NovelToon NovelToon

Aku Mencintainya Lebih Dulu

Akhirnya Jadian

Bel sekolah berbunyi, para murid dengan semangat meninggalkan kelas. Bahkan beberapa dari mereka merencakan untuk makan siang bersama di cafe yang sedang hits dikalangan remaja.

“Laura, mau ikut nggak?” tanya Mega teman sebangku Laura.

“Nggak deh, aku capek mau langsung pulang,” jawab Laura seraya tersenyum kecil.

“Kamu tuh ya, setiap diajak pasti jawabannya begitu,” celetuk Puput.

Laura tak menghiraukan celetukan tersebut. Justru ia dengan cuek berjalan menuju sepeda miliknya yang terparkir ditempat khusus parkir sepeda.

Saat Laura hendak mengayuhkan sepedanya, seorang remaja pria datang sambil menahan sepeda Laura yang hendak pergi meninggalkan area parkir.

Laura yang terkejut, hampir saja terjatuh dan untungnya kaki jenjangnya menahan sepedanya yang hampir terjatuh.

“Kamu?” Laura menoleh ke arah belakang seraya menunjuk hidung remaja pria tersebut dengan jari telunjuknya.

“Morgan. Apa kamu lupa dengan namaku?” tanyanya seraya menurunkan jari telunjuk Laura yang menyentuh hidungnya.

“Kalau bukan kamu yang menyentuh hidung mancungku, sudah pasti aku akan marah,” celetuk Morgan dengan tersenyum lebar.

Laura membuang muka dengan pipi yang sudah merah merona seperti udang rebus.

“Nanti sore kamu ada waktu buat aku?” tanya Morgan.

“Kenapa tanya-tanya?” tanya Laura seolah tak penasaran dengan pertanyaannya itu.

“Sepertinya aku tidak bisa menunggu sampai sore. Kalau begitu aku langsung saja ke intinya,” ucap Morgan dan kini berpindah posisi menghadap Laura.

Morgan perlahan menyentuh tangan Laura, sementara Laura hanya menunduk malu dengan apa yang dilakukan Morgan.

“Aku tak pandai berbasi-basi, Laura. Aku berharap banyak dari kedekatan kita selama ini, apakah kamu mengerti maksudku?”

“Apa?” tanya Laura yang masih menundukkan pandangannya.

“Aku mau kamu jadi pacarku, sekarang dan selamanya,” jawab Morgan bersungguh-sungguh.

Laura tak langsung menjawab, gadis remaja itu justru pergi dengan sepedanya.

Morgan tak menyerah begitu saja dengan sikap Laura. Karena yang Morgan tahu, Laura juga memiliki perasaan yang sama padanya.

“Laura!” Morgan berlari mengejar dan usahanya pun tak sia-sia.

Morgan kembali menyatakan perasaannya, berharap Laura menerima perasaannya itu.

“Baiklah, aku mau,” jawab Laura tersenyum lebar.

Morgan berteriak puas seraya melompat dengan penuh semangat. Akhirnya setelah hampir 1 tahun lamanya dirinya dan Laura bisa memiliki hubungan spesial.

Laura tak bisa berlama-lama, ia pun pamit untuk pulang.

Sebelum mereka berpisah, Morgan meminta Laura untuk tidak naik sepeda lagi.

“Kenapa memangnya?” tanya Laura seraya mengernyitkan keningnya.

“Mulai besok kita berangkat dan pulang bersama,” jawab Morgan.

Laura tanpa pikir panjang mengiyakan ucapan Morgan.

****

Keesokan pagi.

Laura dan Morgan berangkat ke sekolah dengan berboncengan motor.

Tak sedikit dari siswa-siswi di sekolah itu terkejut melihat kedekatan antara Laura dan juga Morgan.

“Morgan, loe sekarang pacaran sama si Laura? Gila loe, pakai pelet apa nih?” tanya salah satu teman kelas Morgan setelah melihat Laura dan Morgan berboncengan.

“Kenapa memangnya? Loe iri ya karena gue berhasil dapatin Laura, cewek paling cantik di sekolah kita?” tanya Morgan dengan penuh bangga.

“Sombong amat,” celetuk Aris sambil memukul lengan Morgan.

Disaat yang bersamaan, kelas 11 IPA 3 pun ramai dengan kedekatan Laura dan Morgan. Banyak dari mereka menganggap hubungan keduanya begitu serasi.

“Laura!” Mega yang baru saja mendengar kabar tersebut segera menghampiri Laura untuk mengetahui lebih dalam lagi perihal hubungan mereka berdua.

“Apa?” tanya Laura malu-malu.

“Serius kamu dan Morgan pacaran? Kok bisa? Sejak kapan? Wah kamu apa-apa semuanya diborong ya,” celetuk Mega.

Laura hanya tersenyum lebar sambil menompang dagunya.

Saat mereka tengah asik mengobrol, Guru datang untuk mengajar mata pelajaran yang hendak mereka pelajari pagi itu.

Pulang Sekolah.

Laura mengucapkan terima kasih pada Morgan seraya melambaikan tangannya. Laura senang karena ia tidak perlu lagi naik sepeda untuk pulang pergi ke sekolah seperti biasanya.

“Besok kita berangkat dan pulang bersama ya,” ucap Morgan penuh semangat.

Laura mengiyakan dan mereka pun berpisah.

Saat Laura berbalik badan hendak masuk ke dalam rumah, rupanya Sang Ibu melihat sudah melihat kedekatan antara Laura dan Morgan.

“Ibu!” Laura cukup terkejut melihat Ibu Ani yang berdiri dengan tatapan dingin.

“Siapa itu? Kenapa pulang berboncengan?” tanya Ibu Ani yang tak lain adalah Ibu tiri dari Morgan.

Laura hanya mengatakan bahwa Morgan temannya disekolah dan kebetulan rumah Morgan melintas satu arah dengannya.

Tanpa rasa curiga, Ibu Ani hanya diam cuek dan meminta Laura untuk pergi ke warung membeli beberapa kebutuhan dapur.

Seperti biasa, Laura akan langsung mengiyakan tanpa ada penolakan sedikitpun. Karena jika ia menolak atau menunda permintaan tersebut, sudah dipastikan ia akan mendapatkan omelan yang tiada henti.

“Kak Laura, Aku tolong belikan pembalut ya,” ucap Rani sepupu Laura yang kebetulan sudah 3 hari tinggal di rumah mereka.

“Baik,” jawab Rani singkat.

Dengan seragam sekolah yang masih melekat ditubuhnya, Laura pergi dengan berjalan kaki. Untungnya saja warung tempat biasanya ia beli masih buka dan letaknya hanya sekitar 50 meter dari rumah.

Rani tersenyum lebar melihat Laura yang begitu baik padanya.

“Tante, besok Mama dan Papa akan menjemput Rani. Tante mau dibawain apa sama Mama dan Papa?” tanya Rani yang masih berusia 15 tahun.

Ibu Ani sebenarnya ingin meminta cukup banyak hal. Namun, ia menahan diri dan mengatakan untuk tidak dibawakan apapun.

Tak berselang lama Laura akhirnya pulang dengan membawa barang belanjaan yang cukup banyak.

“Mana kembaliannya?” tanya Ibu Ani ketus.

Laura mengeluarkan uang 2000 rupiah dan memberikannya kepada Ibu Ani.

“Ibu masak apa? Laura lapar,” ucap Laura sambil menyentuh perutnya yang terasa cukup lapar.

Ibu Ani tak menjawab pertanyaan Laura dan malah asik mengajak Rani mengobrol.

Huffftttt... Laura menghela napas seraya tersenyum kecil.

Kemudian ia berjalan mendekati meja makan dan betapa sedihnya ia ketika tak melihat ada makanan sedikitpun untuknya.

“Maaf ya Kak Laura, tadi Rani yang menghabiskan makanannya. Habisnya masakan Tante enak dan Rani enggak bisa menahan diri untuk enggak menghabiskan masakan Tante,” ucap Rani sambil memegang tangan Laura agar tidak marah padanya.

Laura tersenyum kecut mendengar keterangan Rani. Entah kenapa Laura merasa kalau Ibu tirinya lebih sayang terhadap Rani dibandingkan dirinya.

Ibu Rani tiba-tiba datang sambil melemparkan sebungkus mie instan ke arah Laura.

“Kamu lapar? Sana ke dapur masak itu mie instan. Ibu belum sempat masak, mungkin nanti sore kalau Rani sudah lapar,” ucap Ibu Ani.

Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Ibu Ani menggandeng tangan Rani dan membawanya ke ruang keluarga.

“Kalau saja Ibu dan Ayah masih ada, aku tidak mungkin hidup seperti ini,” ucap Laura bermonolog.

Bucin

Tibalah waktunya bagi Rani untuk pulang, terlihat dengan jelas bagaimana kedua orang tua Rani memperlakukan Rani layaknya seorang putri.

Belum lagi dengan harta kekayaan milik orang tua Rani yang dimana jika Rani meminta apapun pasti selalu dituruti.

“Mbak Ani, terima kasih banyak atas bantuannya untuk menjaga Rani kami ini. Kalau tidak ada Mbak Ani, kami berdua pasti kebingungan,” ucap Mama Ranty.

“Kami harap Mbak Ani tidak kerepotan mengurus Rani selama tinggal disini,” tutur Papa Dion.

Ibu Ani merespon ucapan kedua orang tua Rani dengan santai. Ia bahkan mengucapkan kata-kata yang sangat manis layaknya madu.

Laura tak bisa memungkiri bagaimana perlakuan manis Ibu tirinya terhadap sepupunya itu. Sangat berbeda jauh dengan cara Ibu Ani memperlakukan Laura Isabela.

Setelah cukup dengan perbincangan para orang tua, akhirnya keluarga Rani pun pamit pulang.

“Kamu kenapa malah bengong? Cepat bereskan dapur! Setelah itu, bantu Ibu jualan ke pasar!”

“Ibu, bolehkah Laura hari ini izin untuk pergi setelah membantu Ibu berjualan di pasar?” tanya Laura dengan penuh harap.

“Oh nggak bisa dong,” celetuk Ibu Ani yang tak mengizinkan Laura untuk pergi.

Laura hanya bisa menghela napas panjang, ia tahu kalau seluruh hidupnya akan diatur-atur oleh Ibu tirinya itu.

“Ingat ya Laura, Ibu itu cuma punya kamu dan begitu sebaliknya. Jadi, kamu harus menuruti apa yang Ibu katakan,” tegas Ibu Ani.

“Iya Bu.” Laura tak ingin membantah, karena bagaimanapun ucapan Ibu tirinya sama sekali tidak salah.

1 jam kemudian.

Laura dan Ibu Ani berangkat pergi ke pasar dengan menggunakan motor peninggalan Almarhum Sang Ayah yang bisa dikatakan motor lama. Jarak rumah dengan pasar tidaklah jauh, hanya 10 menit perjalanannya.

“Kita sudah sampai. Cepat bantu Ibu menata jualan!” perintah Ibu Ani ketus.

Tak butuh waktu lama, Laura telah menyelesaikan pekerjaannya dan duduk manis sembari menunggu pembeli datang.

“Laura, kamu disini ternyata,” ucap seorang pria muda yang tentu saja sangat dikenali oleh Laura.

Laura tersipu malu melihat Morgan dihadapannya.

“Mau beli apa? Cepat yang lain mengantri,” celetuk Ibu Ani yang sibuk melayani pembeli.

Morgan datang hanya untuk menyapa dan tak ada niatan untuk membeli dagangan Ibu Ani.

“Tempe goreng aja Bu, 5 biji!” seru Morgan.

Setelah membayar tempe goreng, Morgan terpaksa pergi. Padahal dalam hatinya ia masih ingin berlama-lama menyapa kekasihnya.

“Tadi itu siapa? Teman sekolah kamu?” tanya Ibu AnAni yang telah selesai melayani pembeli.

“Iya Bu, teman sekolah Laura,” jawab Laura cuek.

***

Keesokan pagi.

Morgan datang menjemput Laura di depan gang. Hal itu dilakukannya atas permintaan Laura agar tak terlihat oleh Ibu tirinya. Entah apa jadinya jika sampai Ibu Ana melihat Laura pergi sekolah bersama dengan anak laki-laki.

“Maaf ya membuat kamu menunggu lama,” ucap Laura sambil menaiki motor matic milik Morgan.

“Santai aja, Laura. Aku siap menunggu sampai tidak ada ujungnya,” tutur Morgan.

Laura hanya tertawa mendengar penuturan Morgan yang terasa sangat menggelitik.

“Kemarin itu Ibu kamu?” tanya Morgan seraya mengendarai motornya menuju sekolah.

Laura terdiam sejenak, ia merasa tak enak hati dengan perlakuan Ibu Anak terhadap Morgan.

“Aku yatim piatu, Morgan. Yang kemarin itu Ibu tiriku,” jawab Laura seraya menahan air matanya.

Morgan reflek menghentikan laju motornya dan meminta maaf karena tak sengaja membuat kekasihnya sedih.

“Kamu sama sekali tidak bersalah, Morgan. Kenapa kamu malah minta maaf, aku baik-baik saja. Sudah takdirku menjadi anak yatim piatu,” ujar Laura dan meminta Morgan untuk kembali melanjutkan perjalanan mereka menuju sekolah.

Setibanya di sekolah, mereka masuk ke kelas masing-masing dan akan kembali bertemu ketika jam istirahat.

“Bye,” ucap Morgan seraya melambaikan tangannya ke arah Laura.

Laura hanya tersenyum malu-malu dan berharap tidak ada murid maupun Guru yang memperhatikan mereka.

“Laura, kenapa baru datang?” tanya Mega karena biasanya Laura datang lebih awal dari Mega.

“Ya sekali-kali datang agak siangan,” jawab Laura santai.

Tak berselang lama, Guru datang dan pelajaran pun dimulai. Selama jam belajar, Laura nampak serius dengan materi yang sedang dipelajari dan tak menghiraukan Mega maupun yang lainnya yang malah asik mengobrol.

Disisi lain.

Morgan yang juga salah satu murid dengan segudang prestasi, begitu serius dengan materi yang sedang berlangsung. Meskipun umurnya masih belasan tahun, namun Morgan sudah memiliki mimpi untuk menjadi orang penting.

Ia akan berusaha membagi waktu belajar dan waktu bucinnya bersama Laura terkasih.

“Bapak kira materi hari ini sampai disini saja, terima kasih dan selamat pagi menjelang siang,” ucap Guru Matematika.

Morgan tak langsung memasukan bukunya ke dalam tas, justru ia semakin fokus dengan materi tersebut dan berharap kedepannya ia semakin baik lagi dalam menyerap ilmu matematika tersebut.

Waktu terus berjalan, sampai akhirnya jam istirahat datang. Para murid dengan semangat meninggalkan kelas untuk mengisi perut mereka dengan jajanan di kantin sekolah.

“Laura!” Morgan berlari kecil menghampiri Laura yang sedang berjalan bersama teman-temannya yang lain menuju kantin.

Mega serta teman yang lain pada akhirnya berjalan lebih dulu karena tidak ingin mengganggu kebucinan antara Morgan dan juga Laura.

“Kamu mau beli apa? Biar aku yang traktir,” ucap Morgan yang sangat ingin mentraktir kekasihnya berbelanja di kantin.

“Apa ya? Tiba-tiba saja aku bingung mau makan apa,” ucap Laura yang tiba-tiba kenyang ketika melihat wajah tampan Morgan.

“Jangan bilang kalau kamu sudah kenyang karena melihat wajahku,” ucap Morgan asal tebak.

Mata Laura mendelik tajam yang mana respon tersebut membuat Morgan senang karena tebakannya 100% benar.

“Jadi, kamu sungguh ingin mentraktir aku? Kalau begitu, aku mau makan soto ayam dan minumnya es jeruk. Boleh, 'kan?” tanya Laura sambil menahan diri untuk terlihat elegan didepan kekasihnya.

“Boleh, ayo kita ke kantin Bu Mar!” Morgan yang terlalu bersemangat, tanpa sadar menggandeng erat tangan Laura hingga Laura hanya bisa pasrah dengan apa yang Morgan lakukan padanya.

Tiba di kantin Bu Mar, Morgan langsung memesan menu makanan yang akan ia nikmati bersama Laura Sang kekasih.

“Morgan dan Laura pacaran ya?” tanya Bu Mar menggoda keduanya.

“Kira-kira cocok gak, Bu?” tanya Morgan penuh percaya diri.

“Kalau dibilang cocok ya jelas cocok. Sama-sama murid berprestasi,” jawab Bu Mar.

Morgan dan Laura hanya bisa tertawa mendengar jawaban Bu Mar yang semakin membuat mereka bahagia.

“Bu, tumben porsinya tambah banyak?” tanya Morgan terheran-heran.

“Khusus untuk kalian berdua. Besok-besok kalau beli disini, Ibu tambahin lagi porsinya,” ucap Bu Mar setengah berbisik.

Morgan dan Laura seketika itu kompak mengucapkan terima kasih. Kemudian, bersama-bersama menyantap soto ayam khas Lamongan tersebut.

Berpisah Sementara Waktu

Seiring berjalannya waktu, hubungan Morgan dan Laura semakin harmonis. Mereka bahkan mendapat julukan sebagai best couple in school. Yang artinya mereka adalah pasangan terbaik di sekolah. Para murid maupun Guru sama sekali tak terusik dengan hubungan keduanya, karena dari mereka berdua sekolah banyak meraih prestasi dan bisa dikatakan sebagai sekolah terbaik sepanjang masa.

Hubungan yang semua orang kira baik-baik saja, pada akhirnya akan berpisah juga dan hanya komitmen yang bisa mereka pegang teguh satu sama lain. Karena ternyata Morgan harus meneruskan pendidikannya yang lebih tinggi diluar negeri meninggalkan kekasihnya, Laura.

“Hari ini adalah hari yang paling membahagiakan sekaligus hari yang paling menyedihkan. Entah aku harus bersyukur atau harus menangis,” ucap Laura yang terlihat kebingungan.

“Bukankah kita sudah saling berjanji satu sama lain untuk saling mencintai, meskipun jarak yanh akan memisahkan kita?” tanya Morgan sambil menahan diri untuk tidak menangismenangis dihadapan Sang kekasih.

“Sampai kapan aku harus menunggumu, Morgan? Pemberitahuanmu untuk pergi sangat mendadak, sehingga aku belum mempersiapkan diri untuk berpisah denganmu,” ucap Laura yang pada akhirnya tak bisa membendung baik air matanya yang melesat sempurna.

“Bisakah kamu menungguku hingga aku lulus dan berhasil di negeri orang? Aku berjanji, setelah aku lulus dan mendapat pekerjaan dengan gaji besar, aku akan datang melamar dirimu dan menikahimu,” terang Morgan dengan serius.

Morgan takut kehilangan Laura dan perlahan ia menyematkan sebuah cincin yang sudah dipersiapkan dari jauh hari.

“Pakailah cincin ini. Anggap aku sedang mengikatmu,” pungkas Morgan.

Mereka saling berpelukan satu sama lain, menangis sedih karena akan berpisah untuk waktu yang cukup lama.

“Sudah sore, ayo aku antarkan pulang. Ibumu akan marah kalau kamu pulang terlambat,” ucap Morgan.

Mereka akhirnya pergi meninggalkan taman dekat sekolah dengan perasaan sedih. Dengan masih memakai seragam Putih Abu-Abu mereka berjalan beriringan sebelum akhirnya berpisah.

Sebelum Morgan benar-benar mengantarkan Laura pulang ke rumah, dirinya terlebih dulu mengajak Laura pergi ke sebuah pusat perbelanjaan yang baru beberapa buka.

Morgan ingin membelikan sesuatu untuk kekasihnya sebagai hadiah perpisahan.

“Mau apa kita kesini, Morgan? Kamu tidak lihat kantung mata kita bengkak begini?” tanya Laura.

“Kita beli kacamata hitam dulu bagaimana? Biar mata kita tidak kelihatan orang lain?”

Morgan menggandeng erat tangan Laura dan membawanya masuk ke gerai yang khusus menjual kacamata. Kemudian, setelah mereka membeli kacamata berwarna hitam, Morgan dengan semangat mengajak Laura untuk membeli jaket couple.

“Sekarang kita mau ngapain kesini?” tanya Laura.

“Kita beli jaket ya,” tutur Morgan.

Laura tersenyum lebar seraya mengiyakan ajakan Morgan padanya.

Tak lama karena mereka juga mengejar waktu, akhirnya mereka memilih sepasang jaket berwarna merah terang sebagai tanda cinta mereka yang menyala.

“Morgan, dengan kamu ada disisi aku sudah sangat bahagia. Aku sebenarnya tidak perlu barang-barang ini, yang aku perlukah hanya kamu dan hatimu,” tegas Laura.

Laura merasa bahwa Morgan adalah segalanya, begitu juga sebaliknya. Namun, demi meraih masa depan mereka tetap harus berpisah dan berharap waktu kembali menyatukan mereka.

“Kamu wanita yang sangat aku cintai dari awal, Laura. Berjanji untuk selalu setia padaku dan menungguku hingga aku kembali kepadamu.”

“Aku berjanji, Morgan. Dan aku harap kamu juga berjanji padaku bahwa apapun yang terjadi tetap akulah yang ada dihatimu,” balas Laura.

Morgan kembali berjanji dan pada akhirnya mereka harus pulang karena ternyata hari sudah mulai gelap.

Sesampainya dirumah, Laura harus menghadapi amukan dari Ibu tirinya. Dengan penuh amarah, Ibu Ani memukuli Laura dengan gagang sapu berulang kali yang mana hal itu membuat Laura menangis kesakitan.

“Kamu darimana saja? Ibu di rumah beberes rumah dan kamu malah keluyuran tidak jelas. Bukankah kamu bilang hanya pergi ke sekolah melihat pengumuman kelulusan?” tanya Ibu Ani dengan suara melengking bak kuda.

Meskipun Laura berteriak tolong sekalipun, tidak ada yang berani membantu Laura. Karena sudah pasti Laura yang akan diusir dari rumah dan jika diusir tentu saja akan membuat kehidupan Laura yang malang semakin malang.

Setelah puas memukuli Laura dengan gagang sapu, Ibu Ani dengan kasar mendorong tubuh Laura untuk masuk ke dalam kamar.

“Pergilah mandi dan setelah itu masakan Ibu telur goreng,” ucap Ibu Ani seakan tak terjadi apapun.

Seluruh tubuh Laura terasa sangat sakit, namun ia masih sanggup mengiyakan ucapan Ibu tirinya.

Didalam kamar.

Laura mencoba tersebut lebar seraya menatap dirinya dicermin sambil meratapi nasibnya. Ia berharap kelak ke hidupnya bisa berubah layaknya orang lain.

Laura tidak meminta kekayaan apalagi jabatan. Ia hanya meminta kehidupan tenteram dan nyaman untuk ditinggali.

“Ya Allah, apakah aku bisa merubah nasibku yang malang ini menjadi lebih baik? Bisakah Ibu tiriku menyayangiku layaknya Ibu yang menyayangi anaknya sendiri?” Laura bertanya-tanya kepada Sang Pencipta mengenai hidupnya yang entah sampai kapan akan terus menderita seperti itu.

Beberapa hari kemudian.

Laura beraktivitas seperti biasa, pagi-pagi sekali ia sudah bangun untuk membantu Ibu Ani menyiapkan jajanan pasar. Kemudian, pergi bersama-sama menuju pasar berharap dagangan mereka hari itu habis terjual.

“Sudah lulus mau melanjutkan di kampus mana, Laura?” tanya penjual tempe kedelai pada Laura.

“InsyaAllah kampus sekitar sini saja, Bu. Biar hemat biaya,” jawab Laura.

“Ibu dengar kamu dapat beasiswa?” tanyanya lagi.

“Alhamdulillah, Bu.”

Ibu Ani tak menghiraukan percakapan keduanya. Sedikitpun tak ada rasa bangga yang terpancar dari wajah Ibu Ani untuk Laura yang berprestasi itu.

3 jam kemudian.

Dagangan habis lebih awal, Ibu Ani dan Laura bergegas pulang kembali ke rumah dengan mengendarai motor.

“Besok kita tidak berjualan. Ibu besok diajak Rani pergi jalan-jalan. Tugas kamu beberes rumah dan jangan kemana-mana,” ucap Ibu Ani.

“Laura apa tidak boleh ikut, Bu? Mereka itu saudara Laura, bahkan Rani adalah sepupu Laura,” tutur Laura yang juga ingin ikut bersama Ibu tirinya.

“Kamu ini ya, masih untung Ibu mau menampung kamu disini. Suka sekali membuat Ibu susah,” ucap Ibu Ani yang terdengar sangat kasar hingga melukai perasaan Laura.

Laura tak bisa marah apalagi membela diri. Yang bisa ia lakukan hanya diam dan menerima apapun perkataan yang keluar dari mulut Ibu tirinya itu.

“Kamu itu seharusnya bersyukur punya Ibu tiri seperti aku. Dari awal menikah Bapakmu hanya memberikan kesengsaraan dan bukan kebahagiaan. Malah sebelum meninggal, bukannya memberikan harta benda yang ada hanyalah memberikan anak tak tahu berterima kasih seperti kamu ini,” terang Ibu Ani panjang lebar.

Ibu Ani menahan diri untuk tidak main tangan dan hanya melempar gelas kosong ke arah lain yang untungnya tidak mengenai kulit Laura.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!