Halo apa kabar? aku kembali untuk menemani para remaja halu. Alhamdulillah, Arthur's Desire karya ku yang ke tiga. Semoga kalian pada suka ya. Jangan lupa like, koment, dan rate ⭐ 5 ya. Karena itu bentuk penyemangat untukku, author yang masih proses seperti halnya kepompong yang sedang metamorfosis untuk menjadi butterfly.
Happy Reading guys.🩷
St. Margaret's, Roma, Italy
"Apa kau kesulitan, Shannon?!" pekik Chloe seraya mengetuk pintu kamar mandi yang di gunakan sahabatnya, Shannon Claire.
"Tidak, Chloe. Sebentar lagi aku akan selesai!" teriak Shannon dari dalam. Kemudian, Shannon memasang kancing pada bagian depan dressnya.
"Oke, " Chloe duduk di tepian tempat tidur menunggu Shannon sambil memainkan ponselnya.
2 menit kemudian. Shannon membuka pintu kamar mandi dengan pelan. Chloe yang sedang asik pada ponselnya, menoleh ke arah pintu seraya tersenyum. Lantas, gadis itu meletakkan benda pipihnya di atas tempat tidur sebelum ia beranjak, mendekati sahabatnya itu.
"Sudah aku duga, dress ini akan cocok untukmu, Shannon." Mata Chloe berkelip, memerhatikan penampilan Shannon yang memakai dress simpel berwarna putih gading yang dibelinya ketika ia berburu diskon di sebuah butik. "Kau terlihat seperti barbie."
Pujian yang tepat untuk menggambarkan sosok Shannon Claire. Shannon memiliki bentuk wajah oval, cantik dengan hidung mancung dan kecil, bibir sensualnya berwarna merah alami, dan manik indahnya berwarna hijau. Selain itu, Shannon memiliki tubuh yang langsing, dan rambutnya panjang berwarna pirang.
"Sekarang kau duduklah, Shannon! " Chloe menuntun Shannon, dan mendudukkan sahabatnya di kursi, didepan cermin.
"Kau ingin apa, Chloe?" tanya Shannon.
"Aku akan menata rambutmu, dan sedikit memberi riasan di wajahmu agar kau bertambah cantik," jawab Chloe riang, berpindah tempat di belakang Shannon setelah ia mengambil sisir diatas meja.
Chloe kerap menjadikan Shannon korban dari tangannya. Tangannya bisa dikatakan sangat ajaib. Ia bisa melakukan apapun, kecuali memegang wajan, dan spatula. Maksudnya, memasak bukan keahliannya.
"Pasti akan banyak pria yang akan mengagumi kecantikanmu, dan mengajakmu berkencan."
"Hanya mengagumi. Selebihnya, mereka akan berpikir dua kali untuk mengajakku berkencan." Begitulah cara berpikir Shannon.
Shannon Claire, seorang gadis berusia 19 tahun yang tumbuh besar di sebuah panti asuhan. Kedua orang tuanya meninggal karena sebuah kecelakaan, dan karena insiden itu pula yang menyebabkan Shannon kehilangan penglihatannya.
Seorang wanita bernama Sheila Callie adalah penolong Shannon setelah kecelakaan tersebut. Wanita itu mengasuh, dan menjadikan Shannon adiknya. Namun, di usia Shannon yang ke 10 tahun, Sheila mengakhiri hidupnya.
"Kenapa kau merasa insecure, Shannon? selain cantik, kau memiliki hati yang sangat baik."
Chloe Natasya, sahabat satu-satunya yang di miliki Shannon. Tumbuh bersama di panti membuat hubungan keduanya sangat dekat. Chloe kerap membantu, dan memberikan semangat untuk Shannon.
"Aku membicarakan fakta, Chloe. Aku gadis buta, yang akan selalu merepotkan." Tandas Shannon seperti gadis pada umumnya, yang menginginkan seorang pria yang bisa mencintainya, dan diperlakukan istimewa. Namun, kebutaan yang dialaminya membuat Shannon merasa tidak percaya diri. "Setiap manusia menginginkan memiliki pandangan dengan fisik sempurna, Chloe. Bukan gadis buta sepertiku."
"Hentikan ucapanmu yang tidak-tidak, Shannon." Chloe membantah ucapan yang keluar dari mulut Shannon. "Tidak ada kata yang tidak mungkin, jika Tuhan sudah berkehendak. Semua manusia, diberikan kesempatan untuk bahagia. Entah besok, lusa, atau hari-hari berikutnya. Percayalah, hal itu akan terjadi padamu. Sekarang kau diamlah, aku akan menyisir rambutmu."
Shannon tersenyum lembut mendengar ucapan Chloe yang menyemangatinya, dan ia membenarkan kalimat Chloe. Tuhan sudah memberikan kesempatan untuknya hidup setelah kecelakaan yang dialaminya. Bukankah, Tuhan mempunyai rencana di balik musibah yang menimpanya? seperti sekarang ini, ia dikelilingi orang-orang baik yang kerap memberikan kasih sayang, dan juga kebahagiaan. Lalu, mengenai pasangan, entahlah. Shannon tidak ingin terlalu memikirkannya.
Chloe memulai menyisir rambut panjang Shannon. "Kau memiliki rambut yang indah, dan mudah di sisir. Tidak seperti rambutku, curly. Ketika aku bangun pagi, penampilanku seperti singa. Argh."
"Kau pasti terlihat keren, Chloe."
Chloe berdecak pelan. "Kau memujiku, apa sedang meledekku?" tanya Chloe pura-pura tersinggung.
Shannon pun tertawa rendah. "Tergantung kau merespon ucapanku."
"Baiklah.. Baiklah.. Aku anggap itu sebuah pujian. Sekarang aku akan mengepang rambutmu."
Pintu kamar yang di tempati kedua gadis itu terbuka, rombongan para gadis kecil berjumlah 4 orang mendatangi mereka. Adik-adik mereka. "Ada apa kalian kesini?" tanya Chloe memperhatikan adik-adiknya, satu persatu.
"Kami mencari Sugar." Balas Lily membuat Chloe mengerutkan dahinya.
"Sugar?" tanya Chloe yang dipikirnya adalah gula bukan pria tua yang mempesona. Lagipula, tidak mungkin juga adik-adiknya mencari pria matang berbeda dengan author, dan juga netizen. Termaksud juga Chloe. "Ada di dapur. Kenapa kalian mencarinya disini? jelas saja, tidak ada."
"Sugar. Anak kucing yang kami temukan tadi pagi di depan panti, Chloe." Jelas Lily membuat Chloe mengerti.
"Oh ya Tuhan," Chloe memukul keningnya. "Mungkin saja sugar kalian bermain petak umpat, dan bersembunyi di bawah meja." Chloe melanjutkan mengepang rambut Shannon, dan memberi aksesoris bunga kecil di sepanjang rambut Shannon.
"Ck, sugar... Seperti tidak ada nama lain saja." Gumam Chloe yang di dengar Shannon. Shannon tersenyum simpul.
"Kau terlihat sangat cantik, Shannon." Seru Arabella menaiki dirinya diatas pangkuan Shannon. "Kau seperti, hmm... Princess Rapunzel!" puji gadis berusia 6 tahun, menatap Shanon penuh kagum.
"Ya.. Yang di ucapkan Arabella, benar. Kau seperti Rapunzel, Shannon." Timpal Lily tidak kalah serunya.
Shannon tersenyum mendengar pujian tulus yang tujukan untuknya. "Terimakasih atas pujiannya, Nona-nona cantik."
"Sekarang kalian keluarlah, dan carilah sugar kalian." Perintah Chloe, ke empat adiknya pun keluar menuruti perintahnya. "Kau tidak merasa aneh mendengar mereka mencari sugar?"
Shannon hanya tertawa menanggapi ucapan Chloe karena paham maksud dari sahabatnya. Pria tua yang mempesona.
"Kapan kau mulai berkerja?"
"Lusa," jawabnya Chloe masih merapikan rambut Shannon, kemudian ia meletakkan sisirnya di tempat semula. "Sudah selesai, aku tinggal merias wajahmu."
"Tidak perlu, Chloe." Tolak Shannon. "Sebaiknya kau bersiaplah agar kita tidak ketinggalan kereta."
Malam ini, kedua gadis itu akan menghadiri La Festa del Redentore, sebuah festival lokal yang terjadi di akhir pekan ketiga bulan Juni di Venesia. Festival itu adalah festival tradisi Venesia yang di mulai 500 tahun lalu sebagai berakhir wabah pes (black dead) yang terjadi di sekitar tahun 1575 hingga Juli 1577 yang merenggut nyawa puluhan ribu orang.
Festival itu di adakan di Bacino di San Marco, dekat dengan gereja Redentore, gereja Katolik yang di bangun sebagai rasa syukur atas berakhirnya wabah tersebut. Para warga akan berkumpul disana untuk berbagi minuman, dan makanan sambil menyaksikan kembang api. Dan Chloe harus menepati janjinya ketika Shannon menginginkan untuk menghadiri Festival tersebut.
"Baiklah, kau tunggulah sebentar. Aku segera bersiap. Ten minutes." Segera gadis itu meluncur menuju kamar mandi. Benar saja 10 menit berlalu, Chloe sudah siap, dan keduanya pergi menuju Venesia.
Bacino di San Marco.
Butuh tiga jam lebih naik kereta dari Roma ke Venesia. Kini Shannon, dan Chloe sudah berada di lokasi yang menjadi tujuannya setelah keduanya mendatangi penginapan yang di reservasi Chloe beberapa hari yang lalu. Dua gadis itu berjalan, bersamaan dengan tangan mereka saling menggenggam.
"Kau ingin minum, Shannon? " tawar Chloe mendapati kedai yang menjual minuman. Shannon mengangguk. "Ayo, kita beli minum dulu."
Setelah membeli minuman, Shannon dan Chloe menuju perairan. Berencana menyewa Gondola untuk menyaksikan kembang api diatas perahu.
"Lihatlah Jose, gadis yang memakai dress berwarna putih itu!"
Shannon, dan Chloe mengabaikan ucapan pria yang sedang duduk di depan kedai minuman itu membicarakan Shannon.
"Ah ya, dia sangat cantik, Boy. Tapi, sayang.. Dia buta." Dua pria itu tergelak menertawakan Shannon membuat Chloe naik pitam. Ini yang tidak diharapkan Chloe, dan dia tidak menerima hinaan yang di tujukan untuk sahabatnya.
"Dasar pria brengsek!" geram Chloe dengan kedua tangannya terkepal erat. "Mulut mereka ember sekali!"
"Jangan kau dengarkan ucapan mereka, Chloe."
Shannon mencoba menahan Chloe tapi tidak berhasil. Chloe bersikeras ingin memberi pelajaran untuk kedua pria itu. Inilah tujuan Chloe belajar bela diri, untuk menjaga Shannon. Hal itu, ia dilakukan karena ia sangat menyayangi Shannon.
"Aku tidak bisa membiarkannya, Shannon. Mereka sudah keterlaluan." Chloe mengabaikan larangan Shannon. Chloe berbalik, melangkah tergesa mendekati kedua pria itu.
"Chloe." Panggil Shannon, ia juga berbalik berjalan pelan menghampiri Chloe.
"Lihatlah, sahabatnya kesini." Ucap pria yang menggunakan T-shirt berwarna biru, si Boy tapi bukan Boy William.
"Dasar brengsek!!" Chloe mengambil satu gelas minuman yang ada di meja, kemudian menyiram salah satu dari mereka. Pria memakai T-shirt biru yang berwajah mas-mas mempunyai kumis tipis.
"Apa yang kau lakukan, Nona?" Jose berdiri, menggertak Chloe.
Chloe tidak takut, gadis itu beralih, mencengkram kemeja Jose. "Memberi pelajaran, karena kalian telah menghina sahabatku!" amuk Chloe sudah diambang batas kesabarannya. Para pengunjung yang berada di sekitar menyaksikan mereka.
Sebentar lagi pergulatan akan dimulai, Shannon harus segera menghentikan Chloe sebelum Chloe memulai menunjukkan kemampuannya.
"Kami tidak menghina sahabatmu, tapi kami mengatakan sesuai dengan realitanya." Sahut si Jose memancing emosi Chloe.
Chloe mengeram kesal, bukannya minta maaf tapi pria itu mencari masalah. "Brengsek!! "
Dan benar saja, setelah kata brengsek di cetus Chloe, Chloe melayangkan tinjunya mengenai hidung Jose membuat pria itu terhuyung, lalu terjatuh. Darah segar mengalir dari hidung pria itu.
"Chloe, hentikan." Shannon memeluk tangan Chloe.
Chloe lagi-lagi mengabaikan ucapan Shannon. "Kenapa kau melihatku, hah?! kau ingin di hajar juga?" Chloe mengangkat tangan kanannya yang terkepal erat
"Ti- tidak, Nona." Pria itu ketakutan setengah mati.
"Dasar banci kaleng, cih!!"
"Sudah, hentikan Chloe. Sebaiknya kita pergi dari sini." Shannon kembali berusaha membujuk Chloe yang sedikit keras kepala.
"Tidak mau," tolak Chloe dengan lantang. "Aku belum merontokkan gigi-gigi mereka, Shannon."
Shannon menggelengkan kepalanya. Ini tidak bisa dibiarkan, Chloe bisa saja melakukannya.
"Bukannya, kau ingin membeli tiket untuk menyewa Gondola?" Shannon menunjukkan senyuman terbaiknya membuat siapa saja yang melihatnya terpesona.
"Ah ya," Chloe menepuk pelan dahinya. "Kau benar Shannon. Aku lupa."
"Ayo, kita pergi sekarang, dan tinggalkan mereka."
"Tapi, mereka. "
"Ayo.. " Akhirnya Shannon berhasil mengajak Chloe pergi dari sana menuju perairan.
Sementara itu, nampak dua pria menggunakan pakaian serba hitam berlari ke arah kerumunan. "Kita berpencar, Jason. Dan bertemu di Riva degli Schiavoni. Jangan lupa, kau hubungi Luigi untuk menunggu disana." Ujar Arthur, pria matang memiliki wajah rupawan.
"Baik Tuan!!"
Tepat di pertigaan keduanya berpencar bergabung dengan kerumunan.
"Brengsek berhentilah!" teriak seseorang dari arah belakang mengikuti mereka. "James, kau ikuti Jason. " Perintah Black kemudian ia mengeluarkan revolver, menargetkan Arthur.
"Terimakasih Chloe, kau lagi-lagi membantuku." Shannon mengucap kalimat itu dengan senyuman tulus.
"Aku senang melakukannya untukmu, Shannon." Chloe melemparkan senyumannya. "Aku sangat keren, bukan?" ujar Chloe sangat percaya diri.
"Ya, sangat. Jika, kau seorang pria mungkin aku akan menaruh hati padamu."
Selain menginginkan cinta yang tulus, semua manusia yang berjenis wanita menginginkan seorang pasangan yang bisa melindunginya. Bukan Shannon saja, Chloe yang basicnya memiliki ilmu bela diri pun demikian.
"Kenapa ucapanmu sangat mengerikan, Shannon." Ceplos gadis itu, bergidik ngeri.
"Aku menggunakan kata jika. Hmm. Meskipun, aku buta, aku masih normal."
Chloe tertawa. Jadi, selain memiliki hati yang baik, Shannon seseorang pendengar yang baik, selain itu gadis itu juga asik diajak berbicara membuat orang-orang yang berada didekatnya merasa nyaman.
"Akhirnya kita sudah sampai. Kau duduklah disini, aku akan membeli tiket." Tidak lama kemudian, Chloe sudah kembali. "Kita kehabisan tiket untuk menaiki, Gondola. Ini gara-gara dua pria brengsek itu. Huh." Keluh Chloe seraya menatap gondola di tepian sungai yang sudah di hias dengan berbagai bunga. Sebagian pengunjung juga sudah menaiki perahu dayung itu.
"Tidak masalah, Chloe." Shannon pun berdiri dibantu Chloe. "Bagaimana, jika kita ke Gereja Redentore?"
"Ide yang bagus, ayo kita kesana." Seru Chloe bersemangat.
Keduanya berjalan menaiki Jembatan Redentore yang menghubungkan Zattere ke Gereja Redentore di pulau Giudecca.
"Berapa lama lagi, kembang api itu akan dimulai Chloe? " tanya Shannon
"15 menit lagi, Shannon. Ada apa? apakah kau sudah mengantuk?" Chloe bertanya kembali. Dilihatnya banyak pengunjung yang melintasi jembatan. Chloe mengeratkan genggaman tangan Shannon. Khawatir jika sahabatnya itu menghilang.
Shannon menggeleng cepat. "Tidak, Chloe. Aku tidak sabar ingin menyaksikan kembang api itu." Ujar Shannon dengan antusias.
Chloe menoleh, menatap Shannon dengan tatapan mengiba, dan Shannon dapat merasakannya. "Jangan menatapku seperti itu Chloe. Sudah aku katakan, jika kau adalah mataku. Kau cukup menjelaskan, dan aku bisa membayangkan bentuk kembang api tersebut." Ucap Shannon tidak kalah semangat dengan Chloe. Bahkan, senyuman manis Shannon terpatri di wajah cantiknya.
Chloe tersenyum haru, dan sangat bangga dengan sahabatnya itu. Chloe tidak pernah mendengar, Shannon mengeluh atas kebutaan yang dialaminya. 15 tahun bukan waktu yang singkat. Hidup dengan pandangan gelap, pasti tidak mengenakkan.
Arthur Mayer semakin mempercepat larinya ke arah jembatan. "Minggirlah kalian!" seru Arthur.
Bersamaan itu letusan revolver dari tangan Black, terdengar membuat para pengunjung berlari berhamburan.
"Apa yang terjadi Chloe?" Shannon nampak panik mendengar letusan, dan suara teriakan-teriakan pengunjung. Dirasakan tangannya ditarik seseorang, mengajaknya berlari ke arah sembarang. Shannon merasakan jika bukan Chloe yang menggenggam tangannya saat ini. Genggam itu erat, dan terasa hangat
"Oh astaga, kita harus pergi dari sini Shannon! "
"Oh astaga, kita harus pergi dari sini Shannon! " Chloe panik tidak menyadari tautan tangannya pada Shannon terlepas.
Deg..
"Shannon." Gumam Chloe, ia berbalik tidak menemukan Shannon. "Oh Ya Tuhan. Shannon!!" pekik Chloe mengedarkan pandangannya, melawan arah orang-orang yang tengah berlari untuk menyelamatkan diri.
Terdengar lagi letusan revolver semakin membuat keadaan bertambah kacau. Orang-orang berdesak-desakan saling dorong mendorong bahkan sampai ada yang terjatuh. "Shannon!" Chloe mencari keberadaan sahabatnya itu. "Astaga, dimana Shannon?" lirihnya dengan maniknya berkaca-kaca.
"Hei, lepaskan aku!" Shannon berusaha melepaskan tangannya namun genggaman itu semakin menguat. Kakinya ikut berlari mengikuti arah seseorang yang menggenggam tangannya.
Arthur membelokkan kakinya ke samping gereja untuk bersembunyi. Pria itu menarik kuat tangan Shannon membuat tubuh Shannon berputar, lalu terdorong kebelakang menyentuh dinding gereja. Shannon tersentak, maniknya mengerjap berulang-ulang.
"Kemana perginya si brengsek itu?!" keluh Black kehilangan jejak Arthur.
Shannon bisa mendengar suara pria itu, lalu ia membuka suaranya lagi. "Apakah ka- kau seorang penjahat?!" tebak Shannon dengan bibirnya bergetar, ketakutan.
"Stt..." Arthur menekan jari telunjuknya di atas bibir Shannon. "Kau diamlah, Nona!" bisik Arthur di sela napasnya yang berhembus tidak beraturan. Arthur melirik ke arah Black. Black bersama anak buahnya kelimpungan mencarinya.
"Sebaiknya kita ke kanan!! " perintah Black kepada anak buahnya. Mereka berlari melewati Arthur. Arthur semakin memajukan tubuh kekarnya membuat tubuh keduanya menghimpit, dan menekan. Jarak diantara wajah keduanya sangat dekat, bahkan ujung hidung mereka saling bersentuhan.
Shannon mengatur napasnya yang memburu. Tubuh kecilnya terkurung oleh tangan kekar pria itu yang berada di sisi tubuhnya, dan ia tidak bisa bergerak. Dapat dihirupnya aroma maskulin. Aroma mahal, semerbak, sangat menenangkan, dalam sekejap rasa takutnya pun menghilang.
Arthur terdiam, terpaku menatap manik hijau gadis kecil yang ada di depannya. Pria bernama Black sudah berlalu, tapi Arthur tidak bergerak dari posisinya.
Dibawah sinar rembulan yang indah. Sepasang manik legamnya menelisik wajah cantik Shannon. Dari mata turun ke hidung, dan berakhir ke bibir ranum Shannon yang sedikit terbuka. Arthur pun tergoda dengan bagian lembut itu, dan ingin mencicipinya.
"A-apa seseorang yang mengejarmu sudah pergi? jika iya, to-tolong bebaskan aku, Tuan. Pasti sahabatku sedang mencariku."
Arthur hanya diam, tidak merespon ucapan Shannon. Ia terlalu fokus memerhatikan wajah cantik Shannon.
"Oh ya Tuhan, bagaimana ini." Keluh Shannon merasa gelisah. "Tu-tuan kenapa anda hanya diam?"
Suara lembut Shannon sanggup mengusik ketentramannya, membuat seorang Arthur, mantan mafia itu kehilangan kendali. Pria itu mengikis jarak, lalu melabuhkan bibirnya diatas bibir Shannon. Bertepatan itu kembang api melesat ke langit pekat kota Venesia.
Duar.. Duar.. Duar..
Merasakan sesuatu yang lembut menyentuh bibirnya, Shannon berusaha mendorong tubuh Arthur dengan sekuat tenaga. Namun, tangan kecilnya tidak bisa membuat tubuh pria itu terdorong, akan tetapi sebaliknya.
Arthur semakin memperdalam ciumannya dengan satu tangannya melingkar di pinggang Shannon. Merengkuh bagian ramping itu, mengabaikan pukulan di atas dadanya.
Shannon tidak kehabisan akal, digigitnya bibir Arthur sehingga tautan mereka terlepas, dan bibir pria itu sedikit terluka.
"Dasar, pria brengsek!" amuk Shannon seraya memukul keras dada bidang Arthur. "Kau sudah memisahkan aku dengan sahabatku, dan baru saja kau mengambil kesempatan pada gadis buta sepertiku!"
Buta, batin Arthur memerhatikan lagi manik hijau Shannon yang berkaca-kaca. Terlihat sangat indah, dan mengagumkan.
Shannon mengusap bibirnya dengan kasar. Menghilangkan jejak pria itu. "Ya Tuhan, dimana tongkatku." Gumam Shannon. Kemudian, ia berjongkok meraba jalan guna mencari tongkatnya.
Melihat pergerakan Shannon membuat Arthur mengiba. Arthur meninggalkan Shannon, berjalan mencari tongkat milik Shannon, dan Arthur menemukannya. Segera pria itu kembali. "Ini, tongkat milikmu, Nona."
Shannon menaikan kepalanya. Arthur meraih tangan Shannon, mengembalikan tongkat tersebut. "Untuk ciuman tadi, aku tidak akan meminta maaf." Ucap Arthur tiba-tiba.
"A-apa?"
Alih-alih menjawab pertanyaan Shannon, Arthur membantu gadis itu berdiri. "Aku akan mengantarmu pulang."
Ucapan tersebut begitu saja lolos dari mulutnya.Tidak biasanya Arthur bersikap demikian. Entah, kenapa melihat gadis itu membuat hati kecilnya tergerak, ingin membantu.
"Tidak perlu, Tuan. Sekarang, lepaskan tanganmu!" tolak Shannon berusaha melepaskan tangannya dari genggaman pria itu.
Arthur dengan berat hati, melepaskan tangan Shannon. Shannon pun berbalik, berjalan perlahan dengan instingnya menggunakan tongkat.
Ponsel Arthur berdering, yang mungkin saja dari anak buahnya. Namun, Arthur mengabaikan panggilan tersebut, dan memilih untuk mengekori gadis itu.
"Shannon!" Chloe berlari dengan perasaan yang kalut. Manik coklatnya merotasi, mencari keberadaan sahabatnya itu. "Shannon!!" panggil Chloe lagi. Chloe berlari sampai di area gereja. "Ya Tuhan, tolong pertemukan aku dengan Shannon."
"Chloe! " Doa tulus Chloe dikabulkan. Gadis itu berbalik lalu melihat Shannon berada tidak jauh dari posisinya. Chloe berlari lagi, menghampiri Shannon. "Shannon! " panggil Chloe.
"Chloe, " sahut Shannon.
Arthur buru-buru bersembunyi di balik pohon, untuk memantau gadis itu.
"Oh Ya Tuhan, akhirnya aku menemukanmu." Chloe segera memeluk tubuh Shannon sangat erat yang langsung dibalas Shannon. "Kau baik-baik saja, Shannon?"
Shannon mengangguk dalam pelukan Chloe. "Ya... Aku baik-baik saja, Chloe." Jawab Shannon sangat meyakinkan. Tapi tidak dengan hatinya. Ciuman tadi sanggup menciptakan genderang pada jantungnya.
Chloe melonggarkan pelukannya "Syukurlah, sebaiknya kita kembali ke penginapan. Oke."
Shannon setuju, kedua gadis itu kembali ke penginapan yang kebetulan tidak jauh dari Bacino di San Marco. "Ada apa denganmu, Shannon? " tanya Chloe saat mereka sudah sampai di penginapan. Chloe merangkak menaiki tempat tidur, menyusul Shannon yang sedang bersandar di kepala tempat tidur. Gadis itu juga melakukan serupa.
"Aku tidak apa-apa, Chloe. Aku hanya masih syok dengan kejadian tadi. Maaf."
"Maaf untuk apa, Shannon?" tanya Chloe dengan kerutan di keningnya.
"Seharusnya aku tidak memaksamu untuk menghadiri festival tersebut."
Chloe tersenyum lembut. "Sudahi rasa bersalahmu, Shannon. Yang terjadi tadi itu bukan kesalahanmu. Lebih baik, kita beristirahat. Besok sebelum kita pulang, kita kembali ke perairan lagi, untuk menaiki Gondola, dan mendatangi gereja Retorde."
"Baiklah, Chloe."
Shannon, dan Chloe merebahkan tubuh mereka bersama. Kamar yang ditempati mereka sudah temaram, dan terasa tenang.
"Chloe," panggil Shannon setengah berbisik. "Apa kau sudah tidur?"
"Hmm, belum.. Ada apa, Shannon?" Chloe balik bertanya dengan keadaan matanya tertutup.
"Saat kejadian tadi, ada seorang pria telah mencuri ciuman pertamaku." Shannon sengaja menjeda ucapannya, ingin mengetahui respon Chloe. Akan tetapi, tidak ada respon dari sahabatnya itu. "Chloe." Panggil Shannon tidak mendapatkan sahutan.
"Dia sudah tidur, rupanya. Baiklah, sepertinya aku harus melupakan kejadian tadi." Shannon menarik selimut untuk menutupi tubuh mereka berdua. "Selamat malam, Chloe." Kemudian, Shannon memejamkan kedua matanya.
# Visual cast
Shannon, & Arthur dalam versiku. 😍.
Versimu??
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!