NovelToon NovelToon

Ketika Salju Turun

Prasangka Mama

Hai, Aku balik lagi nih, semoga pada suka yaa ...

Jangan lupa tinggalkan jejak.

Happy reading.

Suara bising di sekitar ruang tunggu bandara, ditambah dengan ocehan wanita berusia empat puluhan, membuat telinga Reina pengang, andai tak ingat, jika seorang anak wajib mendengarkan perkataan ibunya, mungkin dia akan meminta wanita yang telah berjasa melahirkannya ke dunia, untuk diam.

"Iya ma, Reina akan selalu ingat semua pesan mama," katanya, sembari memeluk lengan berbalut rajutan.

"Paspor jangan sampai lupa, selalu kabari mama, kirim foto atau video. Terus nggak boleh pergi sendiri, harus minta temani kakak kamu, atau istri papa ... "

"Iya ma, Reina ngerti, dan selalu akan ingat semua pesan mama, jadi di sini mama cukup doain Reina, Oke!"

Wanita bernama Rita itu, mengusap wajahnya, "Mama tuh khawatir, ngerti nggak sih kamu. Ini pertama kalinya kamu ke luar negeri, mana kamu baru pertama juga naik pesawat, pokoknya begitu duduk, kamu langsung minum obat anti mabuk udara, jangan sampai kamu muntah-muntah, kan repot, sendirian lagi."

Reina jadi teringat dulu, saat pertama kali dirinya melakukan study tour, ketika menginjak kelas sembilan, sekolah menengah pertama. Mamanya melakukan hal yang sama, bahkan berkali-kali mengatakan pada guru pendamping, untuk menjaga, dan mengawasinya.

Tapi sekarang, bukankah Reina sudah dewasa? Sudah memiliki kartu tanda penduduk, yang didapatnya dua tahun yang lalu. Tetapi Mamanya masih saja khawatir.

Reina tau, itu wujud rasa sayang Rita padanya, sebagai anak perempuan pertama, tentu wajar jika dia begitu dikhawatirkan. Harusnya Rita ingat, jika putrinya ini, pernah aktif di ekskul pencak silat, bahkan sempat mengikuti kejuaraan, dan meraih medali perak.

Reina mengambil tangan Rita, lalu punggung tangan itu, lalu mengecupnya lembut, "Reina akan selalu mengirimi mama, pesan lima menit sekali, kalau udah sampai sana, terus entar kalau udah duduk di kursi pesawat, Reina akan kirim foto selfie, atau video, jadi mama bisa lihat suasana pesawat, dan siapa yang duduk disekitar Reina,"

"Tapi kok, perasaan mama nggak enak ya, Rei! Mama tuh merasa kalau sesuatu yang buruk akan terjadi," Terlihat jelas, wajah khawatir dari wanita yang mengenakan sweater rajut berwarna cokelat itu.

Sekali lagi, Reina mengecup punggung tangan mamanya, "Mama cukup doain anak mama, nggak usah khawatir berlebihan, kasihan Riki, Ma!"

Rita mengangguk, meski sudah ditenangkan, tetap saja prasangka buruk di pikirannya, tak kunjung hilang.

Suara panggilan dari pihak bandara, untuk penumpang pesawat tujuan bandara Narita, terdengar. Reina bangkit, begitu juga dengan Rita, keduanya berpelukan, dan sekali lagi, Rita kembali memberikan petuah, yang entah ke berapa kali Reina dengar sedari tadi mereka berangkat, dari rumah.

***

Reina bersyukur, kakak tirinya membelikan tiket kelas bisnis, sehingga sepanjang perjalanan, selama sekitar tujuh jam, dia bisa beristirahat dengan nyaman.

Tujuannya datang ke negara asal ayah kandungnya, guna memenuhi permintaan sang ayah, yang kini sedang sakit keras, dan mendapatkan perawatan di rumah sakit.

Reina merupakan hasil pernikahan antara Rita, dan Satoshi Tanaka, ketika lelaki asli Jepang itu, terikat kontrak kerja dengan salah satu perusahaan otomotif ternama.

Satoshi yang telah memiliki istri di negara asalnya, terpesona dengan kecantikan Rita kala itu, yang juga bekerja di perusahaan otomotif tersebut.

Dari hasil pernikahan itu lahirlah Reina Tanaka, anak perempuan, yang sembilan puluh persen mewarisi gen ayah kandungnya.

Rita, dan Satoshi sepakat berpisah, ketika Reina berusia sembilan tahun, saat Satoshi kembali ke negara asalnya.

Dari pernikahan pertamanya, Satoshi memiliki dua anak, bernama Reino Tanaka, dan Reiko Tanaka, keduanya merupakan kembar, yang jarak usianya dengan Reina sekitar dua belas tahun.

Meski telah berpisah, kedua saudara tiri itu, rutin bertukar kabar dengan adik bungsu mereka.

Reina baru saja menyelesaikan semua prosedur di bagian imigrasi, gadis cantik yang tingginya hanya sekitar seratus enam puluh itu, menggeret koper berwarna merah muda menuju ruang tunggu.

Namun baru saja hendak duduk, namanya di panggil, dia menoleh, dan mendapati seorang lelaki yang wajahnya, serupa dengan ayahnya, tengah melangkah ke arahnya.

"Selamat datang adikku!" Tanpa basa-basi Reino memeluk, adik bungsunya. Meskipun saat ini, keduanya baru pertama kali bertemu, secara langsung, tapi karena komunikasi yang intens, membuat lelaki berusia tiga puluh satu tahun, tak sungkan memeluk adik tirinya.

Reina merasa canggung, tapi tetap membalas pelukan kakak tertuanya, "Apa kabar kakak?" tanyanya.

Reino melepaskan pelukan itu, lalu mengacak rambut adik bungsunya, "Tentu baik, setelah bertemu kamu," senyum lima jari menghiasi wajah tampan itu.

Setelahnya, Reino mengambil alih koper merah mudah milik Reina, dia menuntun adiknya, menuju parkiran di mana mobilnya terparkir, sembari bertanya ini itu, dari kabar Rita, hingga perjalanan, yang tadi Reina tempuh.

Sembari mengemudi, Reino mengatakan, jika mereka akan langsung menuju rumah sakit, dimana Satoshi tengah di rawat.

Mobil melewati jalanan, yang di sisi kanan-kiri nya, terdapat pohon-pohon tanpa daun, juga gedung bertingkat, yang cukup padat.

Melihat pemandangan itu, dia jadi teringat Riki, adik beda ayah yang kini berusia enam tahun. Bocah itu sempat rewel, saat mengetahui kakaknya akan pergi, naik pesawat, menuju negara asal anime favoritnya.

Andai nanti Reina telah bekerja, dan memiliki uang yang banyak, dia bertekad akan mengajak adik kecilnya, untuk berjalan-jalan ke negara ini.

Lamunannya pudar, ketika Reino menceritakan kondisi Satoshi yang semakin mengkhawatirkan.

Penyakit komplikasi yang diderita lelaki berusia enam puluh satu tahun itu, membuat kesehatan Satoshi semakin hari, semakin menurun.

"Papa nanyain kamu terus, katanya rindu sama kamu,"

Reina bisa melihat wajah sedih lelaki dibalik kemudi disebelahnya. "Akhirnya, Mama yang menyuruh aku, untuk memanggil kamu kemari," sambung Reino.

Hingga saat ini, Reina masih bingung, bagaimana bisa Aiko, yang merupakan istri pertama Satoshi, mau menerima dengan tangan terbuka dirinya, yang notabenenya, adalah anak dari wanita yang merebut suaminya. Bahkan beberapa kali secara diam-diam, Aiko mengiriminya uang jajan, saat Reina masih bersekolah.

"Bagaimana kabar mama Aiko?" tanyanya.

"Kondisi mama sempat menurun, karena sedih dengan kondisi papa, tapi sudah dua hari ini, kondisinya sudah sehat seperti sedia kala." jelas Reino.

"Pantas, saat panggilan video tiga hari yang lalu, mama Aiko terlihat pucat. Aku sempat tanya, dan mama Aiko bilang, beliau baik-baik saja,"

"Mama tidak ingin kamu khawatir, beliau ingin cepat-cepat bertemu kamu,"

Entah terbuat dari apa hati wanita asli Jepang itu, kenapa begitu baik padanya, bahkan Reina dengar dengan telinganya sendiri, saat mereka sedang berkomunikasi, jika Aiko ingin sekali bertemu langsung dengannya, dan berkali-kali mengatakan rindu.

Bukankah seharusnya, Aiko membenci Reina, dan Rita? Karena telah menjadi duri dalam daging keluarganya. Tapi justru Aiko malah menunjukan perhatian, dan kasih sayangnya.

Berbeda dengan Rita, yang sejak tau jika dirinya adalah istri kedua, dia justru meminta cerai, dan tak mau lagi berbicara dengan Satoshi. Walau sudah tiga tahun kebelakang, Rita mulai berusaha menerima takdirnya, tentu peran Ruslan, suami barunya yang membujuknya untuk memaafkan mantan suaminya.

Mobil berhenti, di parkiran salah satu rumah sakit terkemuka, di kota itu. Tepat, saat ponsel Reino berdering, dan dalam sekejap, wajah lelaki itu berubah panik.

Duka Menyapa

Reina hanya menatap kosong, orang-orang yang tengah sibuk mengurus prosedur kepengurusan jenazah mendiang Satoshi.

Entah sudah ke berapa kali, bulir bening itu, tanpa dia sadari mengalir dari sudut netranya. Reina tengah dirundung kesedihan mendalam.

Lelaki yang dia panggil Papa, meregang nyawa, hanya beberapa saat setelah mereka bertemu, setelah hampir sepuluh tahun mereka berpisah.

'Maaf' Kata terakhir yang diucapkan Papa padanya. Satu kata perpisahan, yang justru membuat Reina menyesal, pernah membenci lelaki itu.

Sepeninggal Papa semalam, Aiko menceritakan jika selama sakit, Satoshi berkali-kali menyebut nama putri bungsunya, dan meminta maaf, karena tak mendampingi masa remajanya.

Komunikasi yang dilakukan Reina, hanya sebatas dengan Aiko, dan kakak kembarnya. Reina akan langsung mematikan panggilan, jika suara Papanya terdengar ingin berbicara dengannya.

Dan Reina menyesal, tak memberi kesempatan Papanya untuk berbicara dengannya, saat lelaki itu masih sehat. Tapi kini, penyesalan itu, terasa sia-sia, tangisnya tak akan mengembalikan Papa kembali. Tak kuat menahan kesedihan, Reina akhirnya tumbang, dia hilang kesadaran.

***

"Rei," panggil Reiko, "Ayo bangun," pinta wanita yang saat ini, mengenakan pakaian serba hitam itu.

Reina membuka matanya, dia menatap kakak perempuannya, Reina bisa melihat wajah sembab Reika. Lagi, tanpa aba-aba, air matanya mengalir lagi, "Papa, kak!"

Keduanya berpelukan, kembali menumpahkan tangis, dan berusaha saling menguatkan, juga mengikhlaskan lelaki yang paling berharga di hidup mereka.

Puas menangis, Reiko mengajak adiknya, menuju ruang kremasi, dimana jenazah Satoshi berada. Reiko bilang, akan ada pemindahan tulang belulang usai kremasi, ke dalam sebuah guci, dan setelah itu, nantinya akan dibawa ke sebuah pemakaman, yang sudah ditentukan keluarga.

Ditengah kesedihannya, Reina hanya bisa mengikuti semua prosedur, yang sangat berbeda dengan keyakinannya. Benar-benar sesuatu yang baru dalam hidupnya.

Reina tau, jika sejak kembali ke negara asalnya, sang Papa kembali menganut keyakinan leluhurnya. Hal itu juga yang membuat Reina kecewa.

Tapi seiring berjalannya waktu, dia berusaha menerima kenyataan itu, walau belum bisa berdamai dengan Papanya.

***

Sudah seminggu Papanya meninggalkan dunia ini. Kini Reina tinggal bersama Aiko, hingga batas waktu yang belum ditentukan.

Rita yang memintanya, agar menemani mama tirinya, karena selama ini, Aiko hanya tinggal berdua dengan Satoshi. Kedua anak kembarnya, tinggal berbeda kota.

Reino tinggal di kota, yang jaraknya satu jam dari rumah orang tuanya, sementara Reiko tinggal bersama suaminya, di pulau yang berbeda.

Beberapa kali, Reina mendapati Aiko menangis, dan dia hanya bisa memeluk mama tirinya, walau sebenarnya ingin rasanya ikut menangis.

Masa cuti habis, Aiko kembali bekerja sebagai guru, salah satu sekolah dasar di sana. Alhasil Reina sendirian di rumah.

Bosan, tentu saja tidak, Reina justru menikmati keheningan, karena dengan begitu dia bisa menulis ribuan kata, pada laptopnya.

Sejak lulus setahun lalu, selain bekerja sebagai buruh pabrik, Reina menyalurkan hobi menulisnya. Dia menjadi penulis di beberapa platform kepenulisan.

Reina tidak berkuliah, tak berminat juga, meskipun Rita, dan kedua kakak kembarnya menawarinya, untuk melanjutkan pendidikannya. Reina beralasan, ingin langsung bekerja dan memiliki uang hasil jerih payahnya sendiri.

Kontrak kerjanya sebagai buruh pabrik, berakhir beberapa Minggu lalu, saat hendak melamar ke pabrik lain, Reino memintanya, untuk datang menjenguk Papa mereka.

Niat hati, hanya dua pekan berada di negara empat musim ini, tapi musibah, membuatnya tertahan lebih lama.

Ponselnya berdering, Mama kandungnya menghubunginya, Reina menutup laptopnya, setelah menyimpan hasil ketikannya.

"Ya Ma,"

"Lagi apa nih anak Mama?"

"Biasa Ma, ngetik. Ada apa Ma?" Reina menuruni tangga, menuju dapur, guna mengisi gelasnya yang kosong.

"Jangan lupa batalkan tiket pesawatnya, jangan sampai hangus, sayang uangnya."

Sebelum berangkat, Reino memesankan tiket pulang-pergi untuknya, hanya selang dua Minggu, sesuai permintaan Reina.

"Udah tadi,"

"Syukur deh, terus gimana keadaan istri Papa mu?"

"Mama Aiko baik, baru tadi pagi mulai berangkat ngajar."

Terdengar dari seberang sana hembusan nafas, "Mama, lega dengarnya, kasihan dia, sendirian. Kamu temani, dan ajak ngobrol kalau di rumah."

"Iya Ma," sahut Reina, "Jadi menurut Mama, kapan aku pulang ke Indo?" tanyanya.

"Kamu kan pengen lihat salju, ya udah sekalian aja, sampai bulan depan, sekalian tahun baruan di sana."

"Apa nggak kelamaan, Ma? Emang Mama nggak apa-apa, aku tinggal lama-lama?"

"Ya berat sih, tapi kan dari kecil kamu pengen banget lihat salju, ya mumpung lagi disitu, sekalian aja, lagian belum tentu kamu kesitu lagi, apalagi Papa udah nggak ada, Ingat Reina, tiket pesawat mahal, apalagi pesawat yang kamu naiki, nggak pake transit."

"Iya juga sih, dua tahun lagi, umurku dua puluh satu tahun, mumpung masih bebas ya, Ma!" Saat ini Reina masih memiliki dua kewarganegaraan.

"Nah itu pinter. Tapi ingat ya, Reina, kalau mau jalan-jalan, jangan sendiri, nunggu istri Papa libur, atau kedua kakak kamu datang, Ngerti kan?"

"Iya Ma, lagian di sini aman kok, aku keluar juga kalau siang doang, itupun cuman ke minimarket."

"Pokoknya, jaga diri aja, ingat disitu ada mafia, jangan sampai kamu ketemu mereka,"

Reina terkikik, "Ma, Jepang itu luas, nggak mungkin juga, ujug-ujug aku ketemu orang kayak gitu,"

"Ya siapa tau kan? Pokoknya hati-hati. Ya udah Mama mau jemput Riki dulu,"

"Emang Riki kemana? Bukannya biasanya pulang jam sepuluh? Ini kan udah jam dua belas Ma,"

"Di sini masih jam sepuluh, Reina, kamu lupa perbedaan waktu?"

Reina memukul dahinya sendiri, dia lupa, jika perbedaan waktu mereka, sekitar dua jam lebih cepat. "Ya udah, tanyain Riki sekalian, mau minta dibawain apa dari sini, entar kakaknya yang paling cantik, beliin."

"Masih lama, entar aja, lagian disitu mahal-mahal, sayang uangnya."

"Aku dikasih uang sama kak Reino kok, jadi tenang aja,"

"Entar Mama tanya ke Riki, udah dulu ya Reina, Mama tutup."

Panggilan berakhir, Reina bernafas lega, walau hanya mendengar suara ibunya, itu sudah cukup mengobati rasa rindunya. Meski terkadang cerewet, tapi Reina tau, Mamanya begitu menyayanginya.

***

Suhu semakin turun, Reina yang memang sedari lahir berada di negara tropis, sempat terkejut, dengan perubahan suhu, yang menurutnya ekstrim.

Meskipun pemanasan selalu menyala didalam rumah, tapi tetap saja rasanya dia belum terbiasa.

Mendekati natal, Reino, dan Reiko beserta suaminya datang, mereka berkumpul, selain untuk menjenguk Aiko, mereka juga memperingati hari kematian Satoshi. Sama seperti di Indonesia, yang biasa di sebut Tahlilan, hanya saya ritualnya berbeda.

Meski berbeda, tapi Reina menghargainya, di lingkungan tempatnya dibesarkan, juga terdapat beberapa agama, dan budaya berbeda. Sehingga dia sudah terbiasa dengan perbedaan.

Sebelum kedua kakaknya kembali ke tempat tinggal mereka masing-masing, Reina sempat diajak berjalan-jalan, mengunjungi beberapa tempat wisata di kota itu.

Salju Pertama

Sudah lebih dari sebulan, Reina berada di negara asal mendiang Papanya, dia masih bertahan di sana guna menemani sang Mama Tiri. Tak banyak aktivitas yang dilakukannya, membantu Aiko menyiapkan sarapan, dan makan malam, bersih-bersih rumah, meski Aiko melarang, mengisi draf untuk novel yang dia buat, yang entah kapan akan publish, mumpung belum mulai bekerja. Karena rencananya setelah kembali ke tanah air, Reina akan memasukan lamaran ke pabrik, yang masih satu wilayah dengan rumah Mama kandungnya.

Ada alasan mengapa dia memilih bekerja di pabrik, meski tak ada kata santai, saat sedang bekerja, tapi gaji yang diterimanya setiap bulan, membuat tabungan di rekeningnya, semakin banyak, dan sedikit banyak, dia membantu perekonomian keluarga, meskipun Rita tak pernah memintanya, dan tentunya, dengan gaji yang diterimanya, Reina bisa membeli apapun, yang diinginkannya, tanpa perlu mengandalkan orang lain.

Kemarin saat kedua kakaknya berkumpul, mereka menawarkan, agar Reina bisa berkuliah di sana, dan mereka akan menanggung seluruh biayanya. Tapi dengan halus Reina menolak, dengan alasan, tak ingin terlalu lama jauh dari Rita. Tentu alasannya bukan itu saja, Reina malas untuk belajar, dalam arti mengerjakan tugas kuliah, karena dia tau, dari teman-teman SMA-nya, jika tugas-tugas dari dosen itu membuat pusing.

Lebih baik bekerja di pabrik, dan menjadi penulis, toh selama setahun kebelakang Reina menjalani hidupnya dengan bahagia, tanpa ada kekurangan.

Tak masalah jika dia harus menemani Aiko untuk sementara waktu, asal jangan suruh dia bersekolah lagi. Reina sudah pintar kok, dia menguasai tiga bahasa, Indonesia, Inggris, dan Jepang, baik bahasa ataupun tulisan kanji, yang katanya rumit.

Semasa kecil, saat Reina masih bersama Papanya, dia sudah diajari dua bahasa berbeda, dan saat mulai memasuki usia sekolah dasar, dia belajar huruf kanji, hingga Papanya kembali ke negara asal. Lalu menggenangi bahasa Inggris, Rita memintanya untuk belajar, saat dia menginjak usia remaja.

Dengan ketiga bahasa, Reina yakin, dia bisa mencari uang, jika nantinya, pabrik tak lagi menerimanya sebagai pekerja, karena faktor usia, atau status.

Sejak pulang dari bekerja, Aiko mengeluh, merasakan pusing di kepalanya, dan demam, alhasil Reina memasak sendiri, untuk mereka makan malam.

Reina memasakkan bubur, dan membuatkan wedang jahe instan, yang dibawanya. Rita yang menyuruhnya, karena Papanya sangat menyukai, minuman berbahan dasar salah satu rempah itu, sayangnya Papanya sama sekali belum mencobanya.

Selesai makan malam, dan membereskan dapur, Reina kembali ke kamar, usai memastikan keadaan mama tirinya.

Baru saja langkahnya, menjejak di anak tangga pertama, sesuatu yang lengket, keluar dari bagian bawah tubuhnya, Reina berdecak kesal, tamu bulanannya mendadak datang.

Dia kembali melangkah menuju lemari penyimpanan, dan sekali lagi Reina berdecak, dia mendapati, persendian pembalutnya habis. Reina memukul dahinya sendiri, bisa-bisanya dia lupa membelinya.

Reina melihat waktu pada gawainya, pukul sembilan malam, "Masih sore, nggak apa-apa kali ya, ke mini market depan," monolognya.

Sebelum keluar rumah, Reina menggunakan baju hangat, lengan panjang, di lapisi sweater bermotif garis, outer berwarna pastel, tak lupa syal berbahan wol, dan boots. Lahir dan besar di negara tropis, dan tinggal di daerah industri, membuatnya tak tahan dengan cuaca dingin.

Tak ingin menganggu istirahat mama tirinya, Reina keluar rumah, tanpa pamit, guna membeli keperluannya sendiri, semoga saja tak terjadi apa-apa.

Reina harus berjalan menuju minimarket, udara dingin yang menusuk, membuatnya mempercepat langkahnya, nyaris berlari, dia benar-benar tak tahan dengan yang namanya dingin.

Tadi sebelum berangkat, Reina sempat melihat prakiraan cuaca, katanya malam ini akan turun salju.

Meski penasaran dengan butiran putih yang turun dari langit, tapi mengingat cuaca dingin, dia tak ingin berlama-lama berada di luar, cukup menyaksikannya dibalik jendela kamarnya.

Tiba di minimarket, Reina langsung mengambil barang yang dia butuhkan, juga camilan, untuk menemaninya saat menulis ceritanya.

Dan sewaktu dirinya membayar, kasir yang berjaga, menoleh pada dinding kaca, terlihat butiran putih mulai turun.

Usai membayar, dan berterima kasih, Reina keluar dari minimarket, dan berdiam diri sejenak, menatap langkah orang-orang, yang berjalan di bawah butiran salju.

Reina memotret menggunakan kamera ponselnya, lalu tersenyum melihat hasilnya, "Indah banget," gumamnya.

Ingin rasanya mengirimkannya pada Rita, tapi pasti wanita berusia empat puluhan itu, akan mengomelinya panjang lebar, mengetahui dirinya keluar malam, tanpa ada yang menemani, "Emang gue anak kecil?" gerutunya.

Reina memasukan lagi ponselnya ke kantong dalam outer-nya, lalu ikut melangkah mengikuti langkah orang-orang yang lewat, menikmati salju pertama dalam hidupnya. Meskipun harus menerjang dingin, yang mulai menusuk kulitnya.

Terlalu asik menikmati butiran putih yang turun terus-menerus, tanpa dia sadari, dia semakin jauh dari tempatnya tinggal.

"Dasar ceroboh, kebiasaan Lo, Reina!" monolognya, sembari memukul dahinya sendiri. Dan bisa ditebak apa yang terjadi selanjutnya, Reina tersesat.

Apa yang harus dilakukannya? Dia pengingat yang buruk, dalam hal jalan yang jarang dilaluinya.

Ingin menghubungi Aiko, dirinya tak enak, karena mama tirinya sedang sakit, dan lebih tak mungkin dia menghubungi kedua kakaknya. Akhirnya, Reina putuskan untuk berbalik arah, dan mengikuti jalan yang diingatnya.

Setengah jam berlalu, Reina masih belum menemukan jalan menuju tempat tinggalnya, dia mulai putus asa. Salju semakin lebat, dan udara dingin, semakin menembus baju hangatnya.

Reina duduk bersandar, di gang tak jauh dari hotel kecil, "Gue harus kemana?" tanyanya pada diri sendiri. "Kenapa pake acara ngikutin orang-orang? Dasar dodol Lo, Reina!"

Dia berjongkok, setidaknya tadi dia membeli minum, dan camilan, sehingga sembari menunggu solusi untuknya sendiri, dia bisa makan. Biasanya dalam keadaan seperti ini, mulutnya harus mengunyah, agar bisa menemukan ide, agar dia bisa pulang ke rumah Mama tirinya.

Sayangnya, hingga camilannya habis, ide itu tak kunjung muncul, astaga, mengapa jadi begini? Apakah dia harus terjebak dalam hujan salju semalaman, dan mati membeku?

Reina bangkit, berusaha untuk berjalan kembali, menuju jalan yang tadi dilaluinya, dia berusaha mengingat kembali. Lalu saat langkahnya melewati gang gelap, dia terkejut, ketika terdengar barang jatuh, dari arah sana.

"Apaan tuh?" monolognya. Lalu terdengar suara mendesis dari arah yang sama, mendadak bulu kuduknya berdiri. "Masa iya ada setan di sini? Nggak mungkin banget deh, tapi kok gue penasaran, lihat dikit, nggak apa-apa kali ya!"

Reina melangkah masuk, sembari merapal doa-doa, yang dihafalnya, sayangnya tempat itu cukup gelap. Dia sendiri heran, mengapa di tengah kota, ada tempat yang sama sekali tak ada lampu.

Reina mengambil ponselnya, dia menyalakan senter, untuk membantu penglihatannya, ketika suara itu semakin jelas terdengar. Lalu cahaya senternya menyorot sesosok yang sedang bersandar di dinding.

"Tolong matikan lampunya, Saya mohon!" pinta orang itu, dengan bahasa penduduk setempat.

Tadi sebelum mematikan senter, Reina sempat melihat wajah babak belur, yang dia yakini sebagai manusia berjenis kelamin laki-laki, terlihat dari bentuk wajahnya, dan suaranya.

Sebagai orang asli Indonesia, yang terkenal dengan budaya tolong menolong, Reina jadi iba, "Ada yang bisa saya bantu, Tuan? Sepertinya ada terluka." Sepertinya Reina lupa petuah Kakak laki-lakinya, saat mereka terakhir bertemu, sebelum tahun baru, agar Reina tak usah pedulikan urusan orang lain.

"Mendekat lah,"

Reina menurut, dia menunduk, hanya satu meter, dari laki-laki itu. "Apa yang bisa saya bantu, Tuan?" tanyanya lagi.

"Mendekat lah,"

Rasanya Reina mulai kesal, padahal jarak mereka sudah dekat, apa lelaki itu bermaksud jahat padanya? Meski berat, dia tetap mendekat. "Sudah Tuan,"

Dan lelaki itu, membisikan beberapa kalimat padanya. Dari jarak yang hanya beberapa senti, Reina bisa mencium wangi parfum, bercampur, amis darah, jangan lupakan aroma nafas berbau mint segar.

***

Reina berjalan cepat, setelah membeli beberapa keperluan, yang diminta oleh lelaki itu, panik, tentu saja, lelaki asing itu mengatakan jika dia tertusuk pisau.

Sempat Reina ingin menghubungi rumah sakit, dan polisi, tapi lelaki itu justru melarangnya, dan memintanya untuk membelikan beberapa barang yang dibutuhkan.

Kembali ke gang gelap tadi, Lelaki itu, meminta untuk dipapah masuk lebih dalam. Dan barulah Reina sadari jika lelaki itu sangatlah tinggi, dan memiliki tubuh kekar.

Dengan susah payah Reina melangkah, dia sampai terengah-engah, dia lelah luar biasa, tenaganya terasa habis.

Cukup jauh dari mulut gang, Lelaki itu mulai meminta segala hal, yang tadi dimintanya.

"Apa kamu punya sapu tangan, atau apapun yang bisa untuk menyumpal mulut saya?" bisik lelaki itu, sembari terengah-engah.

Otak Reina berpikir cepat, dia tak pernah memiliki sapu tangan, lalu dia ingat sesuatu. "Maaf Tuan, saya hanya memiliki ini," Reina membuka bungkus pembalutnya, dan mengambil salah satunya, lalu memberikannya pada lelaki itu.

Dan beberapa saat kemudian, terdengar rintihan tertahan dari lelaki itu, Reina sendiri heran, bagaimana bisa, ada orang yang sedang menjahit lukanya sendiri, dalam keadaan gelap, bahkan tanpa anestesi terlebih dahulu? Luar biasa.

"Tolong beri saya, Obat pereda nyeri."

Reina menurut, dia membuka bungkus tablet, dan tutup air mineral, yang tadi dibelinya, lalu menyuapkan pada mulut lelaki itu, karena gelap, Reina hanya mengandalkan insting.

"Lalu bagaimana dengan luka di wajah anda, Tuan? Apa perlu saya bantu obati?"

"Tidak usah," tolaknya.

"Apa anda mau makan? Saya memiliki roti."

Lelaki itu berdehem, lalu Reina mulai membuka plastik berisi roti cokelat, yang tadi dibelinya, dan menyuapkannya.

"Siapa nama kamu?"

"Nama saya Rei ... " ponsel Reina berdering, dia lalu mengambilnya dari dalam outer miliknya, tertera nama Mama Aiko. "Ya Ma,"

" ... "

"Lagi di luar, sebentar lagi pulang,"

" ... "

"Iya Ma, tolong kirimkan ya!"

" ... "

"Oke Mama,"

Reina masih memegang ponselnya, "Tuan, sepertinya saya harus pulang, Ibu saya menelepon, apa perlu saya telepon ambulan?"

"Tidak usah,"

"Kalau begitu saya pulang, saya sarankan, anda pergi ke rumah sakit." Reina melepas outer-nya dan memberikannya pada lelaki itu, "Salju sedang turun, Tuan, dan anda, hanya memakai pakaian yang tipis, silahkan di pakai."

Sebelum beranjak, Reina berkata, "Semoga lekas sembuh, Tuan! Selamat tinggal."

Bayangin aja lagi pakai bahasa Jepang ya!

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!