NovelToon NovelToon

SURAT CINTA DARI BU DOSEN

Deal!

"Eh mau kemana kamu, Cak? Aku ada bimbingan, katanya mau nunggu sampai aku pulang? Nggak bawa motor loh aku, mau numpang malah ditinggal." Topan menghentikan langkah Cakra yang tiba-tiba beranjak dari sana. Keduanya sedang terduduk di taman belakang gedung hendak menunggu jam kegiatan selanjutnya.

"Aku juga mau bimbingan to. Emangnya kamu doang?"

"Loh udah dapet to dosen pembimbingnya?" tanya Topan terkejut karena sejak kemarin Cakra pusing sendiri memikirkan itu. Bukannya apa, semua dosen pembimbingnya galak-galak bagi Cakra. Baru lihat saja sudah membuatnya tak konsen. Bagaimana mau lancar kalau begini.

Belum lagi diam-diam semua judul skripsi yang ingin ia ajukan di tolak tetapi berharap ingin lulus tahun ini. Apa bukan mimpi itu namanya. Cakra mumet sendiri. Dia juga malu dengan kekasihnya yang baru tiga bulan ini dia pacari. Target tahun ini lulus dan bisa foto bareng dengan Lani.

"Udah dong, aku dapat Pak Narto. Itu loh yang rambutnya pakai wig warna putih semua. Alhamdulillah aku dapat dia. Setau aku dia yang paling slow dari pada yang lainnya."

"Pak Narto uban?" tanya Topan memastikan.

"Iya, keren toh aku dapat dia. Udah tua gampang ditekuk-tekuknya."

"Begitu katamu pakai rambut palsu! Tuir itu!"

"Owh salah Yo aku. Ya sudah ayo! Kamu juga mau bimbingan 'kan? Gas lah! Biar cepat lulus, aku bosen kuliah terus. Mau cepat jadi orang." Cakra melangkah menuju ruangan dosennya dan diikuti oleh Topan.

"La opo sekarang nggak jadi orang? Monyet toh kamu?"

"Kalau kata orang dulu tuh kalau doain gitu. Semoga besok gede jadi orang yo, Le! Mungkin yang diliat demit kali," jawab Cakra asal dan Topan pun menanggapi dengan anggukan. Sama-sama agak lain keduanya.

"Eh tunggu-tunggu!" Topan mencekal tangan Cakra lalu menahan sahabatnya agar lebih dulu menghentikan langkahnya. Menatap ke arah depan dengan kedua mata tak berkedip hingga membuat Cakra bingung sendiri.

"Ada apaan? Matamu sehat? Mendelik-mendelik kayak kemasukan batu kerikil."

"Sstt! Kamu tadi bilang 'kan kalau bimbingan sama Pak Narto? Loh itu bukannya Bu Viola? Keponakannya Pak Narto 'kan?"

"Mana?" tanya Cakra dan diarahkan kepalanya oleh Topan. Agak gemas juga karena Cakra yang melihat kesana kemari padahal ruangan dosen pembimbingnya ada di depan mata.

"Matamu lurus!" sentak Topan geregetan.

"Iya! Lambemu sampe di kupingku panas! Bau lagi, abis makan codot to?" sahut Cakra dan memperhatikan ke arah depan. "Lah iya, apa mungkin aku bakal dapet bimbingan dari dia ya? Alah nggak mungkin! Dia itu dosen baru di sini."

"Tapi dengar-dengar dia itu jenius. Dosen termuda yang aku dengar. Lulusan luar negeri lagi. Umurnya masih 28 tahun."

"Halah ya itu sudah tua namanya. Kalau umur dua puluh sudah menjadi dosen baru aku percaya jadi dosen muda," sahut Cakra. "Kita aja udah 22 tahun."

"Terserah kamu! Capek aku ngomongnya. Ya udah aku ke ruangan sana dulu. Salaman bentar, masuk bareng, lulus bareng!" Topan mengulurkan tangannya lalu menyalami tangan Cakra. Lebih dulu membaca basmallah sebelum keduanya masuk ke ruangan dosen pembimbing masing-masing.

"Selamat siang Pak," ucap Cakra saat melihat Pak Narto duduk dan di sampingnya ada wanita cantik yang tadi dia bicarakan dengan Topan.

"Bimbingan?"

"Iya Pak, kemarin sudah saya ajukan proposalnya," jawab Cakra sopan tetapi dia bingung mengapa Pak Narto memberikan proposal miliknya pada Bu Viola. "Cakra Pambudi kan namanya?"

"Benar Pak," jawab Cakra lagi.

"Duduk dulu! Wis kayak tiang berdiri di situ."

Cakra meringis lalu duduk di hadapan dua orang itu. Dia berpikir tak mungkin jika dosen pembimbingnya ganti. Sudah benar-benar Pak Narto yang sebentar lagi akan pensiun, tapi mengapa harus menghadapi dua orang sekaligus.

"Kamu itu yang ditolak-tolak ya dengan dosen pembimbing sebelumnya? Gimana nggak, masih banyak yang harus kamu revisi begini. Saya saja bacanya pusing sendiri. Kamu nanti dilanjut sama Bu Viola ya. Dapat kamu saya jadi harus pensiun. Migren saya kambuh."

Cakra tercengang mendengar itu. Memangnya sehancur apa proposal yang ia buat. Sepertinya sudah banyak benarnya dari pada salahnya. Rasanya kok mau ngamuk saat dibilang buruk begitu. Cakra melirik Bu Viola dan dia terlihat mencoret bagian-bagian yang salah dan menuliskan sesuatu di sana.

"Loh Pak, Bapak beneran mau pensiun?" tanya Cakra saat melihat Pak Narto beranjak dan rapi ingin ingin pulang.

"La iya, apa saya bohongan." Pak Narto menoleh ke arah Bu Viola dan menepuk pundak beliau. "Lanjutkan ya! Kamu jangan lupa minum obat asam lambung karena menghadapi seperti ini harus memiliki stok sabar yang tinggi."

"Baik Pakdhe, hati-hati di jalan! Salam sama Budhe." Terlihat Bu Viola menyalami tangan Pak Narto. Cakra pun segera beranjak ikut menyalaminya. Sedikit tak rela jika dia mendapatkan dosen pembimbing Bu Viola. Selain belum begitu kenal, dari wajahnya yang jutek membuat Cakra cepat menilai jika dosen yang satu ini sama killer nya dengan yang lain.

Usai salaman, Cakra pun kembali duduk. Dia memperhatikan berkas proposal yang kembali digeser ke hadapannya.

"Gimana Bu?"

"Bisa kamu lihat sendiri!" jawabnya singkat lalu fokus pada pekerjaan yang lainnya. Melihat itu Cakra hanya bisa menarik nafas dalam lalu membuka proposal miliknya. Banyak sekali coretan pulpen merah di sana dan ada satu lipatan kecil kertas putih.

Sejenak Cakra mendongak menatap dosen cantik yang ada di hadapannya kemudian membuka surat tersebut.

"Jadi pacar saya, maka kamu akan wisuda tahun ini. Setelah itu masa depanmu pun saya jamin."

Cakra syok membaca rangkaian kalimat. Yang tertulis di kertas itu. Ini gimana konsepnya, ingin mendapatkan bimbingan tetapi justru diminta menjadi pacar.

"Bu maksudnya apa ya?" tanya Cakra yang kini menatap Bu Viola dengan tatapan penuh tanya. "Ibu nembak saya?"

"Kamu sudah membacanya bukan? Saya hanya minta kerjasamanya saja, maka saya akan membantu kamu."

"Tapi saya sudah punya pacar loh Bu. Ibu mau jadi yang kedua? Kalau mau ya nggak masalah. Saya memang setampan itu Bu, tapi saya mikir lagi. Setia itu penting Bu. Jadi lebih baik saya bersakit-sakit dahulu berenang kemudian."

"Kamu yakin?"

"Iya yakin, setia itu nomor satu," jawab Cakra dengan pedenya.

"Hanya tiga bulan dan itu hanya untuk menjadi pacar kontrak. Jangan terlalu kepedean saya terpesona dengan kamu. Saya butuh kamu ada alasan bukan karena menginginkan. Bagaimana?"

Cakra terdiam memikirkan itu. Tak munafik jika ia juga mau lulus tanpa pusing-pusing. Ujian skripsi lancar tanpa banyak drama. Bisa foto pakai toga bersama ayang.

"Oke! Tiga bulan tanpa ada yang tau dan aman tanpa berita miring di kampus."

"Deal!" Keduanya pun saling bersalaman dengan tujuan yang berbeda.

Gelantungan

"Jadi kapan saya akan menjadi pacar pura-pura anda Bu Viola yang cantik jelita, ayu kayak bidadari turun dari kayu?" tanya Cakra dengan senyum mengembang dan tatapan menggoda.

"Kamu tuh bisa serius dikit ngak sich? Jangan coba-coba merayu saya ya! Kita hanya pacaran kontrak tiga bulan. Selebihnya kita putus, tapi selama kita pacaran. Kamu nggak boleh sekalipun mengecewakan saya. Menolak panggilan dari saya apalagi mangkir saat saya meminta kamu untuk datang!"

Cakra mengangguk dengan tatapan serius. Menatap tanpa kata dan terus memperhatikan wajah Bu Dosen yang ada di hadapannya tanpa jeda.

"Cakra kamu ngerti nggak? Mengangguk saja. Jangan lama-lama menatap saya! Awas jatuh cinta! Saya nggak mau tanggung jawab!"

"Galakke kayak macan ngarak. Tau macan Ngarak nggak, Bu? Macan yang punya anak itu loh. Ibu juga jangan galak-galak sama pacar! Nggak boleh, nanti saya putus nggak ada lagi yang mau diajak kerja sama seperti saya."

"Oke saya terima, tapi hanya tiga bulan 'kan? Jika saya sedang berdua dengan pacar saya, Ibu jangan ganggu!"

BRAK

"Nggak bisa!" tolak Bu Viola lantang membuat Cakra terjingkat. Dia mengelus dadda menatap wanita yang ada di hadapannya. Terlebih saat beranjak lalu menunduk di hadapan Cakra. Sontak membuat Cakra gagal fokus dengan bagian yang tak sengaja terlihat.

"Astaghfirullah Bu, ini vitamin apa rayuan maut? Gelatungan begitu, Gusti aku cuma lihat yang gratisan, nggak minta. Gratisan nggak mungkin dianggurin 'kan?" Cakra perlahan memalingkan wajahnya sampai dimana Bu Viola sadar dan mengusirnya dari sana.

"Keluar kamu!"

"Loh kok pacar diusir? Nggak boleh gitu nanti kualat. Jangan ya Bu pacar! Yang orang tau itu saya bimbingan. Kalau saya tau-tau keluar sebelum waktunya dan teridentifikasi cepat sekali. Takutnya ada yang curiga. Nanti dikira saya nggak bener lagi aja ngerjainnya," tolak Cakra.

Cakra tak ingin mendapatkan tatapan jengah dari Lani jika tau gagal lagi. Meskipun harus revisi tapi setidaknya dia terlihat serius dan diterima baik saat bimbingan.

"Terserah kamu! Urusan dengan saya sudah selesai dan kamu harus segera pergi dari sini! Ayo!" Bu Viola beranjak saat Cakra malah menyandarkan tubuhnya di kursi. Meraih tangan Cakra dan memintanya untuk segera keluar.

"Eh Bu pacar sudah berani pegang-pegang. Oke-oke saya keluar. Udah tau nama saya, kalau nomor hape saya sudah tau belum? Nggak nanya nanti nyasar loh."

"Gampang untuk mengetahui nomor ponsel kamu! Ayo cepat keluar! Jangan buat saya migren juga!"

Akhirnya Cakra pun mengalah dan keluar dari ruangan Bu Viola. Wanita itu menghela nafas lega dengan kedua mata terpejam.

"Jika bukan karena terpaksa nggak mungkin aku mau pacaran dengan bocah tengil itu. Ya Allah... Kenapa jadi begini sich?" Ada masalah dalam percintaannya. Dia sudah mengatakan pada kedua orang tuanya untuk membawa kekasih di acara ulangtahunnya Minggu depan.

Kedua orang tuanya sudah mengancam akan menikahkannya dengan seorang pengusaha anak dari teman kerja ayahnya. Andai dia tidak membawa calonnya sendiri.

Sayangnya dia yang sudah menyanggupi malah putus seminggu yang lalu setelah melihat kekasihnya berselingkuh. Alhasil dia harus memutar otak dan berusaha hingga meminta Cakra untuk menjadi pacar kontraknya.

"Sayang!" panggil Cakra pada Lani yang menunggunya di kantin. Lani tersenyum menyambutnya lalu meminta Cakra untuk duduk di sampingnya.

"Gimana? Masih banyak revisinya?"

"Nggak dong, udah tinggal dikit. Nanti kita wisuda bareng pokoknya. Nggak usah khawatir. Aku akan lamar kamu setelah aku berhasil menjadi guru," jawab Cakra dengan percaya dirinya padahal ada syarat dibalik kelancarannya.

"Wah, kamu hebat. Aku aja masih banyak revisi, tapi tadi udah konsul tinggal eksekusi lagi aja. Aku capek mau pulang. Pulang yuk!" ajak Lani.

"Haish aku lupa kalau udah janji dengan Topan. Aku nggak bisa antar kamu pulang, Sayang. Kamu naik ojek aja gimana?"

"Kamu tuh gimana sich? Masa' aku malah pulang naik ojek?" tanya Lani tak terima. Bukannya Topan yang disuruh mengalah malah dia yang disuruh pulang sendiri. Benar-benar bukan pacar yang baik.

"Loh nggak becek jadi ada ojek. Ibuku juga sering kok naik ojek. Aman. Cuma bedanya kamu nggak bisa pegangan kayak kalau sama aku. Itu aja! Aku udah janji. Janji itu hutang, Sayang."

"Tapi aku pacar kamu loh, Cakra!" ucap Lani mengingatkan.

"Aku tau, yang bilang kamu Mbahku juga siapa? Aku antar sampai depan ya! Aku pastikan kamu selamat sampai tujuan. Katanya capek 'kan? Aku sayang kamu. Jadi aku nggak mau kamu sakit."

Cakra merangkul pundak Lani lalu mengantarnya sama tempat ojek mengumpul. Meminta salah satunya dan menitipkan Lani pada bapak-bapak yang menurut Cakra pas dan tak akan membawa motor kebut-kebutan.

"Pak nitip calon istri nggih! Pastikan sampai rumah dengan selamat!"

"Oke Mase. Tenang saja! Bapak ndak akan ngebut-ngebut kok."

"Oke!" Cakra membayarkan ongkosnya lalu menoleh ke arah Lani. "Duh bibirnya jangan merengut kayak bebek nggak dikasih makan setahun. Eugh coba udah halal, tak cippok atas bawah. Kok ya bikin gemas. Sayangnya belum nikah."

"Pulang ya! Aku masih ada urusan soalnya sama Topan. Nanti hubungi aku kalau sudah sampai di rumah." Cakra memasangkan helm di kepala Lani lalu memastikan Lani naik ke motor dengan aman.

"Jangan lupa nanti kalau turun helmnya kasih lagi ke Pake! Jangan dibawa kabur!"

"Kamu jahat!" celetuk Lani. Sewot sekali tapi ya mau gimana lagi. Padahal bisa saja dia meminta Omnya untuk menjemput, tapi Cakra sudah lebih dulu menyewakan ojek untuknya.

"Nggak jahat, Sayang! Aku sayang kamu. Lope lope sekebon rumput. Dadah, Sayang! Jalan Pak!" Cakra melambaikan tangan lalu kembali masuk tetapi Topan sudah lebih dulu menyusulnya.

"Lani pulang sendiri?"

"Ndak to, itu sama tukang ojek."

"Ck, nggak sama kamu namanya. Gimana? Lanjut pulang atau mampir?" tanya Topan. Keduanya segera melangkah menuju parkiran tetapi saat ingin menghidupkan motornya, Cakra terdiam karena tak sengaja melihat Bu Viola melangkah menuju mobilnya.

"Eh kamu tadi sama itu gimana? Lancar bimbingan?" tanya Topan menyadari apa yang Cakra lihat.

"Lancar."

"Wiiih keren. Lumayan buat cuci mata to? Cantik begitu."

"Cantik tapi udah punya pacar, jadi percuma kamu puji. Pacarnya lebih berhak dari pada kamu," sahut Cakra lalu menyalakan motornya.

"Siapa? Kok kamu tau?"

"Aku pacare."

"Ngimpi! Siang bolong ngimpi jadi pacar Bu Viola. Aku cium ketek kamu kalau sampe bisa menaklukkan hatinya. Wong ayu itu sulit ditaklukan," sahut Topan meremehkan membuat Cakra menoleh ke belakang.

"Kalau bisa cium ketekku tenan ya! Awas kamu kalau cuma ngomong! Aku tagih sampai liang lahat!"

"Aku belum mau mati, Cak!"

"Terserah!" Cakra segera melajukan motornya tetapi baru saja ingin keluar gerbang kampus. Bu Viola membunyikan klakson mobilnya.

"Monggo Bu duluan!" seru Cakra.

"Bu dibuat taruhan sama Cak... Mmppp."

"Lambe turah!" ketus Cakra lalu mengusapkan tangannya di baju Topan setelah digunakan untuk menutup mulut sahabanya.

"Tanganmu kecut!"

Ngajak Romantis.

"Selamat ulang tahun!" seru bocah berumur empat tahun yang sejak tadi tak sabar merayakan hari jadi Omnya. Kedatangan Cakra sejak tadi ditunggu-tunggu oleh bocah itu. Katanya ingin tiup lilin sama Omnya.

"Loh siapa yang ulang tahun? Eh ini lilin kok sama kayak gundulmu, Biru? Mana Mamah?" tanya Cakra sontak membuat Shayu yang diam memperhatikan dari balik pintu segera keluar. Shayu merengut karena kepala anaknya disamakan dengan lilin kecil yang ada di atas kue.

"Bibirmu mau aku kuncir? Ngapain ngucapin ulang tahun? Emang siapa yang ulang tahun?" tanya Cakra. Niat hati memang ingin main ke rumah keponakannya karena dia sudah janji dengan Biru akan membelikan gula-gula. Tanpa dia tau akan disambut begini. Mengingat-ingat ini tanggal berapa. Mendadak amnesia hingga lupa hari dan tanggal.

"Ulang tahunmu loh ini! Kamu tuh gimana? Ditungguin Biru dari tadi malah nggak buru balik. Ibu sama Bapak udah buatin kamu nasi kuning. Tuh ada ayam bakar juga."

"Emang iya to? Umur berapa aku?" Cakra menunduk menatap kue ulang tahun yang masih berada di tangan Biru. Kasihan juga sejak tadi memegangnya. Cakra pun segera menerima kue itu dari Biru dan mengajaknya masuk.

"Sama umur sendiri lupa. Inget makin tua."

"Matang!" sahut Cakra lalu meraih tangan Biru dan menuntunnya menuju meja makan.

"Kamu nunggu Om? Eh wis 23 aja aku. Perasaan tadi si Topan bilang kalau aku baru 22. Parah, lupa dia kalau aku hari ini ulang tahun. Malah Biru yang tau. Makasih ganteng!"

"Tiup lilinnya sama aku, Om!"

"Iya kamu yang niup. Om yang makan kuenya ya?"

"Eh aku mau, Om!"

"Oh mau to? Om kira cuma mau numpang niup lilin doang. Jangan! Ntar umurmu cepat tua. Nggak pengen kan jadi bocah tua? Masih kayak tuyul udah keriput."

"Ngawur kalau ngomong! Pacarmu mana? Datang nggak sama Lani? Topan juga Nggak diajak. Itu Ibu masak banyak siapa yang mau makan?" tanya Shayu lalu duduk setelah memastikan aman.

"Pacarku aja nggak tau ingat apa nggak. Halah lagian ulang tahun nggak usah diingat-ingat juga. Biarin aja, nanti aku cepat tua kalau dirayain. Lagian Ibu kenapa buatin nasi kuning? Aku sudah gede loh Bu. Sudah mau wisuda, bentar lagi mau buatkan Ibu cucu. Biar nambah banyak. Shayu sama Mas Satria kan nyumbang dua. Aku nyumbang sembilan. Biar Ibu dan Bapak bisa jadi gawang."

"Bocah ngawur!" celetuk Ibu lalu menghidangkan nasi kuning yang sudah dibuat tumpeng di atas meja makan. Ikut duduk setelah Bapak pun ikut kumpul.

"Emangnya sudah ada calon?" tanya Bapak serius.

"Ya kalau sudah siap buatkan cucu ya berarti sudah ada calon. Sudah nambah lagi umurku. Nikah muda nggak masalah to? Shayu aja nikahnya masih sekolah.

"Ya nggak masalah kalau ada calonnya. Yang masalah itu belum ada calonnya mimpi mau punya anak. Kamu mau punya anak atau ternak? Mau sama kambing punya Bapak?" sahut Shayu dan dijawab decakan oleh Cakra.

"Ya adalah," jawab Satria. "Tenang, Pak! Sudah kerja aku ajak nanti calon istriku ke rumah."

"Lani ulang tahun kamu aja nggak ingat."

"Kata siapa? Dia lupa bukan nggak ingat! Naik sana ke kamar! Jingga pasti lagi diatas ngusel Papahnya. Bukannya ikutan malah bikin rame saja."

"Lah bebas to. Jingga tau Macan capek. Biarin aja ngerusuhin Pacannya kerja."

"Istri lucnut!" celetuk Cakra.

"Dari pada kamu nggak jelas! Pacaran sama cewek manja. Nggak nyadar cuma dijadikan kang ojek aja?" sahut Shayu lalu melangkah menuju kamar sedang Ibu dan Bapak menggelengkan kepala mendengar keributan itu.

"Bener sudah punya calon? Lah kok nggak diajak ke rumah?"

"Nanti saja, Pak. Makan dulu lah, Pak! Jangan bahas tentang itu dulu. Cakra masih fokus kuliah biar bisa cepet wisuda, Pak. Nggak bisa ajak sekarang. Dia sibuk, bisanya nanti kalau libur."

"Ya nggak apa-apa, kapan-kapan bisa. Cuma harus ingat kalau pacaran jangan kebablasan! Kamu sudah dewasa!"

Usai makan, baru merebahkan tubuhnya di sofa. Niat hati memang hari ini nginep di rumah Kakaknya karena Ibu dan Bapak juga tidur di sana. Namun baru saja ingin santai. Ponselnya berdering dan memperlihatkan nomor cantik yang entah milik siapa.

"Halo assalamualaikum."

"Waallaikumsalam, Cakra?"

"Eh Bu pacar, bentar-bentar aku bangun dulu." Cakra beranjak dan duduk saat mendapatkan panggilan dari Viola. "Ada apa Bu?"

"Kamu dimana? Ikut saya sekarang! Kita ketemuan di alun-alun aja," ucapnya dan dianggukki oleh Cakra.

"Eh iya nggak tau ya kalau aku ngangguk."

"Sekarang banget Bu? Kangen ya sama aku? Tapi saya baru banget ingin istirahat, Bu. Baru..."

"Janjinya gimana? Syaratnya tadi sudah jelas 'kan? Kamu harus menemui saya kapan pun setiap saya minta. Ayo, Cakra! Saya tunggu pokoknya!"

Tut.

"Eh..." Cakra menghela nafas kasar. Baru juga mau istirahat setelah tadi ke bengkelnya Mas Satria. Sudah harus keluar lagi aja. Mana kenyang, harusnya tidur bukan ngeluyur malam-malam. Cakra pun segera meminta ijin pada Ibu dan Bapak lanjut menemui Bu Pacar ke alun-alun kota.

"Ada apa Bu Pacar malem-malem ngajak saya ketemuan? Saya tau Rindu itu berat. Makanya jangan diangkat!"

"Cakra jangan bercanda! Saya seriusan. Kamu kalau jalan sama saya jangan panggil Bu Pacar! Panggil yang bener! Kamu tuh susah banget diajak kerja samanya," protes Bu Viola. Menghadapi Cakra juga PR besar. Mungkin salahnya sendiri kenapa memilih Cakra, tapi memang hanya Cakra yang ia yakini bisa diajak kerja sama, karena dilihat-lihat Cakra itu kalem meskipun sedikit terlihat tengil.

"Duh ngajak romantis. Ya udah aku panggil Mbak Viola aja. Kan kamu lebih tua dari saya."

"Yang bener dong, Cakra! Mana ada sama pacar manggilnya Mbak! Aku ingin ketemuan sama teman-teman aku. Di sana nanti ada mantan pacar aku. Jadi kamu harus bersikap menjadi pacar yang sebenar-benarnya. Ngerti?"

"Ya udah ayo! Nanti urusan begitu mah terima beres aja. Saya profesional kerjanya, Bu. Tenang!" Cakra merangkul pundak Bu Viola membuat kedua mata wanita itu mendelik melihatnya. Menatap tangan yang dengan santainya singgah di pundak tanpa permisi.

"Ikh jangan gitu! Kok kamu jadi berani sama saya?"

"Ini baru tahap percobaan sudah ngamuk. Biar romantis ya begini. Ibu pacaran ngapain aja? Jangan bilang jarang ketemu!"

"Sok tau kamu!" celetuk Bu Viola lalu meminta Cakra untuk masuk ke dalam mobilnya.

"Ye.. Kalau naik mobil terus motor saya gimana? lagian nggak bisa naik mobil saya, Bu. Mabuk! Naik motor aja enak. Ayo!" ajak Cakra lalu meraih tangan Bu Viola untuk mengikutinya.

"Kamu tuh, astaga... Ngeselin banget!"

"Jangan kesel-kesel, nanti suka malah bahaya! Biarin aja dulu mobilnya di sini. Nggak apa-apa yang penting bayar parkir." Cakra segera melajukan motornya menuju tempat yang sudah diberitahu sebelumnya oleh Bu Viola. Dia tersenyum tipis saat melihat tangan Bu Viola nampak memegang kedua sisi jaketnya.

"Meluk juga nggak apa-apa, Bu! Nggak ada yang ngelarang, eh lupa. Saya punya pacar. Jangan, Bu! Nanti ketahuan."

"Terserah kamu!" celetuk Bu Viola dan hanya ditanggapi dengan tawa oleh Cakra.

Sampai di sana, keduanya pun segera turun. Tanpa diminta Cakra menggenggam tangan Bu Viola. Cakra yang rapi dan tampan terlihat serasi dengan Bu Viola yang terlihat cantik dengan wajahnya baby face. Jadi umur tak terlihat jauh diantara keduanya. Namun saat keduanya memasuki cafe. Cakra terkejut melihat seseorang yang ia kenal.

"Lani kamu di sini juga?"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!