Istriku Tuli
Part 1
#Devandro
#Sekar
Kak Dev,
begitulah cara Sekar memanggil nama lelaki itu. Devan mengenalnya sejak di bangku SMA, Devan yang terkanal bandel, urakan karena berasal dari keluarga konglomerat akhirnya diungsikan kakek ke sebuah desa.
Di sinilah Devan mengenal Sekar, gadis yatim piatu yang berjuang hidup sendirian dengan cara membantu-bantu Bu Asih membersihkan sekolah.
Devan berharap tetap dia yang menjadi pemegang kekuasaan, namun dia salah, ada anak pemilik peternakan dan kebun terkaya di desa itu yang bernama Bagas, dia lah yang berkuasa di sekolah itu.
Pernah suatu siang, Bagas menantang Devan berkelahi, perkelahian yang tidak seimbang, satu lawan lima, tentu Devan kalah, bersyukur saat itu sekar lewat menggunakan sepeda tuanya, sehingga perkelahian yang sudah tidak seimbang itu dapat diakhiri.
"Hai, itik buruk rupa jangan ikut campur!" Begitu ucap Bagas kepada Sekar.
Mendengar itu, Devan menjadi kesal. Devan bangkit dan akan memberi sebuah bogem mentah di wajah Bagas.
"Sudah Kak Dev, nggak usah!" Sekar melarang Devan.
Yang herannya kenapa Devan kesal. Bukannya dulu dia juga sering membully teman-teman sekolah.
Sekar bukan itik buruk rupa, dia memiliki wajah asli Indonesia dengan kulit kuning langsat. Hanya saja dia menggunakan kaca mata yang modelnya sudah terlalu jadul.
Dengan sepeda tua itu Sekar mengantar Devan pulang kerumah. Selama perjalanan Devan banyak bercerita namun tidak satu pun yang direspon oleh sekar.
Sepeda memasuki rumah dengan dinding kayu jati nan elegan, beberapa pohon tumbuh di halaman rumah sehingga menambah keasrian bangunan itu.
"Terima kasih, Kar," ucap devan saat turun dari sepeda dan menghadap Sekar.
"Sama-sama, Kak." Sekar pamit, setelah mengucap salam dia menggayuh sepeda dengan tenang dan meninggalkan Devan yang kebingungan, kenapa saat di perjalanan Sekar tidak merespon pembicaraannya akan tetapi setelah sampai rumah dia masih ramah.
***
Aku dan Sekar duduk sebangku, dia tidak menjawab jika aku ajak ngobrol, matanya hanya fokus menatap ke depan mendengar penjelasan semua guru yang mengajar, semua pertanyaaan dan soal dapat dia selesaikan dengan baik.
"Kamu kenapa mau duduk dengan dia?" tanya salah satu siswi yang termasuk kembang desa.
"Emang kenapa, emang dia makan orang?" jawabku santai
"Ih, dia itukan tuli."
Jawabannya mengagetkanku, tentu kaget terkadang aku nyambung ngobrol dengan dia,
"Becanda deh, Lu. Buktinya dia anak pintar, semua penjelasan guru dia nangkap, tuli dari mana?" tanyaku heran
"Tuli dari dulu." Empat orang disini tertawa semua.
Aku tetap tidak percaya mendengar cerita mereka. Mereka juga tidak putus asa membuktikannya kepadaku.
Kebetulan sekali sekar melintas di depan kami yang sedang berkumpul. Salah satu dari kami memanggilnya sampai berteriak, benar sekali, Sekar tidak merespon dan juga tidak menoleh.
Tiba-tiba murid yang lain berdiri dan menepuk bahunya.
"Mau kemana?" tanya murid yang menepuk bahu sekar tersebut.
"Mau bersih-bersih sekolah, saya pamit, ya," jawab sekar sambil berlalu.
Devandro yang masih bingung, belum mengerti maksud semua ini. Kenapa bisa begitu. Dia bangkit dan mengikuti langkah Sekar, tidak dipedulikan lagi pangglin kawan-kawannya.
"Sekar," panggil Devandro
Dia tetap sibuk dengan kerjanya, ternyata tanpa Devandro sadari ada Buk Asih yang memperhatikannya.
"Den vandro!" Buk Asih melambaikan tangan memanggilnya.
Derap sepatu terdengar dari lantai semen bangunan sekolah. Devandro melangkah mendekati Buk Asih yang sedang menyapu daun-daun kering jatuh berguguran.
"Den Vandro belum tau, ya? Sebenarnya Sekar itu tuli," jelas Buk Asih
"Tapi ...."
"Dia hanya bisa membaca gerak bibir kita, jadi kalau kita berbicara menghadap dia, dia akan mengerti."
****
Begitulah Sekar Kusuma Dewi wanita yang Devandro nikahi setahun yang lalu. Pernikahan bukan tanpa alasan dan yang pasti bukan karena cinta.
Devandro yang sudah selesai SMA melanjutkan kuliah, setelah selesai kuliah dan bekerja mengurus perusahaan kakeknya, dia dipaksa menikah dengan wanita pilihan orang tua jika dia tidak bisa membawa calon istrinya sendiri.
Entah setan apa yang merasuki pikiran Devandro saat itu, hanya nama Sekar yang akan dimanfaatkannya. Pasti gadis itu masih sendiri, siapa yang mau menikahi gadis tuli seperti dia. Beruntunglah dia bahwa ada lelaki kaya raya yang mau menikahinya walau hanya untuk melancarkan tujuan, mendapatkan lima puluh persen saham milik keluarga Pramesti.
Sekar yang polos, tidak menyadari maksud Devandro bertamu malam hari kerumahnya, Semua sudah diatur. Mereka yang tidak melakukan apapun dituduh berzinah sehingga mereka dipaksa menikah malam itu juga.
"Buk, Sekar tidak melakuakan apa-apa. Kak Dev hanya datang bertamu dan kami hanya duduk di luar." Begitu pembelaan Sekar, air mata mengalir membasahi pipi mulusnya
warga yang sudah dibayar tetap memprovokasi.
maafkan saya, Sekar! saya manfaatkan ke polosanmu.
Malam itu juga, mereka dinikahkan oleh penghulu setempat, dengan mas kawin sebuah jam tangan mahal milik Devandro.
Menikah menjadi impian setiap wanita, tetapi yang pasti bukan pernikahan seperti ini.
Sekar hanya tertunduk tidak lagi sanggup melihat kerumunan warga, sebenarnya lebih baik begitu, sehingga dia tidak mengetahui caci maki yang mereka lontarkan.
"Usir dia dari kampung ini! sudah berani-beraninya membawa laki-laki kota masuk ke dalam rumah,"
"Usir ...."
"Usir ...."
Sekarang dengan sekejab status Sekar sudah menjadi Nyonya Devandro Pramesti. Istri sah dari tuan muda pemilik lima puluh persen saham perusahaan Pramesti Grop dan penerima warisan terbanyak karena hanya dia anak laki-laki satu-satunya.
Kini tujuan mereka sudah berhasil, warga-warga dibubarkan dari kerumunan. Teganya mereka mengerjai anak yatim piatu dan memiliki kekurangan seperti Sekar.
Devandro memegang dagu Sekar dan menegakkan kepalanya.
"Mari ikut saya sekarang!"
"Beri saya waktu beberapa menit untuk membereskan pakaian," ucap Sekar dengan sisa tangisnya.
"Nggak perlu, kita beli saja nanti tiba di kota," perintah Devandro
"Kalau begitu, saya mau mengambil sesuatu dulu, cuma sebentar." Sekar berlari kedalam rumah.
Tidak lama dia keluar dengan membawa sebuah figura ukuran 3R foto usang gadis remaja dengan sepasang suami istri.
mungkin itu orang tuanya.
Mobil Devandro menerobos gelap dan dinginnya malam, Sekar yang mungkin kelelahan menghadapi situasi seperti tadi tertidur dengan pulasnya.
tidak lama, sekar terbangun, dia meminta untuk menepikan mobil yang Dovandro kendarai karena merasa ingin muntah.
mobil menepi di gelapnya malam, Sekar yang ingin turun dilarang oleh Devandro, cukup buka saja pintu mobilnya, perintah Devandro. Setelah semua keluar, barulah Sekar merasa nyaman.
"Maaf, Kak. Saya tidak biasa naik mobil, pasti mabuk," ucap Sekar dengan polosnya.
Devandro hanya tersenyum, gadis polos dan lugu seperti inilah yang dia butuhkan untuk melancarkan rencananya. Dia menikah tetapi tidak harus terbebani dengan maunya istri yang bisa membuatnya repot.
Dia tidak akan mendengar apapun jika tidak melihat.
Sekar hanya pasrah menerima takdir, mungkin ini takdir hidupnya, mungkin juga Devandro orang yang dikirim Tuhan untuk menjaganya walaupun dengan cara yang tidak indah.
Istriku Tuli
Part 2
#devandro
#sekar
Mobil berwarna hitam mengkilat memasuki perkarangan rumah yang cukup luas, bangunan bertestur eropa terlihat sangat mewah.
"Dari mana aja lu, pulang-pulang bawa pembantu?" Sambutan manis dari Dayana kakak tertua Devandro.
"Suka-suka gue." Devandro menarik tangan sekar membawanya ke dalam rumah.
"Sopan banget, Lu. Main pergi aja gue lagi ngomong." Dayana mengikuti langkah Devandro sambil mengupat
"Brisik, diam Lu!" sergah Devandro
Mendengar kegaduhan yang terjadi di ruang tamu, Mama Elisa menghampiri mereka. Ada tatapan aneh dan juga bingung melihat Devandro membawa gadis dengan penampilan sederhana, beda sekali dengan wanita-wanita yang sering dibawanya.
"Dia Sekar, istri Devan, sudah sah Devan nikahi tadi malam. Dia teman SMA Devan dulu," terang Devandro kepada Mama Elisa.
Seakan tidak percaya dengan ulah anak laki-lakinya ini, apa sebenar yang ada dalam pikiran Devandro. Menikah, tidak ada rona bahagia di wajah Sekar, tidak seperti pengantin baru.
Devandro mengeluarkan buku nikah dari dalam tas selempang berbahan kulit, benar adanya mereka sudah menikah. Mama Elisa berusaha tenang, dia sudah membayangkan kegaduhan apa yang akan terjadi ketika Papa Yuda mengetahui semua ini.
Mama Elisa bersikap ramah kepada menantu barunya karena Mama menyadari bahwa Sekar ini pasti korban dari ulah Devandro. Anak itu suka menghalalkan segala cara agar ambisinya tercapai, tidak ada bedanya dengan Papa Yuda sehingga mereka suka berlawanan.
"Bawa saja Sekar istirahat di kamar kamu dulu, Dev! dia kelihatan sangat lelah," titah Mama Elisa kepada Devandro.
Kembali Devandro menarik tangan Sekar, akan dibawanya ke lantai atas di mana kamar Devandro berada, namun langkah kaki Devandro terhenti karena terdengar suara bariton Papa Yuda.
Papa yang dari tadi mendengar pembicaraan mereka sangat marah dengan keputusan semena-mena Devandro. Alasan papa bukan karena iba kepada Sekar, melainkan karena akan menjatuhkan derajat keluarga Pramesti. Mengetahui Sekar hanya gadis desa saja, Papa Yuda sudah semarah itu, apa lagi setelah dia tahu kekurangan Sekar.
Sekar yang tidak begitu mengerti apa yang mereka bicarakan karena mereka tidak ada yang mau berbicara bergantian, saat Papa Yuda marah, Devandro membantah tanpa menunggu Papa Yuda selesai.
Mama Elisa sebagai penengah dengan jiwa ke ibuannya dapat menenangkan ke dua laki-laki itu. Sekar hanya menurut saat kembali tangannya ditarik Devandro.
Kamar begitu luas, mungkin lebih luas dari rumah Sekar di kampung. Ranjang dengan kasur terempuk yang pernah Sekar rasakan. AC yang selalu menyala sehingga tidak perlu lagi menggunakan kipas tangan saat sedang kepanasan.
"Mandi, gih!" perintah Devandro kepada Sekar.
"Tapi, saya nggak ada baju gantinya, Kak," ucap sekar takut-takut.
Hari masih terlalu pagi, untuk mereka mampir ke mall, membeli pakaian baru untuk Sekar.
Devandro menyuruh Sekar menunggunya sebentar, dia akan turun menemui Mama Elisa untuk meminjam baju. Sepertinya pakaian Mama Elsa yang masih cocok dengan Sekar. Meminjam baju Kak Dayana sama saja sia-sia, mana mau Sekar menggunakan pakaian mini begitu.
Tiga puluh menit, Devandro kembali ke kamar dan melihat Sekar yang sedang tertidur di atas ranjangnya. Rasa kesal itu langsung muncul dengan kasar Devandro melempar pakaian yang dia bawa ke muka Sekar. Sekar yang baru saja tertidur dikagetkan oleh ulah Devandro.
"Maaf, Kak. Saya tertidur," ucap Sekar takut.
"Pergi Lu mandi!" bentak Devandro.
Mendengar bentakan itu, Sekar langsung terperanjat dari tempat tidur dan lari ke kamar mandi.
Devandro menjatuhkan badannya di sofa sambil menukar-nukar siaran TV.
Sepuluh menit, suara air belum juga terdengar. Sekar malah keluar masih menggunakan pakaian lengkap. Bertambah kesallah Devandro melihatnya.
"Maaf, Kak. Nggak ada gayungnya, ya? jadi saya mandi bagaimana?" tanya Sekar dengan polosnya.
"Ya, Tuhan, benar-benar udik, ya. Mandi pakai shower." Devandro bangkit dan menuju kamar mandi.
"Maaf, Kak." Cuma itu yang selalu terucap.
Di dalam kamar mandi, Devandro sadar, sudah tahu istrinya itu udik, kenapa tidak diajari apa-apa saja yang bisa digunakan di kamar mandi. Sementara di kampung dia tahu, semua sangat sederhana. Jika ingin mandi shower kita harus kepancuran dekat sawah.
Setelah menarik napas panjang, Devandro mulai mengajarinya. Jika ingin mandi dengan air hangat, apa saja yang harus ditekannya. Jika ingin mandi berendam di buth up, apa saja yang harus Sekar lakukan. Sekar mengangguk tanda mengerti. Setelah Devandro merasa cukup memberi info seputar kamar mandi kepada Sekar, dia pun keluar dan melanjutkan tidurnya yang tertunda.
Sekar keluar kamar mandi menggunkan pakaian Mama Elisa, terlihat cocok dan sedikit anggun, hanya saja kaca mata itu masih mengganggu.
Devandro tidak juga bisa tidur sampai pintu kamar ada yang menggedor.
"Sekar, itu pintu ada yang gedor, bukannya dibuka, malah diam aja, nggak guna banget, sih kamu." Tajamnya kata-kata Devandro.
"Maaf, Kak. Saya nggak dengar."
"Ah, dasar tu ...." Devandrio tidak meneruskan ucapannya.
Ternyata yang menggedor pintu itu Dayana, dia disuruh Papa Yuda untuk memanggil Devandro dan Sekar.
Di ruang makan dengan meja makan terbuat dari kayu jati dengan kursi-kursi yang begitu elegan sudah menunggu Papa, Mama dan Mas Bayu suami Dayana. Papa Yuda duduk di kursi satu paling depan, dengan sebelah kanan Mama elisa, diikuti Dayana dan suaminya. Sebelah kiri Devandro dan Sekar.
Sarapan sehat mereka, roti dan potongan buah serta segelas jus. Berbeda dengan sarapan Sekar di kampung, hanya nasi putih dengan lauk sisa tadi malam.
Sekar yang asik memotong-motong roti tidak mengetahui bahwa Papa Yuda sedang berbicara dan bertanya kepada dia. Devandro tidak ada di sampingnya karena harus menjawab panggilan di ponsel. Merasa kesal, baru kali ini seorang Yuda Pramseti saat berbicara tidak diperhatikan, ia langsung membanting garpu dan pisau yang dipegang ke atas piring roti. Sekar tetap asik menikmati makanannya.
Devandro yang mendengar itu, berlari kearah meja makan, terdengar Papa Yuda sedang memaki-maki Sekar. Saat sekar ingin menambah air minum baru terlihat oleh dia gerak mulut Papa Yuda. Sehingga niat menambah minum dia urungkan.
Devandro tidak akan memberi tahu kondisi Sekar yang sebenarnya kepada keluarga hingga semua yang diinginkan Devandro didapati. Setelah mendapatkan semuanya, dia akan menceraikan Sekar dan memberi sejumlah uang untuk modal Sekar meneruskan hidup. Itu tidak akan lama, paling lama sampai tiga bulan setelah mereka menikah. karena seperti itulah surat wasiat kakek.
Sekar yang miskin sudah biasa menerima cacian dan makian dari orang-orang kaya. mengetahui dia dicaci mertuanya, dia akan tetap diam. Dia harus sadar diri.
Suasana pagi ini sudah tidak enak. Satu persatu mereka meninggalkan meja makan. Tinggallah Sekar dan Devandro.
"Kamu, ya, bisanya bikin kesal," gerutu Devandro sambil merapatkan giginya.
"Maaf, kak. Saya nggak tahu, kalau Papa berbicara," bela Sekar.
Devandro menyuruh Sekar kembali ke kamar, dia akan menemui Papa Yuda untuk membicarakan resepsi pernikahan mereka. Makin cepat dilaksanakan itu makin baik.
Papa Yuda marah besar kepada Devandro karena wanita pilihannya tidak bisa dibanggakan. Saat rekan bisnis bertanya, apa pekerjaan Besannya, dia tidak akan bisa menjawab bahwa Sekar adalah anak yatim piatu. Devandro tidak mempedulikan itu. Bagi dia saham dan warisan lebih penting. Jadi pemuda sukses kaya raya itu lebih menarik. Akhirnya Papa Yuda mengalah, pernikahan mereka akan dilaksanakan seminggu lagi. Mama Elisa yang bertanggung jawab mengurusi semuanya.
Gerak cepat Mama Elisa yang pertama, menghubungi fotografer untuk foto prawedding. Foto out door akan dilaksanakan besok, mengambil suasana pantai.
Setelah merasa puas bahwa kali ini dia menang lagi, Devandro kembali ke kamarnya. Sekar yang masih duduk mematung di sofa. Gadis ini binging apa yang harus iya lakukan, mau tidur takut kena marah lagi. Mau turun ke bawah juga takut. Melihat Devandro yang memaringkan tubuhnya di atas kasur, membuat Sekar merasa iri, dia ingin tidur juga.
"Kak, boleh saya tidur? Semalaman di mobil membuat perut saya nggak nyaman dan juga ngantuk," ucap Sekar takut
Devandro menatapnya lama.
"Lu tidur di sofa aja! jangan pernah berani-berani Lu tidur di kasur gue!" Devandro melempar bantal ke arah Sekar.
"Iya, Kak. Nggak apa-apa. Tidur dilantai pun saya biasa," ucap lirih Sekar sambil menangkap bantal.
Devandro belum juga bisa tidur sedangkan Sekar sudah sampai ke alam mimpi. Devandro mengambil ponsel yang terletak di sampingnya, dia meminta Nana sekeretaris pribadinya membelikan seluruh perlengkapan wanita, mulai dari dalaman. Cukup dengan menyebutkan tinggi Sekar sekitar 160cm, badannya langsing berat sekitat 50kg gram, kulit kuning langsat Sekar cocoklah pakai pakaian warna apa saja. Tidak lupa Devandro menyampaikan bahwa Sekar itu berjilbab, Nana harus melihat gaya-gaya hijaber. Berhijab tetap harus kelihatan modis. Uang telah di-transfer Devandro ke rekening Nana. Tinggal Nana yang menjalankan tugasnya.
Melihat Sekar yang sedang tertidur, sifat usil Devandro keluar, dia terus menurunkan volume AC hingga Sekar yang tidak memakai selimut itu kedinginan.
Merasa udara terasa dingin, Sekar meringkuk sambil menarik-narik roknya agar menutupi telapak kaki. Devandro hanya tertawa sambil mengambil foto Sekar dengan ponselnya. Setelah merasa puas, volume AC kembali dinaikannya.
Kesal, dia tidak bisa tidur sementara Sekar yang hanya berbaring di sofa bisa tidur dengan nyenyak begitu. Tiga jam sekar masih saja tidur. Hingga pesan masuk di ponsel Devandro, pesan dari Nana yang mengatakan dia sudah selesai belanja sekerang sedang menunggu di ruang tamu.
Nana menunggu dengan berpuluh papar bag dari brand-brand mahal.
"Untuk apa pakaian-pakaian ini, Pak?" tanya Nana
"Untuk istrinya yang udik itu," jawab Dayana yang dari tadi sibuk membaca majalah fasion.
"Nyamber aja, Lu. Oke, terima kasih, Nana." Devandro mengambil semua belanjaan Nana .
"Ini pak, semua struknya." Nana menyodorkan sruk belanja yang entah berapa lembar itu.
Setelah melihat semua struk, Devandro pamit kembali kekamar.
"O, iya. Uang lebihnya untuk kamu aja. Hitung-hitung uang lembur udah mau direpotkan hari libur gini." Devandro melanjutkan langkahnya.
Sementara Nana permisi pulang kepada Dayana yang masih sibuk dengan majalahnya.
Di kamar ternyata Sekar sudah bangun dan sedang merapikan tempat tidur yang sudah diacak-acak Devandro. Devandro menepuk bahu Sekar.
"Ini pakaian kamu." Sambil meletakan semua paper bag di lantai.
"Mahal-mahal semua, Kak. Saya takut tidak pantas memakainya," ucap Sekar dengan sungkan.
"Ingat! Kamu itu istri saya, pakaian seperti ini yang pantas kamu pakai sekarang. Jangan pernah protes apapun yang saya lakukan untuk kamu. Paham?" hardik Devandrio sambil membulatkan matanya.
"Paham, Kak," jawab Sekar takut.
"Buruan mandi! kita mau pergi sama mama, cari baju untuk pesta pernikahan kita seminggu lagi."
Sekar mematuhi semua perintah Devandro, bagaimanapun dia adalah istri Devandro yang harus patuh pada perintah suami.
Setelan kulot dengan atasan kemeja, sangat pas di badan Sekar, ditambah hijab model pasmina instan yang dibelikan Nana membuat manis penampilan Sekar, tetap menunjukan style wanita sederhana namun dengan harga pakaian yang tidak sederhana.
Hanya saja, kaca mata yang akan Devandro tukar.
"Kamu mau pake kontak lensa?" tanya Denvandro kepada Sekar.
"Nggak, Kak. saya takut,"
Devandro ketawa mendengarnya.
"Ya sudah, Nanti kita tukar model kaca mata kamu, jadul banget. Nggak suka saya."
"Iya terserah kakak saja,"
Sekarang giliran Devandro yang akan mandi. Sekar mencoba menjalani kewajibannya yang pertama, menyiapkan pakaian yang akan dipakai Devandro. Sekar merasa bingung, pakaian bagaimana yang diinginkan Devandro, saat membuka lemari betapa banyaknya pakaian Devandro.
Baju kaos dengan bawahan jeans panjang dan sebuah jaket mungkin akan kelihatan lebih santai. Melihat pakaian itu yang disiapkan Sekar. Devandro yang keluar dari kamar mandi langsung marah-marah. Devandro bilang pakaian itu terlalu santai. Entah lah, entah apa yang merasuki pikirannya. Walaupun marah-marah tetap juga pakaian itu yang dipakainya. Mungkin saja gengsinya terlalu besar.
Istriku Tuli
Part 3
#devandro
#sekar
Seperti yang dikatakan Devandro tadi bahwa mereka akan feetting baju pengantin ditemani Mama Elisa.
"Kak, kita perginya naik apa?" tanya Sekar ragu.
"Naik mobillah, emang mau jalan kaki, Lu?" bentak Devandro.
"Tapi saya mabuk, Kak, kalau naik mobil," desis Sekar.
Devandro kelihatan kesal, memang benar Sekar gadis yang tidak akan banyak menuntut, dia tidak akan menuntut minta dibelikan mobil.
Dengan langkah kesal, Devandro menuruni anak tangga diikuti Sekar di belakangnya. Mama Elisa ternyata sudah menunggu mereka di ruang tengah.
"Wah, cantik sekali menantu Mama," ucap Mams Elisa saat melihat Sekar
"Terima kasih, Bu," jawab Sekar lembut
"Jangan panggil ibu, panggil saja mama seperti Devan, kamukan istri Devan berarti anak Mama juga." Mama Elisa melangkah dan merangkul Sekar.
Sepertinya hanya Mama Elisa yang bisa menerima kehadiran Sekar di rumah ini.
"Ma, mama sama supir aja, ya! Devan naik motor, Sekar belum bisa naik mobil, daripada dia mabuk ngerepotin kita entar." Devan mencoba menjelaskan kepada Mama tetapi masih dengan kata-kata yang menyakitkan.
*** IT ***
Pakaian pengantin untuk resepsi dan pakaian untuk pemotretan pra wedding sudah selesai diurus, cetak undangan hanya menunggu hasil poto esok hari. Semua harus dikebut, karena seminggu bukan waktu yang lama.
Selesai dari boutiq mereka langsung bertolak ke pantai yang merupakan lokasi pemotretan.
Sekar yang tidak pernah kena polesan make up tampak berubah saat itu. Devandro hampir tidak percaya bahwa bidadari cantik berbaju putih itu adalah Sekar --- istinya.
"Kak Dev, kenapa diam? saya kelihatan aneh, ya?" Sekar melihat-lihat penampilannya sendiri.
"Hmmm, nggak ada yang aneh, biasa aja. Gadis kampung, mau pake make up semahal apapun tetap aja kucel." Devandro seolah enggan mengakui.
Sebenarnya Devandro menyesal mengucapkan itu, tetapi rasa gengsi lebih besar daripada sebuah pengakuan.
Pukul enam sore saat matahari mulai mengeluarkan warna jingganya merupakan incaran background terakhir foto mereka. Romantisnya suasana senja, mengiringi pose demi pose suami istri ini.
Azan Magrib berkumandang, pemotretan selesai. Hanya berakting saja sungguh terasa sangat lelah. Devandro dan Sekar meninggalkan lokasi pemotretan mereka. Hingga di tengah jalan Sekar meminta Devandro untuk mampir ke sebuah mesjid, dia ingin melaksanakan Salat Magrib.
Sesampainya di halaman mesjid, Devandro memarkirkan motornya, namun dia tidak turun.
"Kakak nggak ikut salat?"
"Jangan banyak tanya! cepatan Lu salat. Jangan samapi gue tinggalin Lu di sini!"
Sekar mempercepat langkah kakinya menuju tempat berwudhu.
Selesai Sekar melakasanakan salat, mereka meneruskan perjalanan menuju rumah, ada sekitar satu jam empat puluh lima menit perjalan lagi.
"Kak Dev, Sekar lapar," ucap Sekar saat masih di atas motor.
"Mau makan di mana?" Jawab Devandro.
Tidak ada jawaban dari Sekar, menyadarkan Devandro bahwa sekar berbeda. Motor dia tepikan, kemudian Devandro memutar badannya kebelakang. Mengulang pertanyaan yang tadi
"Mau makan dimana?"
"Makan baso di depan itu aja, Kak!" Sekar menunjuk gerobak bakso yang berhenti tidak jauh dari mereka.
Devandro yang dari kecil tidak pernah diajari jajan dipedangan kaki lima, bergidik ngeri. Yang terbayang oleh dia kata-kata mama dan nenek. Bahwa makanan mereka tidak bersih. Abu beterbangan di sekitar, cuci bekas makan menggunankan air yang sama.
"Tempat lain aja, deh!" tolak Devandro.
"Tapi Sekar sudah lapar banget, Kak," mohon Sekar.
Dia baru sadar, benar dari tadi siang Sekar belum makan berat, mereka hanya makan beberapa potong roti. Bagi Devandro itu cukup tetapi tidak bagi Sekar. Akhirnya Devandro mengalah.
Berhenti di dekat penjual baso yang sekar maksud, Devandro hanya memasan satu mangkok. Dia tidak berniat untuk ikut makan. Saat baso pesanan datang, aroma dari kuahnya benar-benar menggungah selera, apa lagi melihat Sekar menambahkan sedikit kecap dan beberapa sendok cabe rawit, terbayang sudah kenikmatannya.
Akhirnya Sekar sadar bahwa dari tadi Devandro memperhatikan dia makan.
"Kak Dev mau?"
"Nggak, cuma perhatikan kamu aja biar cepat makannya, soalnya udah malam," elak Devandro
"Ayuk, Kak, coba dulu!" Sekar menyodorkan sendok berisi pentol baso beserta kuahnya ke arah mulut Devandro.
Seperti dihipnotis Devandro dengan pasrah membuka mulut dan lupa perkataan mama dan neneknya. Makanan ini benar-benar terasa nikmat. Rasanya tidak tega harus mengganggu mangkok basonya Sekar, Devandro memasan satu mangkok lagi untuk dia. Sekar hanya tersenyum melihat itu.
"Berapa Mas?" tanya Devandro setelah mereka selesai makan.
"Dua puluh ribu, Mas," jawab mas baso.
Devandro menyodorkan selembar seratus ribu.
"Maaf mas, nggak ada uang pas? Saya baru keluar, belum ada kembalian," ucap mas baso bingung.
"Saya ada, Mas." Sekar mengeluarkan dua lembar uang sepuluh ribu dari dalam tasnya.
Sebelum motor dinyalakan Devandro menanyakan uang Sekar itu dari mana, sementara dia belum ada sama sekali memberi uang kepada Sekar. Dengan polos Sekar menjawab uang yang dibawanya dari kampung saat malam itu. Ada perasaan tidak enak di hati Devandro mendengarnya.
*** IT ***
Malam resepsi pernikahan mereka telah tiba, seperti cerita cinderella dinikahi pangeran kaya raya, begitulah yang Sekar rasakan. Gaun bewarna putih tulang dipadukan dengan tatanan hijab membuat Sekar pantas menjadi pusat perhatian malam ini.
Tidak sedikit teman-teman Devandro memuji kecantikan Sekar secara langsung.
"Diam-diam Lu nyimpan berlian," ucap Kiano sahabat sekaligus orang kepercayaan Devandro.
Devandro menganggap teman-temannya hanya berlebihan. Bagi Devandro, Sekar hanya gadis kampung yang beruntung.
Senyum tulus itu hanya terlepas dari bibirnya Mama Elsa. Yang lain hanya senyum yang dipaksakan.
Pukul dua belas malam pesta pun usai, kamar untuk mereka sudah di
siapkan oleh management hotel berbintang lima yang menjadi tempat mereka melaksanakan resepsi.
Tidak ada malam pertama bagi Sekar. Sekar harus kembali pada kenyataan bahwa dia hanya Upik Abu bukan Cinderella. Seperti biasa, Sekar hanya diizinkan tidur di sofa.
Setelah membersihkan sisa make up, Sekar menyiapkan baju tidur untuk Devandro dan meletakannya di atas tempat tidur, lalu dia mengambil selimut dan bantal digunakannya untuk tidur di sofa.
Devandro tidak pernah mempedulikan itu, toh sofa lebih empuk dari kasur Sekar di kampung.
Pagi ini seperti biasa, subuh sekar sudah bangun, Devandro masih saja bergulung dalam selimutnya. Seminggu ini Sekar mencoba membangunkan Devandro untuk Salat Subuh namun belum ada hasil.
Pukul tujuh, bel pintu kamar mereka berbunyi. Mendengar suara bel yang tidak berhenti Devandro terbangun lalu melempar bantal ke badan Sekar yang sedang duduk di ujung tempat tidur.
Sekar langsung menoleh ke arah Devandro.
"Itu ada yang nekan bel, cepat buka!" Devandro menunjuk kearah pintu.
Ternyata pelayan hotel yang datang mengantarkan sarapan.
"Sekar, Lu nggak pernah pakai alat bantu dengar gitu?" tanya Devandro setelah pelayan hotel tersebut keluar.
"Pernah, Kak, waktu SMP awal telinga saya tidak bisa mendengar. Tapi setelah pasang itu telinga saya terasa sangat sakit, semua suara yang masuk ketelinga rasanya sakit menyakitkan. Saat itu saya tidak mau lagi memakainya dan Bu Asih mengajari saya membaca gerak bibir lawan bicara ...."
"Tunggu, tadi Lu bilang SMP awal Lu, nggak bisa mendengar. Jadi Lu bukan tuli dari kecil?" potong Devandro
"Waktu itu, terjadi gempa bumi di kampung pada malam hari, rumah kami roboh ayah, ibu dan adik yang sedang tidur meninggal karena tertimpa bangunan, saya yang saat itu belum tidur selesai Salat Tahajud mencoba sembunyi di bawah meja belajar, Alhamdulillah saya selamat, mungkin karena benturan atau apa saya juga tidak mengerti, gendang teliga saya rusak."
Mendengar penjelasan Sekar, sisi baik hati Devandro masih berfungsi, dia merasa iba juga melihat nasib istrinya itu. Tapi, sisi egoisnya masih besar menguasai.
Sempat dia berfikir, telinga Sekar sakit saat menggunakan alat bantu dengar bisa jadi itu karena alatnya yang murah. Mungkin kalau beli alat yang mahal bisa jadi kualitasnya lebih bagus. Tetapi semua orang akan tau kalau dia tuli. Kembali lagi percakapan terjadi di pikiran devandro. Mana mungkin orang-orang bisa tau, sedangkan Sekar menggunakan hijab, itu bisa disembunyikan di balik hijabnya.
Tidak ada bulan madu, tiga hari di hotel hanya seperti pindah tidur saja, tidak juga ada interaksi yang berarti bagi mereka berdua, Sekar lebih banyak diam menghabiskan harinya bersama kertas-kertas dan pensil. Devandro tidak begitu peduli apa yang di gambar Sekar, yang dia tahu Sekar meminta kertas HVS dan pensil sudah itu saja.
Devandro sibuk sendiri dengan dunia segenggam di telapak tangannya. Membalas pesan-pesan yang masuk dari rekan kerjanya yang mengucapkan selamat atas pernikahan mereka hingga membalas pesan dari pacar-pacarnya. Walaupun sudah seminggu menikahi Sekar, Devandro tidak pernah memutuskan hubungan dengan wanita-wanita sexy tersebut
Tiga hari di hotel telah selesai, saatnya mereka kembali ke istana Pramesi. Rumah yang diisi dengan keangkuhan ayah, anak laki-laki dan anak perempuan. Melihat Papa dan Mama duduk di taman, Devandro mengajak Sekar menghampiri mereka. Mama Elisa menyambut uluran tangan dari menantunya tersebut, berbeda dengan Papa Yuda yang seolah tidak melihat tangan Sekar sudah terulur ingin menyalami dan memcium tangannya.
"Jadi orang tua itu jangan seperti anak-anak," sindir Devandro kepada papanya.
Mendengar ucapan itu Papa Yuda langsung melayangkan tamparan ke pipi Devandro, namun tamparan itu malah mengenai pipi Sekar karena dengan reflek Sekar langsung berdiri di depan Devandro.
Plak ...
Devandro terkejut mendengar suara itu berasal dari pipi mulusnya Sekar.
"Papa ...." teriak Mama Elisa.
Sekar oyong saat menerima tamparan laki-laki berperawakan tinggi besar itu. Devandro yang berada di belakangnya langsung menahan tubuh Sekar supaya tidak jatuh.
"Lu juga bodoh, ngapain Lu lindungi gue? biar gue cinta ama Lu? ngimpi Lu," omel Devandro. Seperti itu lah Devandro, anti berterima kasih.
Devandro mengambil sebuah wadah dari kamar mandi kemudian diisi dengan beberapa es batu dari kulkas mini di kamarnya, yang akan digunakan untuk mengompres pipi Sekar.
Nampak wajah tidak suka saat Devandro harus mengombres pipi Sekar.
"Biar saya sendiri saja, Kak." Sekar mengambil kain dan wadah di tangan Devandro lalu membawanya duduk di depan meja rias, mengompres sendiri dengan bantuan cermin, itu lebih baik dari pada dibantu tetapi tidak ikhlas.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!