"Silahkan di nikmati." Ujar seorang pria tampan seraya meletakkan pesanan milik pelanggan.
"Boleh minta nomernya Kak?" Tanya seorang siswi berseragam SMA pada pria tampan itu. Pekikan histeris para temannya membuat pria tampan tersebut tersenyum tipis.
"Maaf, saya belok." Jawabnya dan berlalu pergi meninggalkan para pelanggan yang terkejut atas jawaban pria tersebut.
Zayn, seorang pria berusia dua puluh satu tahun. Ia bekerja di sebuah kafe milik temannya. Ketampanannya, membuat wanita mana pun kagum padanya. Bukan hanya itu, banyak yang menyatakan suka pada Zayn secara terang-terangan. Hanya saja, Zayn selalu menolaknya dengan cara yang sedikit ekstrim. Dimana, ia akan selalu mengatakan jika dirinya 'Belok' agar para wanita tak lagi tertarik padanya.
"Gila lo! Masa bilang lo belok ke mereka, hati-hati loh!" Tegur seorang pria berkaca mata pada Zayn yang datang mendekatinya.
"Astaga Ki ... Ki ..., kalau enggak gitu mereka maksa minta nomor gue. Itu satu-satunya cara yang ampuh! Lo gak tahu aja sih capeknya jadi orang ganteng," ujar Zayn dengan pedenya.
Riki, teman Zayn itu langsung mendelik sinis. Memang ia akuin Zayn ganteng, bukankah dirinya juga iya? Yah, walaupun hanya setengah ganteng saja. Riki dan Zayn sudah bersahabat sejak lama, bahkan sejak keduanya masih SMP. Kini, keduanya bekerja di kafe yang sama sebagai waiters.
"Punya pacar satu gak masalah kali, gak bosen jomblo puluhan tahun?" Ujar Riki seraya menepuk pelan bahu Zayn.
"Haaah ... gak pernah kepikiran Ki, hidup gue banyak masalah. Nambah beban aja kalau pacaran, belum lagi ceweknya nuntut ini dan itu. Gue mau fokus dulu sama penyembuhan nenek. Lo tahu kan? Cuman nenek satu-satunya keluarga yang gue punya." Balas Zayn seraya membereskan gelas-gelas kosong dan membawanya ke dapur.
Riki terdiam, dia menatap Zayn yang kembali mengantar pesanan. Kegigihan sahabatnya itu, membuat Riki kagum. Dimana, Zayn harus membiayai neneknya yang tengah sakit kanker hati. Membuat pria tampan itu harus bekerja keras ekstra untuk membiayai pengobatan sang nenek. Gaji yang mereka terima, tentu masih kurang banyak untuk biaya pengobatan.
"Zayn, gimana kalau Lo cari pekerjaan yang gajinya lebih gede? Misal, di perusahaan gitu." Usul Riki.
Zayn mengangkat sudut kanan bibirnya, "Jadi apa? Cleaning servis?" Candanya.
"Ih, Lo kan pinter. Pasti di terima kok di perusahaan, dari pada kerja jadi waiters begini. Gaji cuman tiga juta, kalau di perusahaan kan bisa sampai tujuh juta. Naik jabatan, bisa lebih lagi." Bujuk Riki.
Zayn terdiam, dia memang berniat keluar dari pekerjaannya sekarang dan mencari pekerjaan yang lebih bagus. Namun, banyak orang yang bilang jika melamar kerja di sebuah perusahaan itu sangat sulit di terima tanpa jalur orang dalam. Apa lah Zayn yang hanya seorang pria biasa yang pernah bekerja sebagai waiters.
"Nih coba lihat, perusahaan Wiratama sedang membuka lowongan. Coba gih, siapa tahu rezeki lo." Seru Riki seraya memperlihatkan sebuah kabar dari ponselnya.
"Gue cuman lulusan SMA Ki, gak bakalan lolos. Mereka pasti cari yang sarjana, gue apa. Cuman es cap cip cup doang." Tolak Zayn dengan sedikit candaan.
Riki menggelengkan kepalanya, ia kembali menarik ponselnya dan mematikannya. Sebenarnya Zayn adalah murid yang cerdas, bahkan ia selalu menduduki peringkat satu sejak SD. Sayangnya, ia tak bisa melanjutkan kuliah karena terbatas biaya. Soal beasiswa, Zayn gagal mendapatkannya.
"Gue lanjut kerja dulu." Pamit Zayn dan beranjak pergi dari sana.
Riki menggelengkan kepalanya pelan, "Zayn. .. Zayn ... lo tuh ganteng, pinter, tapi selalu overtinking. Apalagi gue yang cuman pas-pasan. Hidup aja udah syukur." Gumamnya dengan lirih.
.
.
.
Selesai bekerja, Zayn kembali ke rumahnya. Rumah lusuh yang berada di perkampungan ibu kota. Dengan senyuman yang selalu terbit di bibirnya, pria itu berniat membuka pintu rumahnya. Melihat keberadaan Zayn, seorang gadis datang mendekat dan menepuk bahu pria itu dengan pelan.
"Bang Zayn,"
Zayn menoleh, dia menatap gadis berambut pendek itu dengan tatapan terkejut. "Eh Lita, ada apa?" Tanyanya seraya menghilangkan ekspresi terkejutnya.
"Nenek gak ada di rumah Bang, tadi pingsan di kamar mandi. Jadi Lita sama ibu bawa nenek ke rumah sakit." Ujar Gadis bernama Lita itu yang mana membuat wajah Zayn menjadi pucat pasi.
"Nenek pingsan?! Di bawa ke rumah sakit mana?!" Pekik Zayn dengan wajah memerah menahan tangis.
"Rumah sakit Lentera Kasih, tapi tadi nenek ..."
Tanpa menunggu lanjutan perkataan Lita, Zayn langsung berlari pergi. Meninggalkan Lita yang memandang kepergian dengan helaan nafas berat. Mungkin, Zayn terlalu khawatir. Sehingga mengabaikan lanjutan ucapannya.
Zayn pun menaiki angkutan umum untuk sampai ke rumah sakit tujuan. Ia tak memiliki kendaraan apapun, sehingga ia harus menaiki angkutan umun atau berjalan kaki. Biasanya kalau bekerja, Riki menjemputnya. Ia tak memiliki banyak uang untuk membeli kendaraan.
Sesampainya di rumah sakit, Zayn langsung bertanya pada resepsionis dimana ruangan sang nenek. "Kamar Tulip nomor tiga belas? Oke, terima kasih Sus." Ujar Zayn dan berlari menuju ruangan yang suster itu beritahukan padanya.
Sesampainya di ruang rawat sang nenek, Zayn mencari brankar neneknya di antara brankar ruangan itu. Hingga, langkahnya terhenti di pojok ruangan. Dimana, sang nenek terbaring lemah di brankar dengan di temani oleh wanita paruh baya. Melihat kedatangan Zayn, seorang wanita itu langsung beranjak dari duduknya.
"Gimana keadaan nenek Bu?" Tanya Zayn dengan setengah berbisik, ia khawatir istirahat sang nenek terganggu karenanya.
"Keadaannya semakin drop, dokter tadi mencarimu. Dia ingin menyampaikan sesuatu tentang kondisi nenekmu. Berhubung kamu sudah sampai, ibu pamit pulang yah." Ujar wanita paruh baya itu.
Zayn mengangguk, "Bu Devi terima kasih dan maaf, Zayn belum bisa bayar kontrakan. Nanti kalau Zayn gajian ...,"
"Tidak perlu di pikirkan tentang itu, rawatlah nenekmu dulu. Kalau gitu, ibu pulang yah." Selanya.
Bu Devi adalah pemilik kontrakan yang Zayn tempati, ia dan keluarganya sungguh baik pada Zayn dan sang nenek. Terkadang, Zayn merasa tak enak karena selalu menunggak biaya uang kontrakan. Namun, Bu Devi selalu memberinya keringanan untuk membayarnya. Lita, anaknya Bu Devi pun selalu datang untuk melihat kondisi nenek selama Zayn bekerja.
"Anda cucu dari nenek Dian?" Tanya dokter yang tiba-tiba saja datang menemui Zayn.
"Iya dok, betul. Saya cucu dari nenek Dian, bagaimana kondisi nenek saya dok?" Tanya Zayn dengan mata memerah menahan air mata yang hendak luruh.
"Bukankah saya sudah katakan untuk rutin membawa nenek anda Kemo? Kanker hati yang beliau derita sudah sampai di stadium empat. Anda tak lupa apa yang saya katakan sebelumnya bukan?" Terang Dokter itu yang mana membuat Zayn menundukkan kepalanya.
"Saya gak ada biaya dok, pengobatan nenek sangat mahal." Lirih Zayn seraya mengusap air matanya yang akhirnya luruh juga.
Dokter itu menghela nafas pelan, ia lalu menepuk pelan bahu pria muda di hadapannya. Selama ini, dia mengenal Zayn dan neneknya dengan baik. Pria muda di hadapannya itu, sangat sayang pada neneknya. "Saya harap, kamu di beri kemudahan. Untuk sekarang, kondisi nenekmu sedang lemah. Saya sudah memberinya infus dan juga menyuntikkan vitamin padanya." Ujar dokter itu.
"Tapi dok, biayanya ...,"
"Simpan untuk Kemo selanjutnya, saya tak bisa membantu banyak." Sela Dokter itu yang mana membuat Zayn tertunduk lemah.
____
Jangan lupa dukungannya🥰🥰
Terlihat, seorang wanita cantik turun dari mobilnya. Kaca mata hitam bertengger cantik di hidung mancungnya, rambutnya hitam bergelombang menambah kecantikan wanita itu. Kulit putih bercahaya miliknya membuat aura kecantikannya bertambah. Dengan langkah anggun, wanita itu melangkah memasuki sebuah rumah besar dengan tatapan lurus ke depan.
"Shea!" Wanita cantik itu menoleh, ia menatap wanita paruh baya yang datang menghampiri dengan tatapan kesal.
"Dari mana kamu? Kerja lagi? Astaga, Shea. Mama sudah atur rencana pertemuan kamu sama si Richard. Kenapa kamu gak datang hah?!" Omel wanita paruh baya itu.
Shea Lexix Wiratama, seorang wanita cantik yang merupakan CEO di perusahaan Wiratama. Selepas ayahnya meninggal, Shea lah yang meneruskan perusahaan milik sang ayah. Shea juga merupakan janda anak dua, ia dan suaminya telah bercerai tiga tahun yang lalu. Kini, sang ibu berusaha menjodohkannya kembali dengan beberapa pria. Sayangnya, Shea merasa tak tertarik.
"Ma, Shea capek habis dari kantor. Bisa bahas nanti enggak?" Ujar Shea dengan sedikit kesal.
Mata wanita paruh baya itu membulat sempurna, "Naaahh ini nih, kenapa Mama suruh kamu menikah lagi. Biar Kamu ada yang bantuin di kantor, Mama pilihkan kamu pria yang sederajat sama keluarga kita. Biar anak-anak kamu juga mendapat peran seorang ayah. Richard itu duda tanpa anak, dia pasti menerima anak-anakmu." Serunya dengan kesal.
Shea menghela nafas berat, ia lelah terus di jodohkan oleh sang mama. Ia menganggap, dirinya tak membutuhkan seorang pria. Pernikahan yang kandas, membuat ia tak memiliki keinginan untuk menikah kembali. Namun, sang mama terus mendorongnya untuk kembali menikah. Dengan alasan, agar kedua anaknya mendapat sosok seorang ayah.
"Sudah yah Ma, aku capek. Mending, Mama aja deh yang nikah sama dia. Mama kan juga janda," ujar Shea dengan santai dan berlalu pergi meninggalkan sang mama yang melongo dengan tingkahnya.
"Anak minim akhlak! Masa Mama nya di suruh nikah lagi!" Desis Daisy dengan kesal.
Shea berniat masuk ke dalam kamarnya, tubuhnya terasa lelah setelah seharian bekerja. Namun, langkahnya terhenti tepat di depan pintu bercat biru langit. Ia tak sengaja mendengar sebuah suara nyaring dari dalam sana. Perlahan, Shea mendekatkan telinganya pada pintu tersebut.
"Halgaiii akuuu, jaga pelacaankuuu, aku bukan diaaa, dia bukan dilikuuu huooo .... Dia cuka kamuuu, aku cuka maltabaakk. Halgai akuuu huooo!!"
Shea melipat bibirnya, ingin rasanya dia tertawa. Perlahan, ia pun memutuskan untuk membuka pintu kamar itu. Herannya, lampu kamar itu justru mati. Tak ada suara apapun dan terlihat sunyi. Shea merasa aneh, sebab tadi ia mendengar suara bocah menggemaskan sedang bernyanyi riang. Ia pun memutuskan untuk menyalakan lampu kamar itu, dan terlihat lah sebuah gundukan selimut di atas ranjang.
"Wah, sedang mengajak Mommy bermain rupanya yah." Gumam Shea dengan seringai di bibirnya.
Ia pun mematikan lampu kembali dan masuk ke dalam kamar. Tak lupa, ia kembali menutup pintu. Selang beberapa saat, terlihat sebuah sorot cahaya dari atas ranjang. Melihat itu, Shea langsung menyalakan kembali lampu kamar tersebut. Terlihat lah, sosok bocah menggemaskan menatapnya dengan mata membulat sempurna.
"MOMMY!" Pekiknya dengan terkejut.
"Wah, Kai mengajak mommy bermain hm? Jam berapa ini? Kenapa masih bermain ipad?" Seru Shea seraya mendekati ranjang.
Kai Zaviyar Rowan, sosok bocah menggemaskan berusia empat tahun. Bocah tampan yang memiliki tingkah yang sangat menggemaskan. Dimana, ia selalu melanggar peraturan yang sang mommy buat. Seperti saat ini, anak itu masih memainkan ipad miliknya di jam tidurnya.
"Nda ada yang ajak, Mommy cana tidul." Usir Kai yang mana membuat Shea membulatkan mulutnya
"Kai, sekarang jam berapa? Ayo, letakkan ipad mu dan tidurlah. Besok kamu harus ke sekolah kan? Gurumu telpon Mommy jika tadi pagi kamu membolos lagi! Sampai kapan kamu tidak mau mendengar omongan Mommy?" Omel Dhea dengan kesal.
Kai mengerucutkan bibirnya sebal, dia melirik ke arah sang mommy yang berdiri di sisi ranjangnya. "Mommy juga nda pelnah dengal Kai. Pulang nda pelnah bawa daddy balu, bolo-bolo daddy balu. Maltabak aja nda pelnah." Gerutu Kai.
Shea melongo tak percaya, bisa-bisanya putranya mengatakan itu. Daddy baru katanya? Shea menepuk keningnya dengan sedikit keras. Sudah pasti mama nya lah yang meracuni pikiran bocah menggemaskan itu. Tadinya Kai tak pernah menuntut daddy baru, tapi belakangan ini bocah menggemaskan itu menuntutnya. Dengan alasan, teman sekolahnya semuanya di jemput oleh daddynya tapi dia tidak.
"Kai, stop berbicara tentang daddy baru." Tegur Shea.
"Kata Oma Mommy janda, jadi bica cali daddy balu buat Kai. Kai mau di jemput daddy, nda mau di jemput Pak cupil!" Sentak Kai dengan kesal.
"Astaga, tidur atau ...,"
"MOMMY NDA PELNAH CAYANG KAI! MOMMY CAYANGNA ABANG DOANG! KAI MAU DADDY BALU BIAL ADA YANG CAYANG KAI!" Teriak Kai yang mana membuat Shea terkesiap.
Nafas Kai mendengar memburu, matanya terlihat berkaca-kaca. Ia menatap sang mommy dengan wajah memerah menahan emosi. Shea tak pernah mendengar perkataan tadi dari putra kecilnya sebelumnya. Baru kali ini, dia mendengarnya. Bahkan, Kai berani berteriak padanya.
"Tidurlah, besok kamu harus sekolah." Pinta Shea dan beranjak keluar dari kamar putranya. Hati wanita itu terasa sakit, ia tak pernah mengira jika Kai akan mengatakan itu padanya. Shea menutup pintu kamar Kai dengan pelan, lalu ia menyandarkan kepalanya pada pintu itu dan menahan tangisnya.
"Mommy."
Shea menarik kepalanya, ia melihat seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun memandangnya dengan tatapan tanpa ekspresi. Kedua sudut bibir Shea terangkat, dia mengusap wajahnya dan segera menghampiri anak laki-laki itu.
"Azriel, belum tidur sayang?" Tanya Shea menghampiri anak laki-laki bernama lengkap Azriel Ezario Rowan. Anak pertama dari Shea yang memiliki sifat pendiam.
"Apa adek marah?" Tanya anak itu dengan tatapan khawatir.
"Enggak, biasa adikmu kalau di larang selalu menangis. Ayo, kita ke kamarmu." Ujar Shea seraya merangkul putranya berniat mengajaknya pergi.
"Mommy, aku bisa sendiri. Lebih baik Mommy menemani adek tidur. Selamat malam Mommy,"
Shea terdiam dengan tatapan sendu, ia memandang putranya yang pergi menjauh darinya. Helaan nafas berat terdengar, Shea tertunduk dalam. Dia merasa, belum bisa menjadi ibu yang baik untuk kedua anaknya. Ia belum bisa adil terhadap keduanya. Perceraiannya dengan mantan suami, tentu berdampak besar bagi kedua anaknya.
"Apa ... aku ibu yang buruk?" Batin Shea menahan sesak di d4d4nya. Ia pun memutuskan untuk masuk ke dalam kamarnya.
.
.
.
Karena lelah seharian bekerja, Zayn tertidur seraya duduk di kursi yang berada di sebelah brankar. Pria itu tak menyadari, jika neneknya sudah bangun dan melihatnya. Tangan keriput wanita baya itu terangkat, berusaha mengusap kepala Zayn yang bersandar di tepi brankar. Sebelum nenek Dian menyentuhnya, Zayn sudah bangun lebih dulu.
"Nenek, Nenek sudah bangun?" Seru Zayn dengan semangat, terlihat matanya masih merah karena tertidur tadi.
"Kamu capek yah? Tidur lagi, Nenek tidak akan mengganggumu." Lirih wanita baya itu dengan lemas.
Zayn menggeleng, dia meraih tangan keriput sang nenek dan menggenggamnya dengan lembut. Lalu, ia menempatkan tangan itu di pipinya dan menatap nenek Dian dengan mata berkaca-kaca. "Maaf yah Nek, Zayn belum bisa maksimalkan pengobatan Nenek. Tapi, Zayn akan berusaha untuk mendapatkan uang. Agar nenek bisa sembuh," ujarnya dengan lirih.
"Jangan Nak, percuma. Nenek sudah tua, gak lama lagi Nenek juga akan menyusul kakekmu." Zayn tak lagi bisa menahan air matanya, perkataan neneknya sungguh menyayat hatinya.
"Jangan bicara gitu Nek, Zayn sama siapa kalau enggak sama Nenek. Zayn hanya punya Nenek, kalau Nenek gak ada Zayn sama siapa? Hiks ... Nenek harus tetap bertahan, Zayn gak mau sendirian." Lirih Zayn dengan air matanya yang terus luruh.
Tangan keriput nenek Dian mengusap lembut wajah cucunya, ia memandang pria tampan itu dengan mata berkaca-kaca. "Kamu kan bisa cari istri, sudah cukup umur kok untuk menikah." ucap Nenek Dian mencairkan suasana.
"Neneeekk!! Ih, Zayn masih kecil. Mau di kasih makan apa istri Zayn nanti, batu?" Kesal Zayn.
Nenek Dian tersenyum, dia mengusap lembut wajah cucunya. Sejak bayi, dialah yang merawat Zayn hingga tumbuh menjadi pria tampan seperti sekarang. Hanya dirinya yang Zayn punya, jika dia menyerah dia tidak tahu Zayn akan bersama siapa. Tapi, ia juga lelah menghadapi penyakitnya saat ini.
"Nenek harap, akan ada wanita yang mencintaimu dengan tulus." Lirih Nenek Dian saat melihat senyuman cucunya itu.
Setelah makan dan di beri obat, Nenek Dian kembali tertidur. Zayn pun menyalakan ponselnya yang sejak tadi ia matikan. Terlihat pesan masuk dari Riki yang menanyakan tentang kabar sang nenek. Mungkin, sahabatnya itu tahu dari Lita. Ia pun membalas pesan dari Riki. Namun, tiba-tiba Zayn terdiam.
"Ada lowongan pekerjaan di perusahaan Wiratama, apa aku coba aja yah." Gumam Zayn. Tatapan Zayn beralih menatap ke arah neneknya yang tertidur lelap. Lalu dia menghela nafas berat, kepalanya terasa sangat sakit saat ini.
"Mending aku coba aja deh." Putus Zayn.
____
Jangan lupa dukungannya🥰🥰
Zayn berdiri di depan sebuah gedung bertingkat, kepalanya mendongak dan menatap gedung menjulang tinggi itu dengan tatapan berbinar. Ia pun menundukkan kembali kepalanya, seraya menatap map coklat di tangannya. Sesuai rencananya, Zayn akan melamar pekerjaan di perusahaan itu. Ia berharap, dirinya dapat di terima dengan posisi terbaik.
"Semoga, ada harapan untuk aku bisa masuk ke dalam perusahaan ini." Batin Zayn. Ia pun melangkahkan kakinya masuk ke dalam perusaan itu.
"Maaf, ada yang bisa kami bantu?" Tanya resepsionis ketika melihat kedatangan Zayn.
"Maaf Kak, saya ingin melamar kerja. Katanya disini lagi buka lowongan yah?" Jawab Zayn dengan sopan.
"Baik, anda bisa naik ke lantai lima. Nanti akan ada staf kami yang mengarahkan anda di sana." Terang resepsionis itu.
Zayn mengangguk, dia pun berjalan menuju lift. Saat pintu lift akan tertutup, tiba-tiba mainan mobil-mobilan seorang anak kecil menghalangi tertutupnya pintu lift. Pintu pun kembali terbuka, terlihat sosok anak kecil menggemaskan dengan senyuman lebarnya masuk ke dalam lift. Ia mengatur mobilnya lewat remot yang ada di tangannya dan menempatkan di sisi kanannya.
"Mainanmu bagus." Puji Zayn dengan senyuman di bibirnya.
"Iya lah, ini kan pajelo ...." Celotehan anak itu terhenti saat ia mendongakkan kepalanya dan menatap Zayn dengan mata membulat sempurna.
"Ingat kata Oma, cari daddy baru yang tinggi, putih, ganteng, baik. Kalau ketemu, tawarin dia mau enggak sama mommy kamu?" Anak itu teringat kata-kata sang nenek, dia kembali fokus pada pria yang masih tersenyum padanya.
"Angkel, Angkel mau nda cama Mommy Kai? Mommy Kai janda." Ujar Kai yang mana membuat Zayn melongo tak percaya.
"Om kesini mau lamar kerja, bukan lamar jadi bapakmu cil." Ringis Zayn.
Tring!
Pintu lift terbuka, Zayn pun segera beranjak pergi. Meninggalkan Kai yang mengerjapkan matanya. Anak itu merasa, jika Zayn sangat tampan. Cocok dengan sang mommy yang terlihat sangat cantik. Senyuman kai mengembang, ia segera mengambil mobilnya dan berlari keluar dari lift.
CKLEK!
"MOMYYY! MOMMY! MOMMY!" Teriak Kai saat ia masuk ke dalam ruang kerja sang mommy.
"Ada apa? Mommy lagi kerja, Kai tadi janji loh gak ganggu Mommy kerja." Sahut Shea dengan tatapannya yang masih menatap ke arah laptop miliknya.
"Mommy, Kai tadi ketemu daddy balu." Ujar Kai yang mana membuat gerakan jari jemari Shea di atas keyboard berhenti seketika.
"Kai, jangan mulai lagi." Lelah Shea.
"Kai mau angkel baju putih tadi jadi daddy balu Kaaaii! Kai nda minta Maltabak loh! Kai minta daddy balu!" Rengek Kai.
Shea memijat kepalanya yang terasa sakit, tiap hari ia harus di hadapkan dengan putranya yang meminta daddy baru padanya. Bahkan, ketika pulang sang mama lah yang menuntutnya untuk mencari suami. Shea lelah, ia ingin hidup tenang sebentar saja. Tapi, sepertinya tidak bisa.
"Kai, lebih baik Mommy membelikanmu seratus martabak. Kalau jadi, mommy pesankan sekarang." Ujar Shea seraya meraih ponselnya yang ada tepat di sebelah laptopnya.
"Abang minta Bulgel di kacih! Kai minta daddy balu nda di kacih! Mommy cayangna cuma cama Abang! Kai Nda di cayang! Mommy nda cayang Kai!" Seru Kai dengan nafas yang memburu.
"Kai, Mommy ...,"
Tok!
Tok!
Shea menghela nafas berat, ia memejamkan matanya sejenak untuk menetralkan emosinya. Lalu, wanita itu mencoba untuk bersikap biasa saja. Sementara Kai, dia memeluk mobilnya dengan raut wajahnya terlihat marah.
"Masuk!" Seru Shea.
Cklek!
Terlihat, seorang pria masuk ke dalam ruangan Shea dengan membawa beberapa map. Ia mendekati bosnya itu dan menyerahkan map yang ia bawa tadi. "Ini beberapa CV yang saya terima dan sudah saya seleksi. Bu Bos bisa melihatnya sendiri," ujar pria itu.
Shea mengerutkan keningnya, ia lalu mengambil beberapa map itu dan membukanya satu persatu. Kegiatan tangannya terhenti saat ia melihat sebuah CV milik Zayn, ia merasa tertarik untuk membaca isi CV itu. "Tolong kamu panggilkan peserta atas Nama Zayn ke ruangan saya." Titahnya.
"Zayn? Tapi menurut saya, Zayn hanya di posisikan sebagai cleaning servis. Sebab, pekerjaannya sebelumnya adalah seorang waiters." Bingung pria itu.
"Apa kamu sudah bosan bekerja disini dan berlagak sebagai bos huh?" Ujar Shea dengan tatapan dinginnya.
Pria itu gelagapan, ia segera mengangguk dan beranjak keluar untuk memanggil Zayn. Tak lama, ia kembali dengan Zayn yang berjalan di belakangnya. "Bu bos, ini dia orangnya."
Tatapan Shea terangkat, ia menatap ke arah Zayn yang tengah berdiri di hadapannya. Wanita itu pun meminta waktu berbicara berdua dengan Zayn. Sehingga, pria tadi memutuskan untuk keluar dan kembali pada pekerjaannya. Zayn masih bergeming, ia tak tahu harus apa di ruangan Ceo ini.
"Silahkan duduk." Pinta Shea.
Dengan ragu, Zayn mendudukkan dirinya di sebuah kursi tepat di hadapan Shea. Ia masih belum menyadari keberadaan Kai di sana. Berbeda dengan Kai yang berpikir keras seraya menatap ke arah Zayn. Ia lalu memandang ke arah sang mommy, dan menarik tangannya.
"Kai, sebentar. Jangan ganggu Mommy, Kai main saja dulu." Tegur. Shea.
"Itu daddy balu Kai Mommy." Tanya Kai yang mana membuat Shea melototkan matanya.
"Jangan bercanda sekarang Kai!" Bisik Shea.
"Kai mau angkelna jadi daddy balu kai Mommy!" Rengek Kai.
Shea memijat pangkal hidungnya, lagi-lagi putranya merengek ingin meminta daddy baru. Jika tiap hari seperti ini terus, bisa-bisa kepala Shea pecah di buatnya. Sudah ia lelah bekerja, di tambah putranya merengek meminta daddy baru. Pandangannya pun terfokus kembali pada Zayn yang masih menundukkan kepalanya.
"Dia ... tampan juga." Batin Shea yang mengakui ketampanan Zayn.
"Pernah menjadi Waiters, padahal nilaimu cukup besar di ijazah. Kenapa tidak mencoba melamar di perusahaan sejak awal?" Tanya Shea yang mana membuat Zayn sedikit tersentak gugup.
"Saya ... saya orangnya pesimis, jadi saya pikir tidak akan diterima. Apalagi, saya hanya tamatan Sma." Lirih Zayn.
Shea mengangguk paham, ia pun terdiam sebentar seraya memikirkan sesuatu. Pandangannya kembali menatap ke arah Zayn, penampilan Zayn terlihat sangat sederhana. Tak terlihat jika Zayn adalah orang kaya. Tapi, mengapa pria itu terlihat sangat tampan. Tatapan mata Shea beralih menatap putranya yang memandang ke arah Zayn dengan tatapan berbinar.
Mengingat perkataan Kai semalam, membuat kepala Shea kembali berdenyut. "Oke, kamu di terima." Putus Shea yang mana membuat Zayn tersenyum lebar.
"Terima kasih Bu, terima ka ...,"
"Jadi suami saya." Perkataan Shea membuat Zayn seketika langsung berdiri. Raut wajahnya terlihat pucat pasi, dia menatap Shea dengan tatapan terkejut. Pandangannya pun beralih menatap Kai yang tersenyum lebar padanya.
"Nih anak yang tadi ada di dalam lift, yang nawarin emaknya kan?!" Pekik Zayn dalam hatinya.
"Bu bos, maaf. Sepertinya ada kesalahpahaman, saya datang untuk melamar kerja. Karena saya butuh uang buat pengobatan nenek saya. Bukan melamar jadi suami anda. Kalau jadi suami, Bu bos mau makan apa? Batu? Uang berobat nenek saya aja kurang apalagi nafkahin anak orang. Enggak deh, saya gak kuat. Saya ...,"
Brak!
"Uang muka seratus juta, cukup?"
"Hah? Bu-buat saya?!" Kaget Zayn.
Bagaimana tidak, Shea mengambil uang segepok dari dalam laci mejanya dan meletakkannya di hadapan pria di hadapannya. Zayn yang melihat uang segitu banyaknya tentu langsung membulatkan matanya. Dia bahkan tak pernah melihat uang segitu banyaknya secara langsung. Bagaimana rasanya memegang uang segitu banyaknya?
"Waktumu hanya dua puluh empat jam dari sekarang. Pikirkanlah, sebelum saya melempar kesempatan ini ke orang lain." Ujar Shea dengan tatapan datar ke arah Zayn yang terlihat gusar.
"Bagaimana ini." Batin Zayn.
.
.
.
Zayn menatap ke arah kartu nama yang ada di tangannya seraya berjalan di lorong rumah sakit. Pria itu belum memberikan jawaban yang pasti pada Shea, ia masih bimbang. Menurutnya, pernikahan harus di landaskan rasa cinta. Bukan karena keuntungan apapun. Namun, menurutnya penawaran Shea sangat membantunya.
"Enggak, gak boleh. Menikah itu karena saling mencintai, bukan karena saling menguntungkan. Bagaimana bisa aku menikah dengan janda yang sudah memiliki anak? Belum lagi, dia seorang CEO." Lirih Zayn. Pria itu menghela nafas berat, ia mengalihkan pandangannya lurus ke depan.
"DOKTER CEPAT!"
Zayn menghentikan langkahnya, tatapannya mengarah pasa beberapa tenaga medis yang berlari menuju ruangan yang sangat dirinya kenal. Raut wajah Zayn berubah pucat, ia melangkah mendekati ruangan itu. Langkahnya terhenti setibanya ia melihat brankar sang nenek di tutupi oleh tirai. Pasien lain yang ada di ruangan itu turut membicarakan tentang nenek Dian.
"Kalau kataku sih gak bakalan selamat, udah parah banget sakitnya " Bisik seorang wanita paruh baya.
"Iya, kasihan yah." Balas yang lain.
Air mata Zayn luruh, tubuhnya mendadak kaku untuk di gerakkan. Ia melihat bayangan para tenaga medis tampak sibuk. Zayn tidak tahu apa yang terjadi, telinganya pun kini terasa berdengung. Salah satu dokter keluar dari dalam tirai dan menarik Zayn berbicara di kuar.
"Dok, nenek saya ...." Ujar Zayn dengan suara bergetar, ia tak tahan dengan kepanikannya saat ini.
"Kita harus merujuk pasien ke rumah sakit yang lebih besar karena keterbatasan alat dan juga tenaga medis. Anda harus segera menandatangani surat rujukan, agar nenek anda segera di tangani di rumah sakit tujuan." Ujar sang dokter yang membuat Zayn lemas seketika.
"Saya enggak ada biaya dok." Lirih Zayn. Rumah sakit ini bukan lah rumah sakit besar seperti di tengah kota yang memiliki peralatan medis yang lengkap dan juga dokter terbaik. Namun, dia berharap para tenaga medis disini dapat membantu sang nenek.
"Kondisi Bu Dian harus segera di rujuk, rumah sakit ini sudah tidak dapat lagi mengatasi kondisi pasien. Di tambah penunjang medis tidak lengkap, maka kami akan merujuk pasien ke rumah sakit yang memiliki penunjang medis yang lebih lengkap." Terang Dokter itu dengan tatapan lemah.
"Kami akan menunggu keputusan anda." Lanjutnya.
Zayn terdiam, otaknya berpikir dengan keras. Lalu ia menatap kartu nama yang ia dapat dari Shea. Tangan kirinya mengepak kiat, matanya terlihat memerah. Tak ada pilihan lain, Zayn harus menyetujui tawaran Shea padanya. Dengan berat hati, Zayn mengambil ponselnya dan menghubungi nomor yang terdapat di kartu nama itu.
Sementara itu, Shea baru saja turun dari mobilnya bersama dengan sang putra. Siang ini ia berencana makan di rumah, tak seperti hari-hari sebelumnya yang selalu makan di luar. Ia tersenyum tipis melihat putra kecilnya berjalan dengan masuk ke dalam rumah seraya memegang permen kapasnya.
"Kamu kok cepelti hantuuu, telus menghantui akuuu .... Makana ku beli, bial nda di hantui telus aku. Becok ku beli lagi kamu cama Daddy balu." Celoteh Kai dengan riang gembira. Lalu, anak itu berlari, membuat Shea yang melihatnya menjadi khawatir.
"KAI! JANGAN LARI-LARIAN! NANTI ...,"
Dertt!
Dert!
Ponsel Shea berdering, ia mengambil ponselnya dari dalam tas kecilnya dan melihat siapa yang menelponnya. Melihat nomor asing yang tertera di panggilan, membuat Shea bertanya-tanya. Dengan ragu, wanita itu menggeser tombol hijau dan mengangkat panggilan itu.
"Ha ...,"
"Saya bersedia menikah dengan anda."
.
.
.
Shea dan Zayn mengambil sebuah buku kecil yang baru saja di berikan seorang pria paruh baya pada mereka. Keduanya menatap buku berwarna berbeda itu dengan tatapan lekat. Keduanya tak menyangka, jika mereka sudah sah menjadi suami istri dengan mahar lima puluh ribu rupiah dari sisa uang yang Zayn punya. Tatapan pria itu beralih menatap ke arah Shea yang menghela nafas pelan dan memasukkan buku itu ke dalam tasnya.
"Bu bos ...,"
"Ayo, kita keluar." Ajak Shea dan beranjak pergi meninggalkan Zayn yang terdiam di tempat.
"Sekarang zaman sudah beda yah, berondong yang terdepan." Ujar pria yang menikahi keduanya.
Zayn terdiam, dia menatap pria paruh baya itu sejenak sebelum berlalu pergi menyusul Shea. Keduanya kini berada di parkiran, Shea mengambil sebuah map dari dalam mobilnya dan menyerahkannya pada Zayn. Dengan tatapan bingung, pria itu mengambilnya dan membukanya.
"Itu adalah surat perjanjian kita, kamu tidak berhak mengajukan cerai padaku. Hanya aku yang berhak memutuskan kapan kita bercerai. Tugasmu hanya mengurus kedua anakku, dan setiap bulannya aku akan memberikanmu uang sebesar tiga puluh juta. Jika kamu mengajukan cerai padaku, kamu harus mengembalikan semua uang yang pernah aku berikan sebesar dua kali lipatnya." Ujar Shea yang mana membuat Zayn membulatkan matanya.
_____
Jangan lupa dukungannya🥰🥰
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!