Cicak-cicak di dinding..
Diam-diam merayap..
Datang seekor nyamuk, hap.. lalu ditangkap.
Anak kecil laki-laki berusia empat tahun berlari riang sambil bernyanyi diikuti seorang kakak perempuan berumur sembilan tahun menemani dengan penuh perhatian.
"Dek, sini. Pelan-pelan jalannya." Si kakak berjalan cepat mengimbangi keceriaan si adik. Dia adalah kakak yang sangat perhatian. Dipanggil oleh kakaknya sang adik langsung menepi, membuat gerakan seolah-olah menarik tambang sebagai upaya menarik kakak agar lebih cepat. Menggemaskan sekali.
"Dek, kamu mau kado apa? bentar lagi kamu ulang tahun."
"Aku uwang taun? yang ada kueh apinya?" adik bertanya dengan gaya khas anak kecil.
"Iya, kamu mau apa Dek?"
"Mau ciken, makannya baleng kakak, Papa, cama Mama."
Permintaan adik gampang-gampang susah. Yang bikin sulit adalah waktu luang orang tuanya kepada dua anak itu. Mereka sibuk sekali dengan karir masing-masing, yang katanya demi masa depan anak-anak tersebut. Karena tidak mau mengecewakan adik, sang kakak pun menyetujuinya meskipun keinginan adik bisa dipenuhinya atau tidak.
"Asyiiik.." Adik berjingkrak senang. Kemudian anak kecil itu bernyanyi kembali dengan riang. Lagunya berganti menjadi bintang kecil.
"Bintang kecil.. di langit yang bilu.."
Semilir angin bertiup kencang sesaat. Langit berubah tak biru lagi karena disergap awan mendung.
"Amat banyak.. menghias--
Ngueeeng.. Brak.. Sreet!!!
Sebuah motor mengalami kecelakaan tunggal kemudian menghantam adik. Tubuh kecil itu terseret bersama badan motor yang menggasak jalanan.
"DEK!!! AARGH!!" Kakak teriak histeris melihat adik tersungkur. Adik menangis tertahan, sebab suaranya tidak keluar karena menahan kesakitan. Jantung kakak bak jatuh ke perut saat matanya melihat tangan kecil adik patah, hidungnya berdarah, dan perutnya terlihat kembang kempis. Tidak hanya itu saja luka yang terlihat, bahkan separuh kulit wajahnya terkelupas.
"A.. kak.. cakhit..hh" Adik sempat menangis sebentar. Mata bening milik anak kecil itu bersirobok dengan mata berair kakaknya. Kakak menangis meraung-raung memeluk tubuh adik sambil menendang paksa benda sialan yang membuat adiknya seperti ini. Anak perempuan berusia sembilan tahun itu terus menendang ban motor dengan kaki kecilnya.
Tidak berselang lama orang-orang berbondong-bondong menghampiri dengan membawa jeritan. Adik dan kakak tersebut berhasil di evakuasi, namun sayang, bertepatan dengan itu detak jantung adik sudah berhenti. Adik menghembuskan nafas terakhirnya.
...****...
"DEK!!"
Wanita muda terbangun dengan nafas ngos-ngosan. Dia mengalami mimpi buruk berkepanjangan yang terus berulang-ulang tentang kematian adiknya. Wanita ini bernama Rhinzy putri Bhrasmana, namun dia lebih sering dipanggil Indy. Dia lebih suka nama panggilannya ketimbang nama aslinya.
"Apakah Nona bermimpi buruk lagi?" tanya asistennya. Indy ketiduran diruang kerja kantor miliknya-- Starqueen Corp. Kerjaan yang menumpuk membuat dirinya mau tidak mau memforsir tenaga lebih hingga tidak mengenal waktu.
"Aku selalu bermimpi kejadian nahas dua belas tahun yang lalu. Entah sampai kapan ini harus berlangsung. Ven, tolong ambilkan obatku."
"Baik Nona."
Semenjak kejadian adiknya kecelakaan, Indy belum sembuh sepenuhnya dengan kata kehilangan. Dia sampai rutin meminum resep obat dari psikiater yang menanganinya beberapa bulan silam. Bagaimana tidak, dia menyaksikan adiknya terenggut dengan cara yang tragis. Lalu semenjak kejadian itu, kedua orangtuanya malah sering beradu cekcok.
Ibunya yang dulu sempat berkarir memilih berhenti dan memutuskan menjadi ibu rumah tangga biasa. Kehilangan adik menjadikan beliau sadar kalau peran ibu di rumah sangatlah penting. Tetapi sesuatu tak mengenakkan menimpa kembali. Beberapa waktu kemudian setelah Indy duduk dibangku kuliah, ayahnya berselingkuh hingga membuat ibunya pergi meninggalkannya untuk selamanya. Ibu tiada ayah pun menikahi selingkuhannya. Dan selingkuhannya tersebut merupakan sahabat Indy.
Indy memiliki ibu tiri se-usianya. Sialnya saat ini terjadi, perusahaan yang papa rintis sedang mengalami kemajuan pesat.
Setelah minum obat, Indy berujar, "Ven, kau pulanglah duluan. Malam ini aku tidak akan pulang larut. Aku ingin pulang sekarang."
"Baiklah, saya akan hubungi supir."
"Tidak usah, aku sedang ingin sendiri. Jadi aku ingin menyetir sendiri."
"Tapi wajah Nona terlihat lelah."
"Itu kan hanya penglihatan mu saja. Aku tidak apa-apa Vena. Kau meragukan ku?"
"Tidak Nona, maafkan saya. Kalau begitu saya permisi."
Indy pulang ke rumah sendirian mengendarai mobilnya. Malam telah menunjukkan kesunyian. Jalanan yang dilewati cukup lengang hingga Indy bisa memacu kendaraannya lebih cepat.
Sampai di kediaman, Indy menemukan eksistensi mantan sahabatnya alias ibu tiri berdiri menyambutnya pulang.
"Rhinzy," panggilnya.
"Ngapain lo di rumah gue?" Indy dan orang tuanya memang berbeda rumah. Dan Junifer--nama ibu tirinya yang cukup di panggil dengan Juni--sering kali menjadi tamu yang tidak diundang.
"Aku cuma mau memastikan keadaanmu Indy, soalnya akhir-akhir ini kamu terlalu banyak bekerja. Gimana pun, seorang ibu selalu khawatir dengan anaknya."
Cih!
"Lo ngomong apa sih?! mending lo cabut dari sini. BURU! KALO LO GAK MAU KENA TIMPUK!!"
"Oke aku akan pergi dari sini. Setidaknya aku lega melihat kamu baik-baik saja. Jangan lupa makan ya Nak."
Mata Indy nyaris keluar ketika Juni memanggilnya 'Nak'. Sebelum Indy bertindak lebih jauh karena gadis itu sudah maju dengan tatapan intimidasi, Juni beranjak pergi dari sana dengan tatapan yang tenang.
"Gigih sekali usahanya, membuatku muak saja!" Indy mendengus, kemudian berbalik badan mengenyahkan pemandangan Juni dan masuk ke dalam rumah. Gerakannya terhenti, saat matanya menangkap goresan cukup panjang di body mobil yang baru saja ia kendarai.
Sejak kapan ada goresan ini?
Indy sendiri tidak melihat Juni melakukan perusakan tersebut. Lalu apa ini? Indy yang tidak suka menunda-nunda sesuatu, seketika langsung menghubungi Vena, asistennya.
.
.
Bersambung.
Belahan bumi yang lain, masih dalam satu kota.
Seorang anak lelaki bernama Rio Erlangga baru saja pulang ketika matahari sudah berganti malam. Dia hidup bersama ayahnya yang berprofesi sebagai tukang ojek berbasis online. Tidak ada sosok wanita di rumah mereka sejak dulu, bahkan Rio tidak sempat mengenal wajah ibunya. Cerita Bapak, ibunya telah meninggal dunia sejak Rio masih kecil.
Suatu masa, pemuda berusia 18 tersebut pernah melewati masa sulit. Dia menjadi korban pembullyan dari orang-orang berusia diatasnya. Dihina miskin sudah menjadi santapan telinganya setiap hari. Ia kerap menerima perlakuan tidak mengenakkan, sampai akhirnya dia tidak sanggup lagi menahan.
Dengan terseok-seok membawa lebam-lebam serta wajah yang berdarah-darah, Rio yang waktu itu masih berusia tujuh tahun tersungkur dipinggir selokan dekat seorang pria kekar berdiri yang sedang mendengus.
Sadar ada anak kecil tergeletak tidak berdaya, pria itu lantas membangunkannya seperti anak kucing. Gerakannya tidak ada kelembutan sama sekali, tetapi karena tidak ada respon dari Rio, pria itu langsung membopongnya ke markas tersembunyi. Di sana Rio mendapat perawatan seadanya.
Setelah sadar, Rio justru mendapat hadiah tidak terduga alih-alih mendapat musibah. Dia dilatih menjadi orang yang tidak bisa ditindas. Begitulah sedikit cerita tentang Rio kecil.
Sekarang, dia tumbuh menjadi pemuda yang imut bertubuh kurus namun sangat mematikan untuk diinjak.
Tok.. tok.. tok..
Pintu rumahnya ada yang mengetuk. Rio yang sedang membersihkan tempat tidur untuk dirinya dan sang ayah gunakan beristirahat langsung beranjak membuka pintu.
"Ada apa Pak RT? Bapak belum pulang." Tuturnya. Pak RT mengatur nafas.
"Rio, Apakah Bapak hari ini sehat?"
"Sehat. Lagi pergi ngojek juga kan."
Pak RT menepuk bahu Rio. "Bapak kamu, udah nggak ada Rio."
"Maksudnya?"
"Pak Noto ditemukan meninggal dunia diatas motor miliknya. Beliau diduga terkena serangan jantung." Sesak merambati dada Rio, membuatnya kian sulit bernafas. Diantara tarikan nafas yang terasa berat, Rio masih mampu mengutarakan sebaris tanya dengan tatapan nanar. Dia baru sadar kalau saat ini malam sudah menapaki larut.
"Sekarang Bapak saya dimana?" Suara Rio bergetar.
Pak RT lantas membawa Rio ke tempat pembaringan Pak Noto. Rio pergi dengan pikiran yang berkecamuk. Dia sekarang sendirian di dunia yang tidak terlalu ramah untuknya. Harus kemana dia melangkah sementara saat ini ia masih duduk di bangku SMA?
...*****...
Peristiwa perginya Pak Noto sudah berlalu seminggu yang lalu. Tujuh harian Bapak sudah lewat dan saat ini hanya sepi yang tersisa. Sekarang satu-satunya yang bisa diandalkan Rio hanyalah dirinya sendiri, maka dengan keadaan yang tidak memungkinkan, Rio tetap optimis melanjutkan sekolah dan belajar dengan benar.
Kegiatan belajar mengajar sudah rampung terlaksana. Para siswa-siswi berhamburan pulang menuju gerbang sekolah. Ada yang dijemput dan juga yang naik angkutan umum. Namun keduanya tidak berlaku bagi Rio, karena pemuda itu berjalan kaki sejauh tiga kilometer untuk sampai ke kontrakan tempat tinggalnya.
Rio memotong jalan memasuki gang sempit dan sepi yang jarang terjamah lalu lalang.
"Tolong!"
Vena, asisten Indy sedang di ganggu beberapa berandalan. Rio tidak bisa mengacuhkan perbuatan tersebut langsung datang menolong. Awalnya Rio hanya menggertak menggunakan lisan bernada tinggi, tetapi lawannya meremehkannya karena merasa seperti digertak oleh anak curut. Terjadilah perkelahian kecil di antara mereka.
BAG! BUG! BAG! BUG! PLETAK... KLONANG.. KLONANG..
Lelaki pengganggu Vena lari terbirit-birit.
"Dek, terimakasih ya sudah nolongin saya. Ini terimalah." Vena menyurukkan uang cukup banyak.
"Nggak usah Kak, Saya ikhlas menolong. Permisi." Rio membenarkan tas gendongnya lalu beranjak pergi.
"Tunggu!" Vena mencegah Rio. Pemuda itu menoleh, "saya berhutang budi. Kalau begitu kita bisa bertukar jasa. Jika adek ada yang perlu dibantu jangan sungkan bilang saya." Sambung Vena. Rio hanya mengangguk.
"Iya Kak. Saya setuju, tetapi tidak saya gunakan untuk sekarang. Permisi."
"Siapa namu kamu Dek?" tanya Vena, berusaha menghentikan Rio lagi.
"Rio."
Vena bertanya lagi dan terus mengulik hal yang lebih detail. Akhirnya mereka terlibat obrolan dan Rio pun mengutarakan keinginannya mencari penghasilan sambil bersekolah. Vena memberi tawaran untuknya.
"Rio, kamu bisa bekerja menjadi asisten rumah tangga di rumah bos saya. Kebetulan beliau sedang membutuhkannya, bagaimana?"
Rio berfikir, "kalau mengganggu jam sekolah, saya tidak bisa."
"Tidak mengganggu kok. Pekerjaan ini bisa dilakukan kapan saja asalkan beres."
"Baiklah kalau begitu. Saya mau."
Vena bernafas lega, begitupun dengan Rio. Anak itu menengadahkan wajah ke langit, memejamkan matanya sejenak sambil mengucap syukur dalam hatinya. Permasalahannya soal biaya hidup sudah menemukan titik terang.
.
.
.
Bersambung.
Epilogue.
"Ven, apa kamu sudah punya jawaban tentang goresan mobil saya?" Indy bertanya kepada Vena.
"Sudah Nona. Berdasar data yang kami dapat, mobil anda bergesekan dengan pengendara motor ojek online."
"Apa?! bagaimana kondisinya? apa dia terjatuh?"
"Tidak Nona. Beliau hanya kehilangan keseimbangan sementara, dan langsung dapat menguasai keseimbangannya kembali. Tetapi saat Bapak itu meneruskan perjalanan pulang, beliau menepikan motornya lalu duduk diatas motor tanpa melakukan apa-apa. Hingga akhirnya warga menemukan Bapak itu sudah tidak bernyawa dalam keadaan duduk diatas motor. Beliau telah meninggal dunia diduga karena serangan jantung."
Indy tersentak kaget. Wajahnya memucat dan perasaannya mendadak gusar
"Lalu bagaimana dengan keluarga yang ditinggalkan?"
"Beliau hanya memiliki satu anak yang masih bersekolah Nona. Istrinya sudah tiada."
"Bawa dia ke rumah ini dengan cara yang tidak menimbulkan tanda tanya Ven. Aku ingin membiayai hidupnya sampai dia bisa mandiri. Gunakan sedikit drama untuk membawanya kepadaku."
"Baik Nona."
Astaga! ada-ada saja. Indy memijit pelipisnya.
Meskipun Pak Noto berpulang bukan karena luka akibat benturan kecelakaan dengan Indy, namun wanita itu merasa bersalah karena telah membuat Pak Noto merasa kaget hingga terjadilah yang tidak diinginkan.
Indy tinggal di rumah bernuansa eropa modern miliknya seorang diri. Untuk penunjang keseharian, dia tidak memiliki asisten rumah tangga yang menetap di sana. Hanya ada satu orang yang pulang pergi mengurus rumah Indy bernama Bi Cucum. Sisanya ia memakai jasa go clean karena rumah yang ia tinggali cukup besar hingga tidak memungkinkan Bi Cucum mengurus seorang diri. Indy penyuka sepi, maka tidak heran Indy memiliki cara tersebut untuk mengurus rumahnya. Dan karena Indy penyuka sepi, setiap hari ketika ia sampai di rumah, Indy hanya disambut kesunyian.
Lain hal dengan sekarang.
"Saya tidak akan berbasa-basi bertanya nama kamu siapa dan lain-lain karena saya sudah mengetahuinya lewat asisten saya. Jadi untukmu, Rio Erlangga, selamat datang di rumah ini. Apa kamu sudah tahu siapa saya?"
"Kak Vena bilang, saya cukup memanggil anda dengan nama Kak Indy. Terimakasih sebelumnya sudah menerima saya bekerja di rumah ini. Tetapi saya ingin memberitahukan kepada Kakak, jika hari ini saya hanya bisa bekerja setengah waktu. Saya ada kepentingan lain yang mendesak harus diselesaikan."
Mendengar kata kepentingan mendesak, Indy samar-samar memberi kode kepada Vena yang berada tak jauh darinya. Kepentingan Rio ada kaitannya dengan drama yang diciptakan Indy. Ada skenario baru seakan-akan Rio terusir secara halus oleh pemilik kontrakan karena si pemilik sudah dibayar Indy untuk menjalankan apa yang wanita itu mau.
Pagi tadi Rio harus rela meninggalkan rumah kontrakan karena tiba-tiba pemilik kontrakan datang memberitahukan agar Rio mengosongkan kontrakan tersebut. Pemilik kontrakan beralasan hendak dipakai anaknya yang baru saja menikah.
Dan sekarang Indy menebak kepentingan Rio adalah mencari kontrakan lain.
"Kepentingan apa kalau boleh tahu?"
Rio terlihat mempertimbangkan jawaban yang akan keluar. Mengetahui ketidaknyamanan bocah didepannya, Indy segera merombak pertanyaannya menjadi sebuah pernyataan.
"Asal kamu tahu, jika seorang karyawan cuti maka ada form pengisian cuti tersebut. Jadi saya harus tahu apa keperluan mu sampai tidak bisa bekerja penuh."
"Saya mau cari kontrakan untuk tempat tinggal Kak. Dan kerja separuh waktunya hari ini Kakak tidak usah memasukannya ke dalam hitungan gaji. Anggap ini bentuk rasa terimakasih saya sudah diberikan kesempatan."
"Tidak perlu, saya akan gaji kamu full."
"Tidak usah Kak. Saya tidak terbiasa mendapat imbalan untuk sesuatu yang setengah-setengah."
"Saya juga tidak terbiasa tidak membayar tenaga yang sudah dikeluarkan." Indy tidak mau kalah.
"Begini saja, kamu tinggal di sini dan tidak perlu mencari kontrakan agar kamu tidak boros waktu diperjalanan. Bagaimana? Saya beri waktu kamu lima belas detik buat berfikir." Imbuhnya.
Rio terdiam sebentar untuk berfikir. Tidak sampai empat detik Rio sudah memiliki jawaban.
"Biar tidak boros, saya mencari kontrakan di dekat-dekat sini."
"Tidak ada kontrakan di dekat-dekat sini Rio."
Kenapa Indy begitu menyudutkan agar tinggal di rumahnya? pikir Rio.
"Baiklah, saya akan tinggal di sini."
"Bagus, kalau begitu kamu sudah bisa langsung bekerja sekarang. Kamar kamu disebelah sana," Indy menunjuk sebuah kamar besar di lantai dua. Rio mengangguk tipis, dia belum berbalik sebelum Indy beranjak pergi.
"Dan kamu sudah tahu, apa saja tugas kamu di rumah ini?" tanya Indy memastikan.
"Kak Vena bilang saya menjadi asisten rumah tangga di sini. Jadi saya berpikir tugas-tugas saya adalah nyapu, ngepel, nyuci baju, masak, dan lain-lain."
"Salah!"
Hah salah? Rio terhenyak.
"Tugas kamu adalah mengurus rumah tangga saya."
Mendengar itu Rio langsung melirik Vena, mencari kejelasan dari wanita tersebut tentang perkataan Indy. Vena membalasnya dengan tatapan yang jika diterjemahkan ke dalam kalimat: dengarkan saja apa kelanjutannya.
"Ini kartu ATM untuk kamu kelola. Password nya juga sudah tertera di dalam amplop ini. Pergunakan juga untuk biaya sekolah dan kebutuhanmu. Aku tidak akan memotong dari gajimu jika dipergunakan untuk keperluanmu karena itu memang sudah menjadi bagian dari pekerjaan."
"Lalu apa saja urusan rumah tangga yang harus saya gunakan dengan ATM ini Kak?" Rio menanyakan hal utama yang harus dikelola dengan kartu tersebut. Intinya Rio meminta point pekerjaan diperjelas.
"Terserah kamu." Indy mulai gugup jika Rio banyak bertanya. Vena yang mengerti situasi langsung mengambil alih berbicara dengan Rio. Dalam hati asisten tersebut, Indy tidak pandai berdrama sehingga membuat Rio kebingungan setengah mati.
Tidak lama Indy dan Vena pun beranjak pergi meninggalkan Rio yang kini menyeret langkah menuju kamarnya.
Rio mengendus sebuah bau di dalam rumah ini ketika melangkah masuk lebih dalam. Dia mencoba memeriksanya. Bau tersebut hanya Rio yang bisa menciumnya, sebab Indy, Vena, Bi Cucum dan segenap petugas kebersihan selalu menjumpai rumah ini tampak bersih dan juga terawat. Mereka tidak mengendus bau apapun di rumah Indy.
...******...
Di dalam mobil.
"Kau isi berapa di dalam kartu ATM itu Ven?"
"Lima ratus juta rupiah, Nona." Jawab Vena sambil fokus menyetir. Indy menghela nafas, menatap nanar jalanan.
"Ven,"
"Iya Nona, apa ada yang Nona khawatirkan?"
"Baru kali ini saya berharap seseorang membawa kabur saja uang saya. Apakah saya sudah gila?"
"Saya rasa Nona hanya sedang merasa bersalah pada Rio. Saya mengerti Nona memberinya tugas mengelola uang hanya bertujuan memberinya kompensasi secara tidak langsung. Dan Nona ingin Rio berniat membawa kabur uang itu agar perasaan Nona lebih tenang, bukan begitu?"
"Kamu benar."
Masalahnya, apakah Rio seperti yang diinginkan Indy agar membawa kabur saja uang tersebut lalu masalah selesai?
Tentu saja tidak.
.
.
Bersambung.
Ilustrasi Indy.
Ilustrasi Rio.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!