“Lapor, Tuan. Kami menemukannya!”
“Posisi?”
“Klub Diamond.”
”Seret wanita itu ke Grand Hotel.”
Begitu panggilan berakhir, Daren membuang napas kasar, akhirnya pencarian selama kurang lebih dua bulan berakhir juga. Pria itu bergegas kembali menemui kliennya dan mengakhiri sesi temu.
Kurang lebih satu jam menunggu, yang nantikan akhirnya tiba. Lima orangnya membawa seorang wanita dan Daren langsung menyeretnya masuk meski wanita itu berontak.
“Siapa kau?” Pertanyaan yang lolos dari bibir wanita itu membuat Daren menyeringai.
“Drama apalagi yang ingin kau lakukan, Della? Berhenti bermain-main denganku!”
“Sejak tadi semua orang memanggilku Della. Kalian salah orang, Tuan. Namaku Daisy, bukan Della.”
“Ini bukan saatnya kau memainkan sandiwara.”
Daren menghela napas kaku, kakinya mendekat ke arah wanita itu. Begitu berhadapan dia mencengkeram rahangnya dengan keras sambil mendesis, “Berhenti berpura-pura, kau tidak sedang dalam posisi bisa bernegosiasi lagi. Cukup bermain-main di luar sana, aku muak dengan segala hal yang kau lakukan!”
Wajahnya menunjukkan keberanian, tetapi berbeda dengan respons tubuhnya yang bergetar. Wanita itu mundur dan berlari ke arah pintu, membukanya sambil berteriak untuk dilepaskan.
Daren tak mengatakan apa pun, pria itu memilih duduk di sofa sambil menuangkan wine ke dalam gelas. Menyesapnya pelan sambil matanya terus mengamati wanita yang saat ini masih terus berteriak kesetanan.
Cukup lama menunggu nyatanya wanita itu tak menyerah. Daren yang mulai hilang kesabaran kembali mendekatinya dan mengangkat wanita itu kemudian melemparnya ke atas ranjang hingga suara pekikan terdengar jelas.
“Diam dan tidurlah.”
“Siapa sebenarnya dirimu, Tuan? Kau menculikku dan menyebut namaku Della, aku bukan dia. Tolong lepaskan aku.” Wanita itu menatap dengan penuh permohonan, tetapi Daren mengabaikannya dan memilih merebahkan tubuh di sofa.
Cukup lama Daren memejamkan mata, suara hantaman keras membuatnya tersentak bangun. Matanya melirik ke arah ranjang dan tak menemukan wanita itu.
“Apa yang kau lakukan? Mencoba kabur rupanya.” Suara Daren yang dingin menyentak wanita itu, membuat tubuhnya menegang karena terkejut. Langkah Daren semakin mantap, sementara wanita itu semakin mundur hingga tubuhnya menubruk dinding.
“Jangan mendekat!” teriaknya yang justru dibalas seringai kejam oleh pria bermanik hitam tersebut.
Daren menghimpit tubuh wanita yang terus berontak dan memukul dadanya mundur. Bahkan ketika tangannya mengungkung wanita itu, tanpa diduga lengannya digigit begitu keras hingga pria maskulin itu memekik terkejut.
“Brengsek! Sepertinya kau memang tidak bisa diperlakukan dengan baik, Della. Kau mungkin lebih suka dengan kekerasan,” umpat Daren, dalam sekali tarikan tubuh wanita itu sudah dalam gendongan.
Daren membawa Daisy kembali ke kamar dan melemparnya ke atas ranjang. Kemudian ikut naik dan berbisik lirih, “Kau tidak akan bisa lari lagi Della.”
“Sudah kukatakan, aku Daisy, bukan Della!” teriaknya dengan wajah ketakutan.
Daren mendekat pada wanita yang berniat kabur, pria itu menarik kaki Daisy hingga dia jatuh terlentang.
Tak membiarkan wanita di bawahnya kembali mengeluarkan suara, Daren langsung membungkam bibir wanita itu dengan sebuah ciuman. Ciumannya kasar dan penuh kemarahan.
“Ahh! Shhh!” desahnya.
Daren berhasil melucuti seluruh pakaian mereka hingga polos. Semakin menambah kegilaan untuk segera menyentuh dan memasukinya. Tangannya menjamah bagian-bagian tubuh yang menonjol, semakin membangkitkan hasrat yang lama terpendam.
*
Daisy terbangun dengan tubuh yang remuk redam akibat pergumalan panasnya semalam. Wanita itu mendesah pelan ketika kakinya melangkah turun menyentuh dingin lantai.
Di bawah guyuran air, lelehan bening ikut tumpah karena nasib buruk yang lagi menghampiri. Diusir dari rumah, ditinggal selingkuh kekasih dan kini dia harus kehilangan kesucian.
Andai saja tidak datang ke kelab malam, mungkin kejadiannya tak akan seperti ini. Seharunya dia memilih tetap tinggal di penginapan saja. Seharusnya ....
Suara ketukan keras di pintu menyadarkan Daisy dari lamunan. Dia mematikan air dan keluar setelah memakai kimono.
Di depan pintu seorang pria berdiri sambil menatapnya tajam. “Kau mau bunuh diri?”
“Tidak, mati belum ada dalam pikiranku,” jawab Daisy bergetar. Meski hidup tak seindah bayangan, tetapi mati belum menjadi keinginan.
“Tunggu di sini dan jangan pergi ke mana pun, Della. Aku perlu bicara setelah ini,” katanya tegas tak terbantahkan.
“Sudah kubilang aku bukan Della, Tuan. Aku Daisy.”
Tak menjawab Daren berlalu masuk ke kamar mandi. Tak sampai 30 menit dia keluar dengan balutan handuk yang hanya membungkus tubuh bagian bawah. Dada bidangnya terekspos dengan sempurna, ada banyak bekas luka cakaran memanjang di punggung.
Daisy mengalihkan pandangan. Menelan saliva kasar, pipinya terlihat merona malu. Bukannya menyingkir pria itu justru duduk di depannya.
“Della,” panggil Daren lirih membuatnya menoleh.
“Aku Daisy, bukan Della.”
“Sampai kapan kau akan membodohiku? Tidak puaskah kau bermain-main di luar sana. Cukup, Della. Pernikahan kita hanya tinggal seminggu, jangan membuat kedua keluarga kita malu.”
Daisy menjadi bingung sendiri. Sejak semalam pria itu selalu menyebutnya Della, dia saja tak mengenal siapa wanita itu.
“Aku bukan Della, Tuan. Aku Daisy. Apakah Della calon istrimu? Sungguh, aku saja tak mengenal kalian. Kalau tidak percaya kau bisa melihat tanda pengenalku, di sana tertulis jelas jika namaku Daisy Moreland.”
Daisy bangkit dan mencari-cari tas yang semalam dipakai. “Mana tasku? Semua data-dataku ada di sana termasuk kartu bank, jangan sampai aku kehilangan atau aku benar-benar akan jadi gembel,” batinnya.
“Aktingmu sangat buruk Della. Cukup! Jangan bersandiwara lagi, kita tetap akan menikah. Waktumu sudah habis!” tegas Daren.
Pikir Daisy, mungkin pria di depannya adalah pria frustrasi karena ditinggal calon istrinya. Namun, kenapa dia sangat yakin jika dia adalah orang yang dicari.
“Anda tidak bisa memaksaku, Tuan. Ini hidupku dan aku punya hak untuk menentukan. Lihat wajahku baik-baik. Mana mungkin wanita buruk rupa ini menjadi calon istri Anda.” Daisy kesal bukan main. Dia mencari pakaiannya dan berniat pergi dari sana. Namun, sial ternyata pakaiannya sudah terkoyak dan sudah tak berbentuk lagi.
“Kau melakukan semuanya dengan benar untuk lolos dari pencarian. Tapi sepintar apa pun kau bersembunyi, bahkan ke lubang semut pun aku akan selalu bisa menemukanmu, Della.”
“Manusia macam apa kau ini. Bebal sekali,” gerutunya jengkel.
Setelah memakai pakaian Daren mendekati Daisy dan mencium bibirnya. “Aku pergi. Jangan coba-coba lari atau aku akan mematahkan kakimu. Sebentar lagi Raina akan datang membawa pakaian dan membawamu pulang. Jika kau berniat bersembunyi lagi, aku akan mengurung sampai kau tidak akan bisa merasakan udara bebas.”
To Be Continue ....
“Aku tidak mau. Siapa yang mau menikah? Jangan bicara omong kosong!” teriak Daisy mundur saat salah satu dari wanita itu menarik tangannya.
“Tolong jangan melawan, Nona. Jika Anda tidak mau, Tuan Daren mengizinkan kami memaksa Anda dengan cara kami.”
Daisy menggelengkan kepala. Kalau tidak salah ingat dia mendengar jika pernikahan Della akan diadakan seminggu lagi, tetapi ini baru tiga hari.
“Ada apa ini?” tanya Maggie yang masuk ke dalam ruangan.
“Nona Della menolak untuk dirias.”
Maggie menatap dan menarik lembut tangan putrinya menuju ke kamar. Duduk di sisi ranjang wanita paruh baya itu ingin mengetahui apa yang direncanakan putrinya.
“Della.”
“Sudah kubilang berulang kali jika aku bukan Della.” Hanya karena wajah mirip, bukan berarti dirinya orang yang sama. Bisa saja si Della itu melakukan operasi plastik dan meniru wajahnya.
Daisy sudah menjelaskan semuanya kepada kedua orang tua Della, tetapi tidak ada yang mempercayainya.
“Oke, baik. Mama akan memanggilmu Daisy jika itu yang kau inginkan,” bujuk Maggie lembut.
“Nyonya, percayalah. Aku bukan putrimu dan bukan orang yang kalian cari. Ini semua salah paham.”
Maggie memeluk Daisy. Sejak kembali dari menghilang dia merasakan perubahan dari diri putrinya. Perubahan lebih baik, mungkin dia sudah menyadari jika sikapnya selama ini tidak baik. Sempat terpikirkan saat melarikan diri, Della mengalami kecelakaan dan hilang ingatan.
Daisy merasa frustrasi karena tidak ada yang mempercayainya.
Aneh saja kenapa mereka semua tidak ada yang bisa mengenali jika dia bukanlah orang yang dicari. Dari segi sikap dan karakter mereka pasti berbeda, belum lagi cara bicara dan sebagainya. Kenapa mereka tidak menaruh curiga?
Pernikahan mereka digelar sangat mewah dan menjadi pernikahan impian setiap wanita. Tamu undangan yang hadir pun lebih dari seribu orang, membuat Daisy sangat takjub karena mereka semua terlihat berkelas.
Namun, Della sangat bodoh karena meninggalkan pria kaya seperti Daren. Begitulah pikir Daisy.
Daisy pasrah karena tak ada yang mempercayainya. Melarikan diri pun tak mungkin di tengah penjagaan super ketat. Dia hanya bisa mengikuti skenario yang ada, karena suaminya pun menganggap jika dia tengah merencanakan sesuatu. Ethan Daren Liew, nama itu baru diketahui ketika mereka akan mengucapkan janji penikahan. Pria itu memiliki aura yang menyeramkan, kekejaman terlihat jelas dari sorot matanya yang dingin.
Di dalam kamar hotel milik pengantin baru, Daisy hanya duduk termenung di atas sofa penuh kebingungan karena tiba-tiba saja statusnya berubah hanya dalam waktu lima hari.
“Kenapa kau masih mengenakan gaun pengantin?” Daren datang dan menatap Daisy tajam.
“Tuan ... percayalah padaku. Aku bukan Della, tunanganmu. Namaku Daisy Moreland. Aku bisa membuktikannya padamu,” kata Daisy.
Satu alis Daren terangkat, “Bagaimana caranya kau membuktikannya?”
“Besok ikutlah ke penginapan. Barang-barangku masih ada di sana.”
“Oke. Sekarang cepat bersihkan dirimu.”
Daisy mengangguk dan masuk ke kamar mandi. Namun, saat ingin keluar dari kamar tiba-tiba dia dilanda gugup. Bagaimana jika pria itu meminta malam pertama pernikahan mereka? Sial, Daisy tidak ingin disentuh karena dia bukan istri yang sesungguhnya.
Lama berdiam diri, Daisy beranikan mengintip sedikit untuk melihat apa yang tengah dilakukan Daren. Napasnya terdengar tenang saat menyadari jika pria itu sudah tak ada lagi di kamar.
Di sisi lain, Daren menemui James yang ada di bar. Pria itu menyeringai tajam, “Kau menemukan sesuatu?”
“Tidak, Tuan. Tapi saya tetap yakin jika yang Anda nikahi bukanlah Nona Della.”
“Bagaimana kau sangat begitu yakin?”
“Sikap dan suara, bahkan karakter mereka berbeda, Tuan. Nona Della yang dulu kasar, pemberontak dan tidak tahu aturan, sementara yang saat ini bersama Anda, dia terlihat lebih baik.” Ini menurut kacamata James yang mengenal baik siapa tunangan sang tuan.
“Dia pasti merencanakan sesuatu,” jawab Daren menatap wine yang dipegang. “Saat tahu pernikahan dipercepat dan aku menikahi wanita lain, dia pasti kembali. Nyatanya tidak, itu berarti dia memang Della. Kau seperti tidak tahu saja bagaimana sifat kekanakan Della.”
Bagi semua orang Della adalah pembuat masalah yang andal.
“Apa mungkin Nona Della kehilangan ingatan?”
“Mungkin. Sudahlah jangan tertipu dengannya, dia wanita licik yang pandai memanipulasi.”
“Tapi Anda mencintai wanita licik itu, Tuan,” kekeh James.
Daren hanya menggelengkan kepala pelan dan tersenyum samar. Sebenarnya dia juga memiliki keraguan dalam hati tentang wanita yang tengah bersamanya. Sikapnya berbanding terbalik dan dia merasa asing. Namun, dia selalu menepis prasangkanya.
Jika wanita itu bukan Della, lalu siapa? Kenapa wajah mereka sangat mirip sekali?
*
Sejak mobil berhenti di halaman penginapan yang jauh dari kata mewah, Daren mengerutkan kening heran. Benarkah Della tinggal di tempat seperti ini? Losmen murah yang tak memiliki fasilitas apa pun.
Mereka bahkan harus berjalan menaiki tangga menuju lantai tiga. Namun, Daren tak banyak bertanya dan tetap mengikuti istri kecilnya menuju sebuah kamar yang ada di sudut lorong.
“Aih, aku lupa jika tasku tidak ditemukan.” Daren pikir itu hanya alasan saja. “Tunggu sebentar, aku akan minta kunci cadangan pada pemilik losmen.”
Daisy berjalan cepat turun dan naik setelah mendapat kunci cadangan. Napasnya terdengar memburu karena lelah. Setelah pintu terbuka, lagi Daren dibuat tercengang melihat kamar yang bahkan menurutnya lebih baik kamar pelayan di mansion.
Hanya ada ranjang berukuran sedang dan kursi rotan yang ada di dekat jendela. Tidak ada televisi atau pun sofa, bahkan saat mendudukkan bokongnya di ranjang Daren merasa jika ranjangnya sangat keras. Tidak empuk seperti hotel atau kamarnya.
Daren tidak yakin jika Della tinggal di tempat seperti ini. Di mansion saja wanita itu sangat cerewet jika barang yang digunakan tidak sesuai. Kesalahan sedikit saja akan jadi besar jika wanita itu sudah memulai dramanya.
“Kau yakin tinggal di tempat seperti ini?”
“Memangnya kenapa? Masih cukup nyaman untuk berteduh daripada harus kehujanan dan kepanasan.”
Jika Della berada di tempat seperti ini, pantas saja orang-orang Daren sulit melacaknya. Mereka hanya fokus menyisir hotel, villa dan apartemen mewah.
“Kenapa kau tinggal di tempat seperti ini?”
“Seperti apa maksudmu? Kau ingin menghinaku? Aku memang tidak punya uang untuk menyewa hotel.”
Kerutan di kening Daren terlihat jelas. Tidak punya uang? Mustahil sekali. Della bahkan memegang black card, belum lagi setiap bulan Daren selalu mengirimkan uang yang jumlahnya tak sedikit. Ke mana perginya uang-uang itu, jangan-jangan Della bermain judi lagi di casino.
“Kau berjudi?” tebak Daren membuat mata Daisy melotot tajam.
“Tidak,” jawabnya tak terima. Jangankan berjudi, Daisy harus menghemat uang yang dimiliki sampai mendapatkan pekerjaan.
Daren tak lagi menjawab, bertanya pada wanita itu nyatanya percuma.
Daisy membuka lemari kayu usang yang tampak terawat, mengeluarkan tas dan meletakkannya di atas ranjang.
“Kau lihat, ini semua milikku. Ini fotoku bersama dengan kedua orang tuaku. Kami hidup di pinggiran kota, tak mungkin mengenalmu dan yang jelas aku bukan orang yang kau cari,” jelas Daisy.
Daren menatapnya lamat-lamat. Itu benar, di foto itu terlihat jelas jika Daisy ada di antara mereka.
“Jika kau masih tidak percaya, ikutlah ke rumah orang tuaku dan mereka pasti akan mengakui jika aku bukan Della.”
To Be Continue ....
Sejak mobil berhenti di halaman penginapan yang jauh dari kata mewah, Daren mengerutkan kening heran. Benarkah Della tinggal di tempat seperti ini? Losmen murah yang tak memiliki fasilitas apa pun.
Mereka bahkan harus berjalan menaiki tangga menuju lantai tiga. Namun, Daren tak banyak bertanya dan tetap mengikuti istri kecilnya menuju sebuah kamar yang ada di sudut lorong.
“Aih, aku lupa jika tasku tidak ditemukan.” Daren pikir itu hanya alasan saja. “Tunggu sebentar, aku akan minta kunci cadangan pada pemilik losmen.”
Daisy berjalan cepat turun dan naik setelah mendapat kunci cadangan. Napasnya terdengar memburu karena lelah. Setelah pintu terbuka, lagi Daren dibuat tercengang melihat kamar yang bahkan menurutnya lebih baik kamar pelayan di mansionnya.
Hanya ada ranjang berukuran sedang dan kursi rotan yang ada di dekat jendela. Tidak ada televisi atau pun sofa, bahkan saat mendudukkan bokongnya di ranjang Daren merasa jika ranjangnya sangat keras. Tidak empuk seperti hotel atau kamarnya.
Daren tidak yakin jika Della tinggal di tempat seperti ini. Di mansion saja wanita itu sangat cerewet jika barang yang digunakan tidak sesuai. Kesalahan sedikit saja akan jadi besar jika wanita itu sudah memulai dramanya.
“Kau yakin tinggal di tempat seperti ini?”
“Memangnya kenapa? Masih cukup nyaman untuk berteduh daripada harus kehujanan dan kepanasan.”
Jika Della berada di tempat seperti ini, pantas saja orang-orang Daren sulit melacaknya. Mereka hanya fokus menyisir hotel, villa dan apartemen mewah.
“Kenapa kau tinggal di tempat seperti ini?”
“Seperti apa maksudmu? Kau ingin menghinaku? Aku memang tidak punya uang untuk menyewa hotel.”
Saat mereka beranjak pergi dan Daisy membawa tasnya, Daren mendengus pelan, tetapi tak mengatakan apa pun.
Mobil yang dikendarai Daren melaju dengan kecepatan tinggi menuju ke daerah yang dimaksud Daisy. Sekitar satu jam kemudian mobil sampai di depan rumah sederhana.
Daisy turun dan mencoba membuka pagar, tetapi sayangnya pagar terkunci. Tangannya menggoyangkan pagar hingga berbunyi berharap orang tuanya mendengar.
“Bu, aku pulang,” teriak Daisy keras.
“Ayah, Ibu, aku pulang. Buka pintunya!”
Pagar di sebelahnya terbuka dan sosok wanita tua muncul dari sana. “Cari siapa?” tanyanya membuat Daisy menoleh dan tersenyum. “Daisy, lama tak melihatmu!”
“Bibi, ke mana Ayah dan Ibu? Tumben sekali pagarnya dikunci, apa mereka sedang keluar?”
“Tuan dan Nyonya Moreland sudah pergi sejak dua hari yang lalu. Mereka tak mengatakan akan ke mana, tapi kupikir akan pindah menyusulmu.”
Perasaan Daisy sudah tak enak, dia kembali bertanya, “Bibi, apa mereka tak mengatakan apa pun?”
Wanita tua itu terlihat menyesal, dia menggeleng hingga membuat Daisy terduduk sambil menangis keras.
“Ayah, Ibu, kenapa kalian meninggalkanku!” teriaknya sambil melemparkan apa pun yang ada di depan mata. Seperti anak kecil yang kehilangan sesuatu.
Daren yang sejak tadi menyaksikan hanya geleng-geleng kepala. Sejak kapan wanita itu berubah cengeng dan tidak tahu malu seperti itu. Turun dari mobil Daren menghampiri Daisy dan berdiri di sebelahnya.
“Bangun. Jangan seperti anak kecil.”
“Aku memang masih kecil,” sahut Daisy di sela tangisan.
“Ayah, Ibu meninggalkanku. Bagaimana ini!”
Daren tak menjawab, dia hanya berpikir jika Daisy membual tentang orang tuanya.
Bahkan hingga dalam perjalanan pulang tangis wanita itu tetap terdengar, membuat telinga Daren terasa panas hingga tanpa sengaja dia membentak Daisy dengan begitu keras.
Sampai di hotel Daisy langsung masuk ke kamar, merebahkan diri di ranjang dan menutup tubuhnya dengan selimut. Dia kesal dengan Daren yang membentaknya.
Masih terasa dadanya sesak karena mengetahui kenyataan bahwa orang tuanya benar-benar tak menginginkannya.
Terus meratap sampai tak sadar matanya mulai lelah. Daisy tertidur dengan jejak-jejak air mata di kedua pipinya yang putih.
Sampai malam hari Daisy masih tetap ngambek dan tidak mau bangun. Daren sudah membujuknya, tetapi wanita itu malah mengamuk dan terus menyebutnya jahat.
“Della, ayo bangun. Kau harus mandi dan makan,” kata Daren duduk di sisi ranjang.
“Sudah kubilang aku bukan Della. Aku ini Daisy,” teriak Daisy.
“Oke, aku akan memanggilmu Daisy.”
“Bukan hanya nama, tapi aku memang bukan Della. Kau harus percaya!” pekik Daisy kesal.
“Bangunlah dan kita akan bicara setelah makan malam.”
Daisy membuka selimut yang membungkus tubuh. Dia menatap Daren yang mengangguk.
Setelah makan malam, akhirnya Daisy dan Daren duduk berdua di balkon kamar ditemani sebotol wine untuk menghangatkan di tengah udara dingin yang menembus sampai ke tulang.
“Apa yang ingin kau katakan?”
“Kau harus percaya jika aku bukan tunanganmu.”
Daisy menarik napas panjang dan mengeluarkannya secara perlahan. Mulai menceritakan awal saat dirinya diusir dari rumah karena menolak perjodohan yang dilakukan ayahnya dengan salah satu saudagar kaya tuan tanah. Saat pergi dari rumah dia berniat menghampiri kekasihnya, tetapi justru pria itu berselingkuh dan tengah bercinta dengan wanita lain. Itulah alasannya Daisy bisa ada di kelab malam, berniat melupakan masalah justru semakin menambah daftar panjang masalahnya.
“Aku berani bersumpah, demi Tuhan aku tidak berbohong.”
Anehnya, kenapa keberadaan Della bagaikan lenyap di telan bumi? Pasti ada sesuatu yang tidak beres telah terjadi.
Jika dia benar Daisy mengapa wajah mereka mirip? Bahkan tanggal kelahiran mereka pun sama.
“Kau harus percaya padaku!” tekan Daisy dengan wajah frustrasi.
“Anggaplah aku percaya padamu, tapi kau tetap harus berpura-pura menjadi Della sampai wanita itu ditemukan dan aku tidak menerima penolakan!”
Daisy kembali menelan ucapannya yang ingin keluar. Dia hanya bisa mengangguk pasrah saat Daren mengatakan jika nyawanya mungkin saja terancam karena memiliki wajah yang serupa dengan Della.
“Kau akan melindungiku jika aku tetap berpura-pura menjadi istrimu?”
“Tentu saja.”
“Baiklah, aku setuju.”
Daren mendengus. “Setuju atau tidak kau tetap harus melakukannya. Kau tidak memiliki pilihan.”
*
Daisy meneguk saliva susah payah saat kakinya melangkah di mansion megah milik suaminya. Berbeda dengan kedatangannya pertama kali yang penuh paksaan dan ancaman, kini dengan sukarela wanita itu memasuki Red Mansion.
“Selamat datang, Nyonya Della,” sapa kepala pelayan diikuti pelayan lain yang berjejer rapi.
“Terima kasih,” jawab Daisy membuat semua orang membeku karena ini pertama kalinya wanita itu menjawab sapaan pelayan.
Daren membawa Daisy menuju kamarnya yang telah disulap dengan warna lebih cerah.
“Bagaimana jika semua orang tahu jika aku bukan Della?”
“Jalani saja peranmu dengan baik, aku yang akan menyelidiki sisanya. Ini tidak mungkin hanya kebetulan,” sahut Daren tanpa menoleh. Dia masih belum sepenuhnya yakin jika wanita yang bersamanya bukanlah Della.
Malam itu mereka berbagi tempat tidur. Namun, Daren sungguh tak menyangka jika tingkah Daisy saat tidur sungguh mengerikan.
Kedatangan Daisy dengan sikap dan karakter yang berbeda membuat pelayan heboh karena sang nona lebih pendiam dari biasanya. Tak pernah lagi membuat keributan atau berteriak karena pelayan melakukan kesalahan.
Termasuk Gina—kepala pelayan yang telah mengabdi bertahun-tahun lamanya dan mengenal baik sikap sang nona.
“Apa Anda ingin makan sesuatu, Nyonya?” Ucapan Gina membuyarkan lamunan Daisy.
“Tidak, ini sudah cukup. Aku hanya belum lapar,” balas Daisy dengan senyum sungkan.
“Bersikap baik seperti ini rasanya bukan seperti Anda.”
Daisy langsung menatap pelayan itu. “Apa maksudmu!”
“Maaf jika saya lancang, tapi Anda benar-benar berubah. Seperti terlahir kembali dengan karakter yang bertolak belakang.”
Daisy hanya tersenyum. Pikirnya, apa mungkin Della itu jahat sehingga sikap baiknya membuat semua orang heran.
“Berubah untuk lebih baik tidak masalah, kan? Aku hanya lelah selalu membuat keributan,” kilah Daisy beralasan. “Atau mungkin kau lebih suka aku yang dulu?” kekehnya membuat wajah wanita paruh baya itu langsung pucat.
“Saya lebih suka Anda yang sekarang,” sahutnya cepat.
Beberapa hari tinggal di Red Mansion, Daisy menyadari banyak pelayan yang takut jika berhadapan dengannya. Lebih sering menghindar dan menunduk ketika tak sengaja bertemu.
Jangankan berbicara, menjawab sapaan pelayan saja Della tidak pernah mau. Baginya mereka berbeda level, batasan antara tuan dan pelayan selalu ada. Sementara Daisy tidak suka jika dia terlalu dihormati. Apalagi oleh orang yang usianya jauh lebih tua darinya.
Tiba-tiba pelayan lain datang dan menyerahkan telepon ke arah Daisy. “Tuan Daren ingin bicara,” katanya.
To Be Continue ....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!