NovelToon NovelToon

Komedi Romantis Kala Korona

Huh? Ada Tugas? (Part 1)

Mengapa orang berpacaran?

Apakah karena cinta?

Atau hal yang lainnya?

Yang tau tolong kasih tau aku.

Aku perlu jawabannya. Segera. Karena, aku nggak ngerti apapun soal pacaran!

Iya. Aku. Niki Arsenio. Kelas 11. Sedang penasaran. Mengapa ketiga cewek paling cantik di kelas memintaku jadi pacar mereka.

Cewek pertama, Ferranda Laila Kusuma. Bendahara kelas. Yang ter-killer sepanjang sejarah SMAN 24. Alih-alih membentak dan meneriakimu, Ferra justru menagih kas sambil berbisik lembut ke telingamu. Menerpa kulitmu dengan napasnya yang hangat. Dan membuat otakmu nge-blank kerena samponya yang wangi. Jika mentalmu lemah, semua lubang di tubuhmu akan mengeluarkan darah.

Cewek kedua, Sheina Apriliana. Nggak bisa bicara banyak tentang Sheina. Intinya dia pemalu. Oh, ya, Perlu kuklarifikasi Sheina bukanlah tipe cewek yang selalu jadi dirigen pas upacara bendera. Dia juga nggak bawa martil ke mana-mana.

Dan yang terakhir—semoga saja begitu—Arini. Jujur, males banget memperkenalkannya padamu. Arini itu nyebelin. Tapi karena dia terlibat, aku terpaksa melakukannya. Tipikal cewek kasar, ambisius, suka meremehkan orang lain, sok cantik (ya, emang cantik, sih) dan jual mahal. Arini merupakan paket komplit dari semua itu.

Tentu sebagai laki-laki normal yang tertarik dengan lawan jenis, aku senang dengan apa yang menimpaku. Hanya saja, apakah semua ini nyata? Bukankah ini terlihat sangat dipaksakan?

Dan aku juga takut. Mereka berkonspirasi untuk menjebakku dalam permainan asmara yang sering kulihat di anime-anime komedi romantis. Aku dimintai jadi pacar mereka. Tanpa peduli bagaimana pendapatku, dan virus Covid-19 yang mengamuk di luar.

Aku menolak. Protokol kesehatan alasannya. Tidak, bukan itu. Aku menolak, karena aku tahu batasanku. Mustahil aku yang penyendiri dan nggak mempunyai teman ini, bisa memacari tiga cewek sekaligus. Namun, mereka terus memaksa. Bekerja sama, hingga akhirnya aku terpojok. Mau tidak mau aku harus melakukan apa yang mereka inginkan.

Awalnya aku memang ogah-ogahan. Tapi aku takkan bohong saat bilang kalo pacaran itu menyenangkan, nyaris trauma. Walaupun niatku hanya untuk kepentingan diri sendiri, percayalah, ketika eksekusi, sulit untuk mengendalikan perasaan. Sulit untuk nggak baper.

Komedi romantis kala korona, huh?

Merepotkan saja.

***

Nanti link meet-nya aku bagikan, tunggu, ya. Lagi chat Ibu-nya, nih.

Pesan grup WA kelas muncul di notifikasi.

Tumben. Hari apa ini? Senin. Pelajaran pertama, Bahasa Indonesia. Kena angin apa Bu Fatma jadi memilih melaksanakan pembelajaran lewat google meet alih-alih spam tugas di Google Classroom?

Aku memutar bola mata. Kembali fokus ke game. Suka-suka beliau saja. Lagipula apa pengaruhnya untukku? Mau Bu Fatma minta muridnya untuk mengadakan pertemuan di Google Meet, Zoom meeting, video call WA, aku tetap akan farming di map 3-4 untuk membawa pulang duo luwak ke pangkuanku. Aku menyengir, hidungku kembang kempis. Akagi, Kaga, wangy-wangy!

Ya, setidaknya ekspresi dan imajinasi menjijikkanku itu bertahan sampai notifikasi ke dua muncul di layar.

Hari ini kita akan bahas tentang tugas kelompok video wawancara yang sudah dikumpulkan minggu lalu, jadi jangan sampai terlambat, ya!💕💕

Aku seketika bangkit dari tiduran di kasur. Tugas apa lagi ini?! Aku ingat selalu mendaftar tugas. Entah yang dikirimkan semrawut di grup WA ataupun di Google Classroom. Jadi, nggak mungkin keteter. Ok. Ini nggak penting. Tapi mulai sekarang Google Classroom akan kusingkat GC saja. Semua orang sudah tahu, bodoh! Aku tahu itu! Aku hanya ingin menenangkan diri karena aku sedang panik!

Sedetik kemudian muncul notifikasi beruntun memenuhi layar smartphone-ku.

Siap, Bu Ketua kelas!

Enggeh, Bu Ketua.

🗿

Jangan panggil aku Bu Ketua Kelas, dong, aku belom pernah beranak Ketua Kelas...

Wkwkw.

Spam chat sebanyak itu sontak membuat smartphone mid end-ku nge-lag parah, kapal-kapal chibi yang tengah bertempur di lautan kini bergerak seperti wayang yang digerakin dalang mabuk.

Mana bisa main kalo kayak gini?!

Keluar dari game dengan paksa, aku melompat ke meja belajar. Menyalakan komputer. Tidak langsung menyala. Harus menunggu dulu selama kurang lebih tiga menit seolah tiga jam. Menyala. Skip ritual tekan refresh, aku langsung mengarahkan kursor ke folder bertuliskan "kelas 11 MIPA 1". Ada beberapa sub folder. Kubuka folder "Bahasa Indonesia". Berderet file-file dari, dock, ppt, dan pdf. Hanya itu. Nggak ada file video. Tuh kan, aku memang nggak ngerjain!

Aku bersandar di kursi. Mengendalikan napas. Kuseka keringat di pelipis. Wajar aku panik. Di antara guru-guru yang lain, hanya tugas dari Bu Fatma lah yang paling kuperhatikan. Bukan berarti aku rajin. Aku hanya nggak ingin bermasalah dengan beliau. Sebelum pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) diberlakukan, Bu Fatma dikenal killer. Disiplin ketat akan tugas. Telat dikit, eksekusi. Hukuman di tempat, jika itu di sekolah. Memang pada saat pembelajaran dari rumah seperti ini nggak ada hukuman fisik, tapi hukuman mental masih ada. Satu menit pun lewat dari deadline pengumpulan tugas, nilaimu yang kosong melompong akan ditampilkan saat review materi di akhir pertemuan. Ikut UAS sudah nggak berarti apa-apa saat semua nilai tugas harianmu berbentuk telur busuk. Itu yang terjadi pada teman sekelasku di akhir semester kelas 10. Dia nggak naik kelas.

Nah bagaimana mungkin aku nggak panik saat jelas-jelas nggak ngerjain tugas kelompok membuat video!

Tunggu dulu.

Tugas kelompok!

Tugas dan kelompok. Sebuah kombinasi yang dinamis, klimis, dan eksotis. Di mana hanya ada sebagian yang benar-benar mengerjakan dan sisanya nganggur. Numpang nama tanpa perasaan bersalah dan mendapat nilai yang setara dengan yang mengerjakan. Betapa menjijikkannya makhluk seperti itu. Dan makhluk itu adalah aku! Ya! Aku punya kelompok. Kelompokku pasti sudah mengerjakan tugasnya. Aku selamat!

Namun, perasaan meledak itu langsung padam karena aku baru sadar. Emang aku satu kelompok sama siapa? Terus emang mereka masukin namaku saat mengumpulkan videonya?

Kusambar smartphone-ku dan mulai mengetik di grup.

Btw, aku sekelompok sama siapa?

Hapus. Kelihatan banget nggak ngerjain. Lebih dari itu kesannya seolah aku dibuang dari kelompok atau parahnya nggak dapat kelompok.

Huh? Ada tugas?

Orang bodoh dari kota mana lagi ini? Aku menyemburkan napas frustasi. Kembali rebahan. Tengkurap memandangi layar dengan sendu. Awan chat bersahut-sahutan. Lupakan saja. Akan aneh jadinya saat aku yang nggak pernah ikut nimbrung di grup, tiba-tiba muncul. Kunyuk-kunyuk sok asik. Kayak teman lama yang tiba-tiba datang karena mau berhutang.

Aku membenamkan wajah pada bantal bermotif bunga matahari. Apa kucoba chat pribadi Ketua Kelas saja, ya? Tapi aku nggak pernah nge-chat seseorang secara langsung. Kecuali guru dan orang tuaku. Itupun bukan aku yang nge-chat duluan.

Jika aku nge-chat ketua kelas, apakah dia akan membalas? Mengingat kami nggak pernah bicara. Aku nggak akrab dengannya. Juga teman sekelas lainnya. Aku mengangguk-ngangguk. Nggak ada ruginya mencoba. Lagipula, aku bertanya tentang tugas, bukan yang aneh-aneh. Nggak ada alasan untuknya mengacuhkanku.

Ketua kelas, minta tolong bisa kirimkan data nama pembagian tugas kelompok membuat video itu? Mau kuarsipkan.

Biasanya ada. Kirim. Baiklah. Mari kita tunggu.

Semenit.

Dua menit.

Tiga menit.

Tidak ada tanda centang dua berubah biru. Biar begitu, tentu Ketua Kelas menyadari pesanku di notifikasi. Aku masih menatap layar smartphone was-was. Chat yang kukirimkan harusnya sudah memenuhi kriteria tata krama untuk nge-chat teman sekelas yang kurang akrab. Singkat dan to the point.

Chat-ku dibaca.

Ketua kelas sedang mengetik.

Ini dia!

Niki? Tumben kamu nge-chat. Tunggu bentar, ya.

Aku tertegun. Lima menit. Rekor tercepat chat-ku dibalas cewek. "Ok." Tanpa sadar aku menggumamkan ketikanku.

Pesanku nggak dibaca. Menunggu lagi. Kukira Ketua Kelas sedang pusing mencari file datanya di penyimpanan telepon. Aku tertawa dalam hati. Benar-benar nggak ada akhlak.

Namun, ternyata nggak. Beberapa menit kemudian, tepatnya pukul delapan, Ketua Kelas mengirimkan link yang sudah dijanjikan.

Huh? Ada Tugas? (Part 2)

Masuk, guys. Absen. Bu Fatma sudah nungguin. Jangan sampai ada yang dialpa, pesan beliau.

Tunggu.

Mana data nama kelompok yang kuminta?! Aku geregetan. Harusnya aku tahu. Aku bukan prioritas Ketua Kelas saat ini. Emang iya, sih. Tapi kan aku yang duluan? Nggak juga.

Aku hendak melempar smartphone-ku ke kasur—karena kalo ke lantai bakal rusak—sebelum notifikasi dari Ketua Kelas bergetar. FYI, smartphone-ku selalu mode silent.

Maaf, Niki, nanti file-nya kukirim habis pelajaran Bu Fatma aja, ya. Laptopku tiba-tiba nge-hang, file-nya di sana semua soalnya.

Press F to pay respect.

F.

Hanya huruf itu yang bisa kuketikkan. Habis sudah harapanku.

Haha. Biasanya bener sendiri, sih. Niki, buruan kamu masuk, Bu Fatma nyariin. Ntar kamu dialpa, lho.

Dengan pasrah, aku mengklik link yang tadi Ketua Kelas bagikan. Apa yang lebih menakutkan dari sekolah online? Dialpa atau dimarahin karena telat masuk meet? Kurasa keduanya menakutkan. Terkhusus untuk kasusku.

Di meet, aku langsung diceramahi Bu Fatma. Isinya tentang kedisiplinan dan kemampuan membagi waktu. Kudengarkan saja. Sampai mendapat giliran bicara, baru kukatakan bahwa jaringanku bermasalah dengan terpotong-potong. Ulang. Pura-pura terpotong-potong. Masalah pun selesai. Harusnya. Perlu diingat aku datang tanpa mengetahui yang mana dari 28 murid di kelas ini yang merupakan kelompokku. Aku seperti orang asing di acara kumpul keluarga.

Satu per satu tugas video di-review. Kekurangan maupun kelebihan sekecil apapun nggak luput dari mata Bu Fatma. Aku manggut-manggut memperhatikan tugas video kelompok-kelompok yang ditampilkan. Tugas video wawancara tentang dampak korona pada suatu profesi. Siswa bebas memilih. Mulai dari polisi sampai penjual gado-gado. Dan tentu saja aku nggak ingat apapun tentang tugas semacam ini.

Sebenarnya bukan kritikan tajam dari Bu Fatma yang bikin merinding. Melainkan, saat Bu Fatma memanggil setiap nama dari masing-masing kelompok. Nama yang dipanggil, harus menjabarkan peran serta dirinya dalam pengerjaan tugas. Sekali lagi. Menjabarkan. Bukan menyebutkan. Dengan begini, Bu Fatma jadi tahu siapa yang benar-benar ngerjain atau sekedar numpang nama.

Aku duduk mematung menatap layar. Menunggu namaku dipanggil sudah kayak menunggu giliran disunat. Keringat dingin membanjiri pelipis. Aku tetap berusaha memegangi smartphone meski tanganku mulai kebas. Kalau nggak akan bikin masalah yang lebih besar, mending aku AFK saja.

"Kelompok 6 sudah," ujar Bu Fatma melalui meet. "Giliran Kelompok 7, ya. Kelompok terakhir."

Aku menarik napas, lalu mengembuskannya. Entah sejak kapan napasku jadi manual. Aku berharap namaku disebutkan, tapi di sisi lain juga tidak.

Video Kelompok 7 ditayangkan. Layar meet yang tadinya menampakkan wajah Bu Fatma yang satu-satunya buka kamera, kini beralih menjadi layar penuh warna. Animasi kupu-kupu merah muda terbang membelah layar meninggalkan jejak nama-nama anggota kelompok.

"Bagus," komentar Bu Fatma. "Ibu suka warnanya."

Aku tersenyum sendiri menatap layar. Mengesampingkan intro alay serta kecewekkan-cewekkan yang terlihat familiar itu, editannya memang bagus, bukan, tapi sempurna. Dan, coba tebak apa yang membuatnya sempurna. Ada namaku di sana! Ya, walaupun ditulis agak kecil dan ditaruh di pojokan, tapi itu namaku! Benar-benar namaku!

Air mataku hampir menetes. Aku dianggap. Kelompokku adalah malaikat!

Bu Fatma menjeda video, mengabsen nama yang terpampang. "Ferra Laila Kusuma, Sheina Apriliana, Arini, dan Niki Arsenio. Kerja bagus. Sejauh ini video kalian yang paling estetik menurut Ibu."

Dadaku mengembang. Meski bukan aku yang ngerjain, tapi kapan lagi dipuji oleh guru killer sekaliber Bu Fatma? Ingin rasanya aku buka mic dan bilang, "Terima kasih, Bu. Semua ini memang nggak akan terjadi tanpa kerja sama kami semua. Tentu saja." Namun urung karena aku masih sadar tata krama. Orang yang hanya numpang nama nggak usah banyak bacot. Sudah untung namaku ditulis. Jadi, berterimakasihlah.

"Te-terima kasih, Bu." Sheina yang membalas. Aku tau karena melihatnya dari daftar nama peserta meet.

Bu Fatma melanjutkan video. Nampak masing-masing anggota memperkenalkan diri. Menyebut nama dan nomor absen. Sepertinya, video diambil di kediaman masing-masing lalu di satukan. Wah, kelompok sebelumnya nggak ada yang seperti ini. Benar-benar inovatif.

Sejauh ini aku bangga pada kelompokku, sampai Bu Fatma berkata. "Lho? Kenapa cuma tiga orang yang perkenalan? Niki mana? Oh, sekalian wawancara mungkin." Video dipercepat ke bagian tengah. "Rini yang wawancara. Niki kerjanya apa di sini? Niki. Niki masih ada?"

Smartphone-ku jatuh. Untung ke kasur. Aku memungutnya dengan tangan gemetar dan berkeringat. Jariku mengawang diantara dua tombol. Antara tinggalkan meet atau open mic. Antara kabur atau berbohong lagi yang sudah pasti ketahuan karena aku memang nggak ngerjain.

Aku hampir menekan tombol merah ketika samar-samar suara klakson terdengar di meet. Seseorang yang sedang berada di ruang terbuka tengah membuka microphone-nya. Arini.

"Halo halo. Tes. Apa suara saya terdengar?"

"Iya, Arini, terdengar," sahut Bu Fatma.

"Begini, Bu, mungkin Niki lagi benar-benar bermasalah sama jaringannya. Maklum, Bu, anak itu memang jarang bergaul, jadi sama jaringan aja hubungannya nggak harmonis. Tapi, Niki benar-benar mengerjakan tugasnya, kok, Bu," lanjutnya tergesa.

"Benarkah?"

Persis, aku juga menanyakan hal yang seperti Bu Fatma. Sebenarnya, aku mengerjakan tugas atau nggak, sih? Mana yang benar? Dari ingatanku, jelas tidak. Apa jangan-jangan aku amnesia? Tiba-tiba bangun di rumah sakit kayak di sinetron yang sering ditonton Mama. Aku melihat sekeliling. Lemari penuh tumpukan buku dan konsol gim. Ini jelas kamarku.

"Iya, Bu," jawab Arini. Dari nada suaranya, sih, mantap. Nggak ada keraguan.

Bu Fatma menghentikan presentasi. Kacamatanya memantulkan cahaya monitor. Tipikal orang-orang tua pas melakukan video conperence, wajah Bu Fatma terlalu dekat dengan kamera. "Lalu, Niki kebagian mengerjakan apa? Tidak kelihatan kerjanya dia. Kalo kamu, kan, Rin, kelihatan karena bertugas mewawancarai narasumber. Coba kamu jelaskan apa tugasnya Si Niki. Dari tadi nggak muncul-muncul orangnya. Ibu curiga dia tidak berkontribusi apapun. Kasian kalian yang mengerjakan."

"Siap, Bu. Niki kebagian tugas me—" Suara kendaraan besar meredam suara Arini. "Halo?"

"Lanjutkan, Rin."

"Jadi kami tinggal—" Suara kendaraan besar lagi.

Ini anak dimana, sih? Trotoar? Ngapain? Orang lagi korona, dia malah keluyuran. Astaga.

"Suaramu kurang jelas, Rin," ujar Bu Fatma.

Arini mematikan mic-nya.

Sunyi sejenak. Seseorang membuka mic. Ferra. "Izin masuk, Bu. Kami, kelompok tujuh sudah bagi tugas, Bu; saya yang bikin script, Sheina yang mencari narasumber, Arini yang mewawancarai, dan Niki yang mengedit video. Kenapa Niki tidak ikut perkenalan, karena dia kurang ganteng. Daripada merusak keindahan video yang telah dibuat, lebih baik dia di-skip saja katanya, Bu."

Benar. Aku memang kurang ganteng. Wait, what?! Alasan macam apa itu?!

Bu Fatma terdiam cukup lama sebelum akhirnya mengangguk. Ekspresinya serius. "Baiklah kalau dianya mau begitu. Tapi Ibu tetap perlu klarifikasi langsung dari Niki. Karena sebagai pengajar Ibu harus skeptis dengan setiap informasi yang masuk dan mencari kebenarannya." Bu Fatma pun mengakhiri review tugas video dan pembelajaran yang sangat-sangat kusadari telah berlangsung dua jam. Bu Fatma sekali lagi menekankan kedisiplinan dan jika ada masalah ketika belajar online untuk segera menghubungi beliau. Tentu saja sambil marah-marah. Apalagi dua minggu dari sekarang akan diadakan Ujian Akhir Semester.

Korona memang memaksa kita untuk membatasi aktivitas. Biar begitu kita harus bisa beradaptasi. Jangan mau kalah dengan virus kecil ini. Tetap jaga kesehatan dan patuhi protokol, pesan Bu Fatma. Usai do'a penutup, meet akhirnya dibubarkan.

Aku memandangi layar smartphone. Mencoba memahami kejadian yang baru kualami. Beberapa menit yang lalu, aku terancam nggak naik kelas karena nggak ngerjain tugas. Namun, alih-alih mengadukan atau nggak nulis namaku sekalian, teman kelompokku justru melindungiku. Mengatakan aku mengerjakan tugas. Padahal nggak. Wow. Inikah definisi teman yang sesungguhnya?

Smartphone-ku tiba-tiba bergetar. Satu pesan masuk, dari Ketua Kelas.

listkelompokindo.docx

Itu sudah kukirimkan, ya.

Aku tertawa hambar. Kamu telat, Ketua Kelas. Aku sudah basah dimarahi Bu Fatma. Namun ...

Terima kasih.

Dan selain Ketua Kelas, ada tiga orang lagi yang harus kukirimi ucapan terima kasih dan permintaan maaf karena telah menjadi beban tim. Well, saat main game biasanya aku yang meng-carry, sekarang aku yang di-carry.

Karena aku nggak menyimpan satupun kontak teman sekelas, aku pun membuka grup kelas. Walaupun akan terasa aneh sebab terlalu tiba-tiba, aku berniat untuk mengungkapkan perasaanku secara pribadi kepada Ferra, Sheina, dan Arini. Aduh. Kenapa kedengarannya kayak cowok jones yang mau nembak cewek lewat WA, ya? Ah, sudahlah.

Ketika mencari nomor Sheina di list anggota grup kelas, tiba-tiba smartphone-ku bergetar. Sebuah panggilan suara. Dan smartphone-ku hampir jatuh lagi saat aku tahu siapa yang menelepon. Nomor asing. Tapi dari foto profilnya kayaknya aku kenal cewek ini. Pernah lihat di meet. Ferra?! Benar. Ferra. Demi apa Ferra meneleponku?!

Kepencet kah?

Aku menggeleng. Nggak mungkin. Deringnya lama. Mungkin dia ada perlu. Lagi pula ada yang ingin kusampaikan. Sekalian aja. Jadi aku pun menarik tombol hijau ke atas. Panggilan tersambung tapi nggak ada satupun dari kami yang mulai bicara. Mustahil aku yang lebih dulu, sebab sekarang aku sudah panik sampai ubun-ubun!

Nggak pernah teleponan sama cewek sebaya sejak pertama kali diberi kepercayaan untuk memiliki ponsel oleh ortu. Apa yang kamu harapkan dari cowok seperti itu? Kalimat macho kayak 'Halo Ferra, sudah lama kamu nggak nelpon aku. Kamu nggak apa-apa, kan? Aku rindu suaramu.' Nggak mungkin bisa langsung kayak gitu! Ini bukan chat, di mana aku bisa menyusun kata-kata terlebih dahulu. Ini sama saja dengan bicara langsung. Tapi. Nggak langsung. Gimana, sih?!

Beberapa detik kemudian, dua orang bergabung dalam panggilan. Arini dan Sheina?

"Kenapa nelpon, sih? Udah tau aku sibuk!" cerocos Arini, dengan backsound suara kendaraan berlalu lalang.

Ferra menyahut, "Bukannya kamu sendiri yang bilang kita harus segera membahas hukuman Niki?"

"Iya, tapi nggak sekarang juga kali. Aku matiin. Bye. Oh, hai Sheina."

"H-hai,"

Arini meninggalkan panggilan suara.

Ferra menghela napas. "Aku berusaha untuk mencoba mengerti caranya bekerja tapi dia seolah nggak peduli. Sheina, bisa masukkan Niki ke grup? Kita lanjutkan di sana."

Sheina cepat mengiyakan lalu segera meninggalkan panggilan.

Hanya tinggal aku dan Ferra. Berdua saja.

"Aku tau kamu di sana, Niki," kata Ferra tiba-tiba.

Aku ketahuan! Siaga merah! Pura-pura kendala jaringan!

"Nggak usah panik. Aku nggak gigit, kok. Setidaknya sekarang." Ferra terkekeh. Bulu kudukku meremang. "Seperti yang kamu dengar. Kamu akan dihukum. Tenang saja, kami nggak akan menyakitimu. Hanya sedikit... bermain. Dengan perasaan. Kamu nggak bisa kabur lagi. Kecuali kamu ingin Bu Fatma mengetahui rahasia kecil diantara kita. Niki, cepat atau lambat kamu akan jadi milikku."

Panggilan diakhiri.

Jantungku serasa berhenti. Meski hanya via panggilan WA, Ferra mampu membuatku lupa caranya bernapas. Bukan hanya karena suaranya yang merdu mendayu kayak Onee-san di anime, tapi juga karena kata-kata terakhirnya.

Apa sekarang sudah saatnya mengontak guru BK?

Klandestin (Part 1)

Guru BK sedang offline. Nggak bisa dihubungi. Terakhir dilihat, pukul 06:00. Pasti sedang menikmati liburan. Berhubung sekarang lagi pembelajaran daring, kurasa Guru BK adalah guru yang paling nganggur diantara guru lainnya. Maksudku, hey, ini daring. Dalam jaringan. Ya kali masih ada bullying, baju keluar dari celana buat yang cowok, main bola di kelas, rambut jamet, pakai jaket di kelas (Yang ini aku, sih, biasanya) dan masalah kesiswaan lain yang sebenarnya bersifat sepele. Apa? Menurutmu bullying bukan hal yang sepele? Nih, kata guruku di SMP, siswa yang pernah jadiin aku kacungnya tiap jam istirahat hanyalah bercanda. Mengingat aku dulunya sangat pendiam, itu caranya berteman denganku. Heh! Itu bukan pertemanan, Bu! Tapi perbudakan dengan gaya!

Aku berdiri, membuka laci meja untuk mengambil charger-an. Memasang alarm. Niatnya aku ingin lanjut berburu duo luwak 3-4 sekali lagi. Hanya saja, aku kepikiran terus dengan kata-kata Ferra di telepon. Nggak tau denganmu, bagiku, tadi itu terdengar seperti ancaman. Aku terancam dihukum. Dihukum apa? Kenapa aku dihukum? Salah aku apaan? Aku nggak tau pasti. Mungkin karena nggak ngerjain tugas. Terus, kenapa namaku tetap dicantumkan?

Aku merebahkan diri ke kasur. Sudah kucoba menghubungi Ferra maupun Arini, tapi nggak ada yang aktif WA. Sheina, apalagi, dia seperti menghindariku, pesanku berakhir centang biru. Aku mengacak rambut frustasi. Argh! Gini, nih, kalo satu kelompok sama cewek. Ujung-ujungnya drama!

Aku menggeliat. Baru pukul Sembilan lewat lima belas, tapi kok mager banget? Tunggu. Pukul Sembilan!? Lewat lima belas?! Sekarang waktunya!

Aku buru-buru bangkit dan duduk menghadap komputer. Masih ada setengah jam sebelum jam pelajaran berikutnya. Jadi, aku bisa santai sambil menonton streaming Nika terlebih dahulu.

Arunika Klandestin. Nika, adalah seorang VTuber indie asal Indonesia. Yang akhir-akhir ini baru saja menjadi VTuber dengan subscriber terbanyak di Indonesia. 1,2 Juta. Untuk VTuber dengan audiens utama dalam negeri, itu bukan angka yang sedikit.

Streaming baru mulai lima belas menit lalu saat aku tiba. Aku bernapas lega. Masih bisa kuikuti. Kali ini, Nika memainkan salah satu game legendaris dari Rockstar, Bully. Betapa pemilihan game yang cerdik untuk menarik penonton yang sedang belajar daring.

"Waduh aku dikejar guru! Tolongin guys! Kyaaa! Ahh! Aah!" teriaknya dari balik avatar 2D gadis Elf merah muda imut bergaya anime.

Aku tertawa gemas melihat Jimmy Hopkins yang melompat ke dalam tong sampah demi menghindari kejaran guru. Nika mainnya payah. Namun, tetap ada yang menontonnya. Aku heran, bagaimana dia mendapat rata-rata 15.000 sampai 20.000 penonton per-stream? Apa sekarang sedang pandemi? Orang-orang lagi pada gabut di rumah. Atau karena demam VTuber? Suaranya yang imut? Tingkahnya yang lucu dan bikin kangen? Sampai ... ketagihan?

Aku memandangi Nika di layar komputer, senyumku tak tertahankan. Seraya menumpu kepala dengan tangan, aku bergumam, "Nika, wangy sekali kamu." kemudian terkekeh karena merasa cringe dengan tingkahku sendiri. "Maaf, aku nggak bisa donasi. Aku masih pelajar. Belum ada pemasukan. Namun, aku janji, saat kanal Youtube-ku udah bisa dimonetisasi, seperempat penghasilan pertama darinya akan kudonasikan untukmu, setengahnya untuk mama, dan seperempatnya lagi...." Entahlah, emang ayah mau menerimanya? Mengingat bagaimana ayah yang pasti memarahiku saat tahu ternyata aku masih membuat video-video itu, kurasa tidak. Aku menghembuskan napas. "Ditabung saja untuk beli mic."

Setengah jam kemudian, alarm smartphone-ku berbunyi. Sambil membiarkan stream Nika tetap berjalan, aku langsung absen di GC di tab yang berbeda. Ah sial. Lag. Tak apa, masih bisa. Ayo Komputer-san! Berjuanglah! Bakar semua perangkat kerasmu!

Akhirnya laman GC terbuka. Ada file rangkuman materi Biologi dari Bu Dahlia. PDF. Untuk bahan belajar pas ulangan akhir semester, pesan beliau. Tidak ada pembelajaran untuk hari ini. Lagi. Guru baik dan guru malas itu beda tipis, ya? Aku nggak bisa baca rangkuman itu sekarang. Sebab, smartphone-ku tiba-tiba bergetar. Arini. Aku mengangkatnya, refleks menjauhkan smartphone dari telinga.

"Apaan kamu nelpon-nelpon tadi, aku sibuk, tahu?!"

Lidahku kelu. Belum apa-apa udah meledak aja. "Emm, a-a-aku ingin bertanya soal hukuman yang kalian omongin sebelumnya. Maksudnya apaan—?"

Suara Arini tidak terdengar lagi.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!