Agam, Bagas, dan Daren, dengan wajah kesal, berjalan meninggalkan rumah bak istana setelah mendengar ucapan Eko Barata, ayah mereka. Masing-masing menggunakan mobil kesayangan mereka yang bernilai fantastis, melaju begitu kencang.
Mereka menuju landasan udara dan menaiki jet pribadi menuju pulau terpencil. Mereka harus melakukan penerbangan selama tiga jam, dan menunggu dengan sangat bosan.
Agam, anak tertua dengan karakter yang dingin, pendiam, dan tegas, sangat cocok dengan paduan jas hitam yang dikenakannya. Dia hanya duduk membaca laporan yang ada di iPad-nya. Dia adalah CEO dari Barata Corp.
Bagas, seorang dokter, tengah serius membaca buku medis di tangannya, sedangkan Daren, seorang selebgram dan penyanyi pendatang baru, sibuk membuka media sosial dan membaca ribuan komentar rayuan dari penggemarnya.
Daren, yang lebih muda dan ceria, memulai perbincangan dengan kedua kakaknya yang sedari tadi menampilkan ekspresi wajah serius.
"Apa hebatnya gadis itu, hingga kita bertiga harus menjadi kandidat suaminya? Dan juga, kenapa dia yang memilih kita bertiga? Papa memang aneh."
Agam dan Bagas hanya diam saja.
"Kakak, kalian tidak takut jika salah satu di antara kalian dipilih sebagai calon suaminya?"
"Yang pasti dia tidak akan memilihku. Karena aku akan menjelaskan berapa banyak kuman dan kotoran yang ada di tubuhnya. Dia hanya gadis kampung yang Papa jadikan tantangan untuk kita," timpal Bagas.
Agam, yang sejak tadi diam saja, melirik jam di pergelangan tangannya dan menghela napas kasar.
"Waktunya sudah tiba. Ayo cepat."
Mereka semua turun dari jet pribadi dengan gaya yang memukau seperti biasa, mengenakan kacamata hitam di hidung mereka.
"Kenapa kau memakai itu?" Tanya Bagas.
"Masker ini bukan hanya melindungi wajah dari debu tapi juga untuk fansku di kampung, nanti mereka bisa menerjangku," jelas Daren.
"Kau benar. Di sana banyak debu," timpal Bagas.
Agam bergegas memasuki mobil keluaran Mitsubishi. Mereka bertiga akhirnya memasuki kampung. Melihat kedatangan mobil di kampung, penduduk berkerumun dan mengikuti arah mobil tersebut.
Tidak berselang lama, mereka bertiga turun, membuat penduduk kampung saling berbisik. Tidak ada yang mengenal mereka.
Salah satu penduduk kampung mendekat.
"Kalian mencari siapa?"
Daren, yang berbalik karena pria paruh baya tersebut tepat di belakangnya, tiba-tiba menggelidik. Dia pikir pria paruh baya tersebut salah satu penggemarnya.
"Maaf, kali ini saya tidak bisa memberikan tanda tangan, saya sedang dalam misi," ucap Daren dengan cepat melangkah dan berdiri di sebelah Bagas.
Pria paruh baya tersebut hanya bingung dengan tanggapan Daren. Dia benar-benar tidak mengenal Daren, walau Daren seorang selebgram atau penyanyi terkenal di ibu kota.
Daren melirik ke sopir pribadi keluarganya untuk segera mencari tahu di mana rumah Lily berada. Sopir tersebut berbisik dan segera mengarahkan jalan kepada mereka bertiga.
Wajah Daren terlihat sangat kesal karena harus memasuki lorong becek yang membuat sepatunya kotor terkena lumpur. Dia mengeluh sepanjang jalan. Tiba-tiba mereka tiba di sebuah gubuk sederhana. Sopir mereka mendekati gubuk tersebut.
Tok... Tok... Tok...
"Aduh, kenapa dia lama sekali. Apa yang dia lakukan?" gumam Daren.
Bagas mengeluarkan hand sanitizer spray dan menyemprotkannya ke tangan berulang kali.
"Kita akan lihat. Seperti apa dia. Di sini panas dan kotor. Kalau bukan karena Papa tidak ingin minum obat penurun tekanan darah, aku tidak akan mengikuti ucapannya," jelas Bagas.
Agam kemudian menghela napas.
"Ketuk lagi," ucap Agam dingin.
Sopir tersebut mengangguk dan mengetuk pintu rumah kayu tersebut. Tiba-tiba pintu terbuka dan terlihat seorang gadis berkulit putih, dengan rambut hitam pekat panjang yang diikat dengan pita di ujungnya.
Baju yang dikenakannya sederhana, bahkan sama dengan warga setempat. Perpaduan warnanya tidak mencolok. Wajahnya terlihat alami, tanpa polesan make-up sedikit pun.
Sepersekian detik mereka mengagumi wanita di hadapannya, tapi mengingat kembali bahwa dia adalah wanita kampung yang membuat ayah mereka memberikan syarat untuk mendapatkan hak waris, mereka kembali ke setelan semula.
"Kau Lily, kan?" Tanya Daren.
"Iya. Tunggu, aku kemasi barang dulu," jawabnya sambil tersenyum tipis.
Daren berbalik dan tersenyum sinis ke arah kakak-kakaknya.
"Kenapa foto yang diperlihatkan berbeda dengan Lily yang tadi? Di dalam foto dia begitu jelek dan..."
"Kenapa? Kau suka? Kalau begitu kau saja yang menikah dengannya," timpal Bagas.
"Tidak! Aku tidak menyukainya sama sekali. Apa gunanya cantik, dia tetaplah gadis kampung," timpal Daren cepat.
Lily, yang keluar membawa tasnya, mendengar percakapan itu. Senyum tipisnya kembali terlihat. Dia berjalan dengan tegap dan melewati mereka bertiga, tapi sebelum itu dia melirik sinis ke arah Daren.
"Tenang saja, aku juga tidak menyukai bocah sepertimu!"
Daren mendengar itu sangat geram. Dia mengepalkan tangannya. Dan ingin membalas ucapan Lily, tapi Agam menarik pundak Daren dan menggelengkan kepalanya.
Mereka bertiga akhirnya berjalan dan mengikuti langkah Lily. Dia terlihat duduk di depan, bersebelahan dengan sopir pribadi ketiga tuan muda tersebut. Lily menatap lurus ke depan, tanpa menoleh sedikit pun. Wajahnya datar dan sangat mencurigakan.
Dia terlihat begitu tenang. Bahkan di saat dia tidak tahu, akan dibawa ke mana dan apa yang akan terjadi dengan hidupnya.
Tidak mudah masuk ke dalam lingkar kehidupan konglomerat dengan berbagai konflik. Misi Eko Barata memang aneh, dan siapa Lily? Apa hubungan tuan Eko Barata dengannya hingga dia memaksa salah satu dari ketiga putranya untuk bisa menaklukkannya?
Sepanjang perjalanan hingga menaiki jet pribadi, Lily terlihat biasa saja. Dia bahkan terlihat cuek dan sesekali melirik tajam ke arah Daren yang berbisik mencelanya, suaranya cukup keras hingga terdengar oleh Lily.
"Kakak, sepertinya dia memiliki rencana sendiri. Gadis kampung itu bahkan tidak begitu gembira melihat kita bertiga. Terutama aku? Aku seorang penyanyi terkenal. Tidak mungkin dia tidak mengenalku," jelas Daren.
Bagas menghela napas dan memukul pundak Daren, memintanya berhenti menatap Lily dan menilai semua aktivitasnya.
Bagas sebenarnya juga penasaran. Ini pertama kalinya dia melihat seorang gadis yang tidak bahagia menaiki jet pribadi dan mendapatkan pelayanan ekstra.
Selain itu, pemandangan luar biasa dan fasilitas mewah terlihat biasa saja di matanya.
"Siapa dia sebenarnya? Apakah benar dia tidak memandang seseorang dari kekayaan? Atau dia hanya menahan diri? Atau sebenarnya dia memiliki rencana sendiri? Bagaimana bisa dia mengabaikan Papa?" Batin Bagas.
Agam yang sedari tadi diam dengan wajah datarnya tidak menunjukkan ekspresi apapun. Tak ada yang bisa menebak isi pikirannya, bahkan Lily tidak tampak tertarik untuk memikirkan pria yang terlihat dingin itu.
...----------------...
Kediaman Eko Barata.
Rumah megah berdiri di tengah lahan luas dikelilingi taman hijau rapi. Dinding-dindingnya dari marmer putih memantulkan sinar matahari sehingga rumah itu tampak bersinar. Gerbang utama yang tinggi dan kokoh, dari besi berornamen artistik, terbuka lebar menyambut kedatangan ketiga tuan muda dan satu wajah asing bersama mereka.
Seperti biasa, kedatangan mereka disambut oleh para pelayan berseragam hitam putih yang berdiri rapi.
"Selamat datang, Tuan Muda," ucap mereka serentak.
Mereka berjalan menuju pintu utama berbentuk lengkung besar dengan ukiran rumit di sekelilingnya. Begitu melangkah masuk, mereka disambut oleh lobi luas dengan lantai marmer mengkilap dan chandelier kristal besar yang menggantung di langit-langit.
Ruang tamu di sebelah kanan lobi memiliki jendela besar, sofa mewah berlapis kulit, dan karpet Persia lembut. Sebuah grand piano berdiri di sudut ruangan. Di sana, seorang wanita paruh baya duduk dengan anggun menyilangkan kakinya, menenteng cangkir dan menyeruput teh.
Ketiga tuan muda itu berjalan dan duduk di sebelah wanita tersebut.
Nyonya Helsi, istri Eko Barata, sangat marah mendengar syarat suaminya untuk ketiga puteranya. Memiliki menantu adalah keinginan setiap orang tua, tapi bagaimana dengan kriteria calon menantu Nyonya Helsi sendiri?
Dia yang memiliki strata sosial tinggi, berkelas, dan berpendidikan harus seimbang dengan kekayaan Barata Corp.
Nyonya Helsi menatap tajam Lily. Bekas lumpur di lantai menjadi tanda rendahnya kasta Lily di mata Nyonya Helsi.
"Pak Edi, buka tas bawaannya dan periksa isinya. Jangan biarkan orang kampung ini membawa barang kotor ke dalam rumah keluarga Barata," perintah Nyonya Helsi.
Edi, supir keluarga Barata sejak lama, segera menganggukkan kepala dan mencoba menarik tas dari tangan Lily.
"Jangan berani menyentuh barangku!" Ucap Lily dengan wajah sinis.
Nyonya Helsi berjalan ke arah Lily dengan mata tajam melirik dari ujung kepala hingga kaki.
"Aku ingin tahu apa isi tas yang kau bawa itu, sehingga kau melarangku membukanya."
Pak Edi kembali menarik tas tersebut dan terjadilah adegan tarik-menarik di hadapan Nyonya Helsi.
"Ada apa ini?"
Semua pandangan tertuju pada sumber suara. Eko Barata memasuki ruangan bersama dua sekretarisnya. Dia sangat geram melihat Edi menarik tas Lily. Tiga tuan muda yang sedari tadi menjadi penonton kini mendekat.
"Lily baru sampai di rumah, begini cara kalian menyambutnya?!" Ucap Eko Barata.
"Selain Papa, tidak ada yang menyukai gadis kampung ini di sini!"
Dengan penuh amarah, Helsi meninggalkan tempat tersebut, mengabaikan suaminya. Eko merasa bersalah kepada Lily, terlihat gugup dan menjelaskan bahwa Helsi hanya salah paham.
Lily mengangguk dan masih terdiam.
Eko Barata melihat ketiga puteranya dan menjelaskan bahwa mereka wajib menghabiskan waktu bersama Lily. Memperlakukan dia dengan baik dan mengenalnya.
"Lily yang akan memilih salah satu dari kalian untuk menjadi calon suami yang dia suka!"
Daren segera menolak ucapan Eko Barata, mengatakan bahwa waktunya habis dengan banyak kegiatan.
"Terlebih lagi dua hari ini, aku akan ada jumpa fans, latihan dance, dan juga..."
"Jadwal operasiku juga penuh dalam beberapa hari ke depan. Aku sibuk," potong Bagas.
"Gam, bagaimana denganmu?" Tanya Eko Barata.
"Belum pasti, Pa."
Eko Barata hanya menghela napas pelan. Dia meminta Lily untuk beristirahat terlebih dulu, kemudian mengatur kegiatan ketiga puteranya agar bisa menemani Lily. Tuan Eko Barata memanggil pelayan untuk menemani Lily ke kamarnya. Dia ingin mendiskusikan pekerjaan terlebih dulu.
Lily mengangguk. Saat ingin melangkah pergi, Eko mencegatnya dan memberikan kartu hitam yang bisa digunakan untuk belanja sepuasnya.
"Kau boleh beli apapun yang kau inginkan," jelas Eko.
"Tapi Paman... maaf, aku tidak bisa menerimanya, aku..."
"Tidak usah pura-pura baik. Kau datang ke rumah kami bukankah tujuannya karena uang?" Ucap Daren sinis.
Drrrttttt
Lily meraih ponselnya dan melihat layar display.
"Bos, keuntungan perusahaan 678 Milyar sudah berhasil aku transfer ke rekening Bos."
Lily tersenyum tipis. Dia mengambil black card tersebut dan meninggalkan ruangan menuju kamarnya.
Dia merebahkan diri di kingbed, melirik setiap fasilitas dan corak dinding kamar tersebut. Mungkin bagi orang lain akan menjadi luar biasa, tapi tidak bagi Lily. Pemandangan seperti itu justru membuat matanya terasa berat dan akhirnya dia tertidur pulas.
Kediaman bak istana itu sudah terlihat sepi dalam beberapa hari. Hanya pelayan yang sibuk berseliweran di depan mata Lily. Malam hari, Lily memutuskan untuk berkunjung ke sebuah club terkenal oleh para konglomerat di sana.
Dengan gaun seadanya, heels yang tidak begitu mencolok. Lily meninggalkan kediaman Barata. Dia di jemput oleh seseorang kemudian dia pergi begitu saja.
...----------------...
Club Retro.
"Bos, berani sekali keluarga Barata menindasmu!" Ucapnya santai.
"Siapa yang berani? Coba katakan lagi," timpal Lily dengan senyum sinis.
Dia memutar-mutar wine yang berada di gelasnya. Ferdi yang mendengar itu pun ikut tersenyum, dan kembali melanjutkan diskusi dan rencana mereka.
"Benar juga, siapa yang berani mengganggu bos yang mendapatkan julukan Ratu Iblis ini HA HA HA..."
Ferdy kembali bertanya tentang pertunangan Lily dengan salah satu tuan muda keluarga Barata, tapi Lily hanya menjawabnya malas.
"Hmm, jika bukan karena wasiat terakhir Papa, aku juga tidak ingin bertunangan apa lagi menikah dengan keluarga Barata. Sekarang, aku hanya terpaksa menjalaninya," jelas Lily.
Ferdy kemudian mengangguk dan meneguk minumannya. Dia memberikan pertimbangan jika di antara ketiga putera keluarga Barata, pilihan terbaik adalah Agam.
"Dia sudah mapan, dan juga bisa diandalkan dalam urusan pekerjaan," jelas Ferdi.
"Buat apa aku pertimbangan lelaki Es seperti dia?" Timpal Lily dengan kembali meneguk wine yang berada di tangannya.
Di meja lain, sedari tadi orang tersebut memperhatikan Lily dari kejauhan. Dia meyakinkan matanya bahwa yang dia lihat di bawah sana, gadis yang sedang duduk bersama seorang pria adalah gadis kampung yang minggu lalu dijemputnya.
Tiba-tiba Reno mendekat dan memandang ke arah yang sama dimana mata Agam tertuju. Dia menawarkan segelas wine kepada Agam.
"Sangat jarang kau bisa memperhatikan seorang wanita, kau suka dia, ya?" Tanya Reno.
Agam hanya terdiam seperti biasa. Reno tersenyum meledek. Dia mengatakan bahwa selera Agam benar-benar unik jika dia tertarik dengan wanita tersebut. Gaun dan rambutnya saja, jika dibandingkan dengan pelayan di rumahnya, jauh lebih menarik dari dirinya.
"Apakah kau ingin nomor kontaknya? Aku bisa mencarinya untukmu," jelas Reno.
Ferdi terlihat meninggalkan Lily karena akan melanjutkan misinya, sedangkan Reno melihat wajah Ferdi dengan jelas, alisnya berkerut.
"Tunggu! Bukankah itu adalah wakil CEO Qwerty? Perusahaan besar yang misterius itu," ucap Reno.
Agam melirik Reno dengan rasa penasaran. Bagaimana bisa mereka kenal sedangkan Lily baru pertama kalinya menginjakkan kaki di kota tersebut.
Tiba-tiba seorang pria dengan bobot badan yang besar mendekati Lily, dia meminta Lily untuk menemaninya menghabiskan wine yang berada di botolnya. Dia menawarkan sejumlah uang agar bisa menghabiskan waktu bersama Lily.
"Aku yang akan membayar semuanya, bagaimana?"
"Tidak perlu!"
Lily kemudian meneguk habis wine yang berada di dalam gelasnya.
"Dasar wanita tidak tahu diri! Bukankah kau berdandan untuk menarik perhatian orang kaya? Aku kaya," teriak pria berbadan besar itu kepada Lily dengan emosi yang mulai tidak stabil.
Wajah Agam terlihat sedikit kesal melihat pemandangan itu, dia menggenggam erat gelas yang berada di tangannya.
"Aku tidak butuh uangmu!" Ucap Lily sinis.
"Tidak butuh? Lalu apa yang kau butuhkan? Tubuhku? HA HA HA..."
BBBRRRAAAKKKK
"Aku butuh nyawamu!" Ucap Lily kemudian berlalu dengan sinis.
Sebuah botol wine mendarat di kepala pria tersebut. Wajahnya terlihat memerah karena darah segar mengalir ke wajahnya. Dia histeris, tapi para bodyguard tempat tersebut segera menyelamatkannya.
Agam yang sedari tadi ingin memiliki niat menolong Lily, tapi langkahnya terhenti. Dia tidak menyangka, gadis kampung yang tinggal serumah dengannya saat ini, memiliki keberanian yang cukup.
"Gam. Lihat dia, lumayan keren!" Ucap Reno penuh kekaguman.
Agam masih diam mendengar ucapan Reno, matanya fokus menatap Lily yang terlihat kembali santai, melanjutkan aktifitasnya, menghabisi wine yang berada di dalam gelasnya kemudian berlalu.
...----------------...
Esok hari. Cahaya mentari memasuki ruang kamar Lily, dia masih nyenyak dalam tidurnya. Tiba-tiba untuk pertama kalinya, kamarnya terdengar suara ketukan.
Bahkan selama ini pelayan pun tidak ada yang membangunkannya. Lily menarik ponselnya dan melihat jam saat itu.
"07.30, hmm...siapa yang membangunkan aku sepagi ini," gumam Lily.
Dia bangun dari kingbednya dan meraih kimono lapisan luar piyama tidurnya yang hanya sebatas lutut. Dia membuka pintu dan melihat ada Agam di sana yang sudah siap dengan setelan kantornya seperti biasa.
"Ada apa?"
"Cepat bersiap, kau ikut aku ke kantor hari ini," ucap Agam datar.
"Hari ini?! Kenapa? Dan..."
Agam sudah melangkah pergi. Lily sedikit kesal, tapi dia yakin semuanya perintah Eko Barata. Dia kemudian segera bersiap dan meraih setelan kantor yang berada di dalam lemari kamar. Sepertinya itu sudah disediakan sebelum dia menginjakkan kaki di rumah tersebut.
Lily terlihat memukau dengan rok hitam selutut, heels hitam dan juga jas hitam, tidak lupa lipatan lengan sedikit di lengan dan kancing baju bagian leher terbuka sedikit.
Rambutnya di kuncir dan tidak lupa, kali ini kerja formal dia memoleskan sedikit pewarna di bibirnya.
"I am ready, go..." ucap Lily di depan cermin.
Dia keluar dari ruangan mencari Agam tapi sudah tidak menemukannya, dia hanya menemukan Pak Edi, supir pribadi keluarga Barata.
"Pak, di mana Agam?"
"Tuan sudah berangkat, nona muda saya yang antar, sesuai perintah tuan," jelas Pak Edi.
Lily kemudian mengangguk dan memasuki mobil. Pak Edi dengan ramah menjelaskan bahwa dalam dunia pekerja. Agam adalah sosok pimpinan yang sangat disiplin dan tegas, dia tidak pernah terlambat sedikit pun walau dia seorang CEO.
Lily hanya mengangguk dan tersenyum saat Pak Edi menunjukan keramahannya dan mendengarkan penjelasannya, walau bagaimana pun Lily tidak memiliki niat untuk bersama dengan ketiga tuan muda itu.
...----------------...
Di perusahaan Barata Corp.
Lily menuju ruangan Agam. Disepanjang jalan dia melihat aktifitas karyawan memang produktif. Semuanya bekerja dengan wajah yang serius.
Lily sudah membayangkan bagaimana tegasnya Agam bisa menghandel mereka semua.
Tok.. tok... tok....
Lily membuka pintu dan melihat Agam tengah serius membaca laporan. Dia berjalan dan duduk di kursi tepat di depan meja kebesaran Agam.
Agam menghentikan aktifitasnya dan menatap Lily.
"Aku melakukan ini karena Papaku. Aku akan menjagamu tapi jangan berharap aku bisa menyukaimu. Dan kau juga jangan sampai menyukaiku."
Lily tersenyum sinis dia berdiri dari kursinya dan mendekatkan mencondongkan tubuhnya sedikit di atas meja Agam dan wajah Lily kini terlihat jelas di mata Agam.
"Benarkah?"
"Tapi beberapa hari ini aku tertarik denganmu.."
"Kau!"
Lily tersenyum sinis, "Jangan panik, aku hanya bercanda."
Lily menegakkan tubuhnya dan menyilangkan tangannya di dada. Dia menjelaskan jika Agam merasa terganggu dengan perintah ayahnya untuk Lily memasuki perusahaan miliknya, dia bisa pulang saat itu juga.
Agam menyenderkan tubuhnya ke kursi kebesarannya dan tatapan yang dingin juga dia berikan kepada Lily.
"Papaku, sudah menyuruh kami bertiga untuk membangun hubungan denganmu, karena itu kau di sini saja. Kalau perlu, kau duduk saja di ruangan ini sebagai bukti kau sudah bersamaku hari ini," jelas Agam.
"Baiklah, jangan menyesal kalau begitu," timpal Lily cuek.
Dia kemudian berjalan ke arah sofa yang tidak jauh dari Agam. Dia meraih ponselnya dan mulai aktifitasnya. Agam pun melanjutkan aktifitasnya untuk mengecek seluruh laporan yang bertumpuk di hadapannya.
Tidak berselang beberapa menit. Suara berisik Lily kini mulai mendominasi. Dia sedang bermain game dengan wajah serius. Dia duduk di atas sofa dengan kaki yang bertengger di atas meja.
Agam hanya bisa menggelengkan kepalanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!