa saja ia menunda agar suaminya tidak tertolong.

Begitu miliuner itu dinyatakan mati karena diduga dibunuh, istrinya ditahan polisi di rumahnya. Polisi menarik kedua tangan wanita itu ke belakang punggungnya dan memasangkan borgol, dan membacakan Miranda Rights, “Nyonya Lily Kanissa Natadharma, Anda ditahan atas dugaan pembunuhan tingkat pertama terhadap suami Anda, Tuan Gandawasa Natadharma. Anda memiliki hak untuk tetap diam. Apa pun yang Anda katakan dapat dan akan digunakan untuk melawan Anda di pengadilan. Anda berhak mendapatkan pengacara. Jika Anda tidak mampu membayar seorang pengacara, maka Negara akan menunjuk seorang pengacara untuk Anda.”

Setelah itu, Lily siap dibawa ke kantor polisi untuk diinterogasi.

Tentu saja media telah memadati kediaman miliuner itu. Istri seorang miliuner ditangkap atas dugaan membunuh suaminya. Ini berita besar! Layak menjadi berita utama yang dicetak tebal di halaman depan!

Para wartawan merangsek ke hadapannya, saling berebut mengacungkan mikrofon.

“Nyonya Natadharma, ada komentar?”

“Nyonya Natadharma, katakan sesuatu.”

“Apakah benar Anda membunuh suami Anda?”

“Apa motif Anda, Nyonya Natadharma? Apakah karena orang ketiga?”

Dan serbuan pertanyaan-pertanyaan lain.

Lily tidak menjawab, bibirnya terkatup erat. Namun, sebelum kepalanya menunduk untuk masuk ke mobil polisi, dia menoleh.

Detektif Maximilian Anderson, atau biasa disebut Max oleh para rekan kerjanya, menyaksikan semuanya dari jauh. Ketika wanita itu menoleh, mata mereka bertemu. Tiba-tiba saja darah di sekujur tubuh Max mengalir deras ke kepalanya, membuatnya merasa panas.

Wanita cantik berusia tiga puluh tahun itu hanya mengenakan setelan blus dan celana panjang berwarna abu-abu senada yang sederhana dan sopan, meskipun harganya mungkin ribuan dolar. Rambutnya yang sebahu tergerai, wajahnya tanpa riasan, tetapi bibirnya tetap kemerahan meskipun tanpa polesan lipstick. Dia masih terlihat sangat berkelas.

Bibir Lily bergerak, dan entah mengapa, Max melihat gerakan bibir itu sangat sensual. Dan darah yang mengalir deras itu kini berkumpul di bagian bawah tubuhnya.

‘Sial!’ Max mengumpat dalam hati. ‘Ini akibat aku belum menyentuh wanita berbulan-bulan!’

Bibir Lily yang bergerak itu melontarkan satu kata dengan dingin. “Bodoh!”

Setelah itu, dia tidak mengatakan apa-apa lagi. Masuk ke mobil polisi, dan menunduk, bahkan tidak memandang ke luar jendela.

Setelah mobil polisi yang membawa Lily menjauh, Max dan tim investigasi masuk ke dalam rumah itu untuk mencari bukti-bukti.

Berjarak sekitar 1 jam ke Silicon Valley dan sekitar 15 menit ke Financial District, menjadikan Presidio Heights ideal sebagai kawasan elit San Francisco, dimana para orang-orang terpandang di Silicon Valley bermukim.

Silicon Valley adalah salah satu wilayah terkaya di dunia, dan salah satu pasar real estate terpanas, dimana terletak lusinan perusahaan teknologi, perangkat lunak, dan internet besar. Beberapa di antaranya adalah Apple, Google, Chevron, Meta, dan Visa.

Dan sebagai miliuner pemilik perusahaan game terbesar di dunia, wajar jika Gandawasa Natadharma, yang berusia empat puluh lima, dan istrinya yang jauh lebih muda, Lily Kanissa Natadharma, yang baru berusia tiga puluh, bermukim di sana.

Rumah berlantai dua itu terletak di Jackson Street, berkamar delapan, yang dianggap sebagai lambang infinity -ketakterbatasan, atau angka keberuntungan tiada akhir.

Rumah itu sangat mewah, berwarna putih dengan pagar tinggi yang terbuka secara otomatis. Terletak di bukit dengan pemandangan ke Teluk San Francisco dan Jembatan Golden Gate. Bahkan memiliki lapangan golf sendiri di belakang rumah itu, dan heliport -pendaratan helikopter, di atapnya.

Dibangun bergaya arsitektur Perancis yang elegan, dengan balkon besi tempa dan jendela yang menjulang tinggi, membuat ruang tamunya yang luas bermandikan cahaya alami. Rumah itu memiliki dapur besar, beberapa kamar tidur dengan kamar mandi dalam, ruang gym, kamar lemari besi, lift, ruang makan formal dengan meja panjang dan dua belas kursi, kamar spa dengan jacuzzi, ruang tamu besar, ruang keluarga, perapian antik, ruang kerja. Seluruh furniturnya berwarna putih. Juga ada bangunan terpisah tempat tinggal para pembantu dan penjaga.

Di tempat parkir, berjajar lima mobil mewah. Dua di antaranya Bugatti Divo berwarna biru seharga 84 miliar jika dirupiahkan, dan Lamborghini Veneno berwarna hitam seharga 64 miliar, sepertinya adalah mobil sang miliuner. Keduanya memiliki desain futuristik, sangat cocok untuk seorang mogul internet.

Dua yang lain, Rolls-Royce Phantom berwarna perak seharga 8 miliar dan Ferrari F8 Spider berwarna merah seharga 12 miliar, sepertinya biasa dipakai istrinya. Dan satu yang agak 'kasual' BMW X series, mobil SUV seharga sekitar 2,5 miliar, yang paling 'murah' di antara kelimanya, mungkin digunakan staf dapur untuk berbelanja.

Max menghela napas. Kehidupan orang kaya tidak pernah ada dalam jangkauannya. Selama ini, ia lebih banyak berhubungan dengan penjahat ‘miskin’, terutama dengan semakin tingginya angka kriminalitas di California, yang umumnya berkaitan dengan pertikaian antar geng atau obat terlarang.

Max memperkirakan, rumah itu saja harganya tidak kurang dari 12 juta dolar. Belum lagi isinya dan mobil-mobil ini.

Jika ia harus membelinya dengan gaji $120,000 per tahun, belum dikurangi pajak dan biaya hidup, ia harus bekerja 100 tahun. Di usianya yang telah menginjak tiga puluh delapan, itu berarti ia sudah mati bahkan sebelum uangnya terkumpul.

Dunia benar-benar tidak adil!

3. Presumption of Innocence

“My goodness -Astaga, Max. Apakah kita masih di dunia yang sama, yang bernama Bumi?” Andrea, detektif partner-nya yang berkulit hitam dan berambut pendek model laki-laki berkacak pinggang, mengedarkan pandangan ke seluruh area parkir.

“Sayangnya, iya.” Max menoleh padanya sambil meringis.

“Selama ini aku hanya melihatnya di film-film Hollywood, tidak pernah mengira suatu saat akan menyaksikan yang nyata di depan mataku.” Kata Andrea lagi, berdecak dan menggelengkan kepala. “Tidak banyak kesempatan memasuki rumah orang kaya, apalagi kelas miliuner seperti ini. Kita terlalu banyak terlibat dengan para sampah sialan.”

“Yah. Dunia memang tidak adil.” Max mendengkus setuju. “Ada yang kau temukan di atas?”

Di atas yang dimaksud Max adalah di dalam mansion, karena tim dibagi dua. Tim pertama yang dipimpin Andrea, bertugas menyisir bagian dalam rumah. Sedangkan tim dua yang dipimpin Max, menyusuri bagian luar rumah, termasuk garasi ini.

“Nada (*), bersih. Semua sangat rapi. Kalaupun ada, aku khawatir itu sudah dibuang dan dibersihkan. Telah berapa lama miliuner itu dirawat di rumah sakit? Sepuluh hari?” Andrea mengernyitkan kening.

*(*) Slang untuk nothing*, yang artinya tidak ada apa-apa.

“Hm hm,” Max mengangguk membenarkan, menyugar rambut coklatnya yang panjangnya sudah melewati kerah. “Jika benar ini pembunuhan, ini sangat terencana. Ini kematian yang memakan waktu. Si pembunuh sangat sabar melakukannya, sampai itu menunjukkan hasil.”

“Sudah jelas ini pembunuhan, Anderson. Kalau tidak, dokter Smith tidak akan menyampaikan kecurigaannya pada kita, berdasarkan hasil pemeriksaan lab dari cairan dalam tubuh miliuner itu. Ini sangat mudah, karena tadi kau mengatakan si pembunuh sangat sabar melakukannya dan ini butuh waktu, pasti pelakunya adalah istrinya. Tidak akan salah, aku berani taruhan.” Andrea berkata panjang lebar dengan yakin.

Tetapi Max menggeleng, sambil berjalan keluar dari garasi. Kembali memasuki ruang tamu mansion, yang dihiasi chandelier yang terbuat dari kristal Baccarat. Harganya pasti puluhan ribu dollar.

Di belakang chandelier itu, tergantung foto berukuran raksasa pernikahan sang miliuner. Max berhenti di depannya, menatap sejoli yang tampak bahagia di foto itu.

Pengantin laki-laki berperawakan tinggi besar, bahkan agak gemuk. Usianya saat itu baru tiga puluh sembilan. Tidak terlalu tampan, yang tampan tentu saja uangnya.

Pengantin wanita berperawakan langsing, bisa dikatakan mungil, tetapi dadanya penuh. Dan gaun kemben yang dia kenakan, membuat bagian itu terekspos. Dia tampak jauh lebih muda dari suaminya. Dalam perjalanan menuju ke sini tadi, Max sudah membaca artikel sekilas, waktu menikah usianya baru dua puluh empat.

Di sini Lily tertawa, menampakkan giginya yang kecil-kecil dan rata. Sangat berbeda dengan penampilannya yang ketus dan dingin saat ditangkap, ketika Max melihatnya pagi ini.

“Aku tidak yakin, Davis. Jika memang istrinya, mengapa dia tidak melarikan diri?” Max termenung.

“Mungkin karena dia mengira akan lolos.” Andrea menyanggah.

“Penyebab kematiannya adalah keracunan thallium dan tetrodotoxin, yang sangat sulit dideteksi. Mungkin dia mengira suaminya akan dianggap meninggal karena serangan jantung. Tidak pernah mengharapkan suaminya masih bisa diselamatkan beberapa hari, tetapi meninggal kemudian, sehingga membuat dokter Smith mengirimkan cairan tubuhnya untuk diperiksa di lab.” Andrea menjabarkan analisanya. “Alasannya tidak akan jauh-jauh dari orang ketiga atau harta.”

“Aku tidak sependapat. Lihat, janda miliuner itu, meskipun masih muda, dia tampak cerdas. Aku juga ingin tahu, apa maksud umpatan bodoh yang dia lontarkan ketika ditangkap. Ditujukan pada siapa kata itu.”

Mata Max terpaku pada wajah Lily di foto. Agak merenung. Andrea sedikit berputar ke hadapannya, dan menatapnya dengan penuh selidik.

“Hei… sepertinya kau tidak biasanya seperti ini. Kau sudah mengambil sikap, Anderson. Kau ada di pihaknya. Kau terpesona olehnya, ya? Hati-hati, penilaianmu bisa tidak objektif.” Andrea menunjuk wajah Max dengan jarinya yang kukunya dipotong habis.

“Omong kosong!” Max mengumpat. “Ini namanya ‘Presumption of Innocence’ (*). Ayo kita kembali ke kantor.”

*(**) Asas hukum bahwa setiap orang yang dituduh melakukan kejahatan dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah.

Di kantor polisi, Max mendengarkan kembali rekaman panggilan darurat yang diterima 911 dua minggu yang lalu.

Petugas 911: “911 selamat pagi, dari alamat mana panggilan darurat ini?”

Suara di telepon (seorang wanita): “Jackson Street 3498, Presidio Heights.”

Petugas 911: “Apa kondisi mendesak Anda?”

Suara di telepon: “Suami saya tidak sadarkan diri.”

Suara wanita itu tenang, terkendali, tidak terdengar cemas berlebihan.

Petugas 911: “Apakah dia masih bernapas?”

Suara di telepon: “Ya, dia masih bernapas.”

Petugas 911: “Apakah ada luka di tubuhnya? Dia muntah? Matanya terpejam atau terbuka?”

Suara di telepon: “Tidak ada luka, matanya terpejam, bibirnya sudah membiru. Ya, ada muntahan di sini. Tolong kirimkan ambulan segera.”

Petugas 911: “Baik, ambulan akan segera kami kirimkan. Bisa ulang alamat Anda?”

Suara di telepon: “Jackson Street 3498, Presidio Heights. Harap cepat.”

Petugas 911: “Baik, ambulan sedang menuju ke sana. Petugas kami akan segera tiba di tempat Anda. Harap buka pintu untuk mereka.”

Panggilan telepon itu berakhir.

Max memandang Lily yang sedang duduk di dalam ruang interogasi di balik kaca satu arah. Hanya orang di luar yang bisa melihat ke dalam, sementara orang di dalam hanya melihat dinding berwarna abu-abu di sekelilingnya.

Lily duduk diam, tampak tenang, tidak ada kegelisahan atau tindakan tidak wajar seperti yang biasa ditunjukkan para kriminal.

“Tidakkah menurutmu dia terlalu tenang?” Andrea di sebelahnya berkata pada Max. “Itu sangat tidak wajar. Ada sesuatu yang disembunyikan.”

Max tidak menjawab.

“Anderson?” Andrea memanggil nama belakang Max.

Saling memanggil nama belakang di Amerika adalah sebagai bentuk menjaga jarak, kesopanan, dan hubungan inter-personal. Ini biasa dilakukan di lingkungan pekerjaan.

Memanggil nama depan hanya dilakukan di antara keluarga atau teman-teman yang sudah dekat.

“Mari kita masuk,” Max mendorong pintu ruang interogasi dan melangkahkan kakinya yang panjang.

Andrea mendengkus dan menggelengkan kepala, lalu mengikutinya.

Melihat ada yang masuk, Lily menoleh ke pintu. Dan matanya kembali bersirobok dengan mata Max.

Langkah Max hampir tersendat, sebelum Lily membuang wajah, kemudian mengalihkan pandang ke arah jendela kaca satu arah, yang tampak seperti dinding abu-abu dari ruangan ini.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!