NovelToon NovelToon

Tarian Di Atas Bara

Pertemuan Pertama di Pesta

Pesta itu ramai dan penuh orang-orang yang saling berbincang. Aku berdiri di sudut ruangan, merasa sedikit canggung sebagai satu-satunya remaja di sana. Baru saja lulus SMK, aku masih belum terbiasa dengan suasana pesta yang lebih didominasi oleh orang dewasa.

Tiba-tiba, pandanganku bertemu dengan sepasang mata yang tengah menatapku intens. Seorang pria dewasa yang terlihat elegan dan matang berdiri di sana, seolah terpaku melihatku. Ada sesuatu dalam caranya menatapku yang membuat jantungku berdegup kencang.

Perlahan, pria itu melangkah menghampiriku. Senyum hangat terkembang di wajahnya yang tampan. "Hai, aku belum pernah melihatmu di sini sebelumnya," sapanya ramah.

"I-iya, saya baru lulus SMK," jawabku dengan suara agak bergetar. Rasa malu bercampur dengan rasa berdebar yang aneh.

"Ah, pantas saja wajahmu terlihat begitu cantik dan bersinar," pujinya tulus. "Perkenalkan, namaku Andi."

"Saya Tari," balasku pelan, berusaha menahan senyum.

Entah mengapa, aku merasa ada sesuatu yang istimewa dalam pertemuan ini. Tatapan Andi seolah menyiratkan sesuatu yang lebih dari sekadar perkenalan biasa. Mungkinkah dia juga merasakan hal yang sama denganku?

Beberapa minggu setelah pertemuan pertama kami di pesta, Andi semakin sering menemuiku. Ia selalu mencari alasan untuk datang ke rumahku, mengajakku jalan-jalan, atau hanya sekadar mengobrol. Aku mulai merasakan ada perasaan yang tumbuh di antara kami.

Suatu hari, Andi mengajakku makan malam di sebuah restoran. Dengan perasaan berdebar, aku menerima ajakannya. Ketika kami sedang menikmati makan malam, Andi tiba-tiba menggenggam tanganku erat.

"Tari, aku ingin kau menjadi kekasihku," ungkapnya tulus. "Selama ini aku sudah memutuskan hubunganku dengan pacarku. karena dia itu jel3k, pendek, hitam, m1skin pula. Aku hanya ingin bersamamu."

Mendengar pengakuannya, hatiku terasa melayang. Tanpa ragu, aku menerima cintanya. Kami pun resmi berpacaran, membagi kebahagiaan bersama.

Namun, beberapa hari kemudian, Andi datang dengan raut wajah yang berbeda. Ia terlihat gelisah dan gusar.

"Tari, aku harus jujur padamu," ucapnya dengan nada bersalah. "Aku sebenarnya belum memutuskan hubunganku dengan pacarku. Orang tuaku yang tidak mengijinkan aku menikah dengannya karena ada sesuatu yang mereka sembunyikan."

Mendengar pengakuannya, hatiku serasa hancur. Aku dibohongi selama ini. Air mata mengalir deras membasahi pipiku. Betapa sakitnya aku mengetahui bahwa cinta Andi tidaklah tulus.

Pertemuan pertamaku dengan Andi terjadi hanya satu bulan yang lalu di pesta tetangga. Saat itu, kami baru saja berkenalan dan mulai merasakan adanya ketertarikan satu sama lain. Namun, siapa sangka, hanya dalam waktu sesingkat itu, Andi tiba-tiba memintaku untuk menjAdi istrinya.

Hari itu, Andi datang ke rumahku dengan wajah berseri-seri. Ia langsung memegang tanganku erat dan menatapku dalam-dalam.

"Tari, maukah kau menikah denganku?" tanyanya tiba-tiba, tanpa basa-basi.

Aku terkejut bukan main. Bagaimana mungkin ia memintaku menikah, padahal kami baru saja mengenal satu sama lain? Kami belum saling mengenal kepribadian masing-masing, belum saling memahami keinginan dan harapan masa depan. Kami bahkan belum pernah berkencan layaknya sepasang kekasih.

"Ta-tapi Kak Andi, bukankah ini terlalu cepat?" protesku dengan panik. "Kita bahkan belum lama saling mengenal."

Andi tersenyum lembut. "Aku tahu, Tari. Tapi aku yakin, kau adalah wanita yang tepat untukku. Aku sudah jatuh cinta padamu sejak pertama kali melihatmu. Aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersamamu."

Aku terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Pernyataan cinta Andi membuatku bingung sekaligus terharu. Namun, di sisi lain, aku merasa ini terlalu terburu-buru. Akankah keputusan ini membawa kebahagiaan atau justru malapetaka bagi kami?

Setelah Andi melamarku dengan tergesa-gesa, aku langsung menceritakan hal ini kepada keluargaku. Ayah dan ibu tentu saja terkejut dengan lamaran Andi yang begitu cepat. Mereka khawatir jika kami terburu-buru dalam memutuskan untuk menikah.

"Dina, kamu baru mengenalnya satu bulan. Bukankah ini terlalu cepat?" tanya ibu dengan nada cemas.

"Kami takut jika kalian tidak saling mengenal dengan baik dan nantinya malah akan menyesal," tambah ayah.

Aku mencoba menjelaskan bahwa Andi sangat tulus dan sungguh-sungguh mencintaiku. Namun, ayah dan ibu tetap pada pendiriannya. Mereka menolak lamaran Andi dan memintaku untuk menunda pernikahan hingga kami saling mengenal lebih dalam.

Ketika Andi datang kembali ke rumah, ayah dan ibu dengan tegas menyampaikan penolakan mereka. Andi terlihat kecewa, namun ia tidak menyerah begitu saja.

"Paman, Bibi, saya sungguh-sungguh mencintai Dina. Saya yakin dia adalah jodoh saya," ujarnya penuh keyakinan. "Saya mohon, restuilah pernikahan kami."

Ayah dan ibu tetap bersikukuh pada pendiriannya. Mereka khawatir jika kami terlalu terburu-buru dan nantinya akan menyesal. Andi terus memohon, namun tetap tidak mendapatkan restu.

Melihat keteguhan Andi, aku mulai tergerak. Namun, di sisi lain, aku juga tidak ingin mengecewakan keluargaku. Aku berada dalam dilema yang sulit.

Meskipun mendapat penolakan dari keluargaku, Andi tetap bersikeras untuk menikahiku. Ia datang berkali-kali ke rumah, berusaha meyakinkan ayah dan ibu agar merestui hubungan kami.

Awalnya, aku merasa bimbang. Aku tidak ingin mengecewakan keluargaku, tapi di sisi lain, aku juga tidak bisa menolak cinta tulus Andi. Setelah pertimbangan panjang, akhirnya aku memutuskan untuk menikah dengan Andi, tanpa restu orang tuaku.

Hari pernikahan pun tiba. Ayah dan ibu datang, namun mereka hanya duduk diam dengan wajah sedih. Mereka tidak memberkati pernikahan kami dan tidak mengucapkan sepatah kata pun.

Andi menyadari hal ini, namun ia tetap tersenyum bahagia. Ia memelukku erat dan berbisik, "Tidak apa-apa, Tari. Selama kita saling mencintai, itu sudah cukup bagiku."

Upacara pernikahan pun berlangsung dengan khidmat, meskipun tanpa doa restu dari keluargaku. Aku berusaha tersenyum, namun di dalam hati, aku merasa bersalah telah membuat orang tuaku kecewa.

Seusai acara, ayah dan ibu langsung pulang tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Aku ingin mengejar mereka, tapi Andi menahan tanganku dan berkata, "Biarkan mereka, Tari. Suatu hari nanti, mereka pasti akan menerima kita."

Aku hanya bisa mengangguk pasrah. Hatiku campur aduk antara bahagia dan sedih. Aku berharap, suatu hari nanti, keluargaku dapat menerima pernikahan kami.

Saat pesta pernikahan kami sedang berlangsung, tiba-tiba langit yang semula cerah berubah menjadi gelap pekat. Awan-awan tebal berkumpul, disusul dengan suara gemuruh petir yang menggelegar.

Aku dan Andi saling berpandangan, merasa khawatir. Apakah ini pertanda buruk bagi pernikahan kami yang tidak mendapat restu dari keluargaku?

Tamu-tamu undangan mulai berbisik-bisik dan terlihat cemas. Beberapa wanita bahkan ada yang menangis ketakutan.

Ayah dan ibu, yang duduk di barisan depan, hanya diam dengan wajah tertunduk. Mereka seolah-olah sudah menduga akan terjadi sesuatu yang tidak baik.

Tiba-tiba, angin kencang bertiup dengan kencang, membuat dekorasi dan tenda di pesta pernikahan kami berantakan. Beberapa orang panik dan berteriak.

Andi mendekapku erat, berusaha menenangkanku. "Tenanglah, Tari. Semua akan baik-baik saja," ujarnya, meski tersirat kekhawatiran di wajahnya.

Hujan deras pun turun dengan derasnya, disertai kilatan petir yang menyambar-nyambar. Kami semua terpaksa berlari mencari perlindungan.

Suasana pesta yang tadinya penuh kegembiraan, kini berubah menjadi mencekam. Aku tak kuasa menahan air mata, takut jika semua ini adalah pertanda buruk bagi pernikahan kami.

Ada sesuatu yang dirahasiakan dariku

Setelah pesta pernikahan yang diwarnai dengan badai dan petir, aku dan Andi memutuskan untuk tinggal di rumah mertua selama beberapa hari. Hal ini kami lakukan agar dapat lebih dekat dengan keluarga Andi dan berusaha mendapatkan restu mereka.

Sesampainya di rumah mertua, kami disambut dengan hangat oleh ibu Andi. Beliau menyambut kami dengan senyum lebar dan pelukan erat. "Selamat datang, nak. Kami senang kalian memutuskan untuk tinggal di sini," ujarnya.

"Makasih tante" sapaku balik.

"Ssst, nda boleh panggil tante ke ibuku. Panggil ibu atau emak saja" bisik Andi kepadaku.

Akupun mengangguk. Sementara ibu mertua masih tersenyum manis di hadapan kami.

Seketika suasana terasa sedikit canggung saat  ayah Andi menyambut kami. Beliau hanya mengangguk singkat dan berkata, "Semoga pernikahan kalian langgeng." Aku bisa melihat ada sedikit keraguan di wajahnya.

"Aamiin" sahut kami bersamaan. Seperti sudah janjian. 

"Silahkan masuk nak. Anggap saja rumah sendiri.  Pokoknya selama kalian di rumah ini, nda boleh malu-malu ya" kata ibu mertua.

Kami pun melangkah masuk. Ada beberapa orang di dalam rumah itu. Tapi karena baru, sehingga aku tidak tahu siapa mereka.

***

Kami pun mulai menjalani hari-hari di rumah mertua. Ibu Andi sangat baik dan perhatian, selalu memastikan kami merasa nyaman. Beliau juga sering mengajak kami bercengkerama dan bertukar cerita.

Namun, ayah Andi masih terlihat sedikit kaku dan dingin. Ia jarang berbicara dengan kami dan lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah. Aku pun tidak mau terlalu memikirkan hal itu. Aku cukup memaklumi kondisi itu.

Andi mencoba untuk terus membuka komunikasi dengan ayahnya, berharap beliau dapat menerima kehadiran aku sebagai menantunya. Namun, usahanya belum membuahkan hasil yang diharapkan.

Meskipun begitu, aku dan Andi tetap berusaha untuk menjaga keharmonisan di rumah mertua. Kami berharap, lambat laun, ayah Andi akan menerima pernikahan kami dan memberikan restu yang kami tunggu-tunggu.

***

Hari-hari yang kami jalani di rumah mertua ternyata tidak semulus yang kami harapkan. Meski ibu Andi sangat ramah dan menyambut kami dengan hangat, namun sikap ayah Andi yang dingin dan kaku membuat suasana menjadi tegang.

Suatu hari, Andi terpancing emosi saat ayahnya kembali menyinggung masalah perbedaan latar belakang kami. Mereka berdebat dengan sengit, hingga akhirnya Andi meninggikan suaranya.

"Ayah, kenapa Ayah belum bisa menerima Tari? dia istriku? aku mencintainya dan kami telah menikah!" seru Andi dengan nada tinggi.

Ayah Andi tampak terkejut dan marah. "Kau tidak tahu apa-apa! Aku bukan tidak setuju pernikahan kalian, tapi kalian itu berbeda latar belakang dan aku hanya khawatir sesuatu hal buruk akan terjadi. Yang justru hanya akan membawa malapetaka bagi keluarga kita dan keluarga kalian nantinya!" Kata ayah mertua. 

Aku berusaha menenangkan Andi, namun ia sudah terlanjur em0si. Tanpa sadar, ia m3mukul meja dengan keras, membuat beberapa barang di sekitarnya jatuh berserakan.

Ibu Andi dan aku terkejut melihat kejadian itu. Ayah Andi langsung berdiri dengan wajah merah padam. "Keluar dari rumah ini sekarang juga! Aku tidak ingin melihat wajah kalian lagi!" teriaknya.

Andi hendak membantah, tapi aku menahannya. "Sudahlah, Andi. Kita pergi saja dari sini," bisikku dengan suara bergetar.

Dengan berat hati, kami pun meninggalkan rumah mertua. Aku merasa sangat sedih dan kecewa. Ternyata, perbedaan latar belakang kami benar-benar menjadi penghalang bagi kami untuk mendapatkan restu dari keluarga Andi.

***

Setelah diusir dari rumah mertua, Andi membawaku pergi ke suatu tempat yang jauh dari pemukiman warga. Kami berhenti di depan sebuah gubuk tua yang terletak di tengah kebun yang sepi.

"Andi, kenapa kita ke sini? Di mana kita?" tanyaku dengan perasaan cemas.

Andi tidak menjawab, ia hanya diam dan memandangku dengan tatapan yang sulit kuartikan. Kemudian, ia membuka pintu gubuk itu dan mempersilakan aku masuk.

Ketika aku melangkah masuk, aku terkejut melihat kondisi gubuk itu. Tempat itu sangat kumuh dan pengap. Dinding-dindingnya tampak usang, itupun tidak tertutup sempurna dengan kata lain Dinding-dindingnya hanya setinggi bahu orang dewasa dan hanya ada satu tempat tidur kecil di sudut ruangan.

"Andi, kenapa kita harus tinggal di sini? Bukankah kita bisa mencari tempat lain yang lebih layak?" tanyaku dengan nada memohon.

Andi kembali terdiam. Ia lalu berjalan mendekatiku dan memegang kedua bahuku. "Maafkan aku, Tari. Ini satu-satunya tempat yang bisa kita tempati sekarang," ujarnya dengan suara pelan.

Aku menatapnya dengan bingung. "Apa yang sebenarnya terjadi, Andi? Kenapa kita harus tinggal di sini?" Kataku lagi.

Andi menghela napas panjang. "Aku... aku sudah tidak punya apa-apa lagi, Tari. Ayahku telah memotong semua akses keuanganku. Aku bahkan tidak bisa lagi tinggal di rumah itu," jelasnya dengan wajah penuh penyesalan.

Mendengar itu, aku terkejut. Jadi, inilah alasan Andi membawaku ke tempat terpencil ini? Karena kami tidak memiliki tempat tinggal dan uang lagi?

Aku menghela nafas panjang. Dan kembali memperhatikan Andi, suamiku. Untuk memastikan alasan itu benar adanya ataukah ada hal lain yang disembunyikan dariku.

Untuk sementara aku bisa menerima alasan itu. Dan aku harus bersabar dengan kondisi itu.

***

Hidup kami di gubuk tua itu terasa semakin berat setiap harinya. Andi tampak semakin frustrasi dan sering meluapkan emosinya dengan cara yang tidak terduga.

Suatu malam, saat kami sedang makan bersama, tiba-tiba Andi membanting piring ke lantai dengan keras.

"Kenapa kau tidak bisa memasak dengan benar, hah? Apa kau tidak bisa melakukan sesuatu dengan baik?" bentaknya padaku.

Aku terkejut dan ketakutan melihat perubahan sikap Andi. "M-maaf, Andi. Aku akan memperbaikinya besok," ujarku dengan terbata-bata.

Aku betul-betul kaget dengan apa yang baru saja terjadi. 

Dan rupanya Andi tidak terima dengan jawabanku. Ia tiba-tiba meraih wajahku dan mencengkeramnya dengan k4sar. "Kau ini benar-benar tidak berguna! Harusnya aku tidak menikahimu!" teriaknya.

Sebelum aku sempat bereaksi, tiba-tiba Andi menamparku dengan keras. Rasa sakit menjalar di pipiku, membuat air mataku tanpa sadar mengalir.

Andi tampak terkejut melihat apa yang telah ia lakukan. Ia langsung melepaskan cengkeramannya dan mundur beberapa langkah. "M-maafkan aku, Tari. Aku tidak sengaja," ucapnya dengan suara bergetar.

Aku hanya bisa terdiam, masih berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi. Baru dua pekan kami menikah, tapi Andi sudah berubah menjadi seseorang yang kas4r dan mudah meluapkan emosinya.

Aku tak tahu harus berbuat apa. Ini bukan lagi Andi yang aku kenal. Apa yang sebenarnya terjadi padanya?

Setelah insiden Andi m3mukulku, suasana di gubuk itu semakin tegang. Andi tampak menyesali perbuatannya, tapi ia belum juga meminta maaf secara langsung. Begitu pun aku, masih enggan berkomunikasi dengannya. Karena rasa shock berat menimpaku.

***

Pagi itu, Andi tiba-tiba berkata padaku, "Tari, aku harus pergi sebentar. Kau tunggu di sini saja, ya." Kata Andi.  

"Pergi? Pergi kemana, Andi?" tanyaku dengan cemas.

Tapi Andi tidak menjawab. Ia hanya mengambil jaketnya dan berjalan ke arah pintu. "Aku pergi dulu. Jangan keluar dari sini sampai aku kembali," ucapnya tanpa menoleh.

Aku berusaha mencegahnya, tapi Andi sudah terlanjur keluar dan menutup pintu. Aku pun sendirian di gubuk tua itu, tak tahu harus berbuat apa.

Waktu berlalu, tapi Andi tak kunjung kembali. Aku mulai khawatir dan was-was. Apa yang sebenarnya terjadi padanya? Kemana ia pergi?

Rasa lapar dan haus perlahan menyiksaku. Persediaan makanan di gubuk ini minim, dan aku tidak berani keluar untuk mencari bantuan. Aku takut terjadi sesuatu padaku.

Pada akhirnya, aku hanya bisa terduduk di atas tempat tidur, menangis dalam kesendirian.

"Andi, di manakah kau sekarang? Kapan kau akan kembali?" kataku Sambil menangis. 

Aku benar-benar merasa tersesat dan tidak berdaya. Tanpa Andi, aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku hanya bisa berharap ia segera kembali dan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.

***

Hari semakin gelap, aku masih belum tahu kemana perginya Andi. Rasa takut dan khawatir semakin menguasai diriku.

Tiba-tiba, perhatianku teralihkan oleh suara-suara asing dari luar gubuk. Aku menajamkan pendengaranku, mencoba memastikan apa yang terjadi.

Karena dinding gubuk hanya setinggi bahu orang dewasa sehingga aku bisa melihat samar-samar bayangan seseorang di luar sana. Jantungku berdebar kencang, takut jika itu adalah orang jahat yang akan menyakitiku.

Perlahan, aku memberanikan diri untuk mengintip dari balik dinding. Betapa terkejutnya aku saat melihat sosok hitam berdiri di depan pintu.

Aku semakin ketakutan, badanku terasa bergetar. Jantungku seperti mau copot.

Dalam kebingungan, aku coba membaca surat-surat pendek yang aku hafal. Dengan harapan, rasa takut ini dan makhluk hitam itu bisa hilang.

Dan setelah membaca beberapa surat pendek, akhirnya sosok hitam itupun menghilang, akupun bisa bernafas Lega. 

Namun, aku tetap tidak tahu harus berbuat apa. "Andi, dimana engkau? Apa yang terjadi padamu?" Kataku lirih.  

Kebingungan dan rasa takut terus saja memenuhi diriku. Aku sendirian di gubuk tua ini, dan orang yang kusayangi belum juga datang. Apa yang harus kulakukan sekarang?

Aku selalu Salah

Pagi itu, aku terbangun dengan tubuh yang terasa sakit dan kaku. Aku tertidur seorang diri di gubuk tua itu, tanpa Andi di sampingku. Saat aku mencoba menggerakkan tubuhku, tiba-tiba pintu gubuk terbuka dengan kasar. Andi masuk dengan wajah yang memerah menahan amarah.

 "Tari! Kenapa kau tidak mendengarkan perintahku untuk tetap di dalam rumah?!" bentaknya. Aku terperanjat mendengar nada suaranya yang begitu keras. 

"A-Andi, kau darimana saja? Aku sangat mengkhawatirkan ..." 

Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, Andi tiba-tiba melemparkan sebuah batu ke arahku. Batu itu mengenai lenganku, membuatku meringis kesakitan. 

"Andi, apa yang kau lakukan?!" tanyaku.

"Aku tidak mengerti mengapa kau tiba-tiba bersikap kasar padaku?" Kataku Sambil menangis karena kesakitan. 

"Kau tinggalkan aku sendirian di gubuk tua ini, sekarang kau datang marah-marah. Kau sudah tidak normal lagi Andi". Kataku dengan nada rendah karena sambil menahan sakit.

 Sakit di lengan dan sakit di hatiku. Tiba-tiba, seorang pria tua yang aku kenal, dia adalah ayah mertua masuk menyusul, wajahnya tampak marah. 

"Andi! Kenapa kau membiarkan istrimu tidur sendirian di sini?! Kau meninggalkannya tanpa perlindungan!" omel si ayah mertua. 

"Sekarang kau datang langsung menyakitinya, suami macam apa kau ini?" Tambah ayah mertua. Andi terlihat semakin gusar.

 "Ayah, ini bukan salahku! Dina yang tidak mau mendengarkan perintahku!" Bantah Andi. 

Aku semakin bingung melihat pertengkaran itu. "Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Andi membalikkan fakta, menyalahkan dan balik memarahiku?" Ucapku dalam hati. 

"Inilah salah satu alasan ayah tidak menikahkan mu dengan perempuan yang berada di luar kampung kita. Ini yang ayah khawatirkan terjadi di antara kalian Andi". Kata ayah mertua lagi.

 Aku semakin tidak mengerti. Ada apa sebenarnya di dalam diri Andi. Setelah berucap begitu, ayah mertua pun langsung pergi meninggalkan kami berdua dan meninggalkan aku dalam rasa penasaran.

 Aku semakin penasaran dengan kalimat yang baru saja ayah mertua ucapkan.

 Tiba-tiba, tanpa peringatan, Andi kembali melemparkan batu ke arahku. Kali ini mengenai dadaku, membuatku memekik kesakitan. 

"Andi, hentikan! Kenapa kau melakukan ini padaku?!" Aku berusaha mencari perlindungan, tapi Andi malah memarahi dan memakiku. 

"Kau memang istri yang tidak berguna. Kenapa kau keluar di saat aku pergi ?". Ucap Andi dengan nada membentak.

 Dia sepertinya marah sekali Kepadaku yang tidak tau apa-apa. 

"Apa yang kau katakan sehingga ayah datang langsung melabrak saya?". Tanya Andi penuh amarah 

"Tunggu dulu Andi. Aku sama sekali tidak mengerti maksud pertanyaanmu". Sela ku. "sejak kau tinggalkan dari kemarin, aku tidak pernah kemana-mana dan tidak pernah bertemu siapapun apalagi mau melaporkanmu". Bantahku 

"Aku juga tidak tahu darimana ayah memperoleh informasi tentang kondisiku yang tinggal sendirian semalam". mencoba meyakinkan Andi.

 "Aku heran sama kamu Andi. Kau yang salah, meninggalkan aku sendirian, malah balik menyerangku, marah-marah lagi". Tambahku mencoba menyadarkan Suami. 

Andi pun terdiam. Dan langsung masuk ke dalam gubuk. Yang membuatku bertambah bingung dengan sikapnya. 

Pagi yang seharusnya cerah itu berubah menjadi kelam bagi diriku. Aku dilempari batu oleh orang yang seharusnya mencintai dan melindungiku. Apa yang sebenarnya terjadi? Pertanyaan itu terus mengisi hati dan pikiranku. Aku yang merasa tidak melakukan apa-apa, tapi selalu saja menjadi sasaran pelampiasan am4rah suami.

 *** 

Keesokan harinya, Setelah sebelumnya mertua memarahi suamiku, Andi, suasana di dalam gubuk itu menjadi mencekam. Andi menatapku masih dengan pandangan penuh kebencian. "Dina, apa yang kau lakukan sehingga membuat ayah marah padaku kemarin?!" bentaknya. 

Aku tersentak mendengar nada suaranya yang tiba-tiba saja meninggi tanpa ada awalan.

 "Aku tidak melakukan apa-apa. Aku hanya tertidur seorang diri di sini. Bahkan sekedar keluar pun dari tempat ini aku tidak berani. Karena aku takut ada binatang buas di luar atau ada ular". Sanggahku. 

Bukannya mereda, amarah Andi semakin memuncak. Dia berjalan mendekat ke arahku, membuat tubuhku gemetar ketakutan. 

"Kau ini benar-benar tidak berguna! Gara-gara kau, aku dimarahi ayah!" Andi mencengkeram kerah bajuku, membuat napasku tercekat. 

"A-Andi, kumohon, jangan lakukan ini..." Aku berusaha menenangkannya, tapi Andi seakan-akan tidak mendengarkan. 

Tiba-tiba, Andi mengangkat tangannya, siap men4mparku. Aku memejamkan mata, bersiap menerima pukul4nnya. 

Namun, pukulan itu tak kunjung datang. Perlahan, aku membuka mata dan melihat Andi terdiam, tangannya masih terangkat. Andi tampak ragu, seakan-akan ada sesuatu yang menghentikannya. 

Akhirnya, dia menurunkan tangannya dan berbalik membelakangiku.

 "Pergilah dari sini. Aku tidak ingin melihat wajahmu lagi," ujarnya dingin. 

"Kenapa Andi? Kenapa kau menghentikan tanganmu? Bukankah itu yang ingin kau lakukan padaku?. Pukull4h jika itu yang bisa membuatmu puas. Dan aku akan pasrah dengan apapun yang kau mau perbuat kepadaku". Tantangku sekaligus ingin mendengar alasan Andi selalu menyakitiku. 

Aku juga terkejut mendengar kata-katanya tadi. Sambil mengingat kembali kalimat Andi yang baru saja diucapkanya tadi

 "Pergi? Kemana aku harus pergi? Di luar sana, aku tak punya tempat untuk berlindung". Kataku dalam hati. 

Tapi aku tidak mau lagi bersuara. Aku tahu, membantah Andi hanya akan memperburuk keadaan. 

Dengan berat hati, aku berdiri dan hendak berjalan keluar dari gubuk itu. Tapi aku berhenti di depan pintu sambil berpikir.

 "Jika aku keluar, kemana aku akan pergi, aku hanya tahu bahwa aku tidak bisa tinggal di sini lagi. Tapi aku juga tidak bisa kemana-mana karena disini jauh dari pemukiman". Kataku dalam hati. 

Meskipun suamiku, Andi, tampaknya sudah tidak mau menerimaku lagi. Tapi aku memutuskan untuk tidak keluar dari gubuk itu. Air mata mulai mengalir di pipiku. 

Hari-hari yang penuh nestapa ini seakan tidak ada habisnya. Apa yang harus kulakukan?  

*** 

Hari-hari berlalu dalam nestapa di tempat asing ini. Andi berubah menjadi sosok yang tak kukenal lagi. Sikapnya kasar dan emosional, selalu memarahiku dan memakiku tanpa alasan yang jelas. 

Aku merindukan Andi yang dulu, yang penuh kasih sayang dan perhatian. Setiap kali aku berada di dekatnya, jantungku berdebar kencang. Aku tak pernah tahu kapan Andi akan meledak dan melampiaskan amarahnya padaku.

 Seringkali aku harus menahan sakit karena puku1an atau lemp4ran barang darinya. Aku merasa begitu ters1ksa dalam kesendirian di tempat asing ini. Tidak ada yang bisa kulakukan untuk memperbaiki hubungan kami. Setiap kali aku mencoba berbicara dengannya, Andi hanya menepis dan mengabaikanku. Hidupku dipenuhi dengan ketakutan dan keputusasaan. Aku tak lagi merasa bahagia, bahkan untuk sekedar tersenyum. 

Setiap hari hanya diisi dengan tangis dan permohonan agar Andi kembali seperti dulu. Terkadang, aku bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa Andi berubah menjadi sosok yang begitu menakutkan bagiku? Apa salahku sehingga dia memperlakukanku dengan begitu kejam? Aku merindukan hari-hari indah ketika kami baru menikah. Saat-saat di mana Andi begitu lembut dan perhatian padaku. Namun, semua itu seakan hanya tinggal kenangan. Kini, hari-hariku dipenuhi dengan ketakutan dan kesendirian. Aku tak tahu kapan semua ini akan berakhir, kapan Andi akan kembali menjadi sosok yang kucintai. Yang aku tahu, aku harus bertahan dan terus berjuang, meskipun hidup terasa begitu berat. 

 ***

 Hari-hari berlalu dengan penuh penderitaan dan kesengsaraan. Andi, suamiku, semakin lama semakin menunjukkan sifat buruknya. Dia seolah-olah ingin menyiksaku secara mental dan fisik.

 Suatu hari, Andi tiba-tiba memerintahkanku untuk bekerja di ladang, di bawah terik matahari yang menyengat. Tanpa membiarkanku memakai topi atau sesuatu pelindung apapun. Dia memaksaku untuk berada di bawah sinar matahari selama berjam-jam.

 "Aku tidak ingin kau terlihat cantik di depan laki-laki lain," ujarnya dengan nada dingin. "Kau harus bekerja keras di bawah matahari agar kulitmu menjadi gelap dan kusam." Katanya lagi. 

Aku terkejut mendengar perkataan Andi. "Kenapa kau melakukan ini padaku, Andi? Apa salahku sehingga kau ingin membuatku terlihat jelek?". Tanyaku kepadanya. 

"Bukankah aku istrimu yang harusnya tampil cantik di hadapan mu?" Tanyaku lagi. 

"Kau jangan banyak omel, kalau kau ingin hidupmu baik, ikuti apa yang aku perintahkan". Kata Andi dengan nada tinggi. 

Dan dengan berat hati, aku pun menuruti perintahnya. Aku berharap dengan menurutinya, sikapnya kepadaku akan baik. 

Hari demi hari, aku bekerja di bawah terik matahari, tanpa pelindung apapun. Kulitku perlahan-lahan terbakar dan memerah, membuatku merasa sangat sakit dan tak nyaman. Namun takan sedikit pun tampak di raut wajah Andi untuk memberikan belas kasih Kepadaku.  Seolah-olah aku ini budak yang harus melakukan apa pun dalam kendalinya. 

Setiap kali aku kembali ke gubuk, Andi akan memperhatikanku dengan seksama, seolah-olah mencari sesuatu yang salah. Dia tampak puas melihat wajahku yang memerah dan kulitku yang mulai mengelupas. 

"Bagus, kau terlihat sangat buruk sekarang. Dengan begini, Tidak ada laki-laki yang akan melirikmu lagi," katanya dengan nada mengejek. 

"Andi, mengapa kau terus menyiksaku seperti ini?. Apa salahku? Apa kau lupa kalau Aku ini istrimu, Andi?". Kataku sambil menangis berharap belas kasih suamiku. 

Sungguh aku tak kuasa menahan air mataku. Apa salahku sehingga Andi memperlakukanku seperti ini? Apakah dia tidak lagi mencintaiku? 

Hari demi hari, aku terus dipaksa untuk bekerja di bawah matahari, tanpa ada sedikit pun kepedulian dari Andi. Tubuhku semakin lemah, tapi aku tidak bisa melawan. Aku hanya bisa pasrah dan menangis dalam diam. Apakah aku akan terus hidup dalam siksaan seperti ini? Kapan semua ini akan berakhir? Aku merindukan Andi yang dulu, yang penuh kasih sayang. Namun, sosok itu seakan telah lenyap, tergantikan oleh seseorang yang asing bagiku. 

 ***

 Hari-hari di rumah nestapa ini semakin berat untuk dijalani. Andi, suamiku, semakin tidak terkendali dalam sikapnya. Kecurigaan dan kecemburuan telah membutakannya. 

Suatu hari, ketika Andi pergi keluar untuk beberapa saat, aku berusaha menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Namun, saat Andi kembali, dia langsung menyerbuku dengan pertanyaan-pertanyaan yang menggelisahkan. "Kemana saja kau selama aku pergi? Jangan-jangan kau berselingkuh dengan laki-laki lain, ya?" tuduhnya dengan penuh kemarahan. 

Aku terkejut mendengar tudingan Andi. Bagaimana mungkin dia bisa berpikir seperti itu? Selama ini, aku selalu setia dan hanya mencintainya. 

"Andi, kau salah paham. Aku hanya ada di rumah, mengerjakan pekerjaan rumah seperti biasa," jelasku dengan nada merendah. Namun, Andi tidak mau mendengar penjelasanku. Dia semakin marah dan terus-menerus mencurigaiku. Amarahnya meledak, membuatnya melayangkan pukul4n ke arahku. "Kau bohong! Pasti kau berselingkuh saat aku pergi!" teriaknya dengan penuh kebencian. 

Aku tak kuasa menahan air mataku. Hatiku hancur melihat Andi yang begitu tidak mempercayaiku. Aku berusaha meyakinkannya, tapi sia-sia. 

"Andi, kumohon percayalah padaku. Aku tidak berselingkuh, aku hanya mencintaimu," isakku dengan penuh kepedihan. 

Namun, Andi tetap tidak mau mendengar. Dia semakin kalap dan memaki-makiku dengan kata-kata yang menyakitkan. Aku hanya bisa menangis dan memohon, tapi Andi seolah-olah telah kehilangan akal sehatnya. Penderitaanku semakin bertambah. Andi telah menjadi sosok yang asing bagiku, yang tidak lagi mendengarkan penjelasanku. Hatiku hancur melihat betapa dia telah berubah menjadi sosok yang begitu menakutkan. Akankah semua ini berakhir? Kapan Andi akan kembali menjadi sosok yang kucintai? Aku terus bertanya-tanya, di tengah tangis dan keputusasaan yang menyesakkan dada.

  ***

 Penderitaanku di rumah nestapa ini semakin tak tertahankan. Andi, suamiku, semakin hari semakin tidak stabil dan mudah tersulut emosi. Kecurigaan dan kecemburuannya semakin menjadi-jadi, membutakan hatinya. Pada suatu hari, Andi kembali menyerbuku dengan tuduhan-tuduhan yang tidak berdasar. 

Dia yakin bahwa aku telah berselingkuh dengan laki-laki lain saat dia tidak ada di rumah.

 "Kau pasti bersenang-senang dengan laki-laki lain saat aku pergi, kan? Mengaku saja!" teriaknya dengan penuh amarah.

 Aku mencoba untuk menjelaskan kebenaran, namun Andi tidak mau mendengarkan. Dia terus-menerus menuduhku dan memaksa agar aku mengakui kesalahanku.

 "Andi, kumohon percayalah padaku. Aku tidak melakukan apapun, aku hanya di rumah mengerjakan pekerjaan rumah!" Aku berusaha meyakinkannya dengan nada memohon. Namun, Andi tidak mau menerima penjelasanku. Dia semakin kalap dan tiba-tiba meraih sebuah tongkat kayu yang ada di dekatnya.

 "Kau pikir aku bodoh? Kau pasti berbohong!" hardiknya, lalu mengayunkan tongkat itu ke arahku. Aku tidak sempat menghindar. Tongkat kayu itu menghantam tubuhku dengan keras, membuatku kesakitan dan terjatuh ke lantai. Andi terus memukul1ku tanpa ampun, seolah-olah ingin menghancurkanku.

 "Andi, hentikan! Aku tidak berbohong, aku hanya di rumah!" Aku menjerit kesakitan, tapi Andi tidak peduli. 

"Bagaimana mungkin aku melakukan perbuatan hina itu. Sedangkan kau tahu sendiri tiada seorang pun yang lewat disini.  Bahkan binatang sekali pun. Lagi pula aku sudah jelek begini.  Mana ada yang tertarik kepadaku. Bukankah itu yang pernah kau katakan?". Kataku mencoba membela diri. 

Air mataku mengalir deras jatuh ke pipiku. Aku tidak habis pikir, kenapa Andi bisa memperlakukanku seperti ini. Apa salahku sehingga dia begitu tega menyiksaku? Akhirnya, Andi berhenti memukul. Dia menatapku dengan pandangan penuh kebencian, lalu pergi meninggalkanku yang tergeletak kesakitan di lantai. Aku hanya dapat menangis dalam diam, meratapi nasibku yang semakin menyedihkan. Kapankah semua ini akan berakhir? Akankah Andi kembali menjadi sosok yang dulu kucintai?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!