“Kenapa sih atasanmu hobi sekali memberimu pekerjaan!” keluh Lina sembari menyandarkan kepalanya pada kaca jendela mobil di sampingnya.
Sementara, sang suami, Rudi, tetap fokus dengan kemudinya sambil mengulaskan senyum mendengar protes yang kembali terlontar dari wanita cantik di sampingnya.
“Memangnya di kantor tidak ada karyawan lain yang kompeten, ya?” imbuh Lina.
Ekspresi wajahnya tampak kesal sejak diajak berkemas-kemas untuk pindahan kemarin. Terus terang ia masih berat untuk meninggalkan pekerjaannya demi mengikuti suaminya.
“Seharusnya kamu senang, kan, kalau suamimu jadi karyawan kesayangan atasan? Kan kamu sendiri yang bakalan menikmati gajinya,” jawab Rudi sembari terus fokus pada kemudi.
Lina memanyunkan bibirnya, “Senang sih senang! Tapi setidaknya beri kesempatan kita untuk menikmati masa bulan madu. Masa kita sudah enam bulan menikah kamu tidak diberi libur sama sekali!” gerutunya.
Rasanya Lina sudah hampir habis kesabaran. Ia kira setelah menikah, akan lebih banyak waktu bersama Rudi dibandingkan ketika mereka masih pacaran. Kenyataannya, Rudi semakin sibuk dan sering perjalanan dinas ke luar kota. Bahkan Rudi hanya libur sehari saat acara pernikahan mereka, setelah itu ia harus kembali bekerja.
Lina sampai memutuskan keluar dari pekerjaan, berharap bisa meluangkan waktu yang banyak dengan suami. Namun, kegiatannya setiap hari hanya menunggu kepulangan sang suami sampai larut malam. Tak jarang ia ketiduran di ruang tamu.
Rudi mengulurkan tangannya, mengusap lembut puncak kepala Lina. “Kamu yang sabar ya, Sayang. Aku melalukan ini juga demi masa depan kita. Mudah-mudahan setelah ini, aku tidak akan lembur-lembur lagi,” katanya dengan bijak.
Lina mengulaskan senyum sekilas. Ia berusaha untuk berpikir positif dan mempercayai suaminya kali ini. Ia benar-benar merasa kesepian selama ini. Untuk mengurangi perasaan itu, ia kerap jalan-jalan bersama teman-temannya. Entah nanti di tempat baru ia akan melakukan apa sebagai pelarian rasa kesepiannya sebagai seorang istri yang sering ditinggal suami.
Mobil yang Rudi kemudikan terus melaju membelah jalanan yang lumayan sepi. Sudah sekitar 7 jam perjalanan yang mereka lalui. Hingga akhirnya, saat sore menjelang, mobil mereka sampai di wilayah perumahan yang ada di pinggiran kota.
Rudi menghentikan mobilnya di salah satu rumah yang bertuliskan nomor 23. Bentuk dan luasan bangunan rumah yang ada di sana sama semua, sehingga untuk membedakan harus memperhatikan nomor rumahnya.
Lina keluar dari dalam mobil. Bola matanya langsung berkeliling memperhatikan rumah tipe 36 yang bergaya Skandinavian itu. Lumayan bagus untuk sekelas fasilitas hunian karyawan perusahaan. Lingkungan di sekitarnya juga tampak asri dan tenang.
“Bagaimana, Sayang? Kamu suka kan, dengan rumahnya?” Rudi berjalan mendekat seraya memeluk pinggang istrinya.
Lina mengangguk. “Ya, ini bagus,” ujarnya.
Rudi memeluk sang istri seraya mencium keningnya. Ia merasa lega sang istri tidak lagi mengeluh seperti yang dilakukan sepanjang perjalanan ke sana.
“Semoga kamu nanti betah di sini ya,” kata Rudi.
“Eh, ada tetangga baru!”
Lina dan Rudi reflek melepaskan pelukan saat mendengar suara sapaan seorang wanita. Mereka menoleh ke arah datangnya suara. Tampak seorang wanita muda berambut panjang mengenakan kaos longgar dan celana pendek di rumah sebelah. Tampaknya wanita itu baru saja membuang sampah di depan rumah.
“Satpam di depan bilang katanya hari ini akan ada penghuni baru datang. Senang sekali rumah sebelah ternyata yang akan ditempati,” kata wanita itu.
Ia berjalan menghampiri Lina dan Rudi seraya mengulurkan tangan mengajak berjabat tangan. “Kenalkan, aku Dara.” Wanita itu memperkenalkan diri dengan ulasan senyum yang manis.
Lina merasa sangat bahagia ada orang yang seramah itu di tempat tinggalnya yang baru. Ia langsung membalas jabatan tangan itu. “Aku Lina,” ucapnya.
“Aku Rudi, suaminya Lina,” sambung Rudi.
Dara tersenyum. “Aku senang sekali perumahan di sini semakin ramai. Aku juga senang punya tetangga baru. Rumah-rumah di blok ini masih banyak yang kosong. Mudah-mudahan kita bisa akur satu sama lain.”
“Aku juga berharap begitu. Soalnya ini pertama kalinya aku datang di kota ini, belum kenal dengan siapapun,” ucap Lina.
“Benarkah? Memangnya kalian dari kota mana?” tanya Dara ingin tahu.
“Kami dari Kota Y,” jawab Rudi.
“Iya, kami dari Kota Y pindah ke kota ini karena Mas Rudi pindah tugas ke cabang perusahaannya di sini,” imbuh Lina.
Dara tampak antusias mendengar jawaban mereka. “Kalian dari Kota Y? Suamiku juga asli dari sana!”
“Dara, buang sampah kok lama banget!”
Terdengar suara seorang lelaki dari arah rumah Dara.
Lina mengarahkan pandangan ke asal suara itu. Seketika ia tertegun saat mengenali sosok pemilik suara itu.
“Sayang, ada tetangga baru datang! Ayo kenalan dulu!” Dara yang antusias menghampiri sang suami dan menarik tangannya agar menemui tetangga baru mereka.
Suami Dara terlihat kaget dengan tatapan mata yang fokus mengarah pada Lina. Lelaki itu hanya menurut dan mengikuti istrinya.
“Ini suamiku,” ucap Dara semangat.
“Kenalkan, aku Rudi.”
Rudi lebih dulu mengulurkan tangannya. Ucapan Rudi seketika membuyarkan rasa keterkejutan Lina dan suami Dara.
“Ah, namaku Trian. Aku suaminya Dara,” kata Trian. Ia membalas jabatan tangan Rudi.
“Aku Lina.”
Giliran Lina yang mengulurkan tangannya yang segera disambut oleh Trian. Keduanya tampak canggung hingga tak berani menatap satu sama lain.
“Trian,” jawab Trian singkat ketika menjabat tangan Lina.
“Sayang, mereka dari Kota Y, loh!” seru Dara antusias.
“Benarkah?” tanya Trian dengan nada sedikit gugup.
“Iya. Kami dari Kecamatan A. kalau Trian sendiri dari mana?” tanya Rudi.
“Aku dari Kecamatan H,” jawab Trian singkat.
“Oh, aku kira kalian saling kenal. Ternyata kalian beda daerah, ya?” gumam Dara.
“Wilayah Kota Y itu luas, satu wilayah juga belum tentu saling kenal, Dara …” ujar Trian.
Dara menyunggingkan senyuman lebar.
“Tadi temanmu, Reya, telepon. Katanya kamu disuruh telepon balik secepatnya,” kata Trian.
Dara melebarkan mata. “Gawat! Aku lupa ada janji!” serunya.
“Lina, Rudi, kami pulang dulu, ya! Kalau ada waktu, ayo kita saling main!” sambung Dara seraya kembali menarik tangan Trian agar mengikutinya pulang ke rumah.
“Aku pulang dulu,” pamit Trian yang tampak tidak bisa menolak kelakuan Dara.
Rudi dan Lina mengangguk. Mereka hanya tertegun melihat kelakuan tetangga baru mereka.
“Sepertinya tetangga baru kita seru dan menyenangkan, ya,” ujar Rudi sembari tersenyum-senyum.
Lina meresponnya dengan senyuman kikuk yang dipaksakan. Ia masih tidak percaya akan bertetangga dengan lelaki yang dulu pernah menjadi cinta pertamanya. Benar-benar pertemuan tak terduga. Setelah 10 tahun lamanya, lelaki yang berusaha keras ia lupakan kini kembali muncul di hadapannya. Lebih menyakitkan lagi, lelaki itu pura-pura tidak mengenal dirinya.
“Sayang, kok malah bengong!” tegur Rudi.
Ia heran melihat istrinya yang masih berdiri diam di tempat, sementara ia sudah mulai menurunkan barang-barang dari dalam mobil.
“Ayo, bantu aku!” pinta Rudi.
“Ah, iya!” jawab Lina seraya mengakhiri lamunannya. Ia bergegas menghampiri suaminya yang tengah menurunkan barang dari bagasi mobil.
***
“Menurutmu, bagaimana tetangga baru kita?” tanya Dara sembari menyuapkan makanan ke mulutnya.
Malam itu, Trian dan Dara tengah menikmati makan malam bersama. Berhubung ada tetangga baru yang tinggal di samping rumah mereka, topik itu muncul begitu saja dari mulut Dara yang memang tipe orangnya suka ceplas-ceplos.
“Aku rasa mereka baik,” jawab Trian sekenanya. Ia tetap fokus menikmati makanan yang ada di hadapannya. Ia sebenarnya tak terlalu tertarik untuk membahas hal itu.
Memang, sejak mereka menempati rumah itu tiga tahun yang lalu, blok perumahan mereka masih sangat sepi, belum ada tetangga sama sekali. Baru kali ini akhirnya rumah di samping mereka berpenghuni. Namun, Trian tidak peduli. Baginya, ada atau tidak ada tetangga akan sama saja.
“Kalau Lina, bagaimana?” tanya Dara lagi.
Trian berhenti makan saat Dara menyebut nama Lina. Seketika selera makannya jadi hilang.
“Lina cantik, kan? Apa kamu juga berpikir begitu?” lanjut Dara.
Trian menghela napas. Ia meletakkan sendok dan garpu di pinggiran piring. Ia angkat kepalanya dan mengarahkan pandangannya kepada sang istri. Raut wajahnya sangat masam, berbanding terbalik dengan Dara yang tampak ceria.
“Mau kamu apa, Dara? Kamu berharap aku akan memuji wanita lain di depan istriku sendiri?” tanyanya dengan ekspresi wajah datar.
Dara tertawa kecil mendengar respon Trian. “Aku kan hanya bertanya, jawab saja. Ini kan pembahasan santai, aku tidak akan marah,” kilahnya. Ia kembali menyuapkan makanannya ke dalam mulut dan mengunyahnya.
“Jangan bicara sembarangan tentang orang lain. Dia juga punya suami yang pastinya akan kesal kalau mendengar ucapanmu barusan,” tegur Trian. Ia kembali memaksakan diri untuk melanjutkan makan meskipun sudah tidak berselera. Istrinya memang aneh, tiba-tiba membahas topik tidak jelas dan menyebalkan.
“Hah! Kenapa orang-orang sangat serius. Ini kan sesuatu yang biasa seperti waktu kita mengomentari artis yang tampan atau cantik,” gumam Dara kesal.
“Lalu, apa gunanya aku berkomentar? Istriku itu kamu, jadi tidak ada wanita yang cantik selain kamu!” respon Trian. Ia menjawab sembari fokus pada makanannya. Ia tak memandang lagi ke arah Dara, ia hanya menjawab sekenanya.
“Hahaha ….” Dara tertawa dengan jawaban Trian.
“Yah, meskipun banyak wanita cantik di luar sana, tapi memang takdirmu memiliki istri sepertiku. Kamu harus terus bersabar ya, Sayang,” ucap Dara.
Trian kembali meletakkan alat makannya. Perkataan Dara benar-benar membuatnya kesal. Entah apa yang diinginkan oleh istrinya.
“Aku sudah kenyang. Aku mau melanjutkan pekerjaan dulu!” kata Trian seraya beranjak dari tempatnya meninggalkan Dara sendirian di ruang makan.
Trian masuk ke dalam ruang kerjanya yang terletak persis di samping kamarnya. Ia lantas mengunci ruangan itu. Ia tidak benar-benar kembali bekerja, melainkan merebahkan diri di sofa.
Berkat Dara, ia semakin memikirkan Lina. Ia masih tidak percaya akan kembali bertemu dengan wanita itu. Wanita yang sudah dicampakannya sepuluh tahun yang lalu.
Trian mengenal Lina sejak masa SMP. Keduanya semakin dekat dan memutuskan untuk berpacaran saat SMA. Namun, hubungan mereka ditentang oleh pihak keluarga Trian dengan alasan Lina yang berasal dari keluarga yang tidak sepadan dengannya. Trian terus menyembunyikan hubungan mereka hingga lulus SMA karena saking cintanya ia kepada Lina.
Pada akhirnya, orang tua Trian tahu bahwa Trian belum benar-benar memutuskan Lina. Ibu Trian memberikan pilihan kepada Trian untuk pindah ke luar kota agar terpisah dari Lina, atau kalau Trian menolak, ibu Trian mengancam akan menghancurkan keluarga Lina. Oleh karena itu, Trian terpaksa mengakhiri hubungan dengan Lina. Ia tak menjelaskan alasan sebenarnya, hanya mengatakan bahwa ia sudah bosan kepada Lina.
Lima tahun kemudian, setelah lulus kuliah, Trian langsung diterima bekerja di perusahaan besar yang ternama. Ia berencana untuk menabung sebanyak-banyaknya, lalu kembali mencari keberadaan Lina untuk meminta maaf dan melamarnya. Ia tidak akan bergantung lagi kepada keluarganya setelah mendapatkan penghasilan sendiri. Ia akan memilih jalan hidupnya sendiri.
Akan tetapi, beberapa bulan setelah ia bekerja, hal buruk tiba-tiba menimpa keluarganya. Bisnis restoran ayahnya terancam bangkrut. Di saat yang bersamaan, pemilik perusahaan tempatnya bekerja, Pak Faisal, mengatakan ingin menjodohkan dia dengan putrinya. Jika Trian mau menerima, maka usaha ayahnya akan dibantu.
Kedua kalinya, terpaksa Trian menuruti kemauan keluarganya. Ia akhirnya menikah dengan Dara, putri bungsu Pak Faisal yang dikenal sebagai pembuat masalah. Menjalani rumah tangga tanpa cinta terasa sangat berat. Namun, berkat pengorbanannya, Trian bisa mendapatkan jabatan penting di perusahaan. Derajatnya semakin tinggi setelah menikahi wanita dari keluarga terpandang di negeri ini. Trian harus mengubur impiannya untuk menikahi Lina.
Di tengah perjalanan pernikahannya, ada suatu masalah yang membuat Trian dan Dara diminta pindah ke luar kota. Trian diberi modal untuk merintis usaha baru. Mereka diberi tempat tinggal di perumahan yang bisa dikatakan sangat sederhana jika dibandingkan dengan tempat tinggal mereka sebelumnya. Alasannya, Pak Faisal ingin mereka belajar hidup sederhana.
Tak terasa sudah lima tahun lamanya ia menjalani pernikahan bersama Dara. Selama itu, ada banyak sikap Dara yang membuatnya kesal. Namun, ia berusaha keras untuk bersabar. Jika sampai ia meninggalkan Dara, ia yakin Pak Faisal tidak akan tinggal diam. Bisa-bisa ia akan dimiskinkan. Lebih parahnya lagi, jika keluarganya juga akan menjadi sasaran.
“Hah! Melelahkan sekali. Aku seperti mengasuh anak balita,” keluh Trian sembari memandangi langit-langit ruangan.
Bayangan wajah Lina kembali melintas di pikiran Trian. Selama sepuluh tahun ini, Lina tak pernah hilang dari hatinya, meskipun ia sudah pasrah dan berusaha melupakan. Ia hanya ingin bertahan pada pernikahan yang meskipun ia sendiri tak menginginkan.
Lina tak banyak berubah dari terakhir kali ia mengingatnya. Namun, wanita itu terlihat jauh lebih cantik dan menawan. Kulitnya cerah bercahaya, penampilannya fashionable. Lina sama sekali tidak terlihat kumal ataupun kampungan.
Ia yakin selama ini Lina menjalani kehidupan yang sangat baik. Apalagi Lina memiliki suami yang tampan dan kelihatannya mapan. Sedikit rasa cemburu bercongkol di hatinya.
“Hah! Dia memang cantik. Siapa lelaki yang tidak tertarik padanya,” gumam Trian.
Ada penyesalan dalam diri Trian. Ia mulai berandai-andai jika saja dulu ia tidak memutuskan Lina begitu saja dan menjelaskan semuanya. Atau bisa saja dia menolak perjodohan dengan Dara. Pernikahannya selama lima tahun juga cukup menyiksa. Ia tak ubahnya seperti budak yang terus-menerus harus menuruti majikannya, Pak Faisal.
Trian menghela napas dalam-dalam. “Kenapa aku jadi memikirkan istri orang? Ini sudah menjadi karmaku karena pernah jahat padanya. Lina sudah bahagia, aku tidak boleh berpikir macam-macam tentang dia hanya karena perkataan Dara.”
Ia berusaha menepis pikiran buruknya. Ia bangkit dan berjalan menuju meja kerjanya. Menurutnya, dari pada mengingat sesuatu yang sudah ia relakan, lebih baik ia gunakan waktunya untuk fokus bekerja.
***
Sepanjang sore hingga malam, Lina melakukan pekerjaan dengan pikiran kosong. Pertemuannya dengan Trian setelah sekian lama sangat mengganggu pikirannya. Baru saja ia memulai kehidupan keluarga, tapi masa lalu itu kembali ada. Apalagi Trian dulu meninggalkannya dengan alasan yang tidak jelas dan sangat menyakitkan. Sampai saat ini, ia tak tahu apa kesalahannya sampai Trian setega itu meninggalkannya.
Saat ini, ia sudah memiliki seorang suami yang sangat menyayanginya. Rudi, sejak masa kuliah, selalu baik kepadanya. Lelaki itu juga tak segan membantu ketika ia kesulitan keuangan untuk membiayai kuliah. Rudi bersikap sopan kepada kedua orang tuanya. Bahkan setelah menikah, ia justru menyuruh Lina untuk tak segan memberikan uang kepada orang tua.
Rudi bisa dikatakan sebagai pahlawan yang mengangkat derajat keluarganya. Rudi bisa menerima kondisinya apa adanya. Hanya saja Rudi belum tahu jika tetangga baru mereka merupakan mantan pacar istrinya. Lina tidak tahu nantinya bagaimana respon Rudi jika tahu. Sepertinya ia akan terus menyembunyikannya sampai kapanpun. Apalagi saat perkenalan, Trian juga sepertinya enggan untuk mengaku bahwa mereka saling kenal.
“Sayang, lama sekali kamu mencuci piring.”
Lina dikagetkan dengan kehadiran Rudi yang tiba-tiba. Sang suami memeluknya dari belakang dan menciumi pipinya dengan lembut. Untung saja gelas di tangannya tidak terjatuh dan pecah.
“Sini, biar aku bantu!”
Rudi melepaskan pelukannya. Dengan sigap, ia mengambil gelas yang baru dicuci dengan sabun untuk dibilas. Melihat hal itu, Lina mengembangkan senyum. Rasanya sangat bahagia memiliki seorang suami yang tanggap dan tidak segan membantu pekerjaannya. Mereka akhirnya mencuci piring bersama.
“Ayo kita tidur!” ajak Rudi setelah mereka selesai mencuci piring. Ia kembali memeluk mesra istrinya.
“Masih jam sembilan kurang. Aku belum mengantuk. Apa kamu tidak ingin melakukan hal lain?” tanya Lina. Ia bergelayut manja pada tubuh suaminya seolah sedang merajuk dan menggoda.
Rudi hanya tersenyum memandangi ekspresi wajah istrinya yang dianggap lucu. Ia menyibakkan helaian rambut Lina yang tergerai menutupi wajah, lalu menyematkannya di belakang telinga.
“Besok aku harus kembali bekerja, Sayang. Kita juga baru saja sampai setelah menempuh perjalanan yang panjang,” ujar Rudi memberi penolakan dengan tutur kata yang halus. Ia tahu istrinya tengah merajuk mengajak bercinta. Tapi, kondisi tubuhnya sangat kelelahan setelah seharian mengemudi. Ia sudah sangat ingin tidur.
Lina memasang raut masam. Ia berusaha keras untuk memberanikan diri memberi isyarat, berharap suaminya paham. Ia menjadi sangat malu dan terasa harga dirinya jatuh dengan penolakan Rudi. Ia heran mengapa suaminya bersikap beda dari lelaki lainnya.
Ia bahkan banyak membaca-baca tips cara memancing gairah suami. Rudi sangat jarang menyentuhnya. Lelaki itu hanya mementingkan kerja dan kerja. Meskipun jumlah uang yang diberikan lebih dari cukup, Lina masih merasa ada yang kurang karena sang suami terkesan tak tertarik padanya.
“Kamu kenapa, sih? Apa aku sebegitu tidak menariknya sampai kamu tidak mau?” tanya Lina dengan ekspresi sendunya.
Melihat raut wajah sang istri, Rudi merasa bersalah sebagai seorang suami. “Sayang, kenapa kamu bicara seperti itu. Tentu saja aku sangat terpesona olehmu, buktinya aku sampai menikahimu, kan? Kita bisa melakukannya lain kali. Kamu juga perlu istirahat,” bujuk Rudi memberi pengertian.
“Aku seperti ini karena memikirkan kesehatanmu, aku tidak mau egois karena hasrat, Sayang,” imbuh Rudi.
Lina menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya. “Kamu bilang akan ada waktu berdua setelah pindah. Tapi, kamu masih saja sibuk kerja. Kita baru saja pindah, besok kamu harus kembali pergi bekerja,” protesnya.
“Mau bagaimana lagi, Sayang? Aku bekerja untuk orang lain. Aku tidak bisa seenaknya karena tanggung jawabku di perusahaan juga besar,” kata Rudi.
Lina terdiam. Ia merasa kecewa. Suami yang selalu ia banggakan karena kebaikan dan perhatiannya memiliki kekurangan yang tidak peka terhadap perasaannya. Rudi seakan tak pernah memahami jika selama ini ia merasa kesepian akibat suaminya terlalu sibuk bekerja.
“Sayang,” panggil Rudi.
Ia membelai pipi Lina, mengangkat dagu istrinya hingga tatapan mereka bertemu.
“Baiklah, ayo kita coba lakukan malam ini,” ajaknya. Ia tidak tega melihat kekecewaan di wajah sang istri. Meskipun tubuhnya terasa lelah luar biasa, ia akhirnya mengalah untuk mengikuti kemauan istrinya.
Lina mengembangkan senyum dengan mata yang berbinar-binar memandangi suaminya. Sejurus kemudian, ia melabuhkan pelukan pada tubuh nyaman yang selalu ia rindukan setiap malam.
“Mau di sini atau di kamar?” bisik Rudi menggoda tepat di telinga Lina.
Belum sempat menjawab, Rudi telah lebih dulu membungkam mulut Lina dengan bibirnya. Mereka saling berciuman dengan penuh gairah. Tangan lincah Rudi mampu melucuti satu persatu pakaian yang istrinya kenakan. Hasrat mereka perlahan semakin meninggi. Tubuh mereka kini polos tanpa sehelai kain pun. Keduanya masih saling berpelukan bertukar suhu tubuh sembari saling menggigit bibir.
Suara lenguhan penuh hasrat memenuhi area dapur dan ruang makan. Untung saja tak ada orang selain mereka berdua di sana. Keduanya seakan terlena sampai tidak punya rasa malu bergumul di luar kamar meskipun masih di area dalam rumah mereka.
Rudi merebahkan Lina di atas meja makan. Ia melakukan penyatuan. Suara lenguhan sang istri semakin membuatnya bersemangat untuk menggerakkan pinggul. Ekspresi wanita di bawahnya sangat menggoda, menunjukkan ekspresi penuh kenikmatan.
“Sayang, kita pindah ke kamar,” ajak Rudi.
Ia menggendong sang istri tanpa melepaskan penyatuan. Sang istri sesekali mengerang saat ia sengaja menggoyangkan pinggulnya. Ia berjalan membawa Lina ke dalam kamar.
Sesampainya di dalam kamar, Rudi merebahkan tubuh istrinya di atas ranjang. Ia kembali menggerakkan pinggulnya menyenangkan wanita di bawahnya. Ia merasa keenakkan sampai tidak tahan.
“Aduh, Sayang, aku mau keluar,” ucap Rudi dengan napas yang mulai tersengal-sengal.
“Jangan dulu, Sayang, sebentar lagi.” Lina yang masih menikmati berusaha menahan keinginan Rudi.
Sayangnya, lelaki itu lebih dulu mendapatkan pelepasan hingga limbung di atas tubuh Lina. Lina yang belum sempat sampai puncak merasa kecewa, namun tidak bisa berbuat apa-apa dengan pisang yang sudah letoy itu.
“Sayang, aku lelah sekali. Aku mau tidur dulu,” kata Rudi seraya beranjak untuk berbaring di samping Lina. Tak lupa ia memberikan kecupan kepada sang istri sebelum tidur.
Lina hanya bisa menghembuskan napas kasar. Suaminya bisa tertidur sangat cepat begitu saja. Sementara, ia merasa tanggung dengan aktivitas bercinta mereka.
“Padahal tinggal sedikit lagi,” gumamnya sedih.
Pada akhirnya, ia memilih untuk mengikuti suaminya tidur. Ia menarik selimut untuk menutupi tubuh mereka yang polos. Lina berbaring memunggungi suaminya. Ia berusaha memejamkan mata meskipun terasa sulit untuk tidur.
“Ayolah tidur Lina … kalau mau nambah, besok pagi masih bisa,” lirihnya pada diri sendiri.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!