NovelToon NovelToon

Kamu Berhak Terluka

Prolog

"Apa kau bahagia?"

•••

"Untuk apa?" Gilsa menatap rendah uluran tangan Altheo di depannya. Matanya meruncing tajam. Wajahnya tak sedikitpun dihiasi gurat ekspresi.

"Apa tidak bisa kita berteman?" Altheo balik bertanya. Ia meraih tangan Gilsa yang di hiasi gelang hitam warna warni itu lalu melakukan salam singkat. Gilsa termangu, menatap lama tangannya yang baru saja bersalaman dengan Altheo. Bibirnya lantas tersenyum tipis.

"Berteman denganku artinya kau akan dibenci semua orang, apa kau mau menanggungnya?"

Tatapan mencemooh diterima Altheo dari gadis itu.

•••

"Dia public enemy."

Begitu semua orang menjelaskan Gilsa ketika Altheo hanya bertanya soal siapa gadis yang selalu tidur di meja paling pojok kelas. Jika diingat kembali, Gilsa memang cocok dengan tittle seperti itu. Dia urakan, bicaranya kasar dan pakaiannya tidak memenuhi standar aturan sekolah.

Namun benarkah demikian?

Saat melihat gadis itu hanya tertidur sepanjang kelas, diabaikan seolah dikucilkan dan tidak diingatkan siapapun baik ketika jam istirahat atau pulang tiba, benarkah dia yang menjauhi semua orang?

"Jangan kasihan, atau nanti kau yang rugi."

•••

"Aku tak percaya." Gilsa merasa heran mendengar jawaban Altheo. "Kalau kau memang seburuk itu, kau tak mungkin menyambut hangat pertemanan dariku."

"Terakhir, kita tak mungkin berdiri disini jika kau memang menyebalkan."

•••

Gilsa tak habis pikir dengan Altheo. Baru kali ini dia bertemu dengan orang seperti pemuda itu.

"Kenapa kau mengajakku berteman?"

Altheo mengangkat wajahnya dari hadapan buku untuk melihat Gilsa.

"Bukankah itu terlalu menyedihkan untuk ditanyakan pada seseorang?"

Gilsa diam menunggu perkataan lain yang lebih memuaskan pertanyaannya dari bibir pemuda itu.

"Maksudku siapa yang tidak ingin berteman dengan orang lain?"

"Semua orang membenciku."

"Aku tidak."

Dua kata itu membungkam Gilsa.

•••

Altheo mengkernyit. Ia menatap kearah danau yang di pandangi Gilsa. Pantulan cahaya langit tampak jelas terlihat.

"Jangan mati," ujar Altheo. "Apa setelah mati kau akan lebih bahagia?"

•••

"Jauh-jauh dariku."

Altheo kembali menahan tangan Gilsa, "Tapi kenapa?"

"Aku tidak bisa pura-pura tak tahu. Kau melakukan semua ini karena suruhan orang itu kan?"

"Apa maksudnya? Aku tidak melakukan apapun dengan siapapun untuk menyakitimu."

"Kau melakukannya!"

Aksi tarik-tarikan terus terjadi dengan akhir dimana Altheo melepaskan lengan Gilsa dengan terkejut. Dia melihat air mata berembun dari mata Gilsa.

"Kau melakukannya seperti kebanyakan orang di hidupku, Altheo!"

•••

Gilsa menyandarkan kepalanya di antara batang Pohon. Ia menikmati hembusan napasnya sendiri sembari memejamkan mata. Altheo pun demikian, di arah berlawanan dia ikut menyandarkan kepalanya. Menikmati hembusan angin sembari menatap langit yang membiru. Tiba-tiba mereka tersenyum.

"Apa kita tidak bisa benar-benar berteman saja?" 

"Aku juga inginnya begitu."

•••

"Pacaran?" Gilsa bertanya bingung. Ia menunjuk dirinya dan Altheo bergantian.

"Kau dan aku pacaran?"

Altheo terkekeh. "Kau suka padaku kan? Kenapa kita tidak berpacaran saja?"

Gilsa menjadi berdebar hanya karena Altheo meraih tangannya dan menggenggamnya dengan elusan lembut. Kali ini omong kosong pemuda itu terasa sangat indah untuk dia terus sangkal sebagai sesuatu yang tidak nyata. Mungkin, pada akhirnya kepercayaan bahwa Altheo mendekatinya dengan maksud tertentu yang selama ini dia yakini, memang hanya kebohongan.

"Haruskah?"

•••

Altheo merasa ini adalah tamparan terpedih yang pernah dia rasakan dalam hidup. Bahkan pukulan Ayahnya tak sebanding dengan ini.

"Aku merasa aneh." Gilsa berucap tak bernada. "Aku tak bisa marah padamu. Aku juga merasa kecewa pada diriku sendiri. Aku membencimu, tapi ketika aku memikirkan kau juga merasakan hal yang sama padaku, hanya kekosongan yang aku rasakan. Kenapa kau menyembunyikannya dariku?"

Altheo terdiam, dia tak bergerak bagai patung. Pemuda itu bahkan tak bisa menatap wajah Gilsa di depannya.

"Kenapa harus kamu Altheo?!"

•••

"Apa kita tak bisa kembali bersama lagi?" Altheo bertanya pada angin kosong di belakang tubuhnya. Biasanya ada Gilsa yang akan menempati sisi lain dari pohon tua di belakang sekolah itu, tapi sekarang dia sendirian. 

"Mungkinkah kita akan bertemu dengan hubungan yang baik, jika kecelakaan itu tak pernah terjadi, Gilsa?"

•••

"Sekarang, apa kau bahagia?"

Dia yang seperti Putri Tidur

"Hei! Kudengar dari Ayahku hari ini akan masuk siswa pindahan. Kalian tahu hal yang mencengangkan apa? Dia pindahan luar negeri!"

"Waw, di pertengahan semester begini? Ke kelas kita?"

"Iya! Ke sini."

Kedatangan murid baru hari ini membuat seisi kelas menggaduh heboh. Pasalnya itu adalah kabar baru yang memberi mereka angin segar di tengah jadwal padat sakolah yang membosankan. Seperti menemukan aktivitas seru baru yang tak melelahkan otak, meski itu hanya melihat sosok asing di kelas.

"Kalau dia pindahan luar negeri berarti pintar dong?!"

"Wah, lumayan tuh!"

"Tapi yang paling penting mukanya sih, kalau cantik kan lebih lumayan lagi!"

"Sembarangan! Cowok tau yang masuk!"

"Pagi semuanya!" Wanita bersetelan rapi tiba-tiba memasuki kelas dengan menjenjeng tas dan sebuah botol minum. Para murid langsung menutup mulut dan kalang kabut menduduki kursinya masing-masing sambil berbenah diri. Namun tak lama kelas menjadi bising kembali saat seorang pemuda berpakaian seragam asing menyusul masuk. Perawakannya tinggi, memiliki kulit berwarna tan seperti madu, dengan mata turun berwarna cokelat tua dan bibir yang tipis.

"Sial, cowok beneran."

"Wah cakep juga siapa nih?"

"Ganteng? Muka pasaran gitu ada banyak di sekolah."

"Pfftt, kau iri?"

Bu Guru yang telah menyimpan peralatan bawaannya di atas meja, menunjukan wajah tak suka pada para muridnya.

"Apa sih centil-centil?"

Murid-murid menjadi bungkam dan saling tatap.

"Kan kenalan Bu ....~"

"Udah-udah!" Guru yang biasa di panggi Bu Tere itu lantas menepuk tangannya kencang-kencang, mengisyaratkan jika dia butuh perhatian penuh.

"Dengar semuanya." Semua murid yang sudah mengetahui kebiasaan Bu Tere langsung terdiam dan mulai memokuskan diri. Meski tak sedikit pula yang diam-diam mengobrol dengan cara berbisik. Bu Tere kemudian menyentuh bahu laki-laki di sampingnya. Ia menyuruh pemuda bersurai hitam itu untuk lebih maju dengan cara menekan bahunya.

"Murid di samping Ibu ini, namanya Altheo, dia akan ikut belajar bersama kalian mulai hari ini," ujar Bu Tere. Seisi kelas bersorak dan menatap serentak Altheo, beberapa sampai bertepuk tangan. Mereka anak-anak yang sepertinya senang sekali menggoda orang lain hingga murid baru itu tersenyum melihatnya. Banyak yang terlihat antusias, meski diantara meja terbelakang masih ada orang-orang yang tak menaruh atensi sedikitpun.

Altheo menunjukan senyum ramah. "Mohon bantuannya, ya teman-teman."

"Lho, lho, lho! Kok sopan banget sih?" soraknya. Seseorang memekik gemas. Tangannya menunjuk-nunjuk Altheo. Antusiasme mendadak semakin membesar.

"Asal dari mana nih?"

"Pindah karena apa?"

"Kenapa pindah ke sini?"

Pertanyaan-pertanyaan yang mirip saling bersautan dari berbagai arah. Altheo menunggu kehebohan itu meredup sebelum menjawab. Kelopak mata dan alis tebal pemuda itu sedikit terangkat.

"Aku dari Singapura, orang tuaku pindah kemari belum lama ini jadi aku juga memutuskan untuk pindah ke sini dan bersekolah di sini," jawabnya.

"Oh gitu, temen-temen ..."

"Memangnya ada masalah apa sampai pindah?"

"Bisnis papa dimutasi ya?" sahut yang lain, kemudian sebagian murid tertawa kecil.

"Weh apa sih papa-papa, gak ada kaya gitu." Altheo membalas gurauan itu sambil tertawa kecil. "Pengen pulang kampung aja."

"Iya deh."

"Asal sekolah dari mana?" Pertanyaan muncul lagi. Bu Tere tersenyum kecut melihat sesi tanya jawab yang tiada akhir ini.

"Aku dari--"

"Tanya jawabnya nanti aja ya, atau kalian cuman mau Ibu jadi pajangan di sini?"

"Ah, Ibu lagi seru juga."

"Udah." Bu Tere menunjuk Altheo. "Kamu mending pergi ke sana dan cari meja kosong, kalau gak ada bilang ke Ibu."

Gadis yang tadi bertanya menurunkan sudut bibirnya kecewa, dia menatap sebal punggung Bu Tere yang menuju meja guru.

"Nanti kita lanjutkan ya," bisik Altheo pada gadis itu. Dia lantas melangkah pergi berbaur pada kelas yang ramai. Banyak mata menatap kemana langkahnya tertuju. Namun semua memilih bungkam, mengingat periode pertama hari ini di gurui sosok seperti Bu Tere.

"Permisi, ada meja kosong?" tanyanya saat berdiri di meja yang paling belakang. Para siswa yang duduk di sekitar sana menatap serentak pemuda tersebut.

"Ada, tapi satu," jawab seorang laki-laki di samping kirinya. Altheo saat ini sedang berdiri diantara meja barisan pertama dan kedua yang ada di dekat pintu kelas.

"Meja yang ada si depan sana?" Tunjuk Altheo pada meja kosong di barisan kedua, yang ada di dekat meja guru.

"Itu ada orangnya, punya Clarissa, dia gak masuk lagi dispen," timpal yang lain. Dia adalah murid perempuan berambut kuncir kuda yang duduk di depan laki-laki tadi. Gadis itu kemudian membalikan posisi tubuh untuk menghadap langsung ke arah Altheo.

"Wah, itu sih singgasana ratu," timpal yang lain lagi. Kali ini sosok perempuan yang duduk di meja sebelah kanan Altheo. Altheo hanya meliriknya, lalu mengangguk tanda paham. Pemuda itu kembali menatap gadis yang pertama kali menoleh tadi dengan raut bertanya.

"Ada apa?" tanya Altheo. Tanpa bicara gadis itu menunjuk meja belakang di sisi kirinya lewat tatapan mata. Arah mata Altheo seketika bergerak kearah serupa.

"Yang itu yang beneran kosong."

Tanpa sadar bibirnya melipat gugup saat melihat sebuah meja kosong ada disana, dan itupun di dekat tembok, tempat duduk yang belum pernah dia coba sekalipun. Namun tak lama Altheo beralih menaikan sebelah alisnya, lipatan bibirnya terlepas. Di samping meja itu ada sebuah meja lagi, diisi seorang perempuan yang tengah tertidur. Mejanya tepat di samping pemuda yang mengajaknya bicara pertama kali. Tanpa sadar sedikit terpintas hal buruk dibenak Altheo.

"Aneh ya ada yang tidur di kelas?" tanya gadis tadi. Kacamatanya yang menurun dia dorong kembali ke tempat ternyaman.

"Sedikit."

"Kau penasaran kan?"

"Tidak juga, kita harus mengenal secara bertahap oke?"

"Yakin?" Altheo menatap lelah. Gadis itu tersenyum dan mengangguk. Altheo menatap wajahnya yang tegas sebentar.

"Apa?" Mata gadis itu memicing.

"Siapa namamu?" Tiba-tiba keadaan hening melanda. Gadis itu tampak bergeming, menatap senyum ramah Altheo dengan judgemental.

"Wah, kau orang yang mudah bergaul ya. Aku Prima Dertante," katanya. Altheo tanpa ragu mengulurkan tangan.

"Altheo, terimakasih sudah membantuku." Mata runcing Prima memudar saat melihat uluran tangan Altheo. Perlahan dia mulai memberi respon dan membalas ajakan berkenalan Altheo.

"Orang yang ramah." Prima tersenyum kecil.

"Hey! Kau tak berkenalan denganku?" Suara asing terdengar. Itu pemuda yang pertama kali menjawab Altheo. Tak lama genggaman tangannya pada Prima terlepas dan terulur kearah meja belakang.

"Kau itu selalu ikut campur, Kai. Aku tak sanggup." Prima hanya menatap sekilas dan kembali membaca buku novel di atas mejanya. Sementara orang yang dia cibir kini mengejeknya dari belakang.

"Aku Altheo."

"Ah, tak usah kaku begitu aku tau." Bibir tebalnya tertawa. "Santai saja."

Kemudian tangannya menggenggam Altheo dengan akrab.  "Aku Kailo."

•••

Di hari pertama Altheo bersekolah di sini, anehnya pembelajaran berlalu begitu ringan. Tak terasa bahkan bel istirahat sudah berbunyi nyaring. Namun kenyamanan itu rupanya harus Altheo bayar dengan wawancara mendadak dari teman-teman sekelasnya

"Wah, wajahmu ternyata bercampur ganteng dan manis ya jika dilihat sedekat ini. Tapi tak ada bule-bulenya."

"Astaga kau tak malu berkata seperti itu Tiara?"

"Dia murahan sekali."

"Ck, kalian iri kan tak bisa jujur pada diri sendiri sepertiku?" Tiara hanya mencebik. Altheo masih ingat dengan jelas wajah ini adalah wajah milik gadis yang menggodanya tadi pagi.

"Aku asli Indonesia, orang tuaku juga. Kalian tahu kan, identitasnya saja yang bule." Altheo membalas godaan Tiara dengan mengangkat sebelah alisnya.

"Huhu~! Bule ireng." Tawa-tawa kecil terdengar.

"Tapi cakep kok, The."

"Iya, Tiara yaampun centil banget sih."

"Altheo, aku ini tipe gadis yang melihat orang dari wajah. Kau tak masalah kan?"

"Astaga dia gila." Seseorang membalas ucapan Tiara dengan nada jengah. Da malu melihat kelakuan sahabatnya sendiri, padahal bukan dirinya yang berbuat begitu. Beberapa temannya juga sepertinya berpendapat sama karena mereka ikut berwajah jengah.

Altheo tersenyum lebar walaupun canggung. "Aku tak terlalu perduli."

Tiba-tiba Tiara memekik kencang mendengar jawaban itu. Kedua tangannya mengepal di depan wajah sambil menutup kedua pipinya malu-malu.

"Eoh!!"

"Tiara! Cukup!"

"Murahan banget sih, heran!"

"Kamu mirip tante girang, tau tidak?"

Namun Tiara tak memerdulikannya.

"Biar kuperingatkan Altheo." Salah satu dari mereka berbisik pada Althro sembari menutup sebelah wajahnya dengan tangan dari Tiara.

"Dia memang tak punya akal, hati-hati." Dua teman Tiara yang lain tertawa. Meski berbisik tetap saja terdengar jelas di telinga yang lain.

"Semua orang bisa mendengarnya bodoh!" Kali ini gadis berkulit putih pucat yang bersuara. Dia menyentil telinga temannya itu sebagai tanda kesal.

"Aw! Caroline sakit brengsek!" Namun yang di tepis malah tertawa nyaring. Gadis-gadis yang lain termasuk Altheo hanya menyaksikan keributan mereka tanpa berniat ikut campur. Lagipula keduanya asik dalam dunia sendiri. Di sisi lain Altheo terlihat mencuri-curi pandang pada sosok di samping mejanya.

"Tapi apa yang di katakan Lamia memang benar." Gadis berponi yang kini bicara. Ia meraih ujung rambutnya yang di kepang dan menaruhnya di pundak kiri.

"Tiara ini mulutnya saja yang manis, sebenarnya dia benar benar hanya suka pada wajahmu saja. Tak ada niatan mendekatimu." Tunjuknya dengan mata yang memicing seperti menghasut.

"Devina! Kau sejak kapan ikut-ikutan mereka menyudutkanku?" Wajah Tiara berkerut kesal. Teman temannya yang lain tertawa puas karenanya.

"Sudah-sudah ..." Altheo menjadi merasa harus menengahi keributan itu. Mereka terlalu lama berbasa-basi padanya.

"Aku tak akan tergoda wajah cantik Tiara, kok," candanya. Empat orang yang mengelilingi meja lantas tertawa lagi. Mereka tak menyangka Altheo ternyata orang yang seru.

"Eh sudah lama ya kita di sini?" Devina bertanya terkejut. Saat melihat sekitar kelas telah kosong melompong.

"Astaga, kalau begitu kita duluan ya Altheo." Tiara buru buru berdiri dari duduknya. Dia dan ketiga temannya berjalan keluar kelas beriringan setelah pamitan lewat tatapan pada Altheo. Keadaan lebih tenang sekarang, Altheo menghembuskan napas yang panjang, seluruh keramahan di wajahnya hilang tergantikan raut datar. Arah mata Altheo tiba-tiba terhenti tepat pada siswi di samping mejanya.

Sejak tadi pagi sampai sekarang gadis itu masih setia tertidur. Entah tertidur betulan atau hanya menyembunyikan wajah saja, seolah berada di alam lain dia bahkan tak berganti posisi dari awal Altheo melihat. Dengan yakin pemuda itu berdiri lalu beralih duduk di meja yang ada di depan gadis ini.

"Permisi ...." sapanya.

"Halo?" Tangan Altheo menepuk pelan bahu itu, dia tersenyum tipis saat melihat tak ada respon apapun. Bel istirahat sudah lama berbunyi, bahkan semua murid di kelas ini telah pergi menikmati waktu luang mereka--terkcuali mereka berdua--Namun meski telah beranjak lama, Altheo masih belum melihat tanda-tanda kehidupan pada gadis ini. Saat melihat dari posisi yang dekat, Altheo baru bisa melihat setengah wajahnya yang tertutup rambut. Matanya yang lentik terpejam damai, bibir tipis dan kulit yang putih pucat. Tanpa sadar dia menjadi sibuk sendiri memandangi wajah orang asing ini, sampai lupa sudah seberapa lama melakukannya.

"Eh? Kau kenapa duduk di kursiku?" Seseorang tiba-tiba datang dan menepuk Altheo. Dia spontan menatap ke arah samping kiri dan tertegun.

"Boleh tidak aku menumpang duduk di sini? Hanya sebentar, kok," pintanya. Kalau tak salah pemuda yang duduk di depan gadis yang seperti putri tidur ini bernama Adnan.

"Aduh, mau apa?" Adnan tiba-tiba ikut mendudukan diri di kursi yang ada di samping mejanya sendiri, tempat yang tadi diduduki Tiara, meja di depan Altheo. Altheo hanya menatap heran, kenapa pemuda ini malah mengajaknya bicara?

"Karena dia?" Adnan menunjuk gadis tadi. Samar-samar Altheo mengangguk.

"Iya, kasian dia, saat pembelajaran tadi tak sadar, sekarang saat istirahat pun masih tidur. Apa tak apa bila begitu?" Adnan tertawa kecil.

"Aku tahu Gilsa memang cantik, rupa wajahnya bahkan lebih polos dan rapuh daripada anak kecil."

Altheo termenung sesaat.

Namanya Gilsa ternyata.

"Tapi tak usah kau pikirkan. Justru akan lebih bermasalah kalau dia bangun." Adnan tiba-tiba berdiri dari duduknya, kemudian memutar arah ke depan papan tulis.

"Aku pergi dulu."

"Aneh, bukankah kasihan kalau dibiarkan?"

"Kau kasihan pada siapa?" Altheo secepat kilat menatap kearah samping kirinya saat suara itu terdengar. Wajahnya menatap sumringah Gilsa yang terbangun dan sedang meregangkan tubuh.  Tatapan keduanya bertemu, wajah bantal Gilsa terlihat jelas di mata Altheo. Manik cokelat yang redup, serta bulu matanya yang letik. Tanpa sadar Altheo menatap terlalu lama wajah tersebut.

"Kau pegal?" tanyanya saat melihat Gilsa menunduk dengan tangannya yang menyentuh tengkuknya sendiri. Rambut pendek gadis tersebut tampak jatuh dan menutupi wajah mungilnya.

"Knapa? Mau memijatku?" ketus Gilsa. Altheo mencebik pelan. Gilsa menguap lebar di sela-sela pembicaraan mereka.

"Kalau tahu tak bisa, lebih baik tutup mulutmu," ujarnya dengan suara yang serak. Matanya bahkan masih setengah tertutup. Altheo tersenyum tipis, dia sedikit menahan kekehan melihat tingkah Gilsa. Pemuda itu kemudian berdiri dari duduknya, dan berjalan kearah belakang meja Gilsa tanpa bicara.

"Mau apa kau?" tuduh Gilsa mengikuti arah pergi pemuda tersebut. Seketika mata sayu Gilsa melebar saat Altheo menyentuh lehernya.

"Hey! Apa-apaan?!" Gilsa langsung menepis tangan Altheo kencang-kencang dan berdiri tegak.

"Brengsek!" Dorongan yang cukup kencang Gilsa layangkan pada bahu Altheo hingga membuat meja dan kursi berderit, dan Altheo melangkah mundur.

"Kenapa? Ini." Tangan Altheo terangkat. Di jarinya menggantung sebuah ikat rambut berwarna hitam.

"Rambutmu pendek, akan lebih nyaman kalau pakai ini." Gilsa terdiam, amarahnya hilang seketika. Tanpa kata tangannya mengambil benda di tangan Altheo. Lalu dengan langkah cepat dia berjalan tergesa keluar kelas.

"Makasih."

"Apa?" Altheo berbalik untuk melihat punggung gadis itu, dia masih tak mempercayai ucapan lirih yang melewati dirinya tadi.

"Katalan lagi! Dengan lebih tulus harusnya!"

Dia yang dibenci Semua Orang

Sembari melewati koridor sekolah, Gilsa mengigit ikat rambut yang diberikan Altheo tadi dan membawa rambut pendeknya berkumpul menggunakan kedua tangan. Gadis itu berjalan cepat saat menatap seksama sekitar tempatnya berjalan. Rambutnya telah terikat rapi. Poni depannya yang menutupi kening Gilsa rapikan dengan jari. Tak lama langkahnya terhenti di depan sebuah pintu berwarna hitam.

Dengan palang bertuliskan Ruang Guru di atas pintu.

Gilsa membuka pintu dan masuk dengan masih menggunakan langkah cepat. Tatapan serentak sontak datang dari orang-orang yang berada di dalam. Semuanya adalah mereka yang memakai seragam dinas dan name tag bergelar pendidikan. Gadis itu melihat satu persatu wajah, dimana di sana ada tatapan ramah dan senyum yang membuatnya sesak.

"Gilsa, ada apa Nak?"

"Mau ambil modul? Atau ketemu Ibu?"

Gilsa tersenyum kecut. "Saya ingin bertanya siapa yang mengajar periode pertama di kelas saya."

Seorang guru tertawa. Dia berdiri dan menghampiri Gilsa.

"Masuk dulu sini, kamu belum makan kan? Kita obrolin sambil makan siang, bagaimana?"

"Tidak usah, saya hanya ingin bertemu guru yang mengajar kelas saya." Gilsa menolak dan memaksa guru itu untuk mundur menatap rekan-rekannya kembali. Beberapa orang menjawab lewat tatapan untuk menyerah sembari menggeleng.

"Bisa Ibu, Bapak, menjawabnya untuk saya?" Gilsa mengulang pertanyaannya sekali lagi.

Raut muka semua orang di dalam ruangan itu berubah serius. Dua guru laki-laki kembali melanjutkan kegiatan awal mereka bermain ponsel. Sedangkan di sisi lain seorang guru wanita kembali membuka dokumen di atas mejanya.

"Tadi pelajaran pertama di kelas kamu diisi Bu Teressa, kamu bisa menemui dia di ruang tata usaha," jawab salah seorang yang memegang botol minum. Gilsa mengangguk, dia tersenyum lalu berbalik.

"Terimakasih." Lalu pergi dari sana.

"Benar-benar deh ...." Salah seorang lelaki yang tadi bermain ponsel membuka suara.

"Orang kaya semuanya kurang ajar."

•••

"Lihat tuh, aset sekolah." Tiara menunjuk pintu Ruang Guru dimana Gilsa menghilang dengan dagunya. Dia terkekeh geli.

"Wah, beda ya kalau anak titipan. Keluar masuk Ruang Guru sudah seperti akses masuk toilet." Devina ikut mencibir. Bukan hanya mereka yang merupakan teman sekelas Gilsa, hampir seluruh murid juga tahu rahasia umum soal perlakuan khusus yang gadis itu dapatkan. Dia bisa mengikuti pembelajaran seenaknya, dan meskipun begitu dia tetap mendapat nilai bagus sampai bisa masuk peringkat teratas.

"Dia tiap hari kan gitu?"

"Bukan lagi, mana pernah dia belajar di kelas? Dia dikasih bimbingan khusus sama tiap guru."

Caroline mendengus. "Bukankah lebih bagus dia Home Schooling saja?"

Tiara menepuk temannya itu lalu duduk. Mereka sedang ada di halaman sekolah saat ini, dan duduk di kursi taman.

"Itu syndrome orang kaya, mereka kan suka cari perhatian."

"Sekelas dengan Gilsa adalah kutukan, kita sial tahun ini. Kalau saja dia bersikap jujur posisi peringkat di kelas pasti bisa saling mengejar kan?" Lamia menatap teman-temannya dengan raut kesal. Rumor soal itu sudah beredar sejak kelas 10, bahwa Gilsa memakai kekuatan orang tuanya untuk bersekolah di sini. Karena itu ketika tahun pertama dia mendapatkan rangking pertama dan juara umum, bahkan dengan rumor dia selalu bermalas-malasan di kelas.

"Dia mungkin diberi kunci jawaban atau cuci nilai, tahun ini kalau dia menang lagi. Kita harus protes."

"Protes ke siapa? Memang kita akan didengar?"

Mereka terdiam.

"Kalian tahu sendiri orang yang pernah mencoba melakukannya malah didisiplinkan sampai mendapat skorsing."

"Aku harap dia mati saja."

•••

Altheo mengetuk-ngetuk ujung pensilnya pada meja sembari memangku tangan memperhatikan deretan angka di papan tulis. Mata sayunya meredup, begitu serius memperhatikan penjelasan guru matematika di depan kelas.

"Matriks baris adalah matriks yang terdiri atas satu baris saja. Biasanya, ordo matriks seperti ini adalah 1 × n, dengan n banyak kolom pada matriks tersebut." Guru tersebut menunjuk papan tulis menggunakan pena ditangannya.

"Hei!" Sebuah gumpalan kertas tiba-tiba jatuh menimpa Altheo. Pemuda itu menatap ke arah samping kanannya dengan tatapan risih. Di sana adalah meja Kailo dan Prima, teman laki-lakinya itu sedang melamun menatap kertas, sedangkan sosok di depan mejanya menatap Altheo dengan sorot mencurigakan.

"Apa?" Altheo bertanya pada Prima. Tak lama gadis itu mencondongkan tubuhnya ke belakang, sehingga orang yang tertutupi tubuhnya terlihat Altheo.

"Oh?" Altheo mulai paham, dia bertanya dengan raut mimik tak suka pada orang di samping Prima itu.

"Kenapa?" 

"Maaf, aku salah sasaran," katanya.

"Lempar lagi padaku!" Lelaki itu kembali berkata tanpa suara. Altheo tak mengacuhkannya. Alih-alih melempar balik, Altheo melihat gumpalan kertas tadi lalu membukanya.

Kau suka tebak-tebakan bukan? 

Ayo tebak tahun ini aku berharap apa di hari ulang tahunmu?

Benar, kau pintar sekali.

Kuharap kau binasa saja, dasar sampah!

Enyah kau, Gilsa!

Sorot serius Altheo sirna tergantikan rasa terkejut yang ketara. Mendadak pemuda itu menatap kearah Gilsa yang duduk di samping kirinya. Gadis yang dihina itu justru tengah menidurkan diri di atas meja sembari memainkan bolpoin. Kertas di tangannya kembali Altheo remas kuat-kuat sampai tak berbentuk. Matanya meredup. Segera tanpa aba-aba dia melempar kertas tak berbentuk itu, tepat mengenai wajah lelaki yang menulis surat ini.

"Aw!" Suara mengeluh terdengar sampai ke seisi kelas. Mendadak suara Pak Arta yang sedang menjelaskan pun hilang dan para murid serentak menatap ke arah samping kanan. 

"Kenapa Genan?" tanya Pak Arta. Di tempatnya Altheo tersenyum kecil melihat pemuda itu gelagapan.

Pak Arta menatap tajam Genan yang tak berkutik. Matanya langsung jatuh ke lantai, melihat sebuah gumpalan kertas cukup besar tergeletak di sana.

"Siapa yang melemparkan ini?" Suara Pak Arta menggema.  Tanpa menunggu diadukan, Altheo mengangkat tangannya seolah itu sesi tanya jawab.

"Saya!" serunya. Dengan tak lupa senyum kecil yang menghiasi. Hampir sebagian murid menampilkan wajah terkejut. Bahkan Gilsa menegakan tubuh dan menaruh perhatian padanya, menyaksikan drama singkat mereka sembari menopang dagu.

"Untuk apa kamu melempar kertas? Seperti anak kecil saja."

Senyum Altheo memudar. "Bapak buka saja isi kertasnya."

Pak Arta menatap tajam Altheo, matanya memicing. Dengan raut enggan dia mulai membuka gulungan kertas itu, tiba-tiba dua buah penghapus besar berwarna hitam dan putih jatuh lalu berguling di atas lantai. Sebagai korban, Genan sedikit terkejut. Pantas saja sakit.

Gulungan kertas telah terbuka lebar. Pak Arta melihat apa yang tertulis di dalamnya dan membaca tulisan itu dalam diam. Kemudian tanpa berkata apa-apa dia melipat kertas itu dan berbalik ke arah papan tulis.

"Bapak!" Tiba-tiba Altheo memanggilnya. "Anda kenapa malah kembali mengajar?"

"Lalu, saya harus bagaimana?" Pak Arta bertanya skeptis.

"Buktinya sendiri ada di tangan Bapak, apa tidak ada sanksi sekecil apapun untuk pelaku tindak pembullyan?" Kini seisi kelas menatap serentak Altheo, mereka langsung berbisik ribut. Bahkan Gilsa tampak terkejut mendengar perkataan itu. Gadis itu tahu satu hal tentang kelas ini. Satu-satunya orang yang diasingkan di sini, hanyalah dirinya.

"Apa ini bullyan bagi kamu?"

"Iya, apa menurut Bapak itu bukan?"

Pak Arta menggertakan gigi gerahamnya, dia membenarkan letak kacamatanya lalu kembali berjalan ke meja belakang.

"Bukannya ini lumrah di generasi kalian? Saya sering melihat bercandaan anak muda sekarang memang kasar dan kurang ajar. Lagipula barusan kamu melempar kertas berisi penghapus kan pada Genan?" Pak Arta menggenggam kertasnya sampai remuk dan kemudian dia jatuhkan di meja Altheo.

Altheo tampak bergeming melihat kertas itu. Tak lama pandangannya kembali terangkat menatap Pak Arta, pandangan yang lurus dan tajam. Untuk sekejap Pak Arta tersentak melihatnya, selama ini tak ada seorang murid pun yang berani menatapnya setajam ini.

"Apa kamu? Sopan kamu--"

Tiba-tiba saja tawa kecil lolos dari bibir Altheo dan memutus perkataan itu. Dia tersenyum dengan lebar. Namun entah kenapa Pak Arta tak bisa menemukan kehangatan dari wajah ceria itu.

"Saya sudah lihat isinya, apa Bapak mau saya bacakan di depan kelas?" Pemuda itu bertanya dengan nada riang. Melihatnya mata Pak Arta menjadi memicing dan menatap mencemooh, tapi itu tak membuat Altheo gentar.

"Kau suka main tebak-tebakan kan?" Altheo meninggikan nada suaranya. "Kalau begitu ayo tebak-"

"Cukup." Pak Arta langsung memotong ucapan itu.

"Genan, karena hal ini, absensi kamu hari ini alfa di mata pelajaran saya," ujarnya terburu-buru. Semua murid yang menyaksikan ini tercengang, tetapi reaksi paling heboh adalah Genan yang kini berdiri tak terima. 

"Lho, kenapa sampai seperti itu Pak?! Saya tidak terima."

"Aku juga." Altheo kembali menyahut datar. Pak Arta sendiri belum beranjak dari posisinya, dia semakin menaruh atensi penuh pada Altheo.

"Apa lagi mau kamu?"

"Itu terlalu ringan," tambahnya.

"Iya--eh apa? Hei berisik kamu, Altheo!"

Tangan dan tatapan Pak Arta tertuju menunjuk Genan. "Diam kamu."

 

Sejak di bangku sekolah Pak Arta begitu mengagumi posisi dan jabatan seorang Guru, dan sekarang sebagai seorang Guru, Pak Arta percaya dirinya adalah panutan bagi para muridnya. Wibawanya jauh di atas kekuasaan itu sendiri, dia seperti utusan tuhan dalam bentuk manusia yang memberikan pengetahuan tak terbatas. Namun, jika sosok sehebat itu terlihat mengabaikan tindakan salah, dan itupun ditemukan oleh murid didikannya sendiri. Wibawanya jelas tak akan ada nilainya.

Menyadari itu, perasaannya bergejolak antara kesal dan terhina.

Pak Arta kembali menatap Altheo.

"Saya tanya, apa mau kamu?" Pak Arta bertanya sedikit emosi.

"Dia harus masuk ruang BK dan didisiplinkan." Altheo tak ragu sedikitpun ketika menjawabnya.

"Apa?!" Genan memekik. "Altheo tutup mulutmu sekarang! Kau berlebihan, sungguh!"

Disisi lain Pak Arta terdiam, terlihat seperti sedang menimang. Dia kemudian berbalik arah ke arah papan tulis tanpa melihat Altheo lagi.

"Pak saya tidak melakukan pembullyan apapun. Dia hanya melebih-lebihkan, apa ini masuk akal?"

"Baik." Ucapan itu mengejutkan semua orang.

"Wah beneran."

"Gila, Altheo."

Sampai tiba-tiba bel tanda pelajaran berakhir terdengar.

"Pak! Jangan seperti ini, apa Bapak percaya dengan omong kosong dia?" Genan masih sibuk membantah meski tak ada siapapun yang mendengarnya. Pak Arta membereskan buku dan laptop, meski perseteruan antara Genan dan Altheo belum berakhir.

"Sudah, kalian selesaikan di ruang BK. Saya pergi dulu, minggu depan kita bahas ulang materi ini lagi." 

Bahkan perkataan Pak Arta tak lebih mengejutkan mereka dibanding drama yang baru saja terjadi. Semua orang masih terfokus pada Altheo yang menekan seorang Guru sekelas Pak Arta. Guru yang dikenal keras kepala, yang tak akan berubah pikiran walau bumi akan kiamat esok hari. Itu julukannya yang paling populer.

"Brengsek! Punya masalah apa kau denganku hah?!" Genan kembali murka sesaat setelah Pak Arta membawa barang-barangnya dan keluar kelas. Dia berdiri dan menggebrak mejanya dengan kencang. Murid murid yang lain pun ikut bergaduh bahkan ada yang keluar meja dan menghampiri keduanya untuk melerai. 

"Ge, jangan emosi dulu."

"Diem!"

"Kau bicara padaku? Bukannya kau yang bermasalah?" Dengan senyum lebar Altheo balik bertanya. Sontak saja amarah Genan semakin membuncah melihatnya.

"Jangan pura-pura bodoh Altheo!" Genan memelotot hingga pupil matanya bergetar. Tangannya menunjuk kasar Altheo yang jauh di seberang sana. Sekali lihat pun jelas terpampang urat-urat menonjol dirahangnya. Salah seorang temannya yang duduk di belakang Genan berdiri untuk menghalangi pemuda itu dari Altheo.

"Aku harus apa ya? Apa aku balas saja? Atau diam dan biarkan dia mengamuk? Ah sial, masalahnya dia kelihatan kuat." Altheo juga berdiri, dengan batinnya yang mengoceh kepanikan. Walau tampak tenang, dia juga bingung harus bagaimana memperbaiki situasi ini. Cukup kacau rupanya.

"Bedebah sialan! Kenapa kau diam saja? Kau tak tahu siapa aku hah?!" Genan kembali berteriak. Untung saja guru mata pelajaran selanjutnya belum sampai ke kelas.

"Kubunuh kau! Kuhabisi kau, brengsek!"

Seisi kelas memekik. Para anak lelaki langsung menghampiri Genan dan menahannya dengan sekuat tenaga.

"Tahan bodoh! Kau mau masuk ruang konseling karena dua perkara?!" teriak seseorang yang menahan Genan.

"Iya, dasar bodoh!"

"Sansinya akan lebih parah kalau kau yang memukul duluan. Tenang sedikit brengsek!"

Genan masih melancarkan tatapan marah pada Altheo. Lelaki dengan kepribadian angkuh itu jelas murka besar seseorang merendahkan dirinya sampai seperti ini. Namun kembali lagi pada kenyataan, jika sampai mereka berdua masuk ruang konseling karena keributan ini, dia yang justru akan kena sanksi, bukannya Altheo.

"Lepas!" Genan menghentak tangan-tangan yang menahan dirinya lalu beranjak pergi dengan langkah cepat. Altheo yang melihat punggungnya menghilang samar-samar menghembuskan napas lega. Beberapa orang mendadak langsung mengerubungi Altheo dan membentuk sebuah lingkaran. Meski Genan itu anak puber yang memiliki gengsi tinggi, dia bukanlah sosok yang bisa dideskripsikan dengan kata hanya.

"Mendadak aku merasa sudah salah bertindak tadi," ucapnya dalam hati. Altheo tersenyum kecut. Dia menggaruk pipinya dengan raut tegang.

"Kau tadi kenapa bisa begitu?"

"Iya, apa kau yang Genan bully?"

"Berani sekali, astaga!"

"Kau pasti tak tahu siapa itu Genan kan makanya berani?!!"

"Astaga Altheo bodoh! Genan itu pentolan anak kelas sebelas tahu!"

Senyum Altheo semakin mengecil menanggapinya.

"Ah ... itu, tadi aku reflek," ucapnya menyangkal. 

"Dia salah melempar, dan kena padaku. Jadi aku marah," tambahnya lagi.

"Hah? Memangnya siapa target Genan?"

"Apa Gilsa?" Suara yang berbisik itu seketika membuat orang-orang bergeming. Tatapan tajam yang tersirat rasa benci terarah menuju Altheo, dengan sorot bagai tatapan segerombolan serigala liar. Mengerikan, membuat suasana berubah canggung. Disaat yang sama, Gilsa yang duduk di samping Altheo dapat mendengar dan melihatnya dengan jelas. Namun gadis itu pura-pura tak tahu.

"Sudah pasti aku," batinnya.

"Oh bukan kok, itu Prima." Jawaban enteng Altheo seketika membuat ketegangan terhempas. Namun menghasilkan raut terkejut dari dua orang yang tak mengelilingi meja Altheo. Di antara mereka ada yang langsung terkekeh dan ada pula yang menghela napas atau tersenyum geli. Suasana canggung mencair begitu saja seolah tak pernah ada.

"Tentu saja ya, akan aneh kalau kau membantu Gilsa."

"Benar, Gilsa kan aneh."

"Hah?" Gilsa dan Prima yang mendengar diam-diam jawaban pemuda itu, tanpa sadar mengarahkan tatapannya pada Altheo. Tak lama mereka kembali menyibukan diri seolah tak mendengar ucapan itu.

Tawa beriringan kembali terdengar.

"Hah, aku kira wanita sinting itu, kalau iya aku tak akan sudi lagi bicara denganmu. Bisa bisanya kau menolong iblis seperti Gilsa, Altheo." Seseorang berucap demikian sembari melirik Gilsa dengan tatapan memicing. Gilsa sendiri masih anteng dan membalasnya melalui sorot dingin dan tak acuh. Tampak tak gentar sedikitpun. Karena tak ada respon sosok itu mendecih lalu membuang muka.

"Benar, aku pun." Seseorang menimpali lagi sambil tertawa kecil. "Menjijikan sekali harus merasa simpatik dengan wanita sialan itu."

Altheo tertawa dalam benaknya. "Mereka bodoh atau memang pura-pura tak tahu? Jarak meja kami kan jauh, mana mungkin Genan salah lempar sempai sejauh ini?"

"Eh tapi korbannya kan Prima! Dia juga yang tahun lalu sempat jadi korban Gilsa kan?" Semua orang tersentak akan ucapan Lamia.

"Astaga!" Semua tatapan mata beralih pada Prima yang sedang membaca buku di kursinya. Mereka menatap gadis itu dengan kasihan. Namun Prima yang merasakan tatapan itu hanya menoleh dan menampakan wajah bingung seolah berkata, 'kenapa melihatku?'

Altheo tersenyum maaf diantara orang-orang itu. Sedangkan Gilsa membuang muka ke arah jendela di sisi lain Altheo dengan wajah suram.

"Korban?" Gilsa menatap sendu langit di balik kaca jendela. "Benarkah?"

"Sabar ya, apalagi Genan duduknya gak jauh dari kamu."

Wajah Prima berubah bertanya-tanya mendengar percakapan teman teman sekelasnya yang semakin aneh.

"Iya, dasar jahat, kamu pasti menderita selama ini."

Prima mengerjap bingung. "Tunggu, kalian ini kenapa jadi sok akrab begini?!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!