NovelToon NovelToon

Istri Kedua Dokter Pram

Pernikahan

...Halo gesss ini cerita baru saya ya hehe sudah lama sih tersimpan di draft sebenarnya cuma kemaren belum sempat dilanjut aja. Semoga suka ya 🥰...

"Saya terima nikah dan kawinnya Larasati binti Rahman Effendi dengan mas kawin tersebut, tunai ...."

"Sah?"

"Sah!"

Larasati menghela napasnya yang tadi tertahan ketika mendengar seruan kata 'sah' dari para saksi akad nikahnya. Hanya sebuah akad nikah sederhana yang dihadiri keluarganya dan juga tetangga dekat. Tanpa resepsi dan tanpa pernikahan impian yang dulu Laras inginkan.

"Alhamdulillah. Sekarang kamu sudah jadi tanggung jawabnya Pram, Nak. Tante sekarang tidak perlu khawatir sama kamu karena sudah ada yang akan menjaga kamu." Tante Suci mengusap puncak kepalanya membenarkan kain yang ada di kepalanya.

"Tante!" Laras menatap saudari Ibunya itu dengan netra berkaca-kaca.

"Ssstt, pengantin kok nangis sih? Yuk, kita temui suamimu!"

Laras dituntun oleh Tantenya keluar dari kamar. Berjalan menuju ruang tamu tempat akad digelar. Semua keluarga dan undangan menatap dirinya hingga Laras didudukkan di samping dokter Pram. Laras menyalami tangan pria yang usianya di atasnya itu ketika penghulu menyuruhnya.

"Sekarang, kamu sudah tanggung jawab saya, Laras. Jadi, semua hal yang ingin kamu lakukan atas seizin saya dulu," ujar Dokter Pram berbisik lirih.

"I--iya, Mas." Laras mengangguk.

Acara itu selesai hingga siang hari, setelahnya tidak ada acara tambahan. Esok harinya, Laras langsung ikut untuk ke rumah dr. Pram. Selama 10 tahun ia tinggal di rumah Tantenya dan rasanya berat sekali harus pergi dari tempat yang sudah menampung dirinya.

"Hati-hati, ya!" Tante Suci mencium kedua pipinya penuh sayang.

"Laras pergi dulu, Tante. Terima kasih sudah membantu selama persiapan. Terima kasih juga sudah menerima Laras selama ini," ucap Laras menyalami tangan wanita setengah baya itu.

"Ah, kamu ini kayak sama siapa aja sih. Tante titip juga jagain Bagas ya selama di Jakarta sana. Tante gak bisa mempercayakan siapapun untuk mengasuhnya selain kamu, Ras."

Laras mengangguk. Setelahnya ia masuk ke dalam mobil yang akan mengantarkan mereka ke bandara. Hari ini ia akan berangkat ke Jakarta dan meninggalkan Jogja--tempat kelahirannya. Rasanya berat karena ia tahu di Jakarta ia tidak punya siapapun yang ia kenal selain Dokter Pram sendiri. Mereka sampai di Jakarta setelah hampir menghabiskan waktu satu jam lebih beberapa menit di dalam pesawat dengan keheningan.

"Ayo, sopir sudah menjemput!"

Laras mengikuti Dokter Pram dengan tangan menarik koper besarnya. Namun, rupanya pria itu peka dan membantu membawakan koper berat itu. Laras dan sang suami masuk ke mobil yang telah menjemput mereka.

"Ini mau langsung ke rumah dulu apa ke tempat Nyonya, Mas?" tanya sopir di depan.

"Langsung ke rumah, Pak. Mama sudah saya hubungi," sahut Dokter Pram datar.

Laras hanya diam saja. Ia yang memang pendiam bingung ingin mengangkat topik apa untuk membuka obrolan. Jadi, mereka diam-diaman saja hingga sampai ke komplek perumahan yang membuat Laras menoleh takjub. Rumah-rumah di sekitar sini begitu mewah dan berkelas.

"Ayo turun!"

Larasati tersentak. Ia tidak menyadari jika mereka sudah sampai di sebuah rumah dua lantai bergaya minimalis dan modern. Lagi-lagi Laras harus berdecak takjub melihatnya. Apakah keluarga dr. Pram benar-benar sekaya ini?

"Laras!"

Larasati baru menyadari jika di teras rumah itu sudah berdiri Bu Ajeng dan suaminya. Tidak lupa Bagas Aryatama--putra dr. Pramudya itu juga menatapnya penasaran. Ya, sudah lama sekali ketika bayi itu lahir saja Laras melihatnya dan sekarang sudah berusia 2 tahun saja.

Mereka masuk ke dalam rumah. Koper Laras dibawa ke kamar oleh seorang ART. Laras mengikuti hingga mereka sampai di ruang keluarga. Bu Ajeng melepaskan Bagas, sehingga balita itu berjalan dengan kaki kecilnya menuju sang ayah yang duduk di samping Laras.

"Kangen Papa ya, Nak?"

Laras memperhatikan interaksi itu, diam-diam mengulum senyum melihat aura seorang ayah dari dr. Pram.

"Bagas kenalan dulu sama Mamanya tuh," ucap Bu Ajeng menengahi interaksi ayah dan anak itu.

Balita 2 tahun itu menoleh penasaran pada Laras. Wanita itu mengulurkan tangan, dan balita itu meraihnya dengan wajah polosnya.

"Halo, sayang! Masa sudah lupa sih sama Tante Laras," ujar Laras menciumi wajah menggemaskan balita itu.

"Mama! Biasakanlah dia memanggilmu Mama sekarang!" Bu Ajeng mengingatkan.

Laras mengangguk. Bagas cepat beradaptasi dan senang dengan kehadiran Laras membuat Bu Ajeng tersenyum senang dan lega. Kedua orang tua dr. Pram pulang setelah petang menjelang. Laras membawa Bagas yang terlelap di gendongannya menuju kamar yang ditunjukkan Bi Darti.

"Bagas tidur sendiri, Bi?" tanyanya ketika meletakkan balita itu di tempat tidurnya. Sebuah ranjang kecil dengan pembatasnya.

"Iya, Mbak. Tapi kalau malem kadang tidur sama Bapak, kok."

Laras mengangguk. Ia keluar dari kamar Bagas dan menuju kamar di ujung lorong. Kamar utama yang akan ia huni bersama dr. Pram. Laras meremas jemarinya gugup. Ia tidak pernah dekat dengan pria manapun selama ini, dan tahu-tahu sekarang sudah menikah dan harus beradaptasi dengan seorang pria yang hanya ia kenal sebagai kakak sepupu iparnya. Mereka tidak akrab dan tak pernah terlibat obrolan apapun saat pria itu berkunjung ke Jogja bersama Mbak Naina dulu.

Laras mengetuk pintu kamar, tapi tidak ada sahutan. Perempuan itu memutar gagang pintu dan ternyata tidak dikunci. Ia masuk ke kamar itu dan terpana akan kemewahan interior juga isi kamar yang terlihat mewah.

"Ngapain diam di situ?"

Suara bass itu membuat Laras kaget. Ia menoleh dan mendapati Dokter Pram baru selesai mandi dilihat dari rambutnya yang basah. Pria itu sudah mengenakan pakaian rumahannya.

"Sa--saya...."

"Bi Darti sudah menyusun pakaianmu di ruang ganti. Kamu bisa mandi dulu dan beristirahat sebentar sebelum masuk waktu maghrib."

Dokter Pram menunjuk ruang ganti dan pintu kamar mandi. Laras mengangguk. Masuk ke kamar mandi dan membersihkan diri, tapi ketika selesai ia lupa mengambil pakaiannya. Oh bagaiman ini? Apakah ia harus keluar dan menuju ruang ganti dengan menggunakan bathrobe saja? Tidak ada pilihan lain, Laras segera keluar dan langsung terpekik kaget karena Dokter Pram sedang ada di ruang ganti juga.

"Ma--maaf, Mas!"

"Pakaiannya di sebelah sana!"

Laras mengangguk setelah Dokter Pram keluar dari ruang ganti. Perempuan itu segera mengenakan pakaiannya dan kembali keluar dengan tampilan lebih fresh. Dokter Pram tidak ada lagi di kamar mungkin pria itu keluar, pikirnya.

"Terasa baru kemarin aku lulus kuliah kok tiba-tiba sudah jadi istri orang saja," gumam Laras memandangi dirinya di depan cermin.

"A--apa aku harus melakukan itu?"

Laras tiba-tiba saja merasakan pipinya memanas mengingat bahwa ia bisa saja harus melakukan malam pertama dengan Dokter Pram yang kaku itu.

"Ihh, nggak!" teriak Laras dengan pikirannya sendiri.

"Kenapa kamu teriak-teriak seperti orang gila sore-sore begini?"

Laras tersentak kaget dan menoleh pada Dokter Pram yang menatapnya dengan datar. Duh, dia jadi takut dengan pria itu.

"Eh--itu, Mas...."

"Simpan tenaga kamu untuk teriak nanti malam saja!" dengus dr. Pram datar.

Ucapan Dokter Pram malah membuat pikiran Laras tambah berkelana dengan apa yang akan mereka lakukan nanti malam. Apakah mereka harus melakukan itu? Laras tidak siap.

...Bersambung.......

Gak Jadi Malam Pertama

"Ihh, nggak!" teriak Laras dengan pikirannya sendiri.

"Kenapa kamu teriak-teriak seperti orang gila sore-sore begini?"

Laras tersentak kaget dan menoleh pada Dokter Pram yang menatapnya dengan datar. Duh, dia jadi takut dengan pria itu.

"Eh--itu, Mas...."

"Simpan tenaga kamu untuk teriak nanti malam saja!" dengus dr. Pram datar.

Ucapan Dokter Pram malah membuat pikiran Laras tambah berkelana dengan apa yang akan mereka lakukan nanti malam. Apakah mereka harus melakukan itu? Laras tidak siap.

Malam itu untuk pertama kalinya Laras sholat dengan diimami seorang pria yang tidak pernah ia sangka-sangka kini menjadi suaminya. Takdir sepertinya sangat senang mempermainkan hidupnya. Ketika Dokter Pram menyelesaikan doanya dan berbalik ke arahnya, Laras segera menyambut uluran tangan pria itu dan menciumnya. Desir hangat itu Laras rasakan ketika tangan hangat sang suami mengusap pucuk kepalanya.

Laras masih duduk di atas sajadahnya menatap gerak gerik dr. Pram yang membuka peci dan sarungnya. Kini pria itu hanya berstelkan kaos santai dan celana pendek selututnya.

"Nunggu apa lagi? Bergegas kita mau makan malam!" Suara tegas dan kaku dr. Pram itu menyadarkan Laras dari lamunannya. Perempuan itu bergegas bangkit dan melipat sajadah serta mukenanya.

Laras mengikuti langkah dr. Pram keluar dari kamar dan mereka berjalan beriringan menuju meja makan. Laras berjalan di belakang pria itu karena ia tak berani mendahului sang suami. Ternyata di meja makan sudah duduk kedua mertuanya dan juga bagas yang duduk di kursi khusunya. Balita itu tertawa ceria bersenda dengan sang Kakek. Orang tua Dokter Pram ternyata pulang sebentar tadi dan kembali ke sini demi mendekatkan diri pada Laras yang baru sampai.

"Wah aura pengantin baru emang beda banget ya," ucap Ibu mertuanya ketika dr. Pram dan Laras duduk bersisian. Laras hanya menunduk sungkan, sedang dr. Pram hanya mengendik acuh.

"Kalian masih cuti 4 hari lagi, kan? Mama sudah minta Pak Maman bersihin villa kita yang di Bogor, Pram. Sekarang gak apa-apa kan bulan madunya di deket-deket sini dulu?"

Laras tersedak ludahnya sendiri ketika pertanyaan itu dilayangkan Mama mertua. Bogor? Bulan madu? Artinya mereka hanya berdua saja, kan? Tidak ... mau jadi apa mereka berdua di dalam satu ruangan yang sama dengan dr. Pram yang amat sangat kaku dan acuh itu.

"Ehm ... kayaknya ...."

"Aman, Ma." Laras menoleh mendengar jawaban dr. Pram itu. Aman dia bilang? Aman bagaimana maksudnya? Ck, kesal sekali Laras dengan pria irit bicara di sampingnya ini.

"Nah oke kalau begitu. Kalian kan belum banyak mengenal dekat, dengan bulan madu dan menghabiskan waktu berdua Mama harap kalian bisa lebih mengenal satu sama lain sebagai pasangan. Bagaimanapun kepergian Naina sudah hampir 2 tahun," ujar Mama Ajeng lagi. Kini ada nada sendu dalam ucapannya.

"Benar. Papa juga berharap kalian bisa menjadi orang tua dan pasangan yang kompak dalam membesarkan Bagas," sahut Papa Aditya dengan ekspresi datarnya.

Laras dan dr. Pram terdiam dan mengangguk singkat. Setelahnya tidak ada lagi pembahasan karena mereka sudah fokus menyantap makan malam. Laras hanya mengambil nasi dan lauk sedikit karena ia tidak berselera lagi untuk makan memikirkan semua ini. Kacau, pikirannya tidak tenang dan Laras merasa takut.

Laras sudah masuk ke kamar mereka setelah menemani Bagas hingga balita itu tertidur. Laras senang dekat-dekat dengan Bagas karena balita itu sangat mudah tertawa dan begitu menggemaskan.

"Aduhh!" Laras meringis ketika ujung kakinya terantuk ujung ranjang karena dirinya yang tak berhati-hati.

"Ceroboh!" Dengusan dan nada datar itu berasal dari dr. Pram yang sedang membaca buku di ranjang dengan bersandar.

Laras mencebik menghiraukan keberadaan pria itu. Berjalan menuju kamar mandi untuk mencuci muka dan menggosok gigi sebelum tidur.

"Aduh, gak bisa! Aku belum siap ngelakuin itu sama Mas Pram!" Laras menggaruk kepalanya yang tak gatal dengan wajah menampakan kekalutan.

"Laras, lama sekali kamu di dalam sana cepetan!"

Laras meringis mendengar suara bass dan datar pria itu. Persis seperti orang yang sedang marah. Gimana ini? Kenapa pria itu buru-buru sekali memintanya cepetan.

Memantapkan hati dan mengontrol kekalutannya, Laras melangkah keluar dari kamar mandi dan mengucap istigfar dalam hati karena langsung berhadapan dengan dr. Pram yang ternyata menunggu di depan pintu kamar mandi.

"Minggir!"

Laras mendengus dan melotot ketika dr. Pram menyingkirkan dirinya dari depan pintu kamar mandi dan pria itu masuk ke sana dengan membanting pintu. Sial, Laras kira pria itu tak sabar melakukan 'itu' ternyata tidak sabar mau buang air. Ck, menakut-nakutinya saja.

Laras membaringkan dirinya di kasur berukuran king size itu. Ada foto pernikahan mereka tertempel di samping kamar dan juga foto Mbak Naina sudut lainnya yang sedang tersenyum sangat cantik di foto itu.

Laras mengenang kebersamaannya dengan sepupunya itu. Mbak Naina adalah sosok teladan dan Kakak sepupu yang amat baik padanya. Tidak ada satupun keirian yang Mbak Naina rasakan padanya ketika Tante Suci membawanya ke ruamh mereka.

Sisi kasur yang bergoyang di sebelahnya menyadarkan Laras dari lamunannya. Laras langsung membaringkan diri dan menarik selimut sampai ke dada, mengamati gerak-gerik dr. Pram yang ternyata masih mau melanjutkan bacaannya. Huh, mengagetkan saja.

"Tidurlah, saya masih mau membaca," ujar dr. Pram datar.

"Ehm ... ki--kita gak jadi mau itu, Mas?"

Laras langsung menutup mulutnya karena pikiran dan perkataannya bertolak belakang sekali.

dr. Pram mengalihkan tatapannya dari buku di pangkuannya. Beralih menatap Laras tajam, membuat Laras meneguk ludah dan menggigit bibir bawahnya resah. Aduh, dr. Pram marahkah? Dasar mulut Laras yang tidak bisa menjaga ucapan ini.

"Ma--Mas Pram mau ngapain?" Laras nyaris berteriak ketika dr. Pram mendekatkan wajah mereka hingga kini hanya tersisa jarak sejengkal.

"Kamu masih kecil buat mengerti begituan!" bisik dr. Pram di depan wajahnya, lalu setelahnya menyentil kening Laras membuat perempuan itu mengaduh dan memberengut kesal.

"Siapa bilang aku masih kecil? Aku sudah 25 tahun, ya. Badanku saja yang gak mau tumbuh ke atas!" ujar Laras mendengus kesal menyadari bahwa badannya memang sangat kecil dan pendek. Aduh, Laras harus disadarkan kembali bahwa tinggi badannya hanya 152 cm.

"Itu sadar!" sahut dr. Pram menyeringai.

Laras tak menyahut lagi. Memilih membelakangi dr. Pram dan mulai memejamkan matanya. Yes, dia selamat karena nyatanya pria itu sedang tidak ingin melakukan itu. Tidak butuh waktu lama, Laras yang sungguh sangat lelah beberapa hari ini dari awal persiapan pernikahan hingga pindahan, tertidur dengan cepat. Dengkur halusnya terdengar hingga ke telinga dr. Pram yang sempat menoleh pada perempuan itu.

"Nai, kamu tahu ini berat sekali untukku. Membawa wanita lain yang tidak kucintai ke ranjang kita sunggu menyesakkan," guman dr. Pram menatap potret almarhumah istrinya.

Dokter Pram menutup buku bacaannya dan ikut membaringkan diri di samping Laras. Keduanya tidur saling memunggungi dan terlelap tanpa ada percakapan dan malam pertama yang diharapkan orang-orang pada mereka. Mereka berdua belum siap untuk malam ini, butuh jeda untuk menerima dan untuk saling merasakan debar itu.

...Bersambung.......

Villa di Bogor

Sesuai apa yang diminta Mama Ajeng, dr. Pram dan Laras berangkat esok harinya menuju villa keluarga Aryatama yang ada di Bogor. Mereka diantar Pak Maman, dan sopir keluarga Aryatama itu kembali balik ke rumah meninggalkan dua orang itu berdua saja di villa.

Laras tidak menyesal berada di sini karena suasana dan cuaca di villa ternyata sangat sejuk dan menenangkan. Tidak ada orang lain di villa itu, hanya mereka berdua. Laras sempat takut, tetapi melihat sekelilingnya ada bangunan villa yang lain dan tadi sempat bertemu dengan beberapa orang yang berjalan kaki, Laras sedikit tenang.

"Mas mau makan sekarang?" tanya Laras ketika mereka memasuki kamar di sana. Petang sudah menjemput dan sebentar lagi akan masuk waktu maghrib.

"Kamu bisa masak?" tanya balik dr. Pram sambil memilah pakaiannya.

Laras mengangguk, "bisa. Mau dimasakin sekarang?"

Dokter Pram mengangguk. Laras bergegas membersihkan diri sebentar dan keluar dari kamar menuju dapur. Ia membuka lemari es kecil yang ada di sudut ruangan. Ternyata Pak Maman sudah mengisi dan menyiapkan beberapa keperluan dapur. Ya, orang-orang kaya seperti mereka memang sudah tentu sangat mudah mempersiapkan ini semua.

Hampir tiga puluh menit Laras berkutat di dapur kecil itu. Memasak nasi, beberapa menu lauk dan juga membuatkan sedikit cemilan untuk mereka. Karena setelah beberapa kali mengobrol dengan Mama Ajeng, Laras mengetahui sedikit tentang sang suami. Dokter Pram ternyata suka mencari cemilan di jam 9 malam sebelum tidur.

"Wangi sekali!"

Laras tersentak kaget memegangi dadanya. Menoleh dengan netra memicing pada dr. Pram yang menatapnya dengan alis terangkat. Pria itu berdiri beberapa langkah dari posisi Laras yang sedang menghadap kompor.

"Bisa gak Mas Pram kalau datang-datang itu jangan ngagetin? Saya ini orangnya kagetan," ucap Laras berkacak pinggang dengan salah satu tangannya, sedang kepalanya sedikit mendongak menatap dr. Pram yang menatapnya datar tanpa ekspresi. Sial, tubuhnya yang pendek ini sangat kontras dengan tubuh tinggi dr. Pram.

"Saya nggak ngagetin kamu. Langkah saya bahkan terdengar. Kamu saja yang penakut!"

Laras mengumpat dalam hati. Tidak mau meladeni pria itu lagi Laras segera menyelesaikan masakannya dan menghidangkannya di meja makan yang terdapat 4 kursi di sana. Meja makan berukuran sedang, yang cukuplah untuk mereka berdua.

"Enak!" ujar dr. Pram ketika mereka menyantap makanan buatan Laras.

Laras mengangguk saja. Kalau urusan masak, Laras sudah khatam karena ia memang senang sekali di dapur dan belajar banyak hal bersama Tante Suci. Laras juga kadang suka bereksperimen sendiri dengan masakannya setelah menonton channel youtube atau acara masak.

Malam telah menjemput peraduan. Laras berdiri di balkon kamar. Menatap keindahan langit Bogor dengan senyum kecilnya. Entah kenapa menatap bintang yang bertabur di langit sana, membuat Laras merindukan orang tuanya. Sudah lama sekali rasanya, 20 tahun. Ya 20 tahun sejak kepergian orang tuanya. Rasa sedih, takut, dan putus asa itu masih membekas diingatannya ketika kabar kepergian orang tuanya sampai ke telinganya.

"Mama ... Papa ... berbahagialah disana, tunggu dan jemput Laras nanti!"

Kain tebal dan hangat itu menyelimuti bahu Laras yang hanya mengenakan sebuah gaun tidur selengannya. Laras menoleh dan bertemu Pandang dengan dr. Pram yang tetap saja dengan ekspresi datarnya. Laras mengeratkan selimut yang disampirkan oleh dr. Pram tadi ke tubuhnya.

"Dingin!" ujar dr. Pram mengkonfirmasi tindakannya itu.

Laras hanya mengangguk. Keduanya berdiri bersisian memegang tralis balkon. Saling diam menatap jelaga malam dan langit bertabur bintang. Lama keduanya saling diam, hingga Laras membuka suaranya.

"Mas Pram, maaf kalau Mas harus menikahi Laras karena para orang tua," ucap Laras tanpa menoleh pada sang lawan bicara.

dr. Pram menghela napas, "bukan karena mereka. Saya yang meminta kamu pada Papa Lukman. Saya yang harus meminta maaf karena membawa kamu menjadi istri saya ...."

"Kenapa?"

"Permintaan terakhir Naina ...."

"Aku mengerti."

...Bersambung.......

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!