Ziza berjalan pelan menyusuri lorong sekolah. Suasana sekolah pagi ini masih cukup sepi. Belum banyak yang berangkat, atau mungkin masih lagi on the way. Dia memang minta diantar lebih pagi dari biasanya sama daddynya.
BUK
PLUG
Bahunya disenggol, dan beberapa buku yang dipegangnya terjatuh.
"Maaf."
"Ngga apa apa."
Ziza yang reflek berjongkok memungut bukunya baru sadar kalo sosok yang menabraknya juga ikut berjongkok di dekatnya.
"Suka melukis?" ucapnya sambil memberikan sketch book pada Ziza.
Ziza menoleh dan menatap sosok itu dengan kening yang mengernyit.
"Kening kamu luka?" Tangan Ziza dengan lancang terulur menyibakkan rambut depan cowo itu yang terurai di depan.
Sosok itu mematung menatap lekat gadis cantik berhijab di depannya.
"Sebentar," ucap Ziza kemudian mengambil plester di saku depan tasnya. Kemudian tanpa canggung memakaikan di kening cowo tampan yang tampak membeku dengan tindakan spontannya.
Cowo itu menggerakkan sudut bibirnya sedikit saat melihat wajah cantik itu tersenyum manis ke arahnya.
Ziza bangkit dari jongkoknya. Sosok itu juga. Ternyata tubuhnya lebih jangkung dari Ziza, cuma agak kurus.
"Ziza....."
Ziza dan cowo itu menoleh ke arah suara yang memanggil dari jarak beberapa meter dari keberadaan mereka.
Sean menatap keduanya bergantian.
Ziza melambaikan tangannnya.
"Duluan, ya," senyum Ziza meninggalkan cowo yang baru saja dia berikan plesternya.
Sean masih menatap cowo itu dengan tatapan tajamnya.
"Siapa?" tanyanya saat Ziza sudah mendekat.
"Ngga tau. Kayaknya anak kelas sebelah."
"Oooh....."
Ziza tertawa.
"Aku cuma nempelin plester, seperti kalo kamu sama.yang lain luka luka."
"Beda, Zizaa..... Dia bukan siapa siapa. Kalo aku yang lainnya spesial," tawanya berderai.
"Untung Quin belum datang. Dia bisa ngamuk kalo lihat kamu dekat sama cowo lain," lanjut Sean lagi mengingat sahabatnya yang selalu saja marah kalo Ziza membagi perhatian pada yang lainnya.
Pada mereka saja sudah selalu dia omelin, apalagi kini sama orang yang ngga dia kenal.
Ziza pun tambah berderai mengingat kelakuan abstrack Quin-sepupu-yang mengambil banyak tugas sebagai pengawal dan pengasuhnya yang paling cerewet.
Cowo kurus itu menatap lama kepergian keduanya. Tawa mereka pun masih terdengar.
Pacarnya? batinnya kelu. Dia masih ingat tatapan tajam cowo tadi padanya.
Dia pun berjalan lagi, mengambil arah sebaliknya.
*
*
*
Ziza tersenyum melihat cowo itu masuk ke kelasnya, diantar oleh kepala sekolahnya.
Kelihatannya dia spesial juga.
"Kamu kenal?" tanya Ruby saat melihat cowo itu menatap Ziza.
"Enggak. Cuma papasan tadi pagi." Ziza masih tersenyum melihat plester yang ada di kening cowo itu.
"Ooh..." Ruby mengangguk anggukkan kepalanya, mengerti.
Sementara itu Sean sibuk menenangkan Quin.
"Ziza, kok, senyum senyum dengan cowo itu," kesal Quin. Dia duduk di dua baris di belakang Ziza. Tatapnya penuh permusuhan pada cowo baru itu.
"Senyum biasa aja," hibur Sean, dan memang itu kenyataannya. Dari dulu Quin memang selalu bersikap berlebihan.
"Ziza kenal, ya?" tanya Zian kepo. Dia duduk di depan Quin dan Sean.
"Kebetulan aja," sahut Sean lagi.
"Kebetulan gimana?" Tidak didengarnya saat cowo menyebalkan itu mengenalkan diri, Quin lebih ingin tau penjelasan Sean.
'Tadi pagi aku lihat Ziza lagi masangin plester ke keningnya," jelas Sean yang langsung membuat si kembar Deva dan Dewa yang ikut menguping menahan nafas.
Ngamuk pasti.
Theo melirik kembarannya yang menampakkan wajah marahnya. Dia menghembuskan nafas kesal. Begitu juga Zian. Keduanya menatap Sean kesal.
Kenapa terlalu jujur, sih.
"Maksudnya plester di keningnya sekarang dari Ziza?" nafas Quin sudah mulai menderu. Emosinya mulai naek.
"Ya....," jawab Sean agak ragu karena mendapat lirikan tajam dari para sepupu Quin.
"Ziza, kan, biasa ngga tegaan sama orang lain. Kamu tau juga, kan," ucap Theo masih dengan lirikan kesalnya pada Sean.
"Hemm....." Netra Quin masih memancarkan sinar kemarahan di matanya pada cowo itu yang tampak kaget saat melihatnya.
"Bentar lagi drama dimulai," keluh Dewa yang dibalas tawa perlahan Deva.
Nama cowo yang menyebalkan di mata Quin itu Khalid Al Ghifari.
*
*
*
Dua jam berlalu sangat lama. Quin sudah ngga sabar. Matanya terus menyorot pada cowo kurus itu yang diyakini Quin selalu melihat ke arah Ziza.
Saat istirahat tiba, dengan langkah panjangnya Quin langsung mendekati Khalid yang duduk agak jauh darinya.
Theo dan yang lainnya pun terpaksa mengikuti langkah Quin. Mereka sudah hapal dengan tingkah Quin. Sebentar lagi akan ada badai.
"Kenal Ziza dimana?" todong Quin tanpa basa basi saat sudah berhadapan dengan cowo kurus itu.
Khalid yang sedang merapikan buku bukunya ke dalam tas, mendongak, menatap cowo yang sejak awal menatapnya dengan aura permusuhan yang kental.
Ziza? batinnya penuh tanya.
Selama dua tahun dia sekolah di sini, dia ngga mengenal teman teman di luar kelasnya. Karena itu terselip perasaan heran melihat ada yang sangat marah dengannya di pertemuan pertama mereka.
Dia dipindahkan dari kelas sebelah, karena permintaan papanya yang tiba tiba saja melalui pihak kepala sekolah.
Khalid mengalihkan tatapannya dari cowo aneh yang menatapnya penuh permusuhan.
Dia mengeluh dalam hati, belum kenal sudah jadi musuh.
"Hei.....!" bentak Quin kesal menarik perhatian siswa siswi yang berada di dalam kelas.
Theo cs menghembuskan nafas kesal.
"Ziza? Ngga kenal?" sahut Khalid tenang.
"Tapi, kok, bisa ada plester dari ddi di kening kamu," tunjuk Quin galak.
Spontan tangan Khalid menunjuk plester di keningnya.
Ooh, namanya Ziza. Hati Khalid berdesir hangat. Apalagi sejak tau cewe ramah itu ada di dalam kelas yang sama dengannya.
"Quin, jangan mulai....." Suara lembut Ziza terdengar.
Gadis cantik berhijab itu menggelungkan lengannya di lengan Quin.
Mata Khalid beriak penuh prasangka melihatnya.
"Ayo, ke kantin," bujuknya pada wajah sepupunya yang masih manyun.
"Tapi... Kenapa kamu kasih plester ke dia," kesal Quin membuat Ziza tersenyum agak lebar.
"Nanti aku jelaskan. Ayo."
Masih dengan cebikan kesalnya Quin menurut. Dia ikut melangkah menjauhi Khalid.
Begitu Quin pergi, Theo dan yang lainnya juga pergi. Ruby juga menjejeri langkah mereka.
Terdengar banyak hembusan nafas lega begitu Quin cs sudah keluar dari kelas.
"Kamu beruntung ngga diamuk Quin," ucap seorang siswa yang duduknya di sebelah.
Khalid ngga berkomentar.
"Namaku Gilang."
Khalid menerima uluran tangan cowo itu.
"Khalid."
"Sudah tau."
Bibir Khalid sedikit berkedut.
"Kok aku ngga pernah lihat kamu, ya," ucap Gilang dengan kening berkerut seolah berusaha mengingat wajah Khalid.
Bibir Khalid berkedut lagi.
Dia memang ngga terlihat, ya, batinnya miris.
"Aku mau ke perpus."
Itu memang dunianya.
Khalid bangkit dari duduknya
"Aku temanin. Aku juga mau cari bahan diskusi."
Khalid hanya menganggukkan kepalanya.
"Ziza memang baik. Tapi pengawalnya banyak banget," cicit Gilang menceritakan situasi yang dialami Khalid tadi.
Pengawal? Maksudnya pacar?
Khalid tadi melihat beberapa cowo yang mengikuti Ziza pergi bersama cowo yang dipanggil Quin.
"Jangan berurusan dengan merekalah. Apalagi Quin. Dia sepupu yang posesif banget," sambung Gilang lagi.
Oooh.... mereka sepupuan. Khalid merasa lega mendengarnya.
Jadi bukan pacar, ya.
"Aku cuma kebetulan ketemu dia di lorong, kasian keningnya luka," jelas Ziza sambil melebarkan senyumnya.
Sekarang mereka sudah berada di kantin. Deva sudah memesan makanan dan minuman buat mereka.
Quin harus secepatnya ditenangkan. kalo tidak, sepupunya bisa membuat anak baru itu ngga betah berada di kelasnya.
"Bener, kan, Ziza cuma kasian," kesal Theo kemudian menghembuskan nafas kesal.
"Sikapmu berlebihan, Quin," tawa Zian dibarengi Sean. Mereka semua sudah sangat paham dengan kelakuan Quin.
Deva dan Dewa mengirimkan seringai mengejeknya.
Ruby hanya melirik kesal.
Kalo dia jadi Ziza, mungkin sudah stres berat sejak lama. Bahkan dia aja yang perempuan suka dicerewetin Quin.
"Jangan lama lama melukisnya."
"Ziza perlu banyak istirahat."
"Ziza ngga boleh kecapean."
Dan banyak lagi larangan larangan yang diberikan Quin padanya, sampai telinganya rasanya sudah penuh lumut
"Aku ngga ingin Ziza diganggu orang orang ngga penting," kilahnya ngotot.
'Bisa bisa gara gara sikapmu, semua teman kita menganggap kamu jadi pacar Ziza," ejek Deva dalam gelaknya. Sahabat dan sepupunya yang lain tergelak. Sama mengejeknya.
Quin mendengus. Selalu itu saja ledekan mereka.
Ziza pun berderai tawanya. Mereka sudah saling berjanji akan jadi sahabat dan sepupu selamanya.
"Aku heran juga, kenapa dia pindah ke kelas kita," cetus Deva.
"Papanya stafsus menteri katanya," sahut Dewa setelah mengutak atik ponselnya.
"Kenapa ngga dari kelas satu aja dia masuk ke sini?" Sean agak heran.
Kelas mereka berisi anak anak unggulan, dari segi otak dan juga materi dari orang tua. Harus mendukung keduanya, ngga boleh salah satu.
"Mungkin papanya baru diangkat jadi stafsus menteri," imbuh Zian.
"Mungkin juga," sambung Quin sinis.
"Enggak, papanya udah lama jadi stafsus menteri. Sepertinya teman bisnis daddy juga," sanggah Dewa. Dia mengklik profil papanya Khalid.
Matanya agak memicing saat membaca informasi yang terpampang. Tapi Dewa ngga mengatakan apa apa. Untungnya yang lainnya masih fokus pada Quin.
"Oooh...," gumam Quin ngga tertarik.
"Katanya dia ngga suka olah raga. Dia cuma terdaftar di ekskul perpus," info Dewa lagi.
"Ngga keren, dong, ngga suka olah raga," cibir Quin makin meremehkan.
"Kamu ini," geleng Theo ngga abis pikir dengan kenyiyiran kembarannya. Mungkin dulu maminya pengen anak cewe, makanya Quin jadi bawel banget begini.
Ziza masih berderai tawanya.
Tumben ada cowo ngga suka olah raga.
Ziza teringat dengan luka yang cukup dalam di kening laki laki itu. Malah dibiarkan terbuka begitu saja. Hanya dioleskan obat merah.
Lukanya karena apa, ya?
"Ohya, nantikan pelajaran olah raga, ya." Quin akan mengerjai anak baru itu.
"Jangan macam macam, Quin," larang Theo dengan delikan kesalnya.
"Hanya ingin ngetes aja. Masa sama sekali ngga bisa olah raga," cibir Quin meremehkan.
"Ngga perlu perlu tes teslah. Kalo dia suhu, kamu bakalan malu." Sean mencoba mengingatkan.
"Suhu?" ejek Quin tetap keras kepala dengan tawanya yang berderai.
"Makanya harus dites," tawanya semakin berderai karena hatinya sangat senang.
Cowo baru itu akan dia kerjain, tekatnya dalam hati.
"Terserah kamulah." Melihat wajah jahil kembarannya, Theo sudah yakin ngga akan bisa menghalanginya lagi.
Yang lainnya juga ngga melarang. Sudah sangat mengerti watak Quin, Si posesif itu akan tambah parah kalo dihalangi niatnya.
"Tenang, Ziza. Cuma aku ajarin shooting bola aja," ucapnya ketika Ziza menatapnya protes.
"Terserah kamulah." Ziza hanya bisa berharap kalo Quin ngga akan menampol kening yang terluka itu dengan bola basketnya.
*
*
*
"Mereka itu selalu bersama. Maklum keluarga konglo," jelas Gilang. Ternyata mereka berada di kantin yang sama.
Khalid masih memperhatikan circle itu. Tempat yang diambilnya bersama Gilang cukup tersembunyi.
Ada dua perempuan dalam circle laki laki itu ternyata.
"Ada yang sepupu, ada yang orang tuanya bersahabat sejak jaman kakek neneknya," kekeh Gilang. Dia dapat info itu dari orang tuanya.
Dalam hati Khalid kagum juga mendengar adanya persahabatan selama itu.
"Bukannya kamu dari kelas sebelah, ya? Kenapa ngga pindah sejak dulu?" tanya Gilang penasaran.
"Katanya papaku yang minta dipindahin kelasnya."
Memang hanya itu yang disampaikan kepala sekolah padanya.
Dia yang berada di kelasnya, tiba tiba didatangi kepala sekolahnya.
Khalid malah merasa sikap kepala sekolahnya terlalu berlebihan. Dia diperlakukan dengan sangat akrab. Padahal selama ini dia ngga merasa kenal dengan beliau.
Tentu saja dia merasa canggung, demikian juga dengan teman temannya.
Kepala sekolah mereka bukan orang yang sombong. Tapi sikap over friendly yang beliau perlihatkan terasa aneh. Biasanya kelas ekslusif yang mendapatkan perhatian sebesar itu.
"Kenapa ngga dari dulu?" desak Gilang. Agak aneh juga.
"Ngga tau." Dia juga belum pernah ketemu papanya lagi dua tahun ini. Mamanya membawa pergi dirinya setelah papanya ketahuan selingkuh.
Mereka lost contact saat itu juga. Papanya pun belum menghubunginya saat ini.
Kalo mamanya tau dia sudah dipindahkan ke kelas eksklusif atas perintah papanya, pasti mamanya akan memaksanya pindah sekolah lagi agar papanya ngga tau dimana keberadaan mereka.
"Harusnya dari kelas satu. Tapi, ya, sudahlah. Mungkin papamu baru naek jabatan, ya," tukas Gilang menebak setelah menyeruput minumannya.
Khalid ngga merespon. Sesekali dia melirik gadis berhijab itu sambil menikmati soto ayamnya.
Dia sangat jarang ke kantin, lebih suka menghabiskan waktu istirahat di perpus atau di kelas.
Bukan karena kekurangan uang, tapi dia lebih suka.menyendiri saja. Teman teman di kelasnya dulu juga sudah hapal dengan kebiasaannya.
Mereka juga baru dua tahun di negara ini. Meninggalkan hiruk pikuk negara paman sam.
Mamanya nekat membawanya sejauh mungkin dari papanya. Kata mamanya, di sini dulu mama.dan papa saling mengenal, kemudian berjanji setia dalam pernikahan.
Papanya berubah setelah karirnya meningkat pesat dan mereka pindah ke negara adidaya dan adikuasa itu.
Khalid hanya menurut, ngga tega melihat mamanya yang selalu menangis hingga mengalami depresi. Bahkan menjadi samsak untuk melepaskan kemarahan mamanya pun dia ngga protes.
Tadi pagi keningnya terluka akibat lemparan gelas.
Setelahnya mamanya selalu menyesal dan kembali menangis, meracau dan mengumpati kebodohannya sudah mencelakai anak semata wayangnya lagi.
Khalid ngga apa apa, tubuhnya masih kuat. Dia sedih melihat keadaan mamanya tapi ngga bisa berbuat apa apa. Todak ada satu pun orang yang dikenalnya di negara ini.
Dia juga bingung dari mana papanya mendapatkan informasi tentang mereka.
Tapi Khalid akan tetap berada di pihak mamanya. Dia pun belum bisa memaafkan kesalahan papanya yang sudah membuat mamanya jadi semenderita ini.
"Pokoknya kamu bebas naksir cewe mana pun, asal bukan Ziza dan Ruby," ucap Gilang lagi membuyarkan lamunannya.
"Ruby?"
"Cewe yang satu lagi."
"Ooh."
Dia hanya tertarik dengan Ziza aja.
"Khalid," panggil Pak kepala sekolah ketika Khalid dan Gilang baru saja keluar dari kantin.
"Aku duluan, ya," pamit Gilang sambil jalan duluan, meninggalkan Khalid dan kepala sekolah yang semakin mendekat.
"Ya."
Sepertinya pak kepala sekolah ingin berbicara berdua saja dengan Khalid.
Gilang tambah penasaran tentang siapa sebenarnya Khalid.
Ngga lama kemudian Pak Setyawan-kepala sekolah yang berusia sebaya dengan papanya sudah berada di sampingnya.
PUK PUK PUK
Pak Setyawan menepuk pundaknya dengan gemas.
Khalid agak meringis. Bahunya masih tersisa memar.
"Masa sakit?" canda Pak Setyawan. Karena dia yakin pukulannya ngga begitu kuat.
"Nggak, Pak," bohong Khalid, padahal rasanya lumayan juga.
"Ya, ya. Saya tau. Ngga mungkin sakitlah, ya....," tawa Pak Setyawan mengudara. Beliau terlihat senang sekali.
"Kenapa kamu ngga bilang kalo papa kamu Anggoro Musri?" ucap Pak Setyawan sambil menggelengkan kepalanya.
Kalo saja Anggoro tidak menelponnya secara langsung, dia ngga akan tau kalo selama ini putra teman lamanya bersekolah di sini.
Kini keduanya melangkah pelan beriringan.
Siapa yang ngga kenal konglomerat yang juga berhubungan dekat dengan pemerintahan. Dan yang mengagetkan ternyata adalah papanya Khalid, siswanya yang sama sekali tidak tampak menonjol. Bahkan dia berada di kelas golongan biasa.
Setelah beliau periksa di data administrasi, ternyata dulunya Khalid masuk ke SMA ini hanya menggunakan nama mamanya sebagai wali melalui jalur pendaftaran beasiswa.
Pasti Anggoro akan merasa terhina sekali jika mengetahuinya. Dia yang biasa jadi donatur dimana mana, tapi putra tunggalnya malah didonatur orang lain.
"Kemarin utusan papa kamu datang dan mengatakan kalo anak tuan besarnya bersekolah di sini," kekeh kepala sekolah berderai.
'Dulu kami pernah jadi teman akrab," sambungnya lagi walau Khalid hanya menyimak ucapannya.
Wajahnya terlihat ceria saat bercerita tentang papanya, tapi berbeda dengan Khalid.
Hatinya sudah datar dan beku.
Baginya sosok itu tidak lagi menghangatkan dunianya.
"Kami berpisah sekitar dua puluh tahun. Kalo saja mama kamu mengatakan suaminya si Goro," sesal Pak Setyawan.
Khalid masih diam. Dia tau pasti kepala sekolahnya sudah tau apa yang terjadi pada keluarganya
"Mungkin ngga lama lagi papa kamu akan datang ke sini. Katanya dia hampir gila nyariin kamu sama mama kamu," ucap Setyawan hati hati.
Khalid hanya tersenyum kecut.
Untuk apa? Papanya sudah punya istri lagi, cibirnya dalam hati.
Melihat respon dingin Khalid, Pak Setyawan menghela nafas panjang.
"Om mengerti. Papamu sudah mengakui kalo dia khilaf. Sekarang tugas kamu jaga mama kamu baik baik," ucap Pak Setyawan lembut. Tangannya kembali menepuk bahu Khalid.
Khalid menahan ringisannya.
"Kalo ada apa apa hubungi Om, ya."
Setelah khalid mengangguk, Pak Setyawan pun melangkah pergi.
Khalid menghembuskan nafas panjang sambil mengusap pelan pundak yang ditepuk bapak kepala sekolah. Sakitnya masih terasa. Bukan di fisik aja, tapi juga di hatinya.
*
*
*
Quin sudah siap dengan bola basket di tangannya. Dia melakukan dribel beberapa kali, mengopernya pada Sean dan Zian. Si kembar Dewa dan Deva bersama Theo sesekali ikut menangkapnya. Sementara cowo cowo temen mereka yang lain, hanya ikut mengerubung.
BUG
Quin sengaja melempar bola.agak keras ke arah Khalid yang baru muncul bersama.Gilang ke lapangan.
Apesnya Khalid telat mengelak. Bola itu mengenai punggungnya. Tubuhnya agak terhuyung.
"Lemah," decih Quin mengejek.
Theo melirik kembarannya kesal sambil berjalan mengambil bola.
"Ngga apa apa, kan?" ucap Theo.setelah meraih bolanya.
Khalid hanya mengangguk.
"Ngga pa pa lah, Theo. Kan, bola bukan batu," dengus Quin dengan tatapan mengejek.
"Sudah, ayp, kita ke.sana aja." Sean menarik kaos Quin agar menjauh. Zian juga ikut ikutan menariknya.
"Kalian apa apaan, sih," gerutunya walau tetap menurut.
Sementara terdengar decakan dari mulut Ruby.
"Dia itu kenapa, sih, reseh banget," omelnya kesal.
Ziza juga merasa Quin memang sudah kelewatan.
Dia menatap Khalid dengan agak aneh karena melihat wajah Khalid seperti menahan sakit.
Kenapa.dengan punggungnya? Ziza yakin bukan karena pengaruh bola dari Quin.
Mata mereka bersirobok, tapi cowo itu mengalihkannya dengan cepat.
"Quin itu haris segera punya pacar, Za. Biar dia bisa ngga hanya fokus ngurusin kamu," sambung Ruby lagi terus mengomel.
"Siapa?" senyum Ziza sambil mengalihkan tatapnya pada sahabat dan sepupunya yang kini sedang sibuk dengan bolanya.
"Ya, siapa aja, kek," sungut Ruby mangkel.
Ziza tertawa kecil yang tanpa dia tau Khalid terpana melihatnya.
"Sudah sana kamu ikut basket," usir Ziza sebelum sahabatnya melanjutkan keluh kesahnya tentang Quin.
Ziza pun mengeluarkan sketch book dan alat alat lukisnya.
"Ya, udah." Ruby pun melenggang pergi menghampiri teman teman cewe yang sedang mengerubung di pinggir lapangan basket.
Khalid agak heran melihat gadis itu malah dengan santainya melukis.
"Dia ngga ikut olah raga?" tanyanya pada Gilang.
"Memang ngga pernah. Dengar dengar, sih, sakit jantung."
"Ooo." Khalid ngga nyangka melihat wajah selembut dan setenang itu ternyata menyimpan penyakit berat.
BUG
Khalid menggeram dalam hati karena lagi lagi mendapat lemparan bola dari Quin.
"Tuh, konsen. Jangan lihat cewe terus," sarkas Quin dengan wajah mengejeknya.
Khalid menatap Quin tajam.
"Nantang?" Quin langsung berkacak pinggang.
"Apa, sih, Quin," lerai Sean sambil.
membawa sahabat tengilnya pergi.
Zian pun mengambil bola.yang sempat mengenai lengan cowo yang lagi dimusuhi Quin.
"Aku lagi ngajak.dia maen basket," kilah Quin ngga mau disalahkan.
"Tapi caranya bisa, kan, baek baek," kesal Theo menyanggah.
"Loh, kurang baek apa. Kalo aku lempar pake botol minum baru jahat," sangkal.Quin lagi tetap ngeyel.
Theo membuang nafasnya kuat kuat.
Dasar!
"Sabar Theo. Sudah bawaan lahir," kekeh Deva. Dewa hanya nyengir. Bersyukur kembarannya ngga suka bertingkah lebay.
Mereka mulai bermain basket lagi dan para cewe teman sekelas pun malah heboh memberi semangat membuat Ruby tambah dongkol. Ceritanya malah dia jadi masuk dalam deretan pemuja cowo cowo itu, bukan sedang bermain basket di jam olah raga ini.
Dia terpaksa masuk dalam circle ini karena Ziza.
Satu jam lebih lima belas menit kemudian.
Ziza yang baru aja pulang dari kantin bersama Ruby menghentikan langkahnya ketika melihat Khalid sedang duduk bersandar sambil memijat bahunya.
"Bentar."
"Za, nanti kalo.Quin tau, anak itu bakal kena amuk lagi," larang Ruby mengingatkan. Dia bahkan sampai melihat sekitarnya.
Sepanjang permainan basket tadi, saat bola berada di tangan Quin, si reseh itu selalu saja melemparkannya pada Khalid.
Walau terlihat kesusahan, Khalid cukup bisa menyambut bola dan beberapa kali terhindar dari mengenai bahunya.
"Sebentar aja," senyum Ziza sambil melangkah mendekati Khalid, membuat Ruby menghela nafas panjang.
Reflek.dia pun bertingkah seperti sekuriti, mengawasi sekitar, siapa tau Quin mendadak muncul. Bisa panjang urusannya.
"Ini." Ziza mengulurkan botol minumannya pada Khalid yang terkejut menatapnya.
Dia sedang memikirkan hal lain hingga ngga tau kedatangan gadis itu.
Khalid menyambut ragu.
"Bahu kamu juga luka? Harusnya tadi minta ijin ngga usah ikut olah raga."
Khalid ngga menjawab, tapi sepasang matanya terus menatap Ziza.
Ziza pun mengulurkan beberapa plester dan menaruhnya di tangan Khalid.
"Nanti plesternya diganti, ya," ucapnya dengan mata memberi isyarat ke arah kening Khalid.
Cowo itu hanya mengangguk.
"Maafkan sepupuku, ya. Dia aslinya baik, kok. Hanya terlalu khawatir sama aku."
Setelah tersenyum lembut, Ziza melangkah pergi meninggalkan Khalid yang masih diam membisu.
Ruby sudah melambaikan tangannya agar dia segera menjauh dari Khalid.
"Tunggu," seru Khalid sambil bangkit berdiri.
Ziza menoleh. Berdiri di hadapan cowo yang sudah berdiri dengan jarak dua langkah darinya. Tubuh jangkungnya seakan memayungi Ziza.
"Terima kasih."
"Sama sama," senyum Ziza kemudian melangkah pergi mendekati Ruby yang langsung menggandengnya menjauh.
Khalid terus memperhatikan keduanya hingga menjauh.
Gadis itu membawa lagi kehangatan yang sudah lama hilang dari dalam hatinya.
"Terima kasih," gumamnya lagi dengan senyum samar terukir di bibirnya. Teringat perkataan Ziza.
Hanya sepupu, ulangnya dalam hati. Ada yang berdesir di sana.
Mungkin dia pun akan berlaku sama seperti Quin untuk melindungi sepupunya dari hal hal yang dianggap berbahaya untuk kesehatannya.
Dia jadi mengerti mengapa mereka selalu bersama. Selain ikatan yang sudah lama terjalin dari buyut mereka, mungkin juga rasa kepedulian yang sudah lama tidak dia rasakan lagi.
Khalid menatap botol air mineral dingin itu, kemudian meneguknya perlahan.
Terima kasih, ulangnya.lagi dalam hati. Matanya terpejam seolah sedang meresapi dinginnya air itu membasahi kerongkongannya.
"Sudah beli minum? Kapan?"
Khalid membuka mata, Gilang sudah ada di depannya.
"Dikasih."
"Sama teman lama.kamu?" Alis Gilang berkerut. Setaunya kelas lama Khalid ngga ada jam.olah raga saat ini.
"Bukan," geleng Khalid, kemudian menghabiskan minumannya.
"Trus siapa.yang ngasih?"
"Ziza."
Pupil mata Gilang membesar.
"Cari penyakit namanya wooiiii....."
Khalid hanya tersenyum.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!