Resepsi mewah di sebuah hotel berbintang lima, dengan konsep shabby chic adalah impian Rheina sejak dulu. Konsep yang mengusung romantisme dan feminisme yang kental membuat ia berasa sedang berada di negeri dongeng. Bunga-bunga cantik yang didominasi warna pink dan pastel benar-benar membuatnya bagai seorang putri. Lelaki ganteng memakai tuxedo berwarna pastel melengkapi sempurnanya mimpinya yang saat ini menjadi kenyataan.
Hari ini adalah hari pernikahannya dengan Adnan. Hari yang selama ini sangat ia tunggu-tunggu. Menikah dengan laki-laki pilihannya yang telah mengisi hari-harinya selama tiga tahun belakangan ini. Setelah menjalani pahit manisnya bersama, akhirnya cinta mereka berlabuh di pelaminan, seperti yang mereka impikan.
Setelah melaksanakan akad nikah tadi pagi, sekarang mereka sedang menjadi raja dan ratu sehari, di resepsi yang diadakan di sebuah hotel bintang lima di kota Bukittinggi ini.
"Selamat, Rheina. Tidak sia-sia perjuanganmu meyakinkan orang tuamu. Akhirnya bisa juga kamu dan Adnan bersanding di pelaminan ini," ujar Sovia. Sovia adalah sahabat Rheina yang sangat memahami lika liku perjalanan cinta mereka.
"Makasih, Via. Ini semua berkat kamu juga," ucap Rheina sambil memeluk sahabatnya itu. Sovia yang sudah dianggap seperti anak sendiri oleh keluarga Rheina, ikut mengambil peran dalam meyakinkan mama dan papa Rheina agar memberi restu dan mengizinkan mereka menikah.
Dulu, orang tua Rheina tidak begitu menyukai Adnan. Menurut mereka, Adnan adalah lelaki manja dan pemalas. Padahal, sebagai anak yang berasal dari keluarga yang berada, menurut Rheina, wajar ia sangat dimanja oleh orang tuanya. Ditambah lagi, ia adalah anak bungsu dan satu-satunya laki-laki dalam keluarga mereka.
Rheina terus berusaha untuk meyakinkan orang tuanya karena ia yakin saat mereka menikah, sifat manjanya akan hilang dan berganti dengan rasa tanggung jawab untuk keluarga.
"Rheina yakin, Ma! Setelah menikah nanti, Adnan pasti akan berubah menjadi seorang yang mandiri." Gadis tersebut berusaha meyakinkan Marni--mamanya.
"Seharusnya kita bisa lihat dari sekarang, Rheina. Sampai saat ini, ia tidak ada keinginan untuk bekerja sedikit pun. Padahal, ia bisa saja bekerja di salah satu toko milik keluarganya. Namun, seperti yang kita lihat, sampai sekarang dia masih nyaman menjadi pengangguran dan berfoya-foya menggunakan uang orang tuanya," ujar Marni. Wanita paruh baya tersebut terlihat khawatir.
"Adnan sudah janji ke Rheina, Ma. Saat kami menikah nanti, dia akan memegang salah satu toko keluarganya itu. Ada satu toko yang memang sudah disiapkan untuk dia," jelas Rheina.
Sebenarnya, gadis bertubuh mungil tersebut sangat paham pada ketakutan orang tuanya itu. Mereka tidak tidak ingin putri semata wayang, yang sangat mereka sayangi menderita setelah pernikahan nanti. Namun, Rheina terus meyakinkan mereka kalau semua itu tidak akan terjadi. Saat ini Adnan belum mau bekerja karena memang belum ada yang harus ia pertanggungjawabkan. Setelah menikah nanti, Rheina yakin semuanya pasti akan berubah.
Setelah melewati perjuangan yang sangat berat, pernikahan impian mereka bisa terlaksana, setelah melewati perjuangan yang luar biasa hebatnya. Rheina benar-benar bahagia karena akan sangat sia-sia hubungan yang mereka jalani selama tiga tahun, kalau tidak ada ujungnya.
Setelah menikah, mereka tinggal di rumah keluarga Rheina. Setiap hari Adnan berangkat ke toko keluarga yang dipercayakan kepadanya. Sedangkan Rheina, bekerja sebagai guru di sebuah SMA Swasta yang cukup terkenal di kota mereka. Semua ketakutan mama Rheina selama ini, jauh dari kenyataan. Sebagai seorang suami, Adnan sangat bertanggung jawab terhadap keluarganya.
--
Sore itu, Rheina membantu mamanya mengurus tanaman di halaman depan rumah mereka. Marni-mamanya sangat hobi berkebun. Berbagai macam bunga tertata rapi di sana. Setiap orang yang melihat pasti akan kagum melihat tatanan taman yang diurus sendiri oleh Marni. Saat mereka sedang asyik bekerja, sebuah mobil Pajero Sport berwarna putih memasuki halaman rumah mereka.
Rheina segera berdiri dan mencuci tangan karena mobil tersebut adalah milik Adnan. Mereka berjalan beriringan ke kamar karena seperti biasanya, Adnan akan bersih-bersih terlebih dahulu sebelum ikut bergabung bersama mertuanya di ruang tengah.
"Sayang, aku ada sebuah kejutan untuk kamu," ujar Adnan yang tengah duduk di pinggir tempat tidur.
"Kejutan apa?" tanya Rheina penasaran. Gadis tersebut duduk di sebelah suaminya dan menghentikan kegiatannya menyiapkan baju ganti untuk Adnan.
Adnan memperihatkan sebuah gambar rumah minimalis yang sangat indah dari ponselnya. "Rumah ini akan menjadi saksi cinta kita selanjutnya, Sayang," ucapnya sambil tersenyum.
"Maksudnya?" Rheina masih belum mengerti arah pembicaraan suaminya itu.
"Rumah ini, hadiah pernikahan dari mami dan papi aku. Aku harap kamu tidak keberatan kalau kita pindah ke sini." Adnan menjelaskan maksud dari ucapanya tadi.
Rheina terlihat sangat bingung karena ia tidak pernah membayangkan akan hidup terpisah dari orang tuanya. Namun, sebagai istri yang baik, ia harus mengikuti apa kata suami. Walaupun, ini pertama kalinya ia harus jauh dari orang tua.
Setelah minta izin pada papa dan mama Rheina, mereka pun pindah setelah enam bulan menikah. Walau dengan berat hati, orang tua Rheina terpaksa harus melepas anak semata wayangnya untuk pergi dari rumah tempat ia dibesarkan. Sejak kepindahan Rheina ke rumah barunya, mereka hanya tinggal berdua di rumah ini.
"Adnan harus jaga Rheina dengan baik, ya," pinta Marni saat mereka akan pindah.
"Pastinya, Ma! Rumah kami, kan, tidak begitu jauh dari sini. Mama kalau kangen, bisa datang kapan aja, kok. Nanti di sana, Adnan akan sediakan satu kamar khusus untuk Mama." Adnan meyakinkan mertuanya.
Sebulan pertama, setiap pulang kerja, Rheina selalu mampir ke rumah orang tuanya. Kebetulan, arah sekolah tempat Rheina mengajar tidak jauh dari sana. Ia membantu ibunya memasak dan membawa pulang makanan yang mereka masak tadi di dalam rantang. Makanan yang dibawa Rheina tersebut cukup untuk makan malam mereka berdua.
Pagi hari, Rheina dan Adnan hanya butuh segelas susu dan Roti untuk mengisi perut mereka. Untuk makan siang, Adnan selalu makan di toko, ia terkadang memesan melalui aplikasi online atau menyuruh anggotanya untuk membeli makanan di rumah makan terdekat. Sedangkan, Rheina sudah mendapatkan katering dari sekolah tempat ia mengajar.
Setiap hari Sabtu dan Minggu, Rheina memasak makanan di rumah. Hanya pada akhir pekan itulah, sepasang suami istri yang sama-sama bekerja tersebut, menghabiskan waktu bersama tanpa mau diganggu oleh siapa pun juga. Pada malam minggunya, mereka akan mengunjungi orang tua Rheina dan malam Seninnya, giliran orang tua Adnan yang mendapat kunjungan dari mereka.
Hidup yang mereka jalani saat ini, benar-benar sangat indah seperti impian mereka dulu. Rheina bersyukur telah memilih Adnan menjadi pendamping hidupnya. Ia sangat bahagia karena bisa membuktikan kepada kedua orang tuanya, kalau ia tidak salah dalam memilih suami. Setelah menikah Adnan sangat bertanggung jawab dan perhatian kepadanya.
Hidup mandiri dalam berumah tangga itu memang terasa sangat menyenangkan. Rheina sangat bahagia dengan kehidupan yang ia jalani saat ini. Ia memiliki suami yang baik dan romantis, orang tua yang sangat menyayanginya dengan sepenuh hati, mertua yang begitu perhatian, dan kakak ipar yang sudah menganggapnya sebagai adik sendiri.
Kebahagiaan wanita cantik tersebut semakin sempurna, saat ia dinyatakan hamil setelah dua bulan menjalani pernikahan. Orang tuanya sampai menangis haru saat mengetahui kabar kehamilannya.
"Rheina jaga calon cucu Mama baik-baik, ya," pesan Marni yang memang sudah sangat ingin menimang cucu.
Ia dulu harus menunggu lama agar bisa hamil. Saat itu, ia sudah hampir putus asa karena sepuluh tahun pernikahannya, Allah masih belum menitipkan janin di rahimnya. Ia sudah lelah ke sana ke mari, mengikuti anjuran orang, hanya sekedar untuk bisa hamil. Sudah cukup banyak biaya yang dikeluarkan untuk itu. Namun, di tengah kepasrahannya, Allah menitipkan janin tersebut di rahimnya, di tahun kesebelas pernikahan mereka. Marni sangat bahagia, dan menjaga kandungannya dengan sangat hati-hati. Di usianya yang ke tiga puluh lima, lahirlah Rheina--bayi yang sangat diharapkan kehadirannya.
"Iya, Ma," jawab Rheina sambil merangkul pinggang wanita yang sangat ia cintai itu.
"Hmm ... bagaimana kalau kalian balik lagi tinggal di sini, agar Rheina tidak kecapekan?" saran Marni.
"Rheina, nggak apa-apa, kok, Ma. Mama jangan khawatir, ya." Rheina berusaha meyakinkan mamanya.
Setelah berdiskusi cukup lama, ditambah dengan janji Adnan yang akan bersungguh-sungguh menjaga Rheina, akhirnya Marni mengalah. Wanita paruh baya tersebut mengizinkan Rheina untuk tetap tinggal di rumah miliknya, tetapi ada beberapa syarat yang diajukannya dan harus disetujui oleh Rheina dan Adnan.
Namun, seminggu setelah dinyatakan hamil, Rheina harus ikhlas mendengar vonis dokter kalau kehamilannya lemah, dan sedikit bermasalah. Ia tidak bisa menerima makanan sedikit pun. Apa pun yang ia makan, pasti akan dikeluarkannya lagi. Oleh sebab itu dokter menganjurkan untuk bedrest, agar kandungannya bisa bertahan.
Agar orang tuanya tidak cemas, Rheina tidak memberi tahu kabar buruk ini. Ia yakin mamanya akan memaksa balik ke rumah, jika tahu kandungannya sedang bermasalah. Ia memahami kondisi suaminya yang tidak begitu nyaman, jika harus tinggal lagi di rumah keluarganya, tetapi hal inilah yang akhirnya menjadi masalah dalam rumah tangga mereka yang baru seumur jagung.
Adnan yang pada dasarnya anak manja, tidak sanggup mengurus Rheina. Jangankan untuk melayani keperluannya, untuk mengambil nasi kepiringnya saja laki-laki tersebut tidak mau. Selama ini Rheina selalu malayani segala keperluan suaminya itu dengan sabar. Namun, saat ini kondisinya sudah berbeda. Rheina yang tengah hamil, sangat membutuhkan seseorang untuk membantu segala keperluannya.
"Sayang, aku lemas banget. Boleh tolong ambilin minum, ya," pinta Rheina yang saat itu terlogek lemah di tempat tidur. Sejak pagi, ia sudah beberapa kali muntah dan mengeluarkan semua makanan yang ia makan sebelumnya.
"Manja amat, sih, Yang. Kak Dina aja yang udah punya anak dua, waktu hamil nggak gini amat," ujar laki-laki tersebut dengan nada tinggi.
Hati Rheina sangat sakit mendengar ucapan Adnan barusan. Sejak Rheina hamil dan sering muntah-muntah, laki-laki yang ia perjuangkan untuk menjadi pendamping hidupnya itu, terlihat menjauhinya. Namun, untuk menghindari pertengkaran, Rheian memilih bangun dari tempat tidur dan berjalan perlahan ke dapur untuk mengambil air minum sendiri. Air mata jatuh bercucuran membasahi kedua pipinya.
Bahkan yang membuat ia merasa lebih sakit adalah saat ia menangkap kekesalan dari wajah Adnan, melihat ia menangis. Sepertinya laki-laki bertubuh atletis itu berpikir, kalau Rheina cuma pura-pura.
Sejak kejadian itu, Rheina mendiamkan Adnan, dan selama itu pula, ia lebih banyak menghabiskan waktu di rumah maminya. Sedangkan Rheina, terpaksa mengurus segala keperluannya sendiri, walaupun saat itu ia sedang dalam kondisi yang sangat lemah.
--
Rheina membuka matanya perlahan, ia heran karena ruangan tempat ia terbaring saat ini sangat asing untuknya. Ia mencoba berpikir, kenapa ia bisa berada di rumah sakit ini? Siapa yang telah membawanya ke sini? Diedarkannya pandangan ke sekeliling kamar tersebut. Tampak mamanya sedang duduk di atas kursi yang tidak jauh dari ranjangnya.
"Ma ...." panggilnya pelan.
Lamunan Marni langsung buyar mendengar Rheina memanggilnya. Wanita paruh baya tersebut menyulut air mata yang jatuh perlahan di sudut matanya yang sudah memiliki beberapa kerutan.
"Pa, Rheina sudah sadar," pekiknya senang.
Papanya dan Adnan yang tadi duduk di sofa yang terletak di sudut ruangan tersebut, berjalan mendekat ke arah ranjang tempat Rheina tergolek lemah.
"Kamu kenapa, Nak?" tanya Haris-papanya khawatir.
Rheina berusaha untuk mengingat kejadian terakhir, sebelum ia bisa berada di rumah sakit ini.
"Rheina, tadi mau mengambil nasi ke dapur, Ma, Pa. Badan Rheina terasa lemah sekali dan kepala Rheina pusing. Baru beberapa langkah berjalan, Rheina jatuh karena kaki Rheina terasa sangat lemas. Setelah itu Rheina tidak ingat apa-apa lagi," jawabnya pelan. Ia tadi merasa sangat lapar karena sejak pagi ia selalu memuntahkan semua makanan yang ia konsumsi. Namun, badannya terasa sangat lemah untuk sekadar berjalan ke dapur.
"Kenapa kamu yang mengambil nasi sendiri? Adnan kemana? Kejadiannya, kan, sudah malam?" tanya Ramli dengan nada tinggi.
Sejak tadi ia mencoba menanyakan hal yang terjadi pada Rheina pada laki-laki yang saat ini menjadi suami putri semata wayangnya itu, tetapi Adnan tidak bisa menjawab. Ia beranggapan kalau menantunya itu sedang panik dan tidak sanggup menjelaskan apa pun juga. Makanya Ramli memilih diam dan menunggu Rheina sadar.
Rheina hanya diam. Ia dapat melihat wajah Adnan yang tampak pucat mendengar pertanyaan papanya. Laki-laki itu selalu pulang larut malam, sejak kejadian Rheina meminta tolong mengambilkan air minum beberapa hari yang lalu. Sesampai di rumah, ia segera tidur dan paginya langsung berangkat lagi ke toko. Tidak sedikit pun ia menanyakan keadaan Rheina dan bayi mereka.
"Jawab, Adnan!" Pak Haris tampak sangat emosi.
"Adnan tadi lagi ada kerjaan di toko, Pa," sahutnya pelan.
"Sejak kapan toko kamu buka sampai tengah malam, ha?" hardik Haris lagi.
Adnan hanya diam, ia menunduk dan tidak berani menatap wajah mertuanya itu. Ia menyesal telah menelantarkan Rheina. Semua karena ia menuruti ucapan maminya yang mengatakan kalau wanita yang lagi hamil itu banyak maunya. Maminya juga melarang mengikuti semua kemauan istrinya karena itu cuma akal-akalan untuk minta diperhatikan.
Namun, malam itu, saat sampai di rumah sekitar pukul sebelas malam, ia tidak menemukan istrinya di kamar. Adnan yang saat itu memang sedang diam-diaman dengan Rheina mulai khawatir Rheina pulang ke rumah orang tuanya. Dengan amarah yang mulai memuncak karena Rheina pergi tanpa pamit, ia mencoba mencari di dalam rumah terlebih dahulu. Alangkah kagetnya ia, saat melihat Rheina terbaring tidak sadarkan diri di dapur. Dengan kondisi panik, ia membawa Rheina ke rumah sakit dan menelepon orang tua Rheina.
"Sepertinya kamu tidak bisa mengurus putri saya dengan baik. Sebaiknya setelah pulang dari rumah sakit ini, Rheina kami bawa balik ke rumah." Marni pun terlihat mulai emosi melihat Adnan hanya diam.
"Jangan, Ma. Jangan pisahkan Rheina dari Adnan," mohonnya. Laki-laki yang biasanya terlihat sangat bersahaja tersebut, mulai meneteskan air mata. Ia tidak sanggup membayangkan, jika harus berpisah dari Rheina--wanita yang sangat ia cintai.
"Saya tidak rela, putri semata wayang saya kamu sia-siakan," lanjut mamanya, masih terdengar berang.
"Adnan janji, hal ini tidak terulang lagi, Ma," mohon Adnan penuh harap.
"Kasih Adnan kesempatan lagi, ya, Ma," pinta Rheina tiba-tiba. Ia tidak tega melihat wajah memelas suaminya. Ia berharap, setelah kejadian ini Adnan bisa berubah.
"Baiklah, tapi mulai besok, Bi Ijah akan tinggal bersama kalian." Marni kembali mengalah. Rheina menghela napas lega, mendengar keputusan mamanya. Semoga Adnan Bersungguh-sungguh dengan janjinya untuk berubah.
Sudah seminggu Rheina pulang dari rumah sakit. Sikap Adnan sudah sangat banyak berubah. Laki-laki tersebut sudah mulai memperhatikan istrinya, walaupun masih jauh dari kata sempurna. Namun, melihat perubahan tersebut, Rheina sudah cukup senang. Si manja, kini sudah mulai mandiri dan memahami arti dari tanggung jawab.
"Sayang, susunya sudah aku buatin, ya! Nanti kalau kamu sudah agak enakan, diminum susunya. Aku letakin di atas meja," ujar Adnan sambil mengambil kunci mobil, untuk pergi ke toko.
"Iya, Sayang! Nanti kamu makan siang di rumah, nggak?" tanya Rheina lemah. Walaupun sudah boleh pulang, kondisinya masih belum pulih betul. Selera makannya juga masih belum kembali seperti semula. Makanya Adnan selalu berusaha untuk pulang saat makan siang, agar bisa mengajak istrinya tersebut makan. Setidaknya, wanita berlesung pipi tersebut mau menyuap makanannya walaupun cuma sedikit.
"Rencananya, siang ini mau ada suplier barang datang ke toko buat nawarin produk baru mereka. Kalau selesainya cepat, aku bakal usahain pulang. Namun, kalau nggak sempat, aku cari makan dekat toko aja, ya." Adnan memang sudah ada janji dengan beberapa suplier siang ini, makanya ia ragu untuk bisa pulang saat makan siang nanti. Kalau hanya satu suplier, mungkin masih bisa ia paksakan.
"Ya, udah, deh! Kalau gitu, kamu berangkat, gih! Nanti kesiangan," ujar Rheina.
"Kamu nanti mau aku pesanin apa buat makan siang?" tanya Adnan lagi. Ia sebenarnya tidak tega meninggalkan Rheina di rumah dalam kondisi seperti ini. Namun, sudah beberapa hari ia tidak ke toko dan suplier barang sudah berkali-kali menghubunginya.
"Nggak usah, Sayang. Aku mau makan masakan Bi Ijah aja. Aku pengen dimasakin ayam goreng mentega," jawab Rheina. Wanita tersebut sangat menyukai masakan Bi Ijah yang sudah bekerja lama di keluarganya. Masakan wanita empat puluh tahunan itu, hampir mirip dengan masakannya dan juga masakan mamanya.
"Kalau begitu, aku berangkat sekarang, ya," ujar Adnan sambil mengecup kening istrinya lembut.
"Kamu nyetirnya hati-hati! Pulangnya jangan kemalaman," seru Rheina masih dengan suara yang lemah.
"Siap bos, kamu jangan banyak gerak. Aku nggak mau kamu kecapekan lagi. Kalau butuh apa-apa, minta sama Bi Ijah, ya," kata Adnan sambil mengelus perut Rheina yang masih rata, "sayang, kamu jangan nakal, ya. Baik-baik di dalam. Jangan bikin Bunda susah." Adnan mengajak bicara bayi yang ada di dalam kandungan istrinya.
"Baik, Ayah!" Rheina menjawab ucapan Adnan dengan suara yang dibuat seperti suara bayi. Rheina sangat bersyukur, Adnannya sudah kembali lagi. Tidak sia-sia ia memperjuangkan laki-laki itu dulu. Kehidupan rumah tangga mereka, sudah mulai kembali ke kondisi normal.
Setelah Adnan berangkat, Rheina melanjutkan untuk beristirahat. Sebenarnya, ia sudah bosan harus rebahan terus sepanjang hari. Namun, kalau ia bandel, bisa-bisa terjadi sesuatu lagi dengan kandungannya. Kata dokter, ia harus istirahat total dan tidak boleh terlalu banyak bergerak. Rheina bersyukur karena sekolah tempat ia mengajar, memberikan izin istirahat sampai keadaannya benar-benar pulih kembali.
--
Kandungan Rheina sudah memasuki bulan keempat. Kondisi kesehatannya juga sudah jauh membaik. Ia sudah mulai melakukan aktifitas ringan yang tidak begitu menguras tenaga. Pagi ini, ia sibuk menyiapkan bubur ayam yang baru saja di beli Adnan untuk sarapan pagi mereka. Sementara itu, Adnan terlihat mengambil sendok dan mengangkat teko berisi air minum ke meja makan.
Kemarin sore, Bi Ijah minta izin untuk pulang kampung karena anaknya sakit, dan belum tahu kapan bisa balik lagi. Suami Bi Ijah, bekerja di luar negeri menjadi TKI, jadi anaknya yang masih SMP, dirawat oleh ibu Bi Ijah yang sudah sepuh. Makanya, kalau sudah begini, mau tak mau, Bi Ijah harus balik ke kampungnya.
"Sayang, besok kita cari asisten rumah tangga yang baru, ya," ujar Adnan. Walaupun hari ini adalah hari Minggu, mereka tidak memutuskan untuk pergi ke mana-mana. Mereka lebih memilih untuk tetap di rumah, dan menonton acara kesukaan mereka di TV.
"Aku rasa, kita nggak perlu lagi pakai asisten rumah tangga, Sayang. Keadaanku sudah lumayan membaik, kok! Bahkan rencananya, hari Senin depan, aku mulai mengajar," ujar Rheina yakin.
"Kamu, yakin?" Adnan terlihat ragu. Ia tidak ingin terjadi sesuatu lagi pada kandungan istrinya itu.
"InsyaAllah, Sayang! Nanti kerjaan rumah, kita kerjain bareng-bareng, ya!" Rheina mencoba meyakinkan suaminya.
"Baiklah, tapi nanti kamu pergi sama pulang mengajarnya, biar aku yang antar-jemput, nggak usah nyetir dulu!" Adnan mengajukan syarat.
"Iya, Sayangnya aku," ujar Rheina memeluk suaminya manja.
--
Hari terus berganti, kondisi Rheina terlihat semakin membaik. Kehidupan rumah tangga mereka setelah kepergian Bi Ijah juga berjalan lancar. Adnan tidak segan membantu Rheina untuk mencuci pakaian, menggunakan mesin cuci. Namun, wanita berambut panjang itu, tidak pernah membiarkan suaminya untuk menjemur pakaian tersebut keluar rumah. Ia selalu mengambil alih tugas itu karena tidak tega melihat laki-laki bersahaja tersebut melakukan hal itu.
Adnan juga membantu beberes rumah, pokoknya semua urusan rumah tangga mereka lakukan berdua. Namun, sampai saat ini, Rheina masih belum bisa memasak. Di samping, ia masih belum kuat mencium bau-bauan, wanita yang tetap terlihat cantik, walau dalam kondisi hamil itu, juga masih belum bisa berdiri lama. Untuk mengatasi itu semua, mereka ikut katering rantangan yang diantar ke toko setiap sore. Jadi, malam sebelum makan, Rheina hanya butuh untuk memanaskannya selama beberapa menit. Selain itu, mama Rheina juga sering mengirimi mereka makanan.
Sementara untuk sarapan pagi, mereka membelinya saat dalam perjalanan ke sekolah Rheina. Kalau ingin makan di tempat, mereka akan berangakat lebih awal, tetapi kalau kesiangan, mereka akan membawa makanan tersebut ke tempat kerja masing-masing. Siangnya, Rheina harus cukup puas dengan makanan yang disediakan sekolah tempat ia mengajar, sedangkan Adnan, seperti biasa akan membeli makanan di sekitar toko.
"Sayang, nanti malam kita makan di luar, ya. Aku bosan makan katering terus," rengek Rheina.
"Iya, Sayang. Katering hari ini, nanti aku suruh bawa pulang sama karyawan aja. Sayang kalau mubazir," ujar Adnan.
"Sayang! Gimana kalau bulan depan kita nggak usah ikut katering lagi?" saran Rheina.
"Ya, udah! Kalau gitu, aku bakal ke yayasan buat nyari asisten rumah tangga buat bantu-bantu kita lagi," ujar Adnan.
"Nggak usah, Sayang! Aku sudah sanggup masak lagi, kok! Aku kangen sama masakan sendiri," ujar Rheina senang. Wanita berambut panjang tersebut sangat suka memasak. Bukan hanya lauk pauk, ia juga suka membuat camilan. Walaupun anak tunggal, sejak kecil mama Rheina sudah mengajarkannya memasak.
"Kamu yakin, Sayang?" tanya Adnan ragu.
"Aku yakin seribu persen. Aku udah nggak sabar buat masak lagi." Rheina terlihat bahagia.
"Namun, sekarang kamu harus turun karena siswa kamu sudah pada menunggu. Masaknya mulai bulan depan aja," ujar Adnan yang sudah menghentikan mobilnya di depan sekolah Rheina. Wanita yang sudah bisa kembali bawel tersebut tersenyum mendengar ucapan suaminya.
"Baiklah, Cinta! Aku turun dulu, ya," ujar Rheina sambil mencium tangan suaminya takzim. Setelah itu, Adnan mencium kening istrinya lembut.
"Sampai jumpa nanti sore, Belahan jiwaku! Jangan sampai kecapekan!" pesan Adnan.
"Siap, Komandan!" sahut Rheina, kemudian ia turun dari mobil, lalu berjalan menuju ruang guru.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!