NovelToon NovelToon

Jodoh Pilihan Abi

1. Abi Naik Pitam Menjodohkanku

Brak!

Zahra tersentak kaget melihat abinya menggebrak meja dengan sangat keras. Seumur hidupnya, baru kali ini ia melihat sang Abi begitu marah. 

“Beraninya kamu membantah Abi, Apa begini Abi mendidikmu?” hardik Abi yang langsung naik pitam mendengar penolakan Zahra terhadap lamaran Kyai Amir untuk putranya, Gus Afkar. 

Zahra menangis sesenggukan dalam dekapan umminya, ruang tamu yang tadinya penuh tawa itu, berubah dipenuhi tangisan setelah kepulangan Kyai Amir dan keluarganya.

“Tapi, Bi…”

“Jangan panggil Abi atau bicara sama Abi, sampai kamu menerima lamaran itu,” sela Abi dengan wajah masih memerah sambil hengkang dari sana.

Langkahnya yang biasa terdengar pelan, bahkan hampir tak bersuara, kini berubah berat dan cepat penuh amarah.

Sementara Zahra semakin menangis sejadi-jadinya di pangkuan Ummi. 

“Dengarkan Abimu, Sayang. Ini semua demi kebaikanmu,” ujar ibunya terdengar lembut sambil mengelus punggung putrinya itu perlahan.

Tapi bagaimana Zahra bisa menerimanya, sedangkan dia tahu betul kalau sahabat karibnya, Nayla sudah menyukai Gus Afkar sejak awal masuk SMP. 

“Tapi Ummi, Zahra kan sudah diterima S-2 di Al Azhar dengan susah payah, masak iya Zahra lepas begitu saja? Sayang kan Ummi perjuangan Zahra selama ini," ucap Zahra mengiba. Setelah gagal menempuh kuliah S-1 di sana, sekarang ia punya kesempatan kuliah pasca sarjana di universitas impiannya tersebut, masa' iya, ia harus melepasnya.

Ummi terlihat menatapnya hangat, kemudian mengusap air mata anak perempuan satu-satunya itu sambil kembali menjawabnya perlahan, “Sayang, sebenarnya Abi dan Ummi sudah istikharah, itu kenapa Abimu menginginkan Ustadz Afkar jadi suamimu, jadi bukan hanya karena beliau putra Kyai Amir, guru Abimu.”

“Tapi Um…..”

“Dasar anak tak tau diuntung, Sudah Ummi tidak usah dijelaskan lagi.” sela Abi dengan nada tinggi sambil masuk membawa golok di tangannya.

Zahra langsung gemetar melihatnya dan histeris, ia bangkit duduk lalu memeluk ibunya itu erat-erat.

“Berani kamu menolak lagi, langkahi mayat Abi!” bentak lelaki itu sambil melempar golok itu ke hadapan Zahra, membuatnya semakin menangis histeris.

Pupus sudah harapannya kuliah di kampus impiannya.

*****

“Qobiltu nikahaha wajawiztaha bi mahrin madzkurin” suara gus Afkar yang sedang mengucapkan akad nikah dalam bahasa arab itu terdengar mengambang di telinga Zahra.

Ia merasa sangat ketar-ketir. 

Sudah dua bulan, ia tak bertemu Nayla karena gadis itu pulang ke kampung halamannya di Padang. Hari ini dia kembali. 

Apa yang akan dipikirkan gadis itu kalau mendapati sahabatnya menikah dengan lelaki impiannya.

Tiba- tiba Zahra terkesiap kaget, mendapati lelaki yang baru saja jadi suaminya itu tengah memegang ubun-ubunnya. Mulutnya tampak bergumam lirih sedang mendoakan dirinya sebagai istri barunya. Kemudian tersenyum padanya begitu hangat dan mendekat untuk mengecup keningnya. 

Semua hadirin tampak bersorak sorai bahagia. 

Zahra kembali memandang sekitarnya dengan was-was, apalagi dari pagi ponselnya dipegang Ning Shofi, kakak ipar pertamanya.

“Dek, ulurkan jarimu!” Bisik Ning Nusaibah, kakak ipar keduanya yang sedang berdiri menghadap ke arahnya.

Zahra segera menoleh kepadanya yang terlihat melirikkan matanya ke depan. Ia segera menyadari kalau suaminya itu sedang menunggunya untuk memakaikan cincin pernikahan di jarinya. 

Zahra segera menjulurkan tangannya sementara Ning Nusaibah berusaha mencairkan suasana yang agak tegang karena menunggunya tadi, “Sepertinya pengantin wanita kita terlalu gugup.”

Ucapan itu berhasil membuat orang-orang di tempat itu terkekeh kembali, kecuali suami barunya yang terlihat menatapnya begitu dalam penuh kasih sayang.

Lelaki itu sekarang mencium telapak dan punggung tangan Zahra, membuatnya kembali terkesiap.

“Cium tangannya, Dek,” bisik Ning Nusaibah kembali terdengar sedikit menekan.

Zahra menoleh kembali ke arahnya, namun Ning Nusaibah justru memelototinya, kemudian menoleh ke arah yang lain dengan meringis. 

Ia akhirnya menarik punggung tangan lelaki itu ke bibirnya sambil mengucapkan salam. 

“Waalaikum salam, Ya Habibati,” bisik lelaki itu terdengar lembut, menggetarkan jiwanya juga. 

‘Astaghfirullah’

Zahra kembali menundukkan pandangannya.

"Masya Allah, pengantin wanita kita malu," celetuk salah seorang hadirin yang ada ditempat itu, memicu hadirin lain tertawa bahagia.

Belum selesai celetukan itu, sudah ada yang menyahut lagi, "Ya Allah, lihat senyum pepsodent Gus Afkar saking senangnya."

Semakin riuhlah tempat itu.

'Semua terlihat bahagia' pikir Zahra yang masih belum bisa merasakan vibes tersebut.

Setelah itu, ia dan Gus Afkar sibuk menerima doa dan restu dari semua orang yang ada di sana, termasuk Ummi dan Abi, juga Kyai Amir serta kerabat yang lain.

“Selamat ya, Azzahra Khoirunnisa.”

Zahra terperanjat mendengar ucapan selamat yang terdengar di tekan di akhir itu, di depannya tengah berdiri sahabat kecilnya, Nayla.

Namun ia hanya bisa menelan ludah. 

Gadis itu tampak menelangkupkan kedua tangannya, memberi selamat kepada Gus Afkar sekarang dengan matanya yang berkaca-kaca, kemudian pergi.

“Gus, Zahra izin ke belakang dulu nggih?”

Gus Afkar mengangguk sambil tersenyum.

"Tafadholi, habibati," suara lembut suaminya itu terdengar menggetarkan dada.

Namun sekali lagi ia segera beristighfar, karena takut perasaan itu akan merasuk ke hatinya.

Zahra segera menyusul sahabatnya itu ke depan ballroom hotel tempatnya melangsungkan pernikahan.

Ia menahannya dan berbisik, “Kumohon! aku tak mau buat keributan disini, ikutlah denganku ke lantai atas.”

“Kenapa? Apa kau takut keluargamu akan menanggung malu karenamu?” ujar Nayla dengan nada ketus.

“Setidaknya selamatkan reputasimu di depan Gus Afkar.” 

Nayla tampak tertegun sebentar setelah mendengar ucapan Zahra tersebut. Akhirnya ia memutuskan untuk mengikuti Zahra ke kamar riasnya tadi.

“Aku benar-benar tak pernah menginginkannya, Nay. Aku dijodohkan dan tak diberi pilihan,” jelas Zahra berusaha meyakinkan sahabatnya itu.

Gadis itu terlihat nyengir mendengarnya, kemudian menjawab, “Kamu kira aku peduli pada sahabat yang menikung temannya sendiri, Azzahra Khoirunnisa.”

Terdengar gadis itu menekan nada suaranya lagi saat memanggil namanya.

“Percayalah padaku, Nay!”

“Serakah kamu Zar, kamu sendiri yang mengkhianatiku, sekarang kau minta aku percaya padamu,” ucapnya begitu sinis sambil bersiap hendak keluar.

Zahra yang melihatnya, segera menarik tangannya dan berucap, “ini tak seperti yang kau kira, Aku…”

Gadis itu langsung mengibaskan tangannya dan menyela dengan nada tinggi, “Aku bukan lagi sahabatmu.”

Zahra bagaikan mendengar petir di siang hari. Ia menatap gadis yang sedang mengusap air mata itu.

“Tunggu! Aku akan menceraikannya…”

Nayla tampak terhenti melangkah mendengarnya.

Zahra hendak berjalan pelan ke arahnya saat tiba-tiba pintu kamar yang tadinya tertutup itu terbuka oleh seseorang.

“Ummi dan Abi menunggu kita untuk photo.”

Zahra terkesiap kaget mendapati Gus Afkar masuk.

'Apa kamu mendengar percakapan kami, Gus?' tanya Dzurriya dalam hati sambil menatap lelaki itu yang kini menariknya keluar dari sana.

Dinginnya Sikapmu, Gus

Gus Afkar membawa Zahra pulang dengan mobil pengantin putih berhiaskan bunga di depan dan belakangnya.

Lelaki asing yang sekarang jadi suaminya itu tampak diam saja dan tak berbicara apapun, sikapnya juga begitu dingin sejak masuk mobil tadi. Berbeda sekali dengan tadi pagi, saat prosesi pernikahan dan resepsi berlangsung.

Tidak terdengar lagi lagi suaranya yang lembut apalagi sekedar panggilan habibati. Bahkan lelaki itu langsung melepas pegangan tangannya pada Zahra setelah masuk ke dalam mobil.

‘Apa aku melakukan kesalahan? Apa tadi dia mendengar semuanya?’

Zahra menghela napas panjang dan berbalik ke arahnya, hendak bertanya. Namun baru saja ia membuka mulutnya, Gus Afkar terlihat menyandarkan diri dan memejamkan matanya. 

‘Kau pasti sangat lelah, Gus. Nanti saja kalau pulang, aku akan tanya’

Zahra akhirnya mengurungkan niatnya dan berbalik menghadap ke luar jendela. Ia menghela nafas panjang dan menyandarkan kepalanya di kaca jendela mobil itu..

‘Maaf, Nay. Ini sungguh di luar kendaliku’ Berkali- kali ia meminta maaf pada sahabatnya itu dalam hati.

Perjalanan yang tak terlalu jauh itu terasa sangat melelahkan, bukan karena mereka habis melaksanakan serangkaian acara besar. Pikiran Zahra sedang dipenuhi banyak beban dan pertanyaan. 

Ia seperti dihimpit banyak keinginan orang-orang yang menginginkannya berjalan sesuai keinginan mereka, tanpa ia diberi pilihan.

Dan yang hanya bisa ia lakukan sekarang hanya menatap sendu keluar jendela yang bisu itu, sambil menghela nafas panjang.

Dalam keadaan seperti ini, rasanya hanya Tuhannya yang mampu mendengar teriakan galau dalam dirinya yang terlihat bahagia dan baik-baik saja itu.

Akhirnya mereka hampir sampai di depan pintu gerbang pondok tempatnya dulu menuntut ilmu saat Madrasah Aliyah. 

Gus Afkar tiba-tiba membuka matanya dan berujar kepada sopirnya, “langsung ke depan rumah saja lewat gerbang belakang, ndak usah berhenti di tempat penyambutan, kami mau istirahat.”

Sopir itu terlihat senyum-senyum sendiri dari balik kaca spion depan, berbeda dengan suaminya yang kembali memejamkan mata.

‘Apa dari tadi kamu tidak tidur, Gus?’ pikir Zahra sambil menoleh sekejap ke arah suaminya.

“Sudah sampai, Gus,” ucap sopir itu sambil menoleh ke belakang.

Gus Afkar membuka matanya kembali, “ya makasih. Nanti langsung saja dimasukkan garasi, mobilnya. Kalau ada yang tanya, bilang kami lelah, ingin istirahat.’

“Iya, Gus,” ucap lelaki itu sambil senyum-senyum sendiri.

Gus Afkar kemudian turun dari mobil menuju kediamannya, tanpa berkata apa-apa. 

Zahra yang pakewuh, segera keluar mengikutinya.

‘Apa dia sedang marah padaku?’

Lelaki itu tampak masuk begitu saja, tanpa mengajaknya apalagi sekedar basa- basi ringan.

Pintu depan rumah itu terlihat sengaja dibiarkan terbuka setelah dia masuk.

Zahra menghela napas panjang menatap kediaman barunya dengan lelaki yang sekarang tidak terlihat baik-baik saja itu.

‘Bismillah’ gumam Zahra dalam hati sambil melangkah masuk ke dalamnya dan menutup lalu mengunci pintu rumah itu.

Terlihat lelaki itu masuk ke dalam kamar yang cukup besar. 

‘Apa itu kamar kami?’ Zahra tertegun di depan kamar tersebut begitu lama.

Sampai akhirnya lelaki yang sedang membawa handuk di tangannya itu menatapnya dingin dan berkata dengan nada yang datar, “Masuklah! Apa kau akan berdiri saja disitu?”

Zahra terlihat tersenyum, namun lelaki itu justru langsung berbalik mengabaikannya.

Zahra yang pasrah dan lelah, langsung bergerak masuk dan melihat sekeliling kamar itu.

Ada ranjang besar dengan sprei dan bedcover warna cream polos kesukaannya. Diatasnya tertabur kelopak bunga mawar warna putih dan merah. 

Ada juga sofa panjang, sebuah meja kerja di sudut yang lain dan lemari panjang warna coklat tua.

Kamar itu terlihat semakin cantik dengan bunga-bunga di sudut-sudut atapnya. Tak ayal aromanya semerbak wangi.

‘Apa Gus yang sudah menyiapkannya? Tidak mungkin, itu pasti kerjaan keluarga ndalem dan anak-anak santri’

Zahra kemudian beranjak duduk di atas ranjangnya. Namun baru saja ia duduk, Gus Afkar terlihat keluar dari kamar mandi dengan handuk yang terselempang di kedua bahunya.

Zahra sontak bangkit dari tempat duduknya.

Lelaki itu terlihat melirik gelagatnya sebentar kemudian berbalik untuk menggantung handuknya di belakang pintu.

Ia tampak lebih menawan dengan rambut hitamnya yang basah dan masih berantakan.

‘Astagfirullah, Apa yang kau pikirkan Zahra’

Setelah itu, dia berjalan perlahan menghampiri Zahra yang terlihat mundur. Dada Zahra slangsung tersentak dan berdegup tanpa irama karena saking gugupnya. Apalagi lelaki itu tampak menatap matanya dalam-dalam.

Namun sepertinya Ia salah sangka….

ternyata lelaki itu bukan menghampirinya tapi hanya melewatinya untuk segera berbaring diatas tempat tidur.

Zahra langsung menghembus nafas panjang sambil memegang dadanya yang terasa begitu lega. Lelaki yang sebenarnya belum pernah ia temui itu, untuk pertama kalinya membuatnya merasakan hal yang aneh, yang ia sendiri tak mengerti.

Ia menelan ludahnya dan berusaha menenangkan diri sebentar, baru kemudian membalikkan badan ke arahnya.

“Tunggu, Gus!” ujarnya agak sedikit keras

Lelaki itu terhenti mendengar panggilannya. Ia menoleh tajam ke arah Zahra. Ia mengurungkan niatnya untuk berbaring di tempat itu, dan kembali bangkit berdiri.

Dia hanya diam dan menatapnya tajam-tajam.

“Apa kita bisa bicara sebentar?” tanya Zahra.

Tak Ada Jawaban keluar dari lelaki itu. Dia hanya duduk di atas ranjang itu dan terus menatapnya dengan tajam, membuat Zahra menjadi gugup kembali.

“Katakan!”

Suara singkat itu terdengar sinis, tak seperti nada bicaranya setelah akad tadi pagi.

“Apa Gus sedang marah padaku ?” tanya Zahra hati-hati.

Bukannya menjawab, lelaki itu malah bangkit menghampiri Zahra perlahan dengan tatapannya yang bertambah tajam.

Zahra menelan ludah dan mundur, namun lelaki itu semakin mendekat kepadanya hingga Ia pun tersudut di sisi tembok.

Seketika dada Zahra kembali berdegup dengan kencang, nafasnya menjadi tertahan, apalagi sekarang lelaki itu tampak menatap dan mendekatkan wajahnya ke arah bibir Zahra.

‘Apa dia mau melakukan malam pertama kami sekarang?’

Sontak Zahra yang semakin gugup memalingkan mukanya.

Lelaki itu tampak nyengir dan membalikkan badannya.

“Tunggu, Gus.” Panggil Zahra yang belum selesai dengan perasaan gugupnya.

Lelaki itu terhenti melangkah, dan kembali berbalik ke arahnya dengan tatapannya yang masih saja tajam.

“Gus, belum menjawab pertanyaanku. Apa aku membuat Gus marah?” lanjutnya bertanya.

Lelaki itu kembali mendekat ke arahnya. 

Kali ini Zahra berusaha menghadapinya dengan berani dengan tetap berdiri di tempatnya.

“Katakan! Apakah ada alasan aku harus marah. Kenapa kau terus menanyakannya?”  bisik lelaki itu ketika berada dekat di depan Zahra, matanya menatap dingin ke dalam mata Zahra.

Zahra kembali menelan ludah sambil meremas bagian bawah gamis pengantin putih yang tengah dikenakannya.

Ia berusaha mengumpulkan keberaniannya lagi.

“Apa Gus mendengar apa yang aku bicarakan bersama Nayla di kamar hotel tadi,” tanya Zahra was-was sambil menatap lelaki itu dalam-dalam, berusaha memahami apa yang sedang dipikirkan suaminya tersebut.

Kembalinya Sang Pujaan Hati

“Apa Gus mendengar apa yang aku bicarakan bersama Nayla di kamar hotel tadi,” tanya Zahra was-was.

Lelaki itu menatapnya dalam-dalam, “Memangnya apa yang kau bicarakan sama Nayla?”

Zahra tertegun bingung mendengar pertanyaan itu.

“Kenapa diam. Apakah ada yang kau sembunyikan, Azzahra Khairun Nisa?”

Zahra menelan air liurnya kembali, keringat mulai bermunculan di tepi-tepi dahinya mendengar pertanyaan suaminya dengan memanggil nama lengkapnya begitu sinis, dan lagi Ia benar-benar tak tahu harus menjawab apa.

‘Mana mungkin aku bisa mengatakannya di hari pertama kita menikah, Gus’

Lelaki di depannya itu tiba-tiba terkekeh dan membuatnya terheran-heran.

‘Memangnya ada yang lucu, mengapa dia malah tertawa?’

Zahra bingung dan benar-benar tidak bisa memahami suaminya tersebut.

Lelaki itu sekarang duduk di ranjangnya dan membiarkan Zahra berdiri di depannya dalam keadaan bingung.

“Menurutmu ini pernikahan seperti apa?”

‘Bagaimana bisa kau menanyakannya, Gus’ pikir Zahra.

Kembali Zahra dibuat bingung oleh pertanyaan suaminya yang dingin.

“I–ni pernikahan…”

“Apa kau sungguh menganggap ini pernikahan Azzahra Khairunnisa?” tanya lelaki itu menyelanya. 

‘Apa? Pertanyaan macam apa itu?’ pikir Zahra kembali sambil mengernyitkan dahinya.

Kembali,  ia dibuat bingung.

“Lagi pula ini hanya perjodohan yang dipaksakan oleh orang tua kita, kamu tak perlu terhanyut dalam peranmu sebagai seorang istri, Azzahra Khoirunnisa.”

Zahra terperangah mendengar jawaban suami barunya tersebut. Ia tak pernah menyangka Gus Afkar bisa mengatakannya. 

Dan lama-lama panggilan lelaki itu kepadanya membuatnya risih. Namun ia tak berani menyelanya, suaminya itu terlihat tidak ingin mendengar apapun darinya sekarang.

“Tidurlah, Aku sama sekali tidak tertarik denganmu.”

Zahra membelalak mendengar kalimat terakhir lelaki itu.

Walaupun Zahra tidak menginginkan Perjodohan tersebut, tapi bagaimanapun kata-kata suaminya itu terdengar menyakitkan.

*****

‘Kak Adrian!’

Zahra begitu terperanjat begitu melihat sosok Adrian di depan rumahnya saat membuka pintu pagi-pagi sambil membawa sapu di tangannya. Ia tadi memang hendak menyapu teras rumah.

‘Bukannya dia di Jerman?’

“Assalamualaikum Zahra,” ucap lelaki di depannya itu sambil menatapnya dalam-dalam.

Zahra segera menundukkan pandangannya karena hatinya mulai gugup.

“Waalaikum salam, Apa kak Adrian mau bertemu dengan Gus Afkar?” tanya Zahra. 

Jakun lelaki itu terlihat naik turun mendengar pertanyaannya.

“Ya, apa Agus Afkar ada di rumah?” tanyanya  terdengar begitu sopan, sangat berbeda dengan dua tahun lalu saat dia belum berangkat ke Jerman, lelaki itu dulu selalu terdengar begitu akrab dan menyenangkan.

“Ada, silakan masuk! Saya akan panggilkan suamiku.”

Lelaki itu terlihat menatapnya kembali dalam-dalam setelah ia mengatakan kata “suamiku”.

Zahra berusaha tak menghiraukannya.

Ia berbalik ke dalam untuk memanggil Gus Afkar.

Ia masuk ke dalam kamarnya untuk menemui suaminya tersebut yang sedang membaca Alquran dengan lirih.

Wajahnya terlihat berseri dan teduh.

‘Astaghfirullah’

Dzikir Zahra dalam hati sambil langsung menunduk. Setiap ia terpesona dengan lelaki itu, ia teringat air mata Nayla yang menetes di hari pernikahannya.

Ia menunggu sampai suaminya itu menyelesaikan satu ayat.

Seperti menyadari keberadaan Zahra yang sedang berdiri menunggu di depannya, Suaminya itu lantas terlihat menutup Al Qurannya dan menatapnya begitu tajam. Tak ada satupun kata terucap di bibirnya.

“Ada tamu mencarimu, Gus” jawab Zahra dengan nada rendah.

Gus Afkar  kemudian menaruh Al Qurannya di atas meja dan bangkit.

“Buatkan kami minum!” perintahnya dengan nada dan ekspresi datar,  lalu melangkah keluar dari kamar itu.

Dari sejak pagi tadi dia bangun, baru kalimat itulah yang terdengar keluar dari mulutnya.

Juga tak ada senyum terkulum di bibirnya sama sekali, bahkan sampai saat ini.

Padahal ini adalah hari kedua mereka menjadi suami istri setelah akad kemarin.

‘Semengesalkankah perjodohan ini bagimu, Gus?’

Zahra berjalan menuju dapur dan membuatkan teh hangat untuk suami dan tamunya tersebut.

“Masya Allah ada tamu dari jauh.”

Terdengar sayup-sayup suara suaminya dari arah ruang tamu.

“Gimana studimu di sana?” tanya Gus Afkar terdengar begitu ramah dan akrab.

“Alhamdulillah Gus, baik.” jawab Adrian terdengar segan. 

Meskipun Gus Afkar hanya selang beberapa tahun dengan Adrian, tapi lelaki itu sangat dihormati dan disegani di pondok tersebut. Bukan hanya karena Gus Afkar anak pengasuh pondok, tapi juga sikapnya memang sangat berwibawa.

Mungkin itulah yang dulu sering ia dengar tentang suaminya itu sekarang.

“Lagi liburan ta?”

“Nggeh, Gus, Saya dengar Gus menikah, jadi saya datang kesini untuk memberi selamat.” jawab Adrian kemudian terlihat melirik ke arah Zahra yang sedang keluar dengan membawa nampan berisikan dua cangkir teh hangat di atasnya.

Zahra menunduk dan menghidangkan teh tersebut di atas meja, kemudian bangkit dan tanpa sengaja menatap wajah Adrian yang sedang menatapnya dalam-dalam.

Zahra langsung memalingkan muka ke arah suaminya yang ternyata sedang meliriknya tajam.

‘Astaghfirullah’ gumamnya dalam hati seraya sontak tertunduk.

“Apa kau ingin duduk bersama kami, ya Habibati.”

Zahra sontak mengangkat kepalanya kaget, mendengar suaminya itu tiba-tiba memanggilnya dengan lembut dan mesra.

“T–tidak, Gus. Zahra pamit ke dalam saja, masih ada pekerjaan,” ucapnya undur diri kepada suaminya.

Lelaki itu tampak mengangguk dengan tatapan hangat.

‘Apa ini? Kenapa senyum manisnya terasa mengerikan’ pikir Zahra sambil menelan ludahnya.

“Selamat ya Ning Zahra, atas pernikahannya,” ujar Adrian memberinya selamat, membuatnya sadar dari lamunannya. 

Ia sontak menoleh dan tersenyum pada lelaki itu sembari berucap, “Terima kasih, Kak Adrian.”

“Silakan diminum, Kak,” lanjutnya kemudian masuk sambil mendekap nampan yang tadi ia bawa.

Ia berjalan menuju dapur dan menaruh nampan itu. Lalu berbalik menuju kamarnya.

“Gimana? Udah dapat jodoh di sana? katanya wanita di sana cantik-cantik,”

Terdengar suara Gus Afkar lagi.

“Tak secantik santriwati di sini Gus.” 

Jawab tamunya itu membuat Zahra tertegun di dalam kamarnya. Ia teringat janjinya dua tahun lalu sebelum Adrian berangkat ke Jerman, bahwa ia akan memberikan jawaban pada lelaki itu. 

‘Maaf, Kak’

‘Jadi kamu menunggu salah satu murid di sini, makanya kamu melajang sampai sekarang. Aku kira kamu hanya peduli soal pendidikanmu saja, Adrian.”

“Namanya juga lelaki, Gus,” jawab Adrian membuat mereka terdengar tertawa bersama.

“Maaf Gus saya pamit dulu, Maaf juga kalau lancang, Boleh saya pamit ke istri Gus  juga?”

Terdengar suara Adrian meminta izin untuk pulang dan bertemu dengannya lagi.

“Ya, tentu boleh. Sebentar!” jawab suaminya itu ramah.

“Zahra!”

Terdengar suaminya memanggil dari luar, Zahra segera bangkit dari duduknya, dan keluar memenuhi panggilan tersebut.

“Ini Adrian, mau pulang, mau pamit,” ucap suaminya dengan lembut.

“Terima kasih kunjungannya, Kak Adrian,” ucap Zahra sambil mengangguk ke arah Adrian.

“Sama-sama, Gus, Ning. Maaf baru bisa memberi selamat sekarang!” ujar Adrian sambil tersenyum hangat.

“Tidak apa-apa, terima kasih ya Adrian, sukses terus in sya Allag.” jawab suaminya itu sembari mendoakan mantan muridnya tersebut.

“Makasih Gus.”

Lelaki itu akhirnya keluar diikuti Gus Afkar dan Zahra.

“Sepertinya kau kenal dekat dengannya?” ujar Gus Afkar sinis setelah Adrian tidak terlihat.

“Kami hanya teman, Gus,” ucap Zahra membela diri.

“Aku harap juga begitu, ingat kau menantu keluarga ndalem sekarang!” seru suaminya tersebut terdengar seperti sedang memperingatkannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!