NovelToon NovelToon

Takhta Terakhir Endalast Ganfera

BAB 1: Malam Pengkhianatan

.......

.......

.......

...——————————...

Endalast Ganfera duduk di depan cermin besar di kamarnya, memandangi bayangannya sendiri. Usianya baru menginjak 15 tahun, tetapi di balik matanya yang merah dan juga rambut merah menyala, terdapat kedewasaan yang tumbuh terlalu cepat.

Malam ini adalah ulang tahunnya, dan istana penuh dengan sorak-sorai perayaan. Namun, ada ketegangan yang tak kasat mata di antara keramaian. Dia tidak bisa mengabaikan firasat buruk yang menggelayut di benaknya.

“Endalast, cepatlah. Semua orang menunggumu di aula tengah, apa yang kamu lakukan didalam sana? Ayo keluarlah,” suara ibunya, Ratu Althea, terdengar lembut namun tegas.

Althea adalah wanita berwajah halus dengan mata merah yang tajam, mencerminkan keberanian dan kebijaksanaan. Rambutnya yang hitam panjang selalu tergerai dengan anggun, menambah keanggunannya.

“Ya, Ibu baiklah tunggu sebentar. Aku akan segera ke sana,” jawab Endalast, berusaha menutupi keraguannya dengan senyuman. Dia tahu betapa pentingnya malam ini bagi orang tuanya.

Raja Thalion Ganfera, ayahnya, adalah pemimpin yang bijaksana dan adil. Dengan perawakan yang mirip dengan Endalast yakni rambut merah menyala namun memiliki mata biru tajam yang selalu memancarkan kekuatan dan keberanian, Thalion Ganfera adalah sosok yang dikagumi dan dihormati oleh semua rakyatnya.

Endalast segera berdiri dan mengenakan jubah kerajaan yang telah disiapkan untuknya. Saat dia berjalan menuju aula besar, dia bertemu dengan beberapa pelayan yang membungkuk hormat. Mereka semua tersenyum padanya, tetapi Endalast bisa merasakan kegelisahan di balik senyum mereka walaupun itu sangat samar.

Di aula besar, perayaan sudah dimulai. Meja-meja penuh dengan makanan lezat dan minuman, sementara musik dan tawa mengisi udara. Namun, Endalast tidak bisa menghilangkan perasaan aneh di hatinya.

Dia melihat ayahnya di tengah kerumunan, tersenyum lebar dan berbicara dengan para bangsawan. Thalion adalah seorang raja yang tegas namun penyayang, selalu memperlakukan rakyatnya dengan adil dan bijaksana.

“Endalast kemari, mendekatlah” seru Thalion sambil melambaikan tangan. Endalast berjalan mendekat dan disambut dengan pelukan hangat.

“Selamat ulang tahun, anakku. Malam ini adalah malam yang istimewa,” kata Thalion berbicara dengan suara lembut. “Kita akan merayakan hari ini dengan penuh sukacita.”

Endalast tersenyum, tetapi matanya masih mengamati kerumunan. Di sudut ruangan, dia melihat pamannya, Lurian. Ada sesuatu dalam sikap dan tatapan Lurian yang membuat Endalast tidak nyaman.

Lurian selalu tampak ambisius, dan ada desas-desus tentang ketidakpuasannya terhadap kepemimpinan Thalion.

“Selamat ulang tahun, Pangeran,” kata Lurian, mendekat dengan senyuman yang tidak sampai ke matanya, tatapan ini sangat mengintimidasi. “Saya berharap tahun ini membawa banyak kebahagiaan dan keberuntungan untuk pangeran.”

“Terima kasih, Paman Lurian,” jawab Endalast dengan sopan, meskipun hatinya penuh keraguan.

Lurian berpaling dan berbicara dengan bangsawan lain, meninggalkan Endalast dengan perasaan tidak enak. Dia mencoba menikmati perayaan, tetapi kecemasan terus mengganggunya. Malam itu, ketika pesta mencapai puncaknya, tiba-tiba terdengar suara dentuman keras dari luar istana.

DUARRRR

“Ap- apa itu? Apa yang terjadi diluar sana?!” tanya Endalast, matanya melebar. Semua orang yang berada dan hadir di aula besar mulai panik.

“Tenang, semuanya!” seru Thalion. “Aku akan memeriksa apa yang sebenarnya terjadi.”

Thalion dan beberapa penjaga bergegas keluar, sementara Endalast dan ibunya tetap di dalam. Endalast merasakan tangannya gemetar. Dia tahu ada sesuatu yang salah.

Beberapa menit kemudian, Thalion kembali dengan wajah serius. “Kita diserang,” katanya singkat. “Semuanya tolong jangan panik, segeralah bersiap dan bertarung sekuat kalian dan Lurian, di mana Lurian?”

Semua orang mencari-cari, tetapi Lurian sudah menghilang. Thalion segera memerintahkan semua orang untuk berlindung, tetapi serangan itu terlalu tiba-tiba dan terorganisir. Pasukan Nereval, musuh lama kerajaan Ganfera, menyerbu masuk dengan senjata terhunus.

“Endalast, tetap di belakangku,” kata Thalion sambil menghunus pedangnya. Endalast melihat ayahnya bertarung dengan keberanian luar biasa, tetapi jumlah musuh terlalu banyak. Dia merasakan ibunya menariknya menjauh, mencoba membawanya ke tempat aman.

“Endalast, kita harus pergi!” kata Althea dengan suara putus asa. “Kita tidak bisa tinggal di sini.”

Tetapi sebelum mereka bisa melarikan diri, para prajurit Nereval menemukan mereka. Endalast melihat ayahnya jatuh dengan luka parah, dan ibunya berteriak dengan putus asa saat dia mencoba melindungi Endalast putra sematawayangnya.

“Lari, Endalast! Lari!” teriak Althea sebelum dia juga jatuh di tangan musuh.

"Ta- tapi Ibu.. Ayah.." Kedua mata Endalast mulai merah, dia ketakutan dan dia gemetaran melihat Ayahnya terdesak.

"Lari! Ibu bilang lari! Pergilah!" lagi-lagi Althea berteriak, dia tengah berusaha menghadang musuh bersama suaminya.

Endalast berlari sekuat tenaga, air mata mengalir di wajahnya. Dia tahu bahwa ini adalah akhir dari keluarganya, tetapi dia tidak punya pilihan lain selain melarikan diri.

Dengan usaha ayah dan ibunya, kini Endalast berhasil keluar dari istana yang telah terbakar hebat, dan dengan bantuan beberapa penjaga setia yang membawanya ke tempat aman di hutan sementara waktu Endalast akan aman.

Dalam persembunyian, Endalast duduk terengah-engah, matanya memandang kosong ke depan. Malam itu, semuanya berubah.

Endalast, yang dulunya pangeran yang lembut dan penyayang, sekarang dihadapkan pada kenyataan pahit kehilangan dan pengkhianatan.

Dia memandang ke arah istana yang kini tinggal puing-puing, dengan api yang masih berkobar di kejauhan. “Aku bersumpah, aku akan membalas dendam,” gumamnya dengan suara yang penuh tekad.

“Aku akan merebut kembali takhta yang menjadi hakku, dan aku akan menghabisi semua yang telah menghancurkan keluargaku. Ini adalah janji Endalast Ganfera!”

Dengan demikian, perjalanan Endalast untuk membalas dendam dan merebut kembali takhta dimulai. Malam pengkhianatan itu adalah awal dari transformasi dirinya dari seorang pangeran muda yang lembut menjadi pemimpin yang tangguh dan tanpa ampun.

Masa depan kerajaan Ganfera kini bergantung pada tekad dan keberanian Endalast, pangeran terakhir dari keluarga Ganfera. Bila nyawa Endalast berakhir sekarang maka perjuangan Raja dan Ratu akan sia-sia. Keduanya rela mati demi memberikan waktu putranya untuk kabur.

Endalast harapan kerajaan Ganfera.

Di dalam aula besar yang terbakar hebat, suara dentuman dan jeritan terdengar di segala penjuru. Raja Thalion berdiri dengan beberapa luka di samping Ratu Althea, yang berusaha melindungi diri dari panas dan serangan musuh. Di tengah kekacauan itu, Lurian muncul dari balik asap dengan senyum licik di wajahnya.

Thalion memandang Lurian dengan mata penuh kekecewaan "Lurian... tidak kusangka. Aku begitu sangat mempercayaimu dan kau ternyata dalang dibalik kehancuran ini? Kau adalah saudaraku sendiri!"

Lurian tertawa kecil "Saudara? Kau sungguh naif, Thalion. Kerajaan ini seharusnya menjadi milikku sejak awal. Kau selalu dianggap sebagai pahlawan, sementara aku hanya bayang-bayangmu."

Althea dengan suara marah dan terluka "Lurian, bagaimana bisa kau melakukan ini? Pengkhianatanmu akan menghancurkan kita semua!"

Lurian mendekat dengan sikap arogan "Kau tidak mengerti, Althea. Ini adalah takdir yang telah lama kutunggu. Aku akan menjadi raja, dan aku akan memimpin dengan tangan besi."

Thalion dengan suara penuh emosi "Aku selalu berusaha adil padamu, Lurian. Mengapa harus begini? Mengapa harus menghancurkan segalanya?"

Lurian menatap Thalion dengan dingin "Karena kekuatan, Thalion. Hanya dengan kekuatan aku bisa mendapatkan penghormatan yang pantas. Dan sekarang, dengan bantuan Nereval, aku akan memastikan bahwa nama Ganfera tidak akan pernah dilupakan."

Althea dengan tatapan penuh dendam "Kau akan dihukum atas perbuatanmu ini, Lurian. Rakyat tidak akan mendukung pengkhianat."

Lurian tersenyum sinis "Rakyat hanya peduli pada siapa yang berkuasa, Althea. Dan sekarang, akulah yang berkuasa."

Thalion berdiri tegak meski terluka "Kau mungkin bisa menghancurkan kami, Lurian, tetapi semangat dan keberanian rakyat Ganfera akan terus hidup. Dan putraku, Endalast, dia akan kembali untuk menuntut balas."

Lurian tertawa keras "Endalast hanyalah anak kecil. Dia tidak akan bisa berbuat apa-apa."

Althea dengan tekad kuat "Jangan meremehkannya, Lurian. Darah Ganfera mengalir kuat dalam dirinya."

Lurian mengangkat bahu "Kita lihat saja. Untuk sekarang, nikmati akhir kalian."

Dengan satu lambaian tangan, Lurian memerintahkan pasukannya untuk menyerang. Thalion dan Althea berusaha melawan sekuat tenaga, tetapi jumlah musuh terlalu banyak.

Di tengah kobaran api dan serangan musuh, Thalion dan Althea terus bertahan sekuat tenaga, memberikan waktu berharga bagi Endalast untuk melarikan diri dan memulai perjalanan panjangnya untuk membalas dendam dan merebut kembali tahtanya.

...——————————...

Istana Ganfera yang megah dalam sekejap kini menjadi medan perang penuh aroma darah. Asap tebal mengepul ke langit malam, diiringi suara dentingan pedang dan teriakan ketakutan.

Endalast Ganfera berlari melalui lorong-lorong yang dulu akrab baginya, dengan napas terengah-engah dan jantung berdegup kencang. Di belakangnya, penjaga setia Raja, Sir Alven, berusaha melindunginya dari serangan musuh.

“Kita harus keluar dari sini, Pangeran!” seru Sir Alven, matanya liar mencari jalan keluar. “Ayo cepat!”

Endalast menoleh ke belakang, melihat istana yang dulu menjadi rumahnya kini terbakar hebat. Teringat akan keluarganya yang terjebak di dalam, air mata mulai mengalir di pipinya.

“Sir Alven, apa yang terjadi pada ayah dan ibu?” tanya Endalast dengan suara bergetar.

Sir Alven menggertakkan giginya, “Mereka berjuang, Pangeran. Kita harus pergi sekarang, atau kita akan berakhir seperti mereka.”

Sementara itu, di tengah aula besar yang telah berubah menjadi ladang pertempuran, Raja Thalion bertarung dengan keberanian yang luar biasa.

Dengan pedang di tangan, dia menangkis setiap serangan yang datang, berusaha melindungi keluarganya dan rakyatnya.

Rambut merahnya yang menyala berkilauan di bawah sinar api, dan matanya yang biru tajam berkilat penuh amarah dan kesedihan serta kekecewaan.

“Bertahanlah! Jangan biarkan mereka masuk lebih jauh!” teriak Thalion kepada para prajurit yang tersisa. Di sampingnya, Ratu Althea berdiri dengan busur di tangan, menembakkan panah dengan ketepatan luar biasa.

“Aku tidak akan membiarkan mereka mengambil segalanya dari kita, Thalion,” kata Althea dengan tegas. Meskipun wajahnya cantik dan halus, ada keteguhan yang jelas dalam sorot matanya. Dia adalah ratu yang selalu berdiri di samping suaminya, mendukungnya dalam setiap keputusan yang diambil.

Namun, di balik semua keberanian itu, ada pengkhianatan yang telah mengakar. Di tengah pertempuran, beberapa pengawal yang seharusnya setia kepada Raja Thalion tiba-tiba berbalik melawan. Sir Gareth, yang selama ini dianggap sebagai salah satu pengawal paling setia, adalah salah satunya.

“Gareth, apa yang kau lakukan!” teriak Thalion saat melihatnya mengarahkan pedang kepada prajurit lain.

“Maafkan saya, Yang Mulia, tapi saya harus memikirkan keselamatan saya sendiri, dalam keadaan seperti ini lebih baik saya tidak membela anda” jawab Gareth dengan nada dingin sebelum menyerang prajurit yang dulu adalah rekannya.

Di sudut lain aula, Lurian berdiri dengan senyuman licik di wajahnya. Dengan jubah hitam yang menambah kesan jahat, Lurian mengamati kekacauan yang dia ciptakan.

Dia telah merencanakan pengkhianatan ini sejak lama, bekerja sama dengan musuh besar kerajaan Ganfera, Raja Norval dari kerajaan Nereval.

“Thalion, saudaraku tercinta, lihatlah hasil dari kepemimpinanmu yang lemah,” kata Lurian dengan nada mengejek. “Sudah saatnya kerajaan ini dipimpin oleh seseorang yang benar-benar mengerti kekuatan.”

Thalion memandang Lurian dengan kebencian yang membara. “Lurian, kau tidak akan pernah menjadi pemimpin yang diinginkan oleh rakyat. Kau hanyalah seorang pengecut yang mengkhianati saudara kandungmu sendiri.”

Lurian tertawa kecil, “Kau salah, Thalion. Aku adalah penyelamat kerajaan ini. Dan dengan bantuan Raja Norval, aku akan membawa Ganfera ke kejayaannya.”

Di belakang Lurian, Raja Norval dari Nereval berdiri dengan senyum lebar di wajahnya. Norval adalah sosok tinggi dan kurus dengan rambut hitam dan mata gelap yang penuh dengan dendam.

Dia tertawa keras, melihat kehancuran yang dia impikan selama ini akhirnya menjadi kenyataan.

“HAHAHA Thalion, aku telah menunggu momen ini selama bertahun-tahun,” kata Norval dengan suara serak. “Kerajaanmu akan hancur, dan sekarang tidak ada yang bisa menghentikanku.”

Norval mengangkat pedangnya tinggi-tinggi, dan dengan satu gerakan cepat, dia menebas seorang prajurit Ganfera yang mencoba melindungi Thalion.

ARGHHH

Darah mengalir di lantai marmer, menambah kesan mengerikan pada malam yang sudah penuh dengan kematian.

“Aku bersumpah akan menghancurkanmu, Norval!” teriak Thalion, mengayunkan pedangnya dengan kekuatan penuh. Tetapi jumlah musuh terlalu banyak, dan Thalion akhirnya terjatuh, dia terluka parah.

Althea berlari menuju suaminya, tetapi sebelum dia bisa mencapai Thalion, sebuah anak panah mulai diarahkan pada Althea yang fokusnya terbelah.

Thalion sadar akan arah panah itu "Althea! TIDAKK!"

BRAKKK

Althea terjatuh di samping Thalion, dengan napas yang semakin berat. Nampaknya Althea sangat mengkhawatirkan suaminya sampai-sampai mengabaikan dirinya yang juga diincar nyawanya.

“Thalion... maafkan aku,” kata Althea dengan suara lemah, matanya mulai berkaca-kaca.

“Tidak, Althea... bertahanlah!” Thalion meraih tangan istrinya, air mata mengalir di pipinya.

Namun, semuanya sudah terlambat. Raja Thalion dan Ratu Althea, pasangan yang selalu kuat dan penuh kasih sayang, akhirnya jatuh di medan perang yang kejam ini.

Mereka wafat di samping satu sama lain, mempertahankan kerajaannya sampai nyawa direnggut. Mereka tetap mempertahankan kerajaan dan rakyat yang mereka cintai hingga napas terakhir.

Endalast, yang kini berada di luar istana bersama Sir Alven, merasakan kesedihan yang mendalam. Dia tahu dengan keadaan separah ini pasti keluarganya telah tiada, dan semua kekacauan ini terjadi karena pengkhianatan pamannya dan ambisi jahat Raja Norval.

“Kita harus pergi, Pangeran. Mereka akan memburu kita karena berhasil kabur,” kata Sir Alven dengan nada tegas. “Kita harus bertahan hidup untuk melawan mereka suatu hari nanti.”

Endalast mengangguk, meskipun hatinya hancur. Dengan air mata yang mengalir deras, dia berjanji dalam hati untuk membalas dendam atas kematian orang tuanya.

Mereka berdua berlari menuju hutan yang gelap, meninggalkan istana yang kini hanya tinggal reruntuhan.

Sementara itu, di dalam aula besar, Lurian dan Norval berdiri di tengah-tengah kehancuran, dengan senyum kemenangan di wajah mereka. 

“Ini baru awal,” kata Norval, matanya berbinar gila. “Ganfera sekarang milik kita, dan tidak ada yang bisa menghentikan kita.”

Lurian tertawa kecil, “Ya, dan kita akan memastikan tidak ada yang bisa merebutnya kembali.”

Namun, jauh di dalam hati Endalast yang penuh dengan kesedihan dan kemarahan, tumbuh tekad yang tak tergoyahkan. Dia akan kembali, dan dia akan membalas dendam atas pengkhianatan yang menghancurkan keluarganya.

Perjalanan panjang dan penuh bahaya menantinya, tetapi Endalast Ganfera, pangeran terakhir dari Ganfera, siap untuk menghadapi segala rintangan demi mengembalikan kehormatan dan keadilan bagi kerajaannya.

Sir Alven menatap Endalast "Pangeran, kita harus bertahan. Ayah dan ibu Anda telah berjuang keras untuk memberikan Anda kesempatan ini. Kita tidak bisa menyia-nyiakannya."

Endalast dengan mata penuh air mata dan kebencian "Aku tahu, Sir Alven. Aku bersumpah akan membalas dendam. Aku akan merebut kembali kerajaan kita."

Sir Alven mengangguk tegas "Baik, Pangeran. Namun pertama-tama, kita harus bertahan hidup. Mari kita menuju desa terdekat dan mencari bantuan."

Sementara itu, di tengah kehancuran istana, Lurian dan Norval mulai merencanakan langkah mereka berikutnya.

Lurian dengan mata licik "Kita harus memastikan tidak ada yang selamat dari keluarga Ganfera. Jika Endalast masih hidup, dia bisa menjadi ancaman besar di masa depan."

Norval mengangguk setuju "Aku akan mengirim pasukan untuk mencarinya. Kita tidak bisa membiarkan dia berkeliaran dan mengumpulkan kekuatan."

Lurian mengangguk "Baik, kita pastikan Ganfera tidak pernah bangkit kembali."

Di tengah hutan, Endalast dan Sir Alven mulai merencanakan langkah mereka ke depan. Mereka tahu bahwa jalan yang mereka tempuh tidak akan mudah, tetapi tekad mereka untuk mengembalikan kehormatan dan keadilan bagi kerajaan Ganfera tak tergoyahkan.

Endalast berbicara dengan suara penuh tekad "Sir Alven, aku akan berlatih keras. Aku akan menjadi kuat. Suatu hari, kita akan kembali dan mengambil kembali apa yang telah dicuri dari kita."

Sir Alven tersenyum bangga "Aku akan bersamamu, Pangeran. Kita akan berjuang bersama sampai akhir."

Dengan demikian, petualangan baru Endalast dimulai. Perjalanannya untuk membalas dendam dan merebut kembali takhtanya akan penuh dengan rintangan dan bahaya.

Namun, dengan keberanian dan tekad yang diwarisi dari orang tuanya, Endalast akan menjadi pemimpin yang tangguh dan tak kenal takut.

Dan di kejauhan, api yang berkobar di istana Ganfera menjadi simbol dari semangat yang tak pernah padam dalam diri Endalast Ganfera, sang pangeran terakhir yang bertekad untuk mengembalikan kehormatan keluarganya.

BAB 2: Sang Tabib

.......

.......

.......

...——————————...

Di tengah kegelapan hutan, Endalast duduk dengan punggung bersandar pada batang pohon besar, wajahnya basah oleh air mata. Endalast masih sangat terguncang dengan apa yang menimpa keluarganya di hari ulang tahunnya ini.

Sir Alven berdiri tak jauh darinya, mengawasi sekitar dengan cermat untuk memastikan tidak ada musuh yang mengikuti jejak mereka. Malam itu sunyi, hanya terdengar suara burung hantu dan gemerisik dedaunan yang diterpa angin.

“Pangeran, kita harus terus bergerak,” kata Sir Alven dengan nada lembut namun tegas. “Kita belum aman di sini.”

Endalast mengangguk pelan, meskipun hatinya masih dipenuhi kesedihan yang mendalam. Ingatan akan malam pengkhianatan itu masih segar di pikirannya.

Dia bisa melihat dengan jelas wajah ayahnya yang penuh keberanian dan ibunya yang kuat, keduanya terluka berusaha menahan musuh demi dirinya di aula besar istana.

“Aku tidak bisa, Sir Alven,” bisik Endalast, suaranya bergetar. “Aku tidak bisa melupakan mereka. Bagaimana mungkin aku bisa melanjutkan hidup setelah kehilangan semuanya?”

Sir Alven mendekat dan berlutut di depan Endalast, menatap mata merah pangeran muda itu dengan penuh simpati. “Aku mengerti perasaanmu, Pangeran. Kehilangan mereka adalah pukulan yang sangat berat bagi kita semua. Tapi kita harus bertahan. Raja Thalion dan Ratu Althea tidak akan ingin kita menyerah.”

Endalast terisak, menggenggam erat liontin keluarga yang diberikan oleh ibunya sebelum dia melarikan diri.

“Ibuku berkata agar aku lari. Dia menatapku dengan sorot mata penuh harapan. Dia ingin aku membalas dendam atas kematian mereka, Sir Alven.”

Sir Alven mengangguk, “Aku tahu, Pangeran. Dan kita akan melakukannya. Tapi kita harus cerdas dan sabar. Kita harus mengumpulkan kekuatan dan merencanakan setiap langkah dengan hati-hati.”

Endalast menghapus air matanya dan menatap Sir Alven dengan tekad yang mulai tumbuh dalam dirinya. “Aku akan membalas dendam, Sir Alven. Aku akan membunuh semua orang yang terlibat dalam kudeta ini. Lurian, Raja Norval, dan setiap prajurit yang berkhianat. Aku tidak akan berhenti sampai mereka semua mendapat balasan yang setimpal.”

Sir Alven tersenyum tipis, “Itulah semangat yang kuharapkan darimu, Pangeran. Kita akan mulai dengan mencari sekutu dan membentuk kelompok kecil yang bisa dipercaya. Kita akan bergerak dalam bayangan, mempersiapkan diri untuk saat yang tepat.”

Malam itu, mereka berdua berjalan lebih dalam ke hutan, menemukan sebuah gua yang tersembunyi sebagai tempat perlindungan sementara.

Di dalam gua, mereka bertemu dengan beberapa penyintas lainnya - prajurit setia, pelayan, dan rakyat biasa yang berhasil melarikan diri dari serangan Nereval.

“Pangeran Endalast!” seru salah satu prajurit, Sir Cedric, yang segera berlutut dengan hormat. “Kami mengira Anda sudah tiada. Terima kasih kepada para dewa, Anda selamat.”

Endalast mengangguk, berusaha menyembunyikan kesedihannya. “Terima kasih, Sir Cedric. Kita harus bertahan dan bersatu. Aku membutuhkan kalian semua untuk membantuku merebut kembali takhta.”

Sir Cedric dan yang lainnya setuju dengan penuh semangat. “Kami bersumpah setia kepada Anda, Pangeran. Kami akan membantu Anda dalam setiap langkah,” kata Sir Cedric dengan suara mantap.

Endalast merasakan sedikit harapan tumbuh di dalam hatinya. Dia menyadari bahwa meskipun dia telah kehilangan banyak, masih ada orang-orang yang setia dan siap berjuang bersamanya.

Malam itu, di tengah hutan gelap, mereka mulai merencanakan cara untuk bertahan hidup dan melawan musuh.

“Kita harus menemukan tempat yang lebih aman dan memulai pelatihan,” kata Sir Alven. “Kita akan mengajarkan semua orang cara bertarung dan bertahan. Kita juga perlu mengumpulkan informasi tentang musuh.”

Endalast menyetujui rencana itu. “Kita akan bergerak dalam bayangan, menyerang mereka di tempat yang tidak mereka duga. Kita akan mengambil kembali apa yang menjadi milik kita.”

Hari-hari berikutnya dihabiskan dengan pelatihan dan persiapan. Endalast, yang dulunya seorang pangeran yang lembut dan penuh kasih sayang, mulai berubah menjadi pemimpin yang tangguh.

Setiap hari dia berlatih dengan keras, belajar menggunakan pedang dan strategi perang dari Sir Alven dan Sir Cedric.

“Pangeran, Anda sangat berbakat,” kata Sir Cedric suatu hari saat mereka berlatih pedang. “Kecepatan dan kekuatan Anda mengingatkan saya pada Raja Thalion.”

Endalast mengangguk, tetapi dalam hatinya, dia tahu bahwa itu bukan hanya tentang bakat. Itu adalah dendam dan tekad yang membakar di dalam dirinya.

Setiap kali dia mengayunkan pedangnya, dia membayangkan wajah Lurian dan Raja Norval, membayangkan membalas dendam atas kematian orang tuanya.

“Mereka akan membayar, Sir Cedric. Setiap dari mereka akan merasakan penderitaan yang mereka sebabkan,” gumam Endalast dengan suara rendah namun penuh tekad.

Malam-malam di hutan gelap dipenuhi dengan rencana dan diskusi. Endalast dan kelompoknya memetakan wilayah sekitar, mencari tempat yang bisa dijadikan basis operasi. Mereka juga mulai mengirim pengintai untuk mengumpulkan informasi tentang pergerakan musuh.

“Kita perlu tahu di mana mereka berkumpul, bagaimana mereka berkomunikasi, dan apa kelemahan mereka,” kata Sir Alven saat mereka berdiskusi di sekitar api unggun. “Dengan informasi yang tepat, kita bisa menyusun strategi yang efektif.”

Endalast menyetujui semua rencana dengan serius. Dia tidak ingin ada kesalahan. Setiap langkah harus dipikirkan dengan hati-hati. “Kita juga harus mencari sekutu. Kerajaan lain yang mungkin ingin membantu kita melawan Nereval.”

Mereka mulai mengirim utusan ke kerajaan tetangga yang pernah menjadi sekutu Ganfera. Beberapa dari mereka setuju untuk membantu dengan pasukan kecil atau persediaan, tetapi kebanyakan masih ragu karena takut akan kekuatan Nereval dan Lurian.

“Kita akan membuktikan kepada mereka bahwa kita bisa menang,” kata Endalast dengan penuh keyakinan. “Setelah kita meraih beberapa kemenangan kecil, mereka akan melihat bahwa kita adalah kekuatan yang harus diperhitungkan.”

Dalam beberapa minggu berikutnya, Endalast dan kelompoknya berhasil melancarkan beberapa serangan gerilya terhadap pasukan Nereval yang terpisah dari induk pasukan.

Mereka menyerang di malam hari, menggunakan taktik kejutan yang membuat musuh kebingungan.

“Kita berhasil lagi, Pangeran!” seru Sir Cedric setelah salah satu serangan yang sukses. “Ini akan meningkatkan moral kita dan menunjukkan kepada sekutu potensial bahwa kita bisa melawan.”

Endalast merasa sedikit kelegaan, tetapi dendam di dalam dirinya tidak pernah surut. Dia masih merasakan luka mendalam setiap kali mengingat malam pengkhianatan itu.

Setiap kemenangan kecil adalah langkah menuju tujuan utamanya; membalas dendam dan merebut kembali takhta.

Satu malam, saat mereka berkumpul di sekitar api unggun, Endalast berbicara kepada kelompoknya dengan nada serius. “Aku ingin kalian semua tahu bahwa aku sangat menghargai kesetiaan dan keberanian kalian. Kita berada dalam perjalanan panjang dan berbahaya, tetapi kita akan menang. Kita akan mengambil kembali apa yang menjadi hak kita, dan kita akan memberikan keadilan bagi mereka yang telah mengkhianati kita.”

Semua orang mengangguk setuju, dengan tekad yang sama kuatnya dengan Endalast. Mereka tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi mereka siap menghadapi segala rintangan demi mencapai tujuan mereka.

Di tengah kegelapan hutan, di bawah langit berbintang, Endalast berdiri dengan kepala tegak. Dia merasa lebih kuat dari sebelumnya.

Dendam yang membakar di dalam dirinya memberinya kekuatan untuk terus maju, untuk melawan musuh, dan untuk membuktikan bahwa meskipun dia hanya seorang pangeran muda, dia adalah pewaris sah takhta Ganfera.

“Untuk ayahku, untuk ibuku, dan untuk seluruh rakyat Ganfera,” gumam Endalast, menatap api unggun yang berkilauan. “Aku tidak akan berhenti sampai kita menang.” 

Dengan demikian, di tengah hutan gelap, Endalast dan kelompoknya terus melangkah maju, merencanakan setiap langkah dengan cermat, bertekad untuk membalikkan keadaan dan merebut kembali takhta yang menjadi haknya.

...——————————...

Di tengah hutan gelap, Endalast dan kelompoknya terus bertahan, namun tantangan semakin berat. Luka-luka dan penyakit mulai mengganggu mereka, membuat mereka membutuhkan bantuan yang lebih dari sekedar keterampilan bertarung.

Di saat itu, mereka mendengar tentang seorang tabib tua yang tinggal di pedalaman hutan, seorang pria yang dikenal memiliki ilmu pengobatan dan pengetahuan tentang bertahan hidup yang luar biasa.

“Pangeran, kita harus mencari tabib itu,” kata Sir Alven suatu malam, setelah melihat semakin banyak prajurit yang sakit dan terluka. “Dia bisa membantu kita.”

Endalast mengangguk, menyadari betapa pentingnya bantuan dari tabib tersebut. “Kita akan mencarinya. Kalau dia bisa membantu kita bertahan, kita harus berusaha mendapatkannya.”

Setelah beberapa hari perjalanan, mereka akhirnya menemukan sebuah pondok sederhana di tengah hutan, tersembunyi di antara pepohonan lebat. Di sana, mereka bertemu dengan sang tabib.

Meskipun dia dikenal sebagai “tabib tua”, penampilannya tidak sesuai dengan julukannya. Dia tampak seperti seorang pria berusia sekitar 25 tahun, dengan wajah halus dan mata yang penuh kebijaksanaan.

“Selamat datang,” tabib itu menyapa dengan suara tenang. “Aku sudah menunggu kalian.”

Endalast melangkah maju, menatap tabib itu dengan rasa ingin tahu. “Kau tahu kami akan datang?”

Tabib itu mengangguk. “Angin membawa kabar tentang kalian. Aku tahu bahwa Pangeran Ganfera akan datang mencariku.”

“Namaku Endalast Ganfera,” kata Endalast, berusaha menunjukkan hormat. “Kami membutuhkan bantuanmu, tabib.”

Tabib itu tersenyum tipis, “Namaku Arlon. Aku akan membantumu, Pangeran. Tapi bukan hanya itu, aku akan mengajarkanmu semua yang aku tahu tentang pengobatan dan bertahan hidup.”

Endalast terkejut mendengar tawaran itu. “Mengapa kau ingin membantuku? Mengapa kau bersumpah setia kepada seorang pangeran yang tidak kau kenal?”

Arlon menatap Endalast dengan tatapan lembut. “Mari kita duduk, dan aku akan menceritakan sebuah kisah.”

Mereka duduk di sekitar api unggun, dan Arlon mulai bercerita. “Bertahun-tahun yang lalu, aku adalah teman masa kecil ayahmu, Thalion. Kami tumbuh bersama di desa kecil di luar istana. Ayahku adalah seorang petani miskin, dan aku sering harus bekerja keras untuk membantu keluargaku.”

Arlon berhenti sejenak, mengenang masa lalu. “Thalion adalah calon raja, tetapi dia tidak pernah menunjukkan kesombongan atau keangkuhan. Dia adalah teman sejati. Kami sering berbagi kisah, dan dia selalu mendengarkan dengan penuh perhatian.”

“Suatu hari, ayahku jatuh sakit parah. Kami tidak punya uang untuk membayar tabib istana. Thalion melihat penderitaan kami, dan tanpa ragu, dia memutuskan untuk membantu."

"Dia bekerja diam-diam di lingkungan kotor, membersihkan jalan dan mengangkut barang, hanya untuk mengumpulkan cukup uang untuk membayar tabib.”

Endalast mendengarkan dengan penuh perhatian, matanya berkaca-kaca. “Ayahku melakukan itu?”

Arlon mengangguk. “Ya, dia melakukannya. Dia tahu aku tidak ingin menerima uang dari kerajaan, jadi dia bekerja keras tanpa memberitahu siapa pun."

"Setelah ayahku sembuh, aku bersumpah untuk mendedikasikan hidupku untuk belajar pengobatan dan membantu orang lain, seperti yang Thalion lakukan untuk keluargaku.”

Endalast tersenyum bangga, merasakan kebijaksanaan dan kebaikan ayahnya mengalir dalam dirinya. “Ayahku adalah raja yang bijaksana dan peduli.”

“Dia adalah yang terbaik dari kita,” kata Arlon dengan nada lembut. “Dan sekarang, aku ingin meneruskan ilmu yang aku pelajari kepada putranya. Aku bersumpah setia kepadamu, Pangeran Endalast, karena aku melihat kebaikan dan kebijaksanaan ayahmu dalam dirimu.”

Endalast merasakan kehangatan dan rasa syukur yang mendalam. “Terima kasih, Arlon. Aku akan belajar dengan sepenuh hati, dan aku akan berusaha menjadi pemimpin yang bijaksana seperti ayahku.”

Malam itu, di bawah bimbingan Arlon, Endalast mulai belajar tentang pengobatan dan strategi bertahan hidup. Arlon mengajarinya cara mengenali tumbuhan obat, meracik ramuan, dan merawat luka dengan efektif.

Setiap hari, mereka berlatih dan belajar, sementara kelompok mereka mulai pulih dan mendapatkan kekuatan baru.

“Ini adalah tanaman yarrow,” kata Arlon suatu hari, menunjuk pada tumbuhan berdaun hijau dengan bunga putih kecil. “Tanaman ini sangat berguna untuk menghentikan pendarahan dan mempercepat penyembuhan luka.”

Endalast mengamati dengan seksama, mencatat setiap detail dalam ingatannya. “Bagaimana cara menggunakannya?”

“Kau harus mengeringkan daunnya terlebih dahulu, kemudian menghancurkannya menjadi serbuk halus. Taburkan serbuk ini pada luka yang berdarah, dan balut dengan kain bersih,” jelas Arlon.

Setiap hari adalah pelajaran baru. Endalast belajar cara mengidentifikasi racun dan penawar, cara mengobati demam tinggi, dan bahkan cara melakukan prosedur bedah sederhana.

Keahlian Arlon dalam pengobatan sungguh luar biasa, dan Endalast merasa beruntung memiliki guru yang begitu berpengetahuan. Namun, pelajaran mereka tidak hanya terbatas pada pengobatan.

Arlon juga mengajarkan Endalast tentang strategi bertahan hidup di hutan, cara membangun tempat perlindungan yang aman, dan cara berburu dan mencari makanan.

Mereka sering melakukan perjalanan jauh ke dalam hutan, menguji keterampilan baru mereka dalam situasi nyata.

“Lihatlah jejak ini,” kata Arlon, menunjuk pada jejak di tanah. “Ini adalah jejak rusa. Kita bisa mengikuti jejak ini untuk menemukan sumber makanan.”

Endalast mengikuti jejak dengan hati-hati, belajar membaca tanda-tanda alam dan memahami bagaimana bertahan hidup di lingkungan yang keras. Dia mulai merasakan rasa percaya diri yang tumbuh dalam dirinya, berkat bimbingan dan pelatihan dari Arlon.

Malam-malam mereka dihabiskan dengan berdiskusi dan merencanakan. Arlon sering berbagi cerita tentang masa lalunya bersama Thalion, memberikan inspirasi dan semangat kepada Endalast.

“Thalion selalu berkata bahwa seorang pemimpin harus memahami penderitaan rakyatnya,” kata Arlon suatu malam. “Dia tidak pernah ragu untuk bekerja keras dan membantu mereka yang membutuhkan. Itu adalah pelajaran terbesar yang dia ajarkan padaku.”

Endalast mengangguk, merasakan kebijaksanaan kata-kata itu. “Aku akan mengingatnya, Arlon. Aku akan berusaha menjadi pemimpin yang peduli dan bijaksana seperti ayahku.”

Dengan waktu yang berlalu, hubungan antara Endalast dan Arlon semakin kuat. Mereka menjadi lebih dari sekedar guru dan murid, mereka menjadi teman sejati yang saling mendukung dalam perjalanan yang penuh bahaya ini.

“Arlon, apa yang paling penting untuk kita lakukan sekarang?” tanya Endalast suatu malam.

“Kita harus membangun kekuatan kita, Pangeran,” jawab Arlon. “Kita harus mencari sekutu, melatih prajurit kita, dan terus mengumpulkan informasi tentang musuh. Tapi yang paling penting, kita harus tetap berharap. Jangan pernah kehilangan harapan, karena itulah yang akan membimbing kita menuju kemenangan.”

Endalast mengangguk, merasakan kekuatan dan tekad yang tumbuh dalam dirinya. Dia tahu bahwa perjalanan ini masih panjang dan berbahaya, tetapi dengan bantuan Arlon dan kelompoknya, dia merasa siap untuk menghadapi segala rintangan.

Dengan pelatihan dan pengetahuan dari Arlon, Endalast mulai mempersiapkan diri untuk pertempuran besar yang akan datang. Dia tahu bahwa hari itu akan tiba, saat dia harus menghadapi Lurian dan Raja Norval. Dan ketika hari itu tiba, dia akan siap.

Di tengah hutan yang gelap, di bawah bimbingan sang tabib tua yang bijaksana, Endalast menemukan kekuatan baru dalam dirinya.

Kekuatan untuk bertahan, kekuatan untuk melawan, dan kekuatan untuk membalas dendam atas kematian keluarganya. Dan dengan setiap langkah yang dia ambil, dia semakin mendekati tujuannya yakni merebut kembali takhta yang menjadi haknya, dan membawa keadilan bagi kerajaan Ganfera.

BAB 3: Pendirian Kembali

.......

.......

.......

...——————————...

Setelah berbulan-bulan berlatih di bawah bimbingan Arlon, Endalast merasa lebih siap dan percaya diri. Dia tahu bahwa langkah berikutnya adalah mengumpulkan sekutu.

Sekutu yang akan dia kumpulkan berguna untuk membantu merebut kembali takhta, dia membutuhkan dukungan dari kerajaan-kerajaan tetangga yang pernah menjadi sekutu ayahnya.

Di dalam gua yang menjadi markas sementara mereka, Endalast duduk bersama Sir Alven, Sir Cedric, dan Arlon. Mereka membahas rencana untuk mencari dukungan.

“Kita harus mulai dengan Kerajaan Ethoria,” kata Sir Alven. “Mereka adalah sekutu setia Raja Thalion selama bertahun-tahun. Raja Edmund adalah sahabat karib ayahmu, Pangeran.”

Endalast mengangguk, mengenang cerita-cerita yang pernah didengarnya tentang persahabatan antara ayahnya dan Raja Edmund.

“Aku setuju. Ethoria adalah tempat yang tepat untuk memulai. Tapi kita harus pintar dalam meyakinkan mereka. Musuh kita sangat kuat, dan kita butuh semua dukungan yang bisa kita dapatkan.”

Arlon menambahkan, “Kita harus menyusun argumen yang kuat dan menunjukkan kepada mereka bahwa kita bisa berhasil. Kita juga perlu memikirkan cara untuk melindungi mereka dari ancaman yang mungkin datang dari Lurian dan Raja Norval.”

Mereka menghabiskan beberapa hari berikutnya merencanakan perjalanan mereka dan mempersiapkan argumen yang kuat untuk disampaikan kepada Raja Edmund. Endalast memutuskan untuk turun tangan langsung, menunjukkan tekad dan keberaniannya.

Setelah perjalanan yang melelahkan, Endalast dan rombongannya tiba di gerbang besar Kerajaan Ethoria. Dinding tinggi dan menara penjagaan menjulang di hadapan mereka, menunjukkan kekuatan dan kemegahan kerajaan ini.

Para penjaga segera mengenali lambang keluarga Ganfera pada pakaian Endalast dan mengizinkan mereka masuk. Endalast membuang nafas lega karena dia diterima baik di kerajaan Ethoria.

Di dalam istana, Raja Edmund duduk di atas takhta, dikelilingi oleh para penasehat dan pejabat tinggi. Dia adalah seorang pria tua dengan rambut abu-abu dan mata yang tajam. Meski usianya sudah lanjut, wibawanya masih terasa kuat.

“Pangeran Endalast,” Raja Edmund menyambut mereka dengan suara berat namun ramah. “Aku mendengar tentang nasib malang yang menimpa keluargamu. Apa yang bisa aku lakukan untuk membantumu?”

Endalast berlutut dengan hormat di hadapan Raja Edmund. “Yang Mulia, saya datang untuk meminta dukungan anda. Kerajaan kami telah jatuh karena pengkhianatan paman saya sendiri, Lurian, yang bekerja sama dengan Raja Norval. Saya bertekad untuk merebut kembali takhta dan mengembalikan kehormatan keluarga Ganfera. Tetapi saya tidak bisa melakukannya sendiri. Saya membutuhkan bantuan anda.”

Raja Edmund mengangguk perlahan. “Thalion adalah sahabatku. Kami telah melalui banyak hal bersama. Aku berhutang budi padanya. Tapi situasi ini sangat berbahaya, Pangeran. Lurian dan Norval adalah musuh yang kuat. Bagaimana kau berencana untuk melawan mereka?”

Endalast mengambil napas dalam-dalam sebelum menjawab. “Saya telah berlatih di bawah bimbingan Arlon, tabib yang bijaksana. Saya telah belajar banyak tentang strategi dan taktik perang"

"Saya juga telah mengumpulkan beberapa prajurit setia yang siap berjuang bersama. Namun yang paling penting, Saya memiliki tekad untuk memenangkan ini. Saya percaya bahwa dengan dukungan kerajaan Ethoria, kita bisa berhasil.”

Raja Edmund menatap Endalast dengan mata yang tajam, seolah menilai ketulusan dan keberanian pangeran muda itu. Setelah beberapa saat, dia berbicara lagi. “Aku melihat cahaya yang sama dalam dirimu seperti yang kulihat dalam diri ayahmu. Thalion adalah raja yang bijaksana dan penuh keberanian, dan aku percaya kau mewarisi sifat-sifat itu.”

Endalast merasa bangga dan terharu mendengar kata-kata itu. “Terima kasih, Yang Mulia. Aku berjanji tidak akan mengecewakanmu.”

Raja Edmund tersenyum tipis. “Baiklah, Pangeran. Ethoria akan mendukungmu. Aku akan mengirimkan pasukan dan persediaan untuk membantu perjuanganmu. Kita akan melawan bersama-sama.”

Kegembiraan meliputi ruangan itu saat para penasehat dan pejabat tinggi menyatakan dukungan mereka. Endalast merasa beban di pundaknya sedikit berkurang. Dengan dukungan Ethoria, langkah pertama dalam rencananya telah berhasil.

Di malam hari, Endalast dan Raja Edmund duduk bersama di ruang pribadi raja, membahas detail rencana mereka. Sir Alven dan Arlon juga hadir, memberikan masukan dan strategi.

“Kita harus bergerak cepat,” kata Sir Alven. “Setiap hari yang berlalu, Lurian semakin memperkuat posisinya. Kita harus melancarkan serangan secepat mungkin.”

Raja Edmund mengangguk setuju. “Aku akan memerintahkan pasukan untuk bersiap. Kita akan menyerang dari beberapa arah, mengejutkan musuh dan memotong jalur komunikasi mereka.”

Arlon menambahkan, “Kita juga harus berhati-hati dengan mata-mata musuh. Mereka mungkin akan mencoba menyabotase rencana kita.”

Endalast mendengarkan dengan seksama, menyerap setiap saran dan strategi yang diberikan. Dia merasa lebih siap dan yakin dengan setiap keputusan yang diambil. “Kita akan memenangkan ini. Demi ayahku, demi rakyat Ganfera.”

Malam itu, di kamar pribadinya, Endalast merenung tentang semua yang telah terjadi. Dia merasa bangga dengan dukungan yang dia dapatkan, tetapi dia juga menyadari tanggung jawab besar yang ada di pundaknya. Dia harus memastikan bahwa setiap langkah yang dia ambil adalah langkah yang tepat.

Hari berikutnya, persiapan dimulai. Pasukan Ethoria bersiap untuk perang, sementara Endalast dan kelompoknya bekerja keras untuk memastikan semua rencana berjalan lancar. Mereka mengirim utusan ke kerajaan-kerajaan tetangga lainnya, mencari lebih banyak dukungan.

Selama beberapa minggu berikutnya, Endalast dan Raja Edmund terus merencanakan dan mempersiapkan. Pasukan mereka mulai bergerak, menyusup ke wilayah musuh dan mengumpulkan informasi penting.

Mereka menemukan bahwa Lurian dan Raja Norval sedang memperkuat pertahanan mereka, tetapi mereka belum sepenuhnya siap untuk serangan besar.

“Kita harus menyerang sekarang, sebelum mereka siap sepenuhnya,” kata Endalast kepada Raja Edmund. “Ini adalah kesempatan terbaik kita.”

Raja Edmund menyetujui rencana itu. “Kita akan melancarkan serangan malam ini. Semua pasukan sudah siap. Semoga dewa-dewa bersama kita.”

Malam itu, pasukan Ethoria dan prajurit setia Ganfera bergerak dalam kegelapan, menyusup ke wilayah musuh dengan hati-hati. Endalast memimpin pasukannya dengan keberanian, menunjukkan keteguhan hati yang dia warisi dari ayahnya.

Mereka melancarkan serangan mendadak, mengejutkan pasukan Lurian dan Raja Norval. Pertempuran berlangsung sengit, tetapi dengan keberanian dan strategi yang tepat, mereka berhasil memukul mundur musuh.

“Kita berhasil, Pangeran!” seru Sir Cedric setelah pertempuran usai. “Ini adalah kemenangan besar bagi kita.”

Endalast mengangguk, merasa lega namun tetap waspada. “Ini baru permulaan. Kita masih harus melanjutkan perjuangan ini. Tapi aku percaya, dengan dukungan dari Ethoria dan sekutu lainnya, kita akan menang.”

Dengan kemenangan pertama ini, semangat dan tekad Endalast semakin kuat. Dia tahu bahwa perjalanan masih panjang dan penuh bahaya, tetapi dia siap menghadapi segala rintangan.

Dengan dukungan sekutu-sekutu yang setia, dia akan terus maju, membawa kehormatan dan keadilan bagi kerajaan Ganfera.

Dan di bawah bimbingan Arlon dan dukungan Raja Edmund, Endalast melangkah ke depan siap untuk merebut kembali takhta yang menjadi haknya dan mengembalikan kejayaan keluarganya.

Perjuangan ini baru dimulai, dan dengan setiap langkah yang dia ambil, Endalast semakin dekat dengan tujuannya yakni membalas dendam atas kematian keluarganya dan memulihkan kehormatan kerajaan Ganfera.

...——————————...

Setelah berhasil mendapatkan dukungan dari Kerajaan Ethoria, langkah berikutnya bagi Endalast adalah mencari sekutu di Kerajaan Rirval.

Kerajaan ini memiliki ikatan kuat dengan mendiang ibunya, Ratu Althea. Dengan harapan dan tekad yang membara, Endalast dan rombongannya memulai perjalanan menuju Rirval.

Kerajaan Rirval terletak di lembah yang subur, dikelilingi oleh pegunungan tinggi yang menjaganya dari serangan musuh. Rirval dikenal sebagai kerajaan yang makmur dengan kebudayaan yang kaya dan rakyat yang bahagia.

Istana Rirval, dengan menara-menara indah dan taman-taman yang luas, mencerminkan keagungan dan kebijaksanaan penguasanya.

Endalast tiba di gerbang istana Rirval dengan perasaan campur aduk. Dia tahu bahwa dia harus membuktikan dirinya di hadapan Raja Rirval untuk mendapatkan dukungan yang sangat dibutuhkannya.

Di ruang tahta, Raja Rirval duduk dengan anggun. Dia adalah seorang pria berusia paruh baya dengan rambut hitam yang mulai memutih di beberapa tempat, dan mata hijau yang penuh kebijaksanaan.

Di sampingnya duduk Ratu Alana, wanita cantik dengan rambut pirang panjang dan senyum lembut yang mengingatkan Endalast pada mendiang ibunya.

“Pangeran Endalast Ganfera,” Raja Rirval menyapa dengan suara dalam. “Kami telah mendengar tentang tragedi yang menimpa keluargamu. Apa yang bisa kami lakukan untuk membantumu?”

Endalast berlutut dengan hormat. “Yang Mulia, saya datang untuk meminta bantuanmu. Paman saya, Lurian, telah melakukan kudeta dengan bantuan Raja Norval."

"Keluarga saya dibantai, dan saya bertekad untuk merebut kembali takhta yang menjadi hakku. Saya membutuhkan dukungan dari kerajaan yang pernah menjadi sahabat sejati keluarga saya.”

Ratu Alana menatap Endalast dengan mata penuh belas kasihan. “Aku mengenal ibumu dengan baik, Pangeran. Althea adalah sahabatku. Kami berjanji untuk selalu saling mendukung. Aku merasakan kesedihanmu dan kehilanganmu.”

Raja Rirval mengangguk setuju. “Kami memiliki ikatan kuat dengan kerajaan Ganfera. Namun, sebelum kami memberikan dukungan penuh, kami ingin melihat tekad dan keberanianmu, Pangeran. Kami ingin tahu bahwa kau benar-benar siap untuk menghadapi tantangan ini.”

Endalast mengerti bahwa ini adalah ujian yang harus dia lewati. “Apa yang harus saya lakukan, Yang Mulia?”

Raja Rirval tersenyum tipis. “Di lembah sebelah selatan, terdapat sebuah gua yang dihuni oleh seekor naga. Naga ini telah menjadi ancaman bagi desa-desa kami. Banyak prajurit yang telah mencoba mengalahkannya, tetapi tidak ada yang berhasil."

"Jika kau bisa mengalahkan naga itu, kami akan tahu bahwa kau memiliki keberanian dan kemampuan untuk memimpin. Kami akan memberikan dukungan penuhmu.”

Endalast merasa beban berat di pundaknya, tetapi dia tidak gentar. “Aku akan menghadapi naga itu dan membuktikan diriku, Yang Mulia.”

Dalam persiapan untuk tugas berat ini, Endalast dan rombongannya mempersiapkan diri dengan matang. Arlon memberikan ramuan dan pengetahuan tentang cara mengatasi luka bakar, sementara Sir Alven dan Sir Cedric membantu merencanakan strategi.

“Pangeran, ini akan menjadi ujian yang berat,” kata Arlon dengan serius. “Naga itu tidak hanya kuat, tetapi juga sangat licik. Kau harus berhati-hati dan tetap fokus.”

Endalast mengangguk. “Aku mengerti. Tapi aku harus melakukannya. Untuk keluargaku, dan untuk masa depan kerajaan kita.”

Mereka berangkat menuju lembah selatan, tempat dimana gua naga berada. Saat mereka mendekati gua, udara semakin panas dan bau sulfur semakin kuat. Endalast bisa merasakan ketegangan di udara.

“Aku akan masuk ke dalam gua sendirian,” kata Endalast dengan tegas. “Ini adalah ujian untukku. Kalian tetap di sini dan bersiap jika aku membutuhkan bantuan.”

Sir Alven dan Sir Cedric saling berpandangan, lalu mengangguk. “Baik, Pangeran. Kami akan berjaga di luar.”

Endalast memasuki gua dengan hati-hati, pedangnya terhunus di tangannya. Di dalam gua, dia bisa merasakan kehadiran naga. Suara napas berat dan gemuruh terdengar semakin dekat.

Tiba-tiba, dari kegelapan, muncullah seekor naga besar dengan sisik hitam berkilau dan mata merah menyala.

Naga itu mengaum, menyebabkan gempa kecil di dalam gua. Endalast merasakan ketakutan yang luar biasa, tetapi dia tidak mundur. Dia mengingat kata-kata Arlon dan semua pelatihan yang dia jalani.

“Aku datang untuk menghentikanmu, naga,” teriak Endalast dengan suara yang mantap, meskipun hatinya berdebar kencang. “Kau telah menjadi ancaman bagi desa-desa di sekitar sini. Pertarungan kita dimulai sekarang.”

Naga itu mengaum lagi, mengeluarkan semburan api ke arah Endalast. Dengan refleks cepat, Endalast melompat ke samping, menghindari api dan mendekati naga dari sisi yang berbeda. Dia tahu bahwa dia harus menggunakan kecerdikannya untuk mengalahkan makhluk ini.

Dengan serangkaian serangan cepat dan manuver yang cerdik, Endalast berhasil melukai naga di beberapa tempat. Naga itu semakin marah, menyerang dengan lebih ganas.

Endalast tetap tenang, menggunakan taktik dan strategi yang dia pelajari dari Arlon dan para prajurit lainnya.

Setelah pertarungan yang tampak seperti berjam-jam, Endalast akhirnya menemukan titik lemah di bawah perut naga. Dengan satu serangan terakhir yang penuh kekuatan, dia menusukkan pedangnya ke titik itu, menembus kulit keras naga dan mengenai jantungnya.

Naga itu mengaum keras untuk terakhir kalinya, lalu jatuh ke tanah dengan bunyi gemuruh yang mengguncang gua. Endalast terengah-engah, tubuhnya dipenuhi keringat dan luka, tetapi dia telah berhasil. Naga itu mati.

Dia keluar dari gua, membawa kepala naga sebagai bukti kemenangannya. Sir Alven, Sir Cedric, dan Arlon menyambutnya dengan sorak sorai dan pelukan. “Kau berhasil, Pangeran! Kau telah membuktikan keberanianmu!”

Endalast tersenyum lelah tetapi bangga. “Ini baru permulaan. Masih banyak yang harus kita lakukan.”

Kembali ke istana Rirval, Endalast disambut dengan kehormatan besar. Raja Rirval dan Ratu Alana tersenyum bangga melihatnya. “Kau telah membuktikan dirimu, Pangeran Endalast. Kau menunjukkan keberanian yang luar biasa dan tekad yang kuat.”

Ratu Alana mendekat, meletakkan tangannya di bahu Endalast. “Ibumu pasti sangat bangga padamu. Kami akan mendukungmu sepenuh hati. Pasukan Rirval akan bergabung denganmu dalam perjuanganmu merebut kembali takhta.”

Endalast merasa lega dan berterima kasih. “Terima kasih, Yang Mulia. Dukunganmu sangat berarti bagi kami. Bersama-sama, kita akan mengalahkan Lurian dan Raja Norval.”

Dalam beberapa hari berikutnya, pasukan dari Kerajaan Rirval mulai bersiap-siap untuk bergabung dengan pasukan dari Ethoria.

Endalast dan kelompoknya merencanakan langkah berikutnya dengan hati-hati, menyusun strategi untuk menghadapi musuh yang kuat.

Dengan dua kerajaan yang kuat mendukungnya, Endalast merasa lebih siap daripada sebelumnya. Dia tahu bahwa perjalanan masih panjang dan penuh bahaya, tetapi dengan sekutu-sekutu setia di sisinya, dia yakin bahwa kemenangan ada dalam jangkauannya.

Malam itu, saat Endalast beristirahat di kamarnya, dia merenung tentang semua yang telah terjadi. Dia teringat kata-kata ibunya sebelum menyuruhnya kabur, sorot mata penuh dendam yang menaruh harapan untuk membunuh semua orang yang terlibat dalam kudeta.

“Aku berjanji, Ibu,” bisik Endalast kepada dirinya sendiri. “Aku akan membawa keadilan bagi keluarga kita dan mengembalikan kehormatan kerajaan Ganfera. Aku tidak akan berhenti sampai Lurian dan Raja Norval dihukum atas kejahatan mereka.”

Dengan tekad yang semakin kuat, Endalast mempersiapkan dirinya untuk pertempuran berikutnya. Dia tahu bahwa jalan di depan masih panjang dan penuh rintangan, tetapi dengan dukungan dari sekutu-sekutunya, dia yakin bahwa dia bisa mencapai tujuannya.

Di bawah bimbingan Arlon dan dengan dukungan dari Raja Edmund dan Raja Rirval, Endalast melangkah maju, siap untuk melanjutkan perjuangannya.

Setiap langkah yang dia ambil membawanya lebih dekat kepada tujuannya yakni merebut kembali takhta yang menjadi haknya dan membawa keadilan bagi keluarganya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!