Pesta pernikahan itu berlangsung dengan meriah. Selaras dengan raut wajah sepasang pengantin yang sedang berdiri di atas pelaminan. Mereka tersenyum sumringah. Tergambar jelas kebahagiaan di wajah keduanya.
"Selamat ya!"
"Selamat. Semoga sakinah, mawadah, dan warahmah."
"Wah, akhirnya nikah juga."
"Selamat, Bro."
"Selamat, Mbak."
"Selamat ya, Cantik."
Ucapan selamat datang silih berganti dari para tamu undangan. Semua seolah turut berbahagia atas pernikahan kedua insan itu.
"Hai Ian, happy wedding ya. Semoga bahagia," ujar seorang wanita dengan seorang anak kecil di gendongannya.
Laki-laki yang bernama Andrian itupun tersenyum. "Hai Marissa. Terima kasih ya udah repot-repot datang," ucap Andrian.
"Om Ian, gendong." Anak kecil di gendongan Marissa tiba-tiba mengulurkan tangannya pada Andrian. Seperti sudah biasa, Andrian pun menyambut tangan kecil itu dan meraihnya ke dalam gendongannya. Gadis kecil itupun tersenyum lebar saat sudah berada di gendongan Andrian.
"Maaf ya, Ya. Anakku udah nempel banget sama Ian soalnya. Nggak bisa liat Ian sedikit, langsung minta gendong aja," ujar Marissa pada sang pengantin perempuan yang kerap dipanggil Yaya itu.
Nama panjangnya sebenarnya adalah Rayana Khanzania. Karena saat kecil ia tidak bisa menyebut huruf R, jadi ia kerap menyebut namanya sendiri Yaya, bukan Raya. Hingga akhirnya panggilan itu melekat hingga dewasa.
Yaya tersenyum kecil. Ia memang sudah tahu kalau Marissa merupakan sahabat laki-laki yang baru beberapa saat lalu menjadi suaminya.
"Iya, Mbak. Nggak papa. Mungkin itu karena ia melihat figur seorang ayah pada diri Mas Rian. Makanya dia sampai nempel gitu ke Mas Rian." Yaya berusaha memaklumi. Terlebih ia tahu kalau Marissa seorang janda. Bahkan Andrian kerap bertemu dengannya sambil mengajak gadis kecil bernama Tania itu. Apalagi saat melihat Tania, Yaya kerap teringat masa lalunya yang tidak memiliki seorang ayah. Ia pun memaklumi sikap manja Tania pada Andrian–suaminya.
Yaya tersenyum melihat Tania yang begitu manja pada Andrian. Saat Yaya mengalihkan pandangannya pada Marissa, entah mengapa ia melihat tatapan Marissa pada suaminya terlihat berbeda. Namun, Yaya tidak mau terlalu memikirkannya. Sebab yang ia tahu, Marissa merupakan sahabat kecil Andrian. Bahkan semua anggota keluarga Andrian pun mengenal baik Marissa.
"Dia benar-benar contoh family man. Pasti kalau kalian punya anak, dia akan sayang banget sama anak kalian." Yaya tersenyum mendengar kata-kata itu. Yaya pun mengakui kalau Andrian memang begitu telaten mengurus anak kecil. Namun, berbeda dengan ekspresi Marissa yang tampak sendu. "Ah, maaf, kok aku jadi melow ya. Mungkin karena aku kasihan sama Tania yang nggak pernah merasakan kasih sayang ayahnya. Sekali lagi selamat, ya." Marissa mencoba tersenyum lebar. Ia pun meminta Tania segera turun dari gendongan Andrian yang kerap ia sapa Ian itu.
"Tania, ayo turun, Nak!"
"Nggak mau. Mau cama Om Yan."
"Tapi Om masih sibuk, Nak."
"Ndak mau. Pokokna mau cama Om Yan," tolak Tania yang kini justru sudah memeluk erat leher Andrian. Marissa tampak salah tingkah. Yaya pun bingung harus apa sebab di belakang Marissa telah berjajar tamu undangan yang ingin bersalaman.
"Udah Sa. Nggak papa. Biar Tania sama aku aja."
"Tapi Ian ...."
"Mas." Yaya ingin meminta suaminya segera menyerahkan Tania pada Marissa mengingat mereka masih harus meladeni para tamu undangan. Tapi Andrian justru tidak mengindahkannya. Ia justru memilih mengajak Tania bersalaman dengan para tamu undangan membuat Yaya rasanya ingin kesal. Tapi ia mencoba bersabar. 'Namanya juga anak kecil,' batin Yaya mencoba menenangkan diri sendiri.
...***...
Resepsi pernikahan yang dilakukan di sebuah ballroom hotel itu pun akhirnya usai. Para tamu undangan pun akhirnya mulai undur diri menyisakan keluarga dan para pekerja saja.
"Pesta pernikahannya cukup meriah, Besan. Meskipun diselenggarakan di hotel kelas tiga, tapi ternyata tetap cukup meriah. Saya tadi sudah cukup was-was lho. Saya pikir tadi pestanya akan terasa membosankan. Untung saja tidak," ujar pak Priambodo–ayah Andrian.
Danang tersenyum kaku. Kata-kata pak Priambodo memang terdengar memuji, tapi juga seakan merendahkan.
"Semua karena kerja sama semua pihak. Lagipula ballroom ini sudah cukup kok untuk menampung para tamu undangan. Yang penting semua sudah terkonsep dengan baik. Ditambah tangan-tangan yang memang ahli di bidangnya membuat acara ini berlangsung sesuai ekspektasi."
"Tapi tempatnya ini nggak sesuai ekspektasi, Pak. Padahal anda seorang dokter kepala, seharusnya bisa dong mengadakan pesta pernikahan di tempat yang jauh lebih baik. Bukan ballroom hotel kelas tiga seperti ini," celetuk Bu Nurlela–ibu Andrian.
"Ma, bisa bantu ambil Tania," ucap Andrian sengaja agar ibunya tidak kembali mengeluarkan kata-kata yang bisa menyinggung orang tua Yaya.
"Oh, si cantik ternyata ketiduran. Sini, sini, ikut sama Oma." Ternyata sejak tadi Tania masih berada dalam gendongan Andrian. Nurlela pun segera mengambil Tania dari gendongan Andrian.
Djiwa yang melihat itu pun menghampiri sang kakak. "Dia siapa sih, Mbak? Kok minta gendong Mas Rian melulu? Dia bukannya anak kekasih gelapnya Mas Rian 'kan?" celetuk Djiwa yang masih duduk di bangku SMA itu.
"Hush, jangan bicara sembarangan!" sergah Yaya pada adalah adiknya yang memiliki selisih 12 tahun tersebut. "Dia itu Tania, anak Mbak Marissa, sahabatnya Mas Rian," tukas Yaya memberitahu.
"Sahabat?" Alis Djiwa menukik tajam. Ia tersenyum remeh.
"Udah nggak usah mikir macam-macam. Mbak mau ke kamar dulu."
"Mau ngapain? Cie, cie, mau buat dedek bayi ya?" goda Djiwa.
"Djiwa! Anak kecil nggak boleh ngomong sembarangan," sergah Yaya dengan pipi memerah.
"Yaya, anak Papa." Danang menghampiri Yaya. Ditatapnya wajah anak sambungnya yang begitu ia sayangi itu. Ia tidak pernah membedakan Yaya dengan adiknya. Baginya, kedua anaknya adalah anugerah terindah dari Yang Maha Kuasa. Berkat Yaya pula akhirnya ia bisa bertemu dengan Dina yang mana sudah berhasil membantunya menyembuhkan luka hati yang ia buat sendiri.
"Papa." Mata Yaya berkaca-kaca saat melihat laki-laki paruh baya yang berhasil menjadi cinta pertamanya itu. Meskipun Danang hanya ayah sambung, tapi berkat Danang ia bisa merasakan kasih sayang seorang ayah yang telah lama ia rindukan.
"Selamat atas pernikahannya, ya, Sayang. Semoga jadi pasangan sakinah, mawadah, dan warahmah. Putri Papa kini sudah menikah. Sudah menjadi seorang istri dan mungkin tak lama lagi akan menjadi seorang ibu. Berbahagialah, Sayang. Jangan lupakan Papa, ya. Dan kalau ada apa-apa atau butuh sesuatu, ingatlah, ada Papa yang akan selalu ada untukmu," ujar Danang dengan mata berkaca-kaca. Ia bahagia karena sudah berhasil mengantarkan anaknya ke pintu gerbang pernikahan. Namun, Danang sedikit sedih, setelah ini pasti putrinya akan lebih sibuk dengan suaminya. Akan tetapi, Danang tidak mempermasalahkan itu sebab baginya yang terpenting adalah kebahagiaan sang anak.
"Papa." Bibir Yaya melengkung ke bawah. Ia mulai tersedu. Danang lantas memeluk tubuh Yaya yang sudah bergetar. Dina yang melihatnya terasa terharu. Inilah yang membuat Dina tak henti-henti jatuh cinta pada suaminya. Kasih sayangnya begitu tulus. Tak pernah sedikitpun Danang mengungkap masa lalu Yaya. Ia pun tidak pernah membedakan baik Yaya maupun Djiwa. Ia seorang family man sejati.
Dina pun ikut meneteskan air matanya. Dari samping, Djiwa merangkul pundak sang ibu.
"Mama pelukannya sama Djiwa aja yuk." Djiwa tersengih. Dina terkekeh seraya menghapus air matanya. Danang yang menyadari keberadaan dua orang kesayangannya yang lain pun meminta mereka mendekat. Ia pun ikut merangkul keduanya.
"Ck, kayak nggak bakal ketemu lama aja pake pelukan kayak gitu," bisik Nurlela saat melihat keempat orang itu berpelukan.
"Ma, udah. Entar ada yang dengar 'kan nggak enak," sergah Andrian membuat sang mama mendengkus.
"Tapi emang keluarga istrimu itu lebay sih, Kak. Kayak apa aja gitu," timpal Ellena–kakak perempuan Andrian.
"Tuh, Ellen aja setuju ucapan Mama." Andrian menghela nafasnya dan segera menjauh daripada terus mendengar ocehan ibu dan kakak perempuannya itu.
...***...
...Halo everybody, selamat datang di cerita kesekian D'wie. Mohon dukungannya dengan tidak skip bab ya! Semoga suka dengan ceritanya. Terima kasih. ❤️❤️❤️...
...***...
...Happy reading 🥰🥰🥰...
Setelah pesta benar-benar usai, Yaya dan Andrian pun segera naik ke lantai 3 dimana kamar yang sudah dibooking keluarga Yaya berada. Yaya amat sangat gugup. Sesekali ia melirik Andrian yang sudah resmi menjadi suaminya. Di saat bersamaan ternyata Andrian pun sedang memperhatikannya. Yaya tertunduk malu. Meskipun ia sudah mengenal dekat Andrian sejak dua tahun yang lalu, tapi mereka tidak pernah benar-benar pacaran. Mereka hanya saling mengenal. Andrian kerap mengajaknya ketemuan di luar. Mereka kerap makan, nonton, dan jalan berdua.
Namun sejak setahun yang lalu, mereka sudah tidak pernah jalan berdua lagi. Sejak kemunculan Marissa, setiap bertemu, maka Andrian pasti akan membawa Tania. Yaya tidak pernah mempermasalahkannya. Apalagi setelah tahu nasib bocah yang kini berusia 3 tahun itu sudah ditinggalkan ayahnya yang menikah lagi dengan perempuan lain. Yaya yang memang sudah iba, ikut merasakan kesedihan Tania. Oleh sebab itu, Yaya tidak mempermasalahkan kehadiran Tania di antara mereka sama sekali.
Bahkan saat Andrian melamarnya beberapa bulan yang lalu pun, gadis kecil itu turut serta bersama ibunya. Yaya yang memang sudah menaruh hati pada Andrian pun segera menerima lamaran itu. Dua tahun saling mengenal satu sama lain, baginya sudah cukup untuk menjadi alasan pernikahan mereka. Meskipun tidak pernah tercetus secara langsung kata cinta itu, namun kedekatan mereka sudah selayaknya sepasang kekasih. Maka melangkah ke jenjang yang lebih tinggi, bukankah merupakan sesuatu yang lebih mulia daripada sekedar pacaran.
Denting lift terdengar jelas. Mereka akhirnya sudah sampai di lantai yang dituju. Andrian pun membantu Yaya yang kesulitan melangkah karena gaunnya yang cukup panjang.
Saat masuk ke kamar, degup jantung Yaya jauh lebih kencang. Meskipun mereka sudah begitu dekat, tapi mereka tidak pernah melakukan interaksi lebih apalagi intim. Jadi wajar 'kan kalau Yaya gugup setengah mati saat ini.
"Mas mau mandi dulu apa aku duluan?" tanya Yaya lembut.
"Kamu aja dulu. Aku masih mau merokok. Mulutku masam sekali. Sudah sejak tadi belum merokok. Nggak papa 'kan?" ujar Andrian.
"Nggak papa, Mas. Kalau begitu, Yaya ke kamar mandi dulu ya."
Andrian mengangguk. Yaya pun segera menuju koper yang sudah disiapkan ibunya di kamar itu. Ia mengambil salah satu gaun tidur yang sudah dibelinya sebelumnya. Dengan tersenyum, ia mengambil gaun malam berwarna hitam berbahan satin tersebut dan membawanya ke kamar mandi. Di kamar mandi, Yaya mandi sebersih mungkin. Setelah mengenakan pakaian, pipinya memerah saat melihat penampilannya di cermin.
"Ck, kamu kok centil banget sih, Ya? Duh, gimana ya? Kok aku jadi malu sendiri?" gumam Yaya sambil mematut dirinya di depan cermin.
"Tapi kenapa harus malu? Bukankah kami sekarang sudah suami istri. Artinya apa yang ada padaku semua sudah menjadi milik Mas Rian. Semoga Mas Rian suka dengan penampilanku ini," gumamnya sambil menggigit bibir. Jantungnya bertalu-talu. Seakan ada genderang perang yang ditabuh kencang di dalam sana.
Yaya menutup tubuhnya dengan bathrobe yang tersedia di lemari kecil yang ada di dekat cermin. Setelahnya, ia keluar dan mempersilahkan suaminya mandi. Selama Andrian mandi, Yaya menyiapkan pakaian suaminya. Melihat segitiga milik Andrian, seketika membuat pipi Yaya bersemu merah. Dengan perasaan gugup luar biasa, ia mengambil salah satu segitiga yang tersimpan di dalam koper milik suaminya dan meletakkannya di atas ranjang. Tak lama kemudian, Andrian keluar dari dalam kamar mandi dengan handuk putih melingkari pinggangnya. Yaya pun mengatakan kalau ia sudah menyiapkan pakaian sang suami.
"Terima kasih," ucap Andrian sambil tersenyum geli saat melihat pipi Yaya yang sudah memerah.
Andrian memakai celana pendek yang Yaya siapkan, tapi tidak dengan baju kaosnya. Dengan langkah pelan, ia mendekati Yaya yang sedang duduk di tepi ranjang dengan wajah menunduk. Rasa gugup kian menjadi-jadi. Apalagi saat posisi Andrian sudah berada di hadapannya.
"Apa lantai itu terlihat lebih menarik daripada aku?" ucap Andrian.
"Ah, ma-maksudnya?"
Degh ...
Yaya seketika salah tingkah saat Andrian menatapnya penuh arti. Ia ingin memalingkan wajahnya, tapi Andrian sudah lebih dulu menahan dagunya sehingga kini wajah mereka berhadapan.
"Kenapa? Malu?" goda Andrian membuat pipi Yaya makin memerah.
"Udah tau, nanya," jawab Yaya pelan dengan bola mata mencoba berlari ke arah lain. Andrian terkekeh mendengarnya.
"Kalau malu, gimana kita bisa melakukan malam pertama?" ucap Andrian seraya tersenyum.
"Na-namanya juga baru menikah. Jadi ... jadi wajar masih malu."
"Hm, benar juga. Bahkan dulu saat pertama aku menggenggam tanganmu pun kamu gugup sekali. Kamu tuh lucu banget tau, Ya."
"Memangnya aku badut dibilang lucu? Namanya aku baru kali itu dekat sama cowok jadi wajar 'kan gugup. Beda sama kamu yang pasti udah dekat dengan banyak perempuan. Bahkan dengan Mbak Marissa pun kalian dekat sekali. Kayak bukan sahabat aja. Kalau yang nggak kenal kalian pasti akan mengira kalian itu pasangan lho."
"Oh ya?" Yaya mengangguk. "Masih gugup?" Pertanyaan Andrian membuat Yaya ingat kembali dengan situasi saat ini. Ini merupakan malam pertama mereka. Jelas saja Yaya gugup luar biasa. Padahal tadi rasa gugupnya sempat hilang. Kini ia justru kembali gugup.
"Aku gugup lagi," ujar Yaya polos.
Andrian tergelak. "Yah, kalau gitu, kita langsung mulai aja ya? Lama kalau nunggu kamu hilang gugupnya. Kamu siap?"
Meskipun gugup luar biasa, Yaya tetap mengangguk. Lalu dengan perlahan, Andrian pun mendekatkan bibirnya dengan bibir Yaya. Awalnya hanya kecupan, tapi lambat laun kecupan itu berganti jadi lumatan. Andrian melumat bibir Yaya dengan lembut. Yaya awalnya merasa bingung bagaimana membalas lumatan Andrian, tapi Andrian dengan sabar mengajarinya. Hingga akhirnya, kini mereka pun saling beradu bibir dan lidah. Bunyi decapan mulai memenuhi kamar pengantin itu.
Andrian mencumbu Yaya sambil membimbingnya ke atas ranjang. Dibaringkannya tubuh Yaya dengan perlahan di atas sana. Tangannya pun tak tinggal diam. Ia mulai bergerilya menyentuh apa yang sudah seharusnya menjadi miliknya.
Kamar itupun semakin panas. Bahkan bathrobe Yaya sudah dilempar entah kemana. Berikut gaun malam yang Yaya pakai pun sudah tersingkap tidak karuan. Suara keduanya semakin memburu. Seiring dengan rasa panas yang kian menjalari sekujur tubuh.
Keduanya kini sudah polos tanpa busana. Momen penyatuan sudah berada di depan mata. Namun saat pusaka Andrian sudah berada di ambang pintu masuk kepunyaan Yaya, tiba-tiba ponsel Andrian berdering nyaring. Andrian yang sangat hafal dengan nada dering itupun segera beranjak tanpa melihat wajah Yaya lagi. Andrian segera mengangkat panggilan itu tanpa meminta izin pada wanita yang masih terengah di atas ranjang.
Lalu beberapa saat kemudian, Andrian pun kembali mendekat. Yaya pikir Andrian hendak melanjutkan aktivitas mereka. Namun sesuatu yang tak pernah ia duga terjadi. Andrian justru mengatakan sesuatu yang sungguh tak pernah Yaya duga.
"Ya, aku harus segera pergi. Tania tiba-tiba demam. Aku harus ke sana saat ini juga," ujar Andrian cepat sambil memungut pakaian dalamnya dan mengenakannya. Setelahnya, ia berlari menuju koper dan mengambil pakaiannya.
"Tapi Mas, ini 'kan malam pertama kita? Apa tidak ada orang lain yang bisa kau suruh ke sana?" ucap Yaya pelan.
"Kita masih punya banyak waktu, Ya. Tania sedang membutuhkan aku saat ini. Aku pergi," ucapnya tanpa memiliki perasaan Yaya sama sekali.
Yaya terperangah tidak percaya. Ia pikir malam pertamanya akan berakhir indah. Siapa sangka malam pertamanya justru akan berakhir seperti ini.
Dipandanginya pintu yang sudah tertutup. Lalu ia mengarahkan pandangannya ke tubuhnya yang sudah tidak tertutup sehelai benangpun. Jujur saja ia kecewa. Namun Yaya mencoba menabahkan hati.
"Sudahlah. Mungkin saat ini Tania lebih membutuhkan Mas Rian," ujarnya berusaha berpikir positif.
...***...
...Happy reading 🥰 🥰 🥰 ...
Sepanjang malam, Yaya tidak bisa tidur. Ia terus saja memikirkan sang suami yang tak kunjung kembali ataupun memberi kabar. Yaya jadi ikut khawatir. Takut terjadi sesuatu pada gadis kecil itu. Apalagi mengingat dirinya yang dulu pernah mengalami penyakit yang membuatnya tidak bisa bersekolah seperti anak-anak lainnya.
Pagi menjelang, tapi Andrian tak kunjung kembali. Padahal ini sudah masuk jam sarapan. Karena masih suasana pesta, mereka harus berkumpul di restoran yang sudah dipesankan Danang sebelumnya.
Yaya bingung. Apa yang akan ia katakan bila orang tuanya menayangkan keberadaan Andrian. Tidak mungkin 'kan ia katakan kalau Andrian pergi meninggalkannya di malam pertama karena anak sahabatnya yang tiba-tiba panas tinggi?
Yaya menghembuskan nafas resah. Ia keluar dari dalam lift dan berjalan menuju restoran dengan perasaan yang campur aduk. Saat di depan pintu restoran, ia berpapasan dengan kedua orang tuanya yang ternyata juga baru datang.
"Yaya, Rian mana?" tanya Dina saat melihat Yaya berjalan seorang diri.
"Ah, Mas Rian-nya ... "
"Pagi, Ma, pagi, Pa. Maaf, tadi aku nggak sengaja ketemu teman di sana. Jadi minta Yaya duluan aja."
Tiba-tiba saja Andrian sudah berdiri di samping Yaya. Yaya sontak saja terkejut. Ia menoleh dan menatap wajah Andrian yang menatapnya dengan senyum merekah.
"Oh, Mama pikir kamu tadi kemana. Ya udah, yuk kita ke dalam. Kayaknya orang tuamu juga sudah di dalam," ujar Dina lembut.
"Iya, Ma," jawab Yaya.
"Ayo, Sayang," ujar Andrian sambil menggandeng tangan Yaya masuk ke dalam restoran.
Di dalam restoran ternyata memang kedua orang tua Andrian sudah datang. Juga adik Andrian dan suami serta seorang anaknya.
"Jadi setelah ini kalian akan tinggal dimana?" tanya Danang setelah selesai sarapan. Mereka masih duduk di sana sambil bercengkerama.
"Em, kami belum sempat membahasnya, Pa," jawab Andrian. "Bagaimana, Sayang?"
"Kita tinggal di rumah mama papa dulu beberapa hari bagaimana? Setelah itu rumah mama papamu, baru deh pindah ke apartemen mu, Mas. Gimana?" ujar Yaya. Ia memang sudah tahu kalau Andrian memiliki sebuah apartemen minimalis.
"Tapi apartemenku kecil lho. Cuma ada satu kamar aja, kamu nggak papa?" tanya Andrian.
"Aku nggak papa. Yang penting kita tinggal bersama."
"Ya udah. Terserah kamu aja."
"Bagaimana dengan rencana bulan madu kalian?" tanya Danang lagi.
"Rencananya kami akan bulan madu Minggu depan, Pa. Lusa aku ada pertemuan penting jadi nggak bisa nggak ngantor. Aku sudah membahasnya dengan Yaya."
"Memangnya kalian mau kemana?" timpal Nurlela.
"Ke Bali, Ma." Yaya yang menjawab.
"Wah, enak banget kalian! Yan, kamu selama ini belum pernah lho ajak Mama jalan-jalan. Mama ikut ya?" celetuk Nurlela.
Sontak saja mata Dina, Danang, dan Yaya membulat. Mereka ini ingin pergi bulan madu, kok ibu Andrian ingin ikut juga?
"Kenapa? Nggak boleh? Ingat lho, surga itu ada di bawah telapak kaki ibu. Membahagiakan ibu itu penting dan kamu belum pernah membawa Mama jalan-jalan. Masa' Mama yang udah melahirkan dan membesarkan kamu kalah sama perempuan yang baru jadi istri kamu ini." Nurlela memasang wajah sendu.
Yaya ingin menolak, tapi khawatir disebut menantu durhaka. Padahal ia baru saja menjadi istri Andrian. Ia harap Andrian menolak permintaan mamanya itu. Bukannya melarang, tapi belum saatnya. Nanti Yaya akan menjadwalkan kapan mereka akan pergi jalan-jalan bersama. Tapi bukan sekarang.
"Ya udah, Mama ikut aja. Nanti aku pesankan tiketnya," jawab Andrian yang mengambil keputusan sendiri tanpa bertanya pada Yaya terlebih dahulu. Jelas saja Yaya kecewa. Namun tak mungkin ia mengungkapkannya terang-terangan.
"Aku mau juga lho, Kak. Aku sama Mas Hasta, dan Riko juga mau ikut, boleh 'kan?"
"Ya udah. Nggak papa." Lagi-lagi Andrian mengambil keputusan sendiri. Dan yang lebih membuat Yaya tak habis pikir saat ibu mertuanya mengatakan akan mengajak Marissa dan Tania juga, Andrian langsung setuju saja.
"Biar seru perginya rame-rame. Benar 'kan, Sayang?" ujar Andrian setelah mengambil keputusan sendiri tanpa memikirkan perasaan Yaya sama sekali. Yaya yang tidak mungkin menolak hanya bisa mengangguk pasrah.
Danang dan Dina yang melihat itu jelas saja ikut kecewa. Bulan madu seperti apa itu? Sekeluarga ikut serta. Namun mereka sama seperti Yaya, tak mampu berkomentar apa-apa. Mereka tak mau orang tua Andrian sampai memperlakukan Yaya tak baik karena mereka yang melarang. Danang dan Dina hanya bisa menatap iba pada anak perempuan mereka satu-satunya itu. Mereka hanya bisa berharap Yaya tetap bisa menikmati bulan madunya dengan gembira nanti.
Yaya dan Andrian sudah kembali ke kamar mereka. Di dalam kamar, Yaya pun mulai mengeluarkan unek-uneknya mengenai keikutsertaan keluarga Andrian dalam bulan madu mereka.
"Mas, apa nggak sebaiknya mama dan kakak kamu jangan ikut kita dulu? Ini bulan madu lho, bukannya jalan-jalan biasa. Kan kita bisa tuh nanti atur jadwal jalan-jalan bareng. Yang penting, nggak sekarang," ujar Yaya sembari melepas jilbab instannya dan meletakkannya di pegangan sofa. Ia duduk di sana, di samping sang suami.
"Nanti atau sekarang sama aja sih, Yang. Nggak papa lah. Lagipula jadwal cuti aku udah full tahun ini. Kalau ditunda, kapan lagi coba. Baru bisa cuti lagi tahun depan," ujar Andrian sambil memainkan ponselnya.
"Mas, kita ini bulan madu lho. Masa' bulan madu bawa keluarga. Mama papa aku aja nggak ikut kok."
"Kalau kamu mau ajak Mama papa kamu ya silahkan. Tapi beli tiket sendiri," jawab Andrian acuh tak acuh.
"Mas, yang aku permasalahin itu bukan orang tua aku ikut atau nggak. Aku ingin tuh bulan madu kita tuh berakhir berkesan. Mana mama pake ngajak Mbak Marissa juga. Ini tuh sebenernya bulan madu atau apa sih?" ujar Yaya pelan, namun tersirat kekesalan di dalamnya.
Andrian menoleh. Ia menatap Yaya tak suka. "Kamu tuh sebenernya kenapa? Kamu nggak suka aku ajak keluarga aku? Iya? Kamu kok baru sehari jadi istri udah cerewet banget sih? Dulu nggak kayak gini. Atau jangan-jangan ini sifat asli kamu?" tuding Andrian.
"Aku bukannya bermaksud cerewet, Mas. Tapi aku tuh pingin bulan madu berdua aja sama kamu. Aku mau menikmati bulan madu kita berdua aja." Yaya mencoba menjelaskan.
"Apa kamu takut orang tuaku mengganggu? Mereka keluarga aku lho. Marissa juga sahabat aku. Keluarga aku sudah dekat banget sama dia. Jadi apa masalahnya? Udah. Kamu nggak perlu khawatir, mereka nggak akan ganggu bulan madu kita kok. Bahagia itu dibagi-bagi. Apa salahnya kita ikut berbagi kebahagiaan sama keluarga aku. Udah, jangan terlalu dipikirin. Semua tetap akan berjalan sesuai rencana kok."
"Tapi Mas ... "
Tiba-tiba Andrian mengangkat tangan, menggestur agar Yaya tidak melanjutkan perdebatan. Ia juga menunjukkan ponselnya yang ternyata ada panggilan video dari Marissa. Yaya ingin mencegah Andrian mengangkat panggilan video itu, tapi ia sudah lebih dulu mengangkat panggilan itu.
"Halo Cha eh Sa ... "
"Halo, Yan, maaf ganggu. Nih, Tania merengek mau bicara sama kamu. Dia nggak mau makan kalau nggak dibolehin bicara sama kamu dulu," adu Marissa.
"Nggak papa kok. Tania-nya mana? Nanti aku bicara sama dia."
"Sebentar!" Marissa lantas memberikan ponselnya pada Tania yang sedang berbaring di ranjang. Tania yang melihat Andrian pun langsung memanggil namanya.
"Om Iyan."
"Ada apa, Sayang? Kata Mama kamu nggak mau makan ya? Kok gitu sih?" ucap Andrian lembut mengabaikan keberadaan Yaya yang sedang menatap nanar dirinya.
"Om Iyan cih puyang nggak omong yagi. Ninggalin Tania. Tania 'kan mau makan cama Om Iyan."
Andrian terkekeh. "Maaf. Om ada kerjaan jadi pulang dulu. Tania makan dulu ya. Nanti Om kesana lagi kok."
"Nggak mau. Mau makan sama Om," ujar bocah perempuan itu.
"Makam dulu ya, Sayang. Nanti Om kesana lagi kok. Tapi nanti. Nggak sekarang. Makan ya!"
"Nggak mau. Maunya makan sama Om Yan." Tania mencebikkan bibirnya membuat Andrian terkekeh.
"Oke, oke. Nanti Om ke sana. Tania tunggu ya."
"Yeay." Tania bersorak girang. Setelah itu, panggilan pun ditutup. Andrian pun mengambil kembali kunci mobil yang tadi diletakkannya di atas meja. Saat ia hendak beranjak menuju pintu, Yaya pun segera menghadangnya.
"Mas, kamu mau pergi lagi?"
"Ah, Yaya. I-iya. Kamu sudah dengar tadi 'kan, Tania nggak mau makan kalau aku nggak datang."
"Mas, bisa nggak sih sekali aja kamu nggak ladeni permintaan Tania ataupun Mbak Marissa? Kita itu baru menikah lho, tapi dari semalam Mas lebih mementingkan Tania. Mas bahkan tega ninggalin aku di malam pertama kita. Mas mikir nggak sih, Mas tuh tega banget sama aku," ucap Yaya dengan sorot mata kecewa.
Andrian menghembuskan nafas pelan. Ia mendekati Yaya dan mengusap pipinya.
"Maaf. Mas janji, nggak akan lama. Tunggu Mas ya."
Cup ...
Andrian mencium pipi Yaya kemudian pergi begitu saja meninggalkan Yaya yang mematung dengan mata berkaca-kaca.
"Baru satu hari, baru satu hari menikah dan kau sudah dua kali membuatku kecewa, Mas," gumamnya seraya menghapus bulir yang hampir saja jatuh dari sudut matanya.
...***...
...Happy reading 🥰🥰🥰...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!