Maya mengelap keringat di dahinya sambil memandang meja makan yang telah tertata rapi. Piring porselen dengan motif bunga mawar, sendok dan garpu yang berkilau, serta mangkuk sup yang mengepulkan uap hangat berisi sup ayam kesukaan suaminya, Andi sudah tersedia di meja makannya malam ini.
Hari ini adalah ulang tahun pernikahan mereka yang ke-10, dan Maya telah berusaha keras untuk memastikan semuanya sempurna.
Amaya Larasati adalah seorang wanita berusia 34 tahun dengan wajah lembut dan mata yang selalu memancarkan kebaikan.
Meskipun usianya tidak lagi muda, namun kecantikannya tetap terjaga, terlihat dari senyum yang selalu menjadi topeng di tengah kepedihan.
Malam ini, ia mengenakan gaun berwarna biru muda yang dipilihnya dengan hati-hati pagi tadi, berharap Andi akan memperhatikan dan mungkin, hanya mungkin, memujinya.
Tepat saat jarum jam menunjukkan pukul tujuh malam, Maya mendengar suara derap kaki di pintu depan. Ia memperbaiki rambutnya yang sedikit berantakan dan berdiri dengan gugup menanti kedatangan Andi.
Pintu terbuka dengan suara berderit, dan Andi masuk dengan wajah lelah namun tegas. Andi adalah pria bertubuh tinggi dengan rahang kuat dan mata yang tajam. Di matanya, Maya dapat melihat bayangan beban pekerjaan dan ambisi yang tak pernah padam.
"Selamat ulang tahun pernikahan, Mas," sapa Maya dengan senyum lebar, berharap suaranya terdengar ceria dan tidak terlalu memohon.
Andi menatapnya sekilas sebelum mengalihkan pandangannya ke meja makan. "Apa ini?" tanyanya tanpa ekspresi, suaranya datar dan dingin.
Maya merasa detak jantungnya semakin cepat. "Ini ... ini makan malam spesial yang aku siapkan untuk merayakan ulang tahun pernikahan kita."
Andi menghela napas panjang dan meletakkan tas kerjanya di sofa. "Aku sudah bilang kalau aku sibuk hari ini. Kamu tahu aku ada proyek besar yang harus diselesaikan."
Maya menunduk, mencoba menyembunyikan kekecewaannya. "Aku tahu, tapi aku pikir ... mungkin kita bisa meluangkan sedikit waktu untuk makan bersama."
Andi berjalan menuju meja makan dan duduk dengan kasar. Ia mengambil sendok dan mencicipi sup yang disiapkan Maya. "Ini hambar," katanya dengan nada meremehkan. "Kamu tahu aku suka makanan yang lebih berbumbu."
Maya merasa air mata menggenang di sudut matanya, namun ia segera mengedipkan mata nya agar tidak terlihat. "Maaf, Mas. Aku akan lebih memperhatikannya lain kali."
Andi mendengus dan melanjutkan makan tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Maya duduk di hadapannya, mencoba menikmati makanan yang telah disiapkannya dengan penuh cinta, namun setiap suap terasa pahit di tenggorokannya. Hati Maya terasa berat, seolah ada beban tak terlihat yang menekan jiwanya.
Pernikahan mereka tidak selalu seperti ini. Dulu, Andi adalah pria yang penuh perhatian dan cinta. Mereka bertemu di sebuah acara kampus, di mana Maya terpesona oleh kecerdasan dan karisma Andi. Mereka saling jatuh cinta dan menikah setelah beberapa tahun berpacaran. Namun, setelah beberapa tahun pernikahan dan mereka belum juga di karuniai seorang anak, segalanya mulai berubah.
Ditambah lagi, ambisi Andi yang besar untuk sukses dalam karirnya sering kali membuatnya melupakan hal-hal kecil yang penting bagi hubungan mereka. Ia menjadi lebih mudah marah, lebih sering mengkritik, dan jarang mengapresiasi usaha Maya. Tapi yang paling menyakitkan bagi Maya adalah ketidakmampuan mereka untuk memiliki anak. Selama hampir 10 tahun pernikahan mereka, Maya belum juga memberikan keturunan, dan hal itu menjadi sumber ketidakpuasan dan kemarahan Andi.
Setelah makan malam yang penuh keheningan, Andi bangkit dari kursinya. "Aku harus kembali bekerja," katanya tanpa menatap Maya. "Jangan ganggu aku."
Maya hanya mengangguk pelan, menyembunyikan kesedihan yang semakin mendalam. Ia mengumpulkan piring-piring kotor dan mulai mencuci, meskipun pikirannya melayang jauh. Kenapa semuanya menjadi seperti ini? Kenapa cinta mereka yang dulu begitu indah kini terasa seperti beban yang tak tertahankan?
Maya menyelesaikan pekerjaan rumahnya dengan cepat dan naik ke kamar tidur. Ia duduk di tepi ranjang, memandangi foto pernikahan mereka yang tergantung di dinding. Dalam foto itu, Andi tersenyum lebar, memeluk Maya dengan penuh cinta. Di mana senyuman itu sekarang? Di mana perasaan hangat yang dulu selalu membuatnya merasa aman dan dicintai?
Maya tahu bahwa ia tidak bisa terus hidup seperti ini. Ia butuh perubahan, namun ia tidak tahu harus mulai dari mana. Setiap kali ia mencoba berbicara dengan Andi tentang perasaannya, Andi selalu memotong pembicaraan atau mengabaikannya. Maya merasa terperangkap dalam lingkaran setan yang tak berujung.
***
Malam itu, Maya berbaring di tempat tidur dengan pikiran yang kacau. Ia menatap langit-langit kamar yang gelap, berharap ada jalan keluar dari penderitaan ini. Ia tahu bahwa di balik pintu rumah ini, ada dunia yang lebih luas dan penuh dengan kemungkinan. Ia hanya perlu menemukan keberanian untuk melangkah keluar dan mencari kebahagiaan yang sejati.
Namun, saat ini, Maya hanya bisa menunggu dan berharap. Ia memejamkan mata, mencoba mencari ketenangan dalam tidur, meskipun hatinya tetap gelisah. Di balik pintu rumah ini, ada kehidupan yang harus dihadapi, dan Maya berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan menemukan cara untuk bertahan dan meraih kebahagiaan, apapun yang terjadi.
Ketika Maya hampir terlelap, suara berat langkah kaki Andi terdengar mendekat ke kamar. Pintu kamar terbuka perlahan, menciptakan bayangan panjang yang menutupi tempat tidur Maya. Andi berdiri di ambang pintu, matanya memandang Maya dengan tajam.
"Maya," suaranya terdengar dingin dan mengancam. "Ada hal yang perlu kita bicarakan."
Maya membuka matanya, jantungnya berdetak kencang. Ia merasakan ketakutan yang mencekam saat Andi melangkah mendekat. Tanpa peringatan, Andi mengeluarkan sebuah amplop dari saku jasnya dan melemparkannya ke atas tempat tidur.
"Baca ini," katanya tajam. "Besok pagi kita akan membicarakannya lebih lanjut."
Maya meraih amplop itu dengan tangan gemetar, namun sebelum ia sempat membukanya, Andi sudah berbalik dan meninggalkan kamar, menutup pintu dengan keras di belakangnya. Maya merasakan dadanya sesak oleh kecemasan. Apa yang ada di dalam amplop itu? Mengapa Andi terlihat begitu marah?
Dengan tangan gemetar, Maya membuka amplop tersebut dan mengeluarkan beberapa lembar kertas. Matanya membesar saat ia mulai membaca isinya. Kata-kata yang tertulis di sana membuatnya terperanjat dan tak mampu berkata-kata. Ini adalah ultimatum yang akan mengubah hidupnya selamanya.
Maya memandang kertas di tangannya, merasakan dunia seolah-olah runtuh di sekitarnya. Dalam keheningan malam, hanya ada satu pikiran yang terlintas di benaknya: bagaimana ia akan bertahan menghadapi semua ini?
Ia membaca lagi kata-kata yang tertulis di sana: "Jika kamu tidak bisa memberikan keturunan, maka kita harus mempertimbangkan jalan lain, izinkan aku menikahi wanita lain atau kita bercerai."
Air mata mulai mengalir di pipi Maya. Pilihan yang diberikan Andi terasa kejam dan tak adil. Ia tahu bahwa dirinya telah melakukan segala yang ia bisa, namun tetap saja, itu belum cukup bagi Andi.
Dalam keheningan malam yang pekat, Maya menyadari bahwa ia harus membuat keputusan besar. Akankah ia bertahan dalam pernikahan ini dan membiarkan Andi menikahi wanita lain untuk memiliki keturunan? ataukah ia akan mencari kebahagiaan di luar sana, meskipun itu berarti meninggalkan Andi?
Maya berbaring kembali di tempat tidur, kertas ultimatum itu masih tergenggam erat di tangannya. Dengan hati yang hancur, ia mencoba memejamkan mata dan mencari ketenangan dalam tidur. Tapi pikiran tentang masa depan yang tidak pasti terus menghantui benaknya.
Di balik pintu rumah ini, ada dunia yang penuh dengan tantangan dan harapan. Maya tahu bahwa ia harus menemukan kekuatan dalam dirinya untuk menghadapi semua itu.
Malam itu, dengan air mata yang masih mengalir, Maya berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan bertahan dan mencari jalan keluar dari penderitaan ini, apapun yang terjadi.
Saat fajar mulai menyingsing, Maya masih terjaga, memikirkan langkah apa yang harus ia ambil selanjutnya. Jalan di depannya penuh dengan ketidakpastian, namun satu hal yang pasti, hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Dan dengan keputusan yang harus diambil, Maya tahu bahwa perjalanan hidupnya baru saja dimulai.
***
Jangan lupa dukungannya kak.
Komen, saran, kritik baik, kritik pedes pake karet dua juga boleh.
Follow Instagram othor juga : @dimas.yudhistira_
Pagi hari terasa lebih kelabu dari biasanya. Matahari belum benar-benar menampakkan diri saat Maya bangkit dari tempat tidur dengan perasaan hampa. Di tangannya masih tergenggam kertas ultimatum dari Andi, sebuah kenyataan pahit yang terus menghantui pikirannya sepanjang malam.
Maya berjalan ke dapur dan mulai menyiapkan sarapan. Kebiasaannya bangun lebih awal untuk menyiapkan makanan bagi Andi tetap tak berubah meskipun hatinya penuh luka. Sambil menggoreng telur dan menyiapkan nasi goreng, pikirannya melayang pada berbagai kemungkinan yang bisa terjadi.
Andi selalu menjadi fokus dalam hidupnya, dan sekarang ia dihadapkan pada pilihan yang begitu berat, mengizinkan Andi menikahi wanita lain atau perceraian.
Saat suara derap kaki Andi terdengar dari arah tangga, Maya cepat-cepat menyeka air mata yang menggenang di sudut matanya dan memasang senyum palsu. Andi masuk ke dapur dengan ekspresi datar, mengangguk singkat sebagai sapaan sebelum duduk di meja makan.
"Selamat pagi, Mas," sapa Maya lembut, meski hatinya terasa berat.
Andi hanya menggumam sebagai balasan, tatapannya fokus pada layar ponsel di tangannya. Maya menyajikan sarapan di depannya dan duduk di seberang meja, mencoba mencari keberanian untuk membicarakan isi amplop yang diberikan Andi tadi malam.
"Mas ... soal surat yang kamu kasih tadi malam ..." suara Maya terdengar lemah dan ragu.
Andi mengangkat wajahnya, menatap Maya dengan pandangan yang tidak terbaca. "Kita bahas nanti. Sekarang aku harus ke kantor," katanya singkat sebelum bangkit dari kursinya, bahkan belum sempat menyentuh makanannya.
Maya hanya bisa mengangguk, merasa semakin kecil di hadapan suaminya. Andi berjalan keluar dari dapur tanpa menoleh lagi, meninggalkan Maya dengan perasaan yang semakin hancur.
Setelah Andi pergi, Maya mencoba mencari kesibukan di rumah untuk mengalihkan pikirannya. Namun, setiap sudut rumah ini mengingatkannya pada kenangan yang dulu manis namun kini pahit. Ia tahu bahwa dirinya perlu mencari dukungan, dan pikirannya melayang pada satu-satunya orang yang mungkin bisa mendengarkan, sahabatnya, Irma
Maya menghubungi Irma dan mengajaknya bertemu di kafe favorit mereka. Irma adalah sahabat yang selalu ada untuk Maya, bahkan di saat-saat tersulit dalam hidupnya. Mereka berdua sudah berteman sejak kuliah, dan Irma selalu menjadi pendengar yang baik.
Saat Maya tiba di kafe, Irma sudah menunggu di meja pojok. Irma tersenyum lebar dan melambai saat melihat Maya, tapi senyumnya memudar saat melihat ekspresi wajah sahabatnya yang muram.
"Kenapa May?" tanya Irma dengan nada khawatir saat Maya duduk di hadapannya.
Maya menarik napas panjang sebelum mulai bercerita tentang kejadian tadi malam dan sebuah surat ultimatum dari Andi.
Air mata tak terbendung lagi saat ia menceritakan betapa tertekannya dirinya karena masalah ketidakmampuan memberikan keturunan.
Irma mendengarkan dengan seksama, wajahnya penuh empati. "Aku tahu ini pasti berat buat kamu. Tapi kamu harus ingat, kamu juga berhak untuk bahagia. Jangan biarkan Andi atau siapapun membuatmu merasa tidak berharga."
Maya mengangguk pelan, meskipun hatinya masih berat. "Tapi aku gak tahu harus mulai dari mana, Ir. Aku merasa terjebak."
Irma menggenggam tangan Maya dengan erat. "Bisa, kamu harus mulai dari hal terkecil untuk merasakan kebahagiaan itu lagi. Pelan-pelan aja. Kalau kamu butuh teman cerita, aku selalu siap dengerin, May. "
Kata-kata Irma memberikan sedikit kekuatan pada Maya. Mereka menghabiskan waktu di kafe dengan berdiskusi tentang berbagai kemungkinan, termasuk adopsi. Namun, Maya masih merasa bimbang tentang bagaimana Andi akan merespons ide tersebut.
Sepulangnya dari kafe, Maya merasa sedikit lebih tenang. Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama ketika telepon rumah berbunyi. Maya mengangkat telepon dan mendengar suara dingin yang sudah sangat dikenalnya, ibu mertuanya, Bu Ratna.
"Maya, ibu mau datang ke rumah kamu nanti siang," suara Bu Ratna terdengar tajam. "Ada hal penting yang perlu ibu bicarakan."
Maya merasa jantungnya berdegup kencang. Bu Ratna dikenal sebagai wanita yang keras dan tidak mudah dihadapi. Setiap kali bertemu dengannya, Maya selalu merasa terintimidasi. Dan sekarang, dengan masalah yang sedang dihadapinya, ia tidak yakin bisa menghadapi Bu Ratna sendirian.
...****************...
Tepat saat jarum jam menunjukkan pukul dua siang, suara bel pintu terdengar. Maya membuka pintu dan menemukan Bu Ratna berdiri dengan angkuh di ambang pintu. Wanita itu melangkah masuk tanpa menunggu undangan, matanya yang tajam menyapu seisi ruangan seolah mencari kekurangan.
"Ibu, masuk bu, ibu mau minum apa?" ujar Maya sopan, sambil mencium punggung tangan ibu mertuanya dan berusaha menyembunyikan kegugupannya.
Bu Ratna duduk di sofa dengan anggun namun penuh wibawa. "Ibu dengar dari Andi tentang ultimatum yang dia kasih ke kamu," katanya tanpa basa-basi. "Ibu mau dengar pendapat kamu?"
Maya merasa kakinya lemas mendengar pertanyaan itu. Ia duduk di kursi di seberang Bu Ratna, mencoba mengumpulkan keberanian. "Saya ... saya belum memutuskan, Bu. Ini semua terlalu mendadak bagi saya."
Bu Ratna menatapnya dengan pandangan tajam. "Maya, sudah sepuluh tahun kamu menikah dengan Andi dan belum juga memberikan cucu untuk keluarga ini. Kamu tahu betapa pentingnya keturunan bagi keluarga kami, bukan?"
Maya hanya bisa mengangguk pelan, merasa air mata mulai menggenang di matanya lagi. "Saya tahu, Bu. Tapi ini bukan sesuatu yang bisa saya kendalikan."
Bu Ratna mendengus pelan. "Andi itu anaknya terlalu sabar. Dia sudah menunggu cukup lama. Kalau kamu tidak bisa memberikan keturunan, mungkin sudah saatnya untuk mempertimbangkan jalan lain."
Maya merasa dadanya sesak mendengar kata-kata itu. "Bu, saya akan bicara dengan Mas Andi soal adopsi. Mungkin itu bisa menjadi solusi."
Namun, wajah Bu Ratna mengeras. "Adopsi bukan solusi yang ibu inginkan. Keluarga ini membutuhkan keturunan darah daging sendiri."
Maya merasa kepalanya berputar. Kata-kata Bu Ratna terasa seperti pisau yang menusuk hatinya. "Tapi, Bu, adopsi bisa menjadi cara kami untuk memiliki keluarga."
Bu Ratna berdiri dari tempat duduknya, matanya menatap Maya dengan tajam. "Dengarkan ibu baik-baik, Maya. Ibu tidak akan pernah menerima anak angkat sebagai cucu. Kalau kamu tidak bisa memberikan keturunan, kamu harus siap menghadapi konsekuensinya."
Tanpa menunggu jawaban dari Maya, Bu Ratna berbalik dan berjalan keluar dari rumah dengan angkuh. Maya terduduk lemas di kursinya, air mata mengalir deras di pipinya. Kata-kata Bu Ratna terus terngiang di telinganya, menambah beban yang sudah begitu berat di hatinya.
...****************...
Malam itu, Andi pulang lebih larut dari biasanya. Maya menunggu di ruang tamu dengan hati yang gelisah, mencoba mencari cara untuk membicarakan masalah mereka dengan tenang. Saat Andi masuk, Maya bangkit dari tempat duduknya dan berjalan mendekat.
"Mas, aku ingin kita bicara," ujarnya dengan suara gemetar.
Andi menatapnya dengan ekspresi datar. "Bicara tentang apa lagi, Maya? Sudah jelas apa yang harus kita lakukan."
Maya menggeleng pelan, mencoba menahan air mata. "Mas, barangkali sudah saatnya kita memikirkan soal Adopsi."
Andi menghela napas panjang. "Maya, ibu tidak akan pernah menerima anak angkat. Kamu tahu, kan?".
"Tapi, kita bisa mencoba meyakinkan ibu, kan mas? . Kita bisa menjelaskan bahwa adopsi adalah pilihan terbaik untuk kita."
Andi menatap Maya dengan pandangan yang tajam. "Maya, aku sudah lelah. Selama sepuluh tahun ini, aku sudah berusaha sebaik mungkin untuk mendukung kamu. Tapi aku juga punya batas. Aku butuh keturunan, dan jika kamu tidak bisa memberikannya, maka kita harus mencari jalan lain."
Maya merasa dunia di sekitarnya runtuh. "Aku juga sudah mencoba segalanya, mas. Aku juga ingin memiliki anak."
Andi menggelengkan kepala. "Kita harus realistis. Kita tidak bisa mendapatkan anak dengan cara ini, barangkali sudah seharusnya kita mempertimbangkan perceraian."
Kata-kata Andi seperti pukulan telak bagi Maya. Ia merasa dadanya sesak, sulit untuk bernapas. "Mas, tolong jangan katakan itu. Aku cinta sama kamu, gak pernah berubah sedikitpun, dan aku ingin kita tetap bersama."
Andi menatap Maya dengan tatapan yang lembut namun penuh keputusasaan. "Cinta aku juga gak pernah berubah, May. Tapi cinta saja tidak cukup. Kita butuh keturunan untuk melanjutkan keluarga ini."
Maya merasa hatinya semakin hancur mendengar kata-kata Andi. Air matanya mulai menggenang.
Andi menarik napas dalam-dalam dan menatap Maya dengan ekspresi campur aduk, entahlah semuanya bercampur di kepalanya saat ini. "Kamu harus mengerti, ini bukan hanya tentang kita. Ini soal Keluarga, terutama ibu."
Maya menyeka air mata yang mulai mengalir. "Tapi, Mas, aku benar-benar ingin kita tetap bersama. Kita bisa cari solusi lain, kita bisa coba ikut program ke dokter lain mas."
Andi menggeleng pelan. "Sudah hampir semua dokter di kota ini, May. Umur kamu juga sudah tidak lagi muda untuk hamil. Sudahlah May. Ini sudah cara terakhir yang harus kita hadapi. "
Maya merasakan ketidak-berdayaan merayap dalam dirinya. Ia tahu bahwa Andi berada di posisi yang sulit, tetapi ia juga tahu bahwa dirinya telah melakukan segala yang bisa dilakukan. Rasa putus asa itu semakin nyata.
"Jadi, apa yang akan kita lakukan sekarang, Mas?" tanya Maya dengan suara yang hampir tak terdengar.
Andi tidak menjawab seketika. Ia berdiri dan berjalan ke arah jendela, menatap ke luar dengan pandangan kosong. "Aku belum tahu, mungkin kita perlu waktu sendiri untuk berpikir."
Maya merasa dadanya semakin sesak. "Sendiri? Berarti kamu ingin kita berpisah sementara?"
Andi berbalik, menatap Maya dengan mata yang penuh kesedihan. "Mungkin itu yang terbaik untuk sekarang, Maya. Kita butuh jarak untuk mempertimbangkan semuanya dengan lebih jernih." Andi berdiri sambil menatap maya dengan perasaan ragu. "Sebaiknya, kita mulai mempersiapkan diri untuk berpisah."
Maya merasa dunia di sekitarnya berputar. "Berpisah? Tapi, aku tidak ingin kehilangan kamu."
Andi berjalan tanpa menghiraukan Maya sedikitpun.
"Mas. Tolong." Maya terus berteriak mengejar Andi yang sudah pergi menuju kamar.
Hati Maya benar-benar hancur, ada rasa tidak percaya, tapi sebagian dari dirinya justru berbisik lega.
Pilihan yang diberikan Andi sangat tidak mudah bagi Maya. Mungkin memang lebih baik berpisah dari pada ia harus melihat dan merelakan suami nya membagi cinta pada perempuan lain.
...*******...
Maya terbangun dengan perasaan hampa yang menyelimuti dirinya. Pagi itu terasa lebih kelabu dari biasanya. Di tangannya masih tergenggam kertas ultimatum dari Andi, kenyataan pahit yang terus menghantui pikirannya sepanjang malam.
Dengan hati yang berat, Maya mulai mengemas barang-barangnya. Setiap sudut rumah mengingatkannya pada kenangan yang dulu manis namun kini hanya menyisakan kepedihan. Saat Maya berjalan melewati ruang tamu, dia teringat malam-malam ketika mereka duduk bersama di sofa, berbicara tentang masa depan dan impian mereka. Semua itu sekarang terasa seperti mimpi yang jauh.
Dia tahu bahwa dirinya tidak bisa tinggal di rumah ini lebih lama. Andi telah membuatnya jelas bahwa dia tidak diinginkan lagi. Tanpa banyak pilihan, Maya memutuskan untuk meminta bantuan keluarga. Dia berharap setidaknya ada satu anggota keluarga yang mau membantunya.
Pertama, Maya menghubungi kakaknya, Rina. Rina adalah seorang ibu rumah tangga dengan tiga anak kecil. Ketika Maya menelepon, Rina menjawab dengan suara lelah.
“Halo, mbak. Ini aku, Maya,” suara Maya terdengar putus asa.
“Iya May, kenapa, suara kamu lemas banget? Kamu sakit.? " jawab Rina dengan nada khawatir.
“Aku... Aku butuh bantuan. Andi ingin menceraikan aku dan aku harus keluar dari rumah secepatnya. Aku tidak punya tempat lain untuk pergi. Apa aku boleh tinggal dirumah kamu untuk sementara waktu?” Maya bertanya dengan suara yang hampir terisak.
Rina terdiam sejenak sebelum menjawab dengan penuh penyesalan, “Maya, aku sangat ingin membantu, tapi rumah kami sudah penuh. Kamu tahu sendiri, anakku tiga, kami hampir tidak punya ruang lagi. Mungkin kamu bisa mencoba menghubungi Tante Dewi?”
Dengan hati yang hancur, Maya mengucapkan terima kasih dan menutup telepon. Rina adalah harapannya yang pertama, namun kini dia harus mencari bantuan dari yang lain.
Ia menarik nafas pelan, andai saja orang tuanya masih hidup.
Maya dan Rina sudah ditinggal oleh ibu nya sejak Maya berusia 10 tahun. Sementara Ayahnya, Maya bahkan tidak tahu sosok ayah nya seperti apa. Yang Maya tahu, ayahnya pergi meninggalkan keluarga mereka sejak sebulan setelah Maya lahir.
Selanjutnya, Maya menghubungi Tante Dewi, adik bungsu ibunya yang dikenal ramah dan penyayang. Namun, ketika Maya menjelaskan situasinya, Tante Dewi juga tidak bisa memberikan bantuan.
“Maya, kamu tahu aku tinggal di apartemen kecil. Kami hampir tidak punya ruang tambahan. Aku sungguh minta maaf.”
Maya merasa semakin putus asa dan sendirian. Tidak ada satu pun dari mereka yang bersedia menampungnya.
Dengan hati yang semakin berat, Maya berjalan keluar dari rumah untuk terakhir kalinya. Langit mendung seolah-olah mencerminkan suasana hatinya. Dia membawa koper kecil berisi beberapa pakaian dan barang pribadi, meninggalkan semua kenangan di belakang.
'Aku pergi, aku tidak ingin membebani lagi dengan kehadiranku yang TIDAK BERGUNA ini. Semoga kamu menemukan wanita lain yang bisa memberikan mu keturunan.'
Sebelumnya, Maya menyimpan selembar kertas surat di atas kasur.
Dengan langkah yang gontai, dan hanya berbekal sedikit uang sisa tabungannya, Maya meninggalkan rumah yang sudah menyimpan banyak sekali kenangan selama sepuluh tahun terakhir ini.
"Selamat tinggal mas." Tangisnya pecah, bersamaan dengan langkah kaki nya yang semakin lama semakin menjauh.
...****************...
Saat malam tiba, hujan mulai turun, Maya baru saja turun dari bus.
Saat ini Maya sudah pergi jauh dari rumahnya. Entah kenapa, desa ini yang dituju nya. Sebuah desa yang tempatnya jauh dari kota tempat ia tinggal dulu, desa yang berada di kaki gunung. Perjalanan yang memakan waktu hampir delapan jam dari rumahnya. Maya bahkan sempat dua kali berganti Bus ,sebelum akhirnya sampai ke desa ini.
Sebut saja Desa Teduh. Tempat ini memiliki kenangan manis bagi Maya. Di desa ini, Maya sempat tinggal. Di sebuah pondok pesantren kecil, yang sangat sederhana, disitulah maya tinggal selama hampir tiga tahun.
Dirinya memang sempat mondok di sini saat dirinya menginjak SMP sampai lulus SMP. Itu pun atas kemauan nya sendiri.
"Ya Allah, hujan." bisiknya sambil berlari kecil melewati jalan setapak yang langsung mengantarnya ke sebuah masjid kecil, di area pondok pesantren ini.
Dengan hati-hati, dia melangkah masuk dan menemukan sudut yang cukup tenang di bagian belakang masjid. Di sana, dia meletakkan kopernya dan berusaha tidur, meskipun pikirannya penuh dengan kecemasan dan kesedihan.
Sampai tidak terasa, rasa lelah nya memenangkan pertarungan di kepalanya, membuat Maya tertidur cukup lelap.
...****************...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!