NovelToon NovelToon

Terbelenggu Hasrat

Dikhianati

"Ahhh ... Uhh ..." Desahan seorang wanita yang sedang berada dalam kungkungan lelaki menggema di sebuah kamar apartemen.

Keduanya sedang berperang, menjelajahi madu cinta penuh limpahan dosa. Tak ada ikatan suci diantara keduanya, hanya saling membutuhkan untuk memenuhi hasrat semata.

"Lebih kencang lagi, Sayang," rintih wanita itu, menggigit bibir bawahnya. Wanita bernama lengkap Soraya candrabana itu kurang puas dengan goyangan Arkam Wijaya. Sehingga menuntut pria itu untuk melakukan lebih dari yang ia rasakan.

"Ya Tuhan, Beb. Segini, kurang kenceng?" Arkam menambah ritme permainan panas mereka, memaju mundurkan pinggulnya dengan sangat kencang.

"Arghhhh, ini nikmat banget Sayang!! Ayo, lebih cepat lagi!" racau Nadira, memejamkan matanya. Menikmati setiap hujaman yang diberikan Arkam padanya.

Sementara di luar sana, seorang wanita berparas cantik tampak mengembangkan senyumnya. Sembari membawa sebuah kotak kecil yang dibungkus kertas kado, dengan pita di ujungnya. Wanita itu tak sabar ingin bertemu dengan sang pujaan hatinya.

Wanita itu baru saja turun dari sebuah taksi yang ia tumpangi. Kakinya melangkah ke sebuah apartemen, tempat tinggal kekasihnya itu. Berada di lantai dua puluh tujuh, unit apartemen pria itu.

Nadira Rahayu Trimaja, nama lengkap gadis itu menekan tombol liftnya ke tempat tujuan. Sembari membayangkan betapa bahagianya sang kekasih mendapat kejutan di hari ulang tahunnya.

"Sayang, aku bahkan rela tidak jajan, hanya untuk bisa membelikan dasi ini untuk kamu," lirih wanita itu, tersenyum hangat. Memeluk kotak kecil itu erat. Seolah, benda itu adalah benda berharga yang ia punya.

Ting

Bunyi lift sampai di tempatnya. Tak lama, pintunya terbuka. Nadira pun keluar, melangkah pasti ke salah satu unit apartemen di lantai itu.

"Tunggu aku ya, Sayang?"

Nadira mempercepat langkah kakinya. Begitu sampai di urutan angka 345, ia berhenti. Gadis ayu pemilik mata bening itu mengambil card ID yang sengaja diberikan kekasihnya. Ia tempelkan ke sebuah alat pendeteksi, tak lama pintu pun terbuka.

"Sayang," panggil wanita itu masuk ke dalam. Sunyi, tidak ada seorangpun di sana. Padahal, hari ini adalah hari libur. Mustahil, jika kekasihnya tidak ada di sana.

"Apa di kamar, ya?" tebak Nadhira, menaikkan alisnya ke atas. "Aku coba cari ke sana aja deh!"

Meski ragu, Nadira memutuskan untuk pergi ke kamar. Saat sudah dekat, sayup ia mendengar sesuatu yang membuat hatinya tiba-tiba terasa nyeri.

"Arghhhhhhhhh, Sayang. Lebih cepat lagi goyangnya," racau seseorang dari dalam sana.

Dengan perasaan tak menentu, Nadira membuka pintu kamar itu. Sebelumnya, ia sudah menyiapkan diri untuk melihat apa yang terjadi di dalam.

"Arghhhhhhhhh," erang keduanya bersamaan. Mereka sampai ke puncaknya. Dan bersamaan dengan itu, pintu terbuka dari luar.

Brakkkkk

Kedua anak manusia yang penuh limpahan dosa itu terperanjat kaget. Melihat seorang wanita yang berdiri di ambang pintu dengan mata yang berkaca-kaca, wajahnya memerah karena emosi yang meledak-ledak.

"Jadi, ini yang kamu lakukan Arkam!!" teriak Nadira di sisa-sisa tenaganya menahan rasa sakit dalam hati. Melihat orang yang ia cintai, sedang berdesah manja dalam limpungan penuh dosa. Setelah itu, Nadira pergi dengan air mata yang membanjiri wajahnya

"Nadira," lirih Akram, mencabut senjatanya dari bibir gua Soraya. Meninggalkan sisa-sisa kenikmatan yang seharusnya membuat keduanya puas. Harus gagal, karena kedatangan Nadira. Arkam berusaha mengejar kekasihnya.

"Arkam, kamu mau kemana?" Soraya menyusul kekasih gelapnya uty, memunguti pakaiannya yang masih berceceran di lantai. "Coba liat keadaan kamu, sekarang!" sergah Soraya memperingati pria itu. Arkam pun berhenti, melihat tubuhnya yang masih polos. Ia urungkan mengejar Nadira, dan balik ke Soraya.

************

Ditengah hiruk pikuknya keramaian jalanan ibu kota, seorang wanita berjalan dengan langkah berat. Hatinya hancur, dalam hitungan detik. Semua harapannya sirna, melihat perselingkuhan sang kekasih di depan mata.

Lalu lalang kendaraan, menyertai perjalanan wanita itu. Entah kemana langkahnya akan berpijak, ia seolah tak punya tujuan lagi.

Rasa cinta dan kepercayaan yang awalnya kuat membentengi dirinya. Terkikis, dengan melihat wajah menggemaskan kekasihnya yang sedang dilanda hasrat. Bahkan sisa-sisa peluh di sekujur tubuhnya bisa menjadi saksi, bahwa hubungan mereka telah ternoda.

"Jahat, kamu jahat Akram." Berkali-kali bibirnya menyebut kalimat itu. Tatapan mata Nadira kosong, ke bahu jalan yang ia lewati. Dengan tubuh yang gemetaran.

Tak sadar, Nadira sampai di rumah kecil, yang selama ini tempat untuk berlindung dari panas dan hujan. Jarak tiga kilo lebih, ia lalui berjalan kaki. Rasa penat dalam tubuhnya tak sebanding rasa sakit yang ads dalam hatinya.

Nadira merobohkan tubuhnya di kursi yang berbahan kayu, menatap nanar frame foto dirinya dan Akram. "Aku benci kamu, Akram. Aku akan balas sakit hati aku ini ke kamu!!! Cowok brengsek!! Sialan!!!" Racaunya frustrasi. Rasa sakit yang amat dalam, menumbuhkan kebencian yang amat sangat. Tertanam dalam sanubarinya.

"Semua lekaki sama!!" Teriaknya lagi, penuh amarah dan dendam. "Kalian harus membayar sakit hatiku, aku bersumpah akan membuat kalian menderita!"

*************

Malam pun tiba, heningnya malam di sebuah kompleks kecil menerpa, masuk ke dalam hati seorang gadis yang sedang duduk di teras rumahnya.

Tak berapa lama, Jelsii, teman sekaligus tetangganya datang. Wanita berambut pirang itu mendekati Nadira.

"Elo, kenapa?" tanya Jelsii, menepuk pundak Nadira.

Wanita berambut sebahu itu menoleh, menghembuskan napasnya kasar. Sembari menatap lekat wajah temannya itu. "Akram, selingkuhi gue!" jawabnya datar.

"Hah! Serius?" Jelssi terperanjat kaget mendengar pernyataan Nadira. Yang ia tahu dari wanita itu, Akram adalah tipe lelaki yang sempurna. Nyaris tak ada celah, sedikitpun. Dan sekarang, Nadira mengatakan hal itu. Membuat Jelsii sedikit ragu.

"Iya, Sii." Dijawab singkat oleh Nadira. Wanita itu membuang wajahnya ke depan. "Gue akan balas perlakuannya terhadap gue. Elo tahu gak caranya, Si?" Nadira kembali menoleh, memandang wajah Jelsi. Meminta bantuan pada wanita itu.

"Gue tahu caranya. Elo ikut gue aja, Ra. Jadi kayak gue, mempermainkan lelaki dengan tubuh kita. Buat mereka tergila-gila, setelah itu kita hempaskan sesuka hati kita," jawab Jelsi, tanpa beban.

"Maksud Elo, jadi wanita malam?

Minuman apa ini?

Di sebuah ruangan, seorang pria tampak berbicara melalui sambungan telepon. Dari raut wajahnya, pria itu sedang marah, kecewa pada seseorang.

"Dasar bodoh!! Apa kerja kalian?mencari anakku saja, kalian tidak becus!" sentaknya, membanting hpnya ke meja. "Ya Tuhan, dimana kamu Nak?" gumam pria itu, frustrasi.

Empat belas tahun, ia mencari keberadaan anaknya. Sampai sekarang tidak ditemukan. Semua tempat sudah ia telusuri, berpuluh-puluh orang kepercayaannya pun ikut mencari. Namun, hasilnya nihil.

Angga menyesali, andai waktu itu dia tidak meninggalkan dua anaknya di rumah. Saat ia sedang menemani istrinya ke dokter. Mungkin, penculikan itu tidak pernah terjadi.

Saat itulah, Angga hanya bisa meratapi penyesalannya seorang diri. Tanpa bisa berbuat apa-apa lagi. Beruntungnya, dua dari anaknya. Hanya satu yang berhasil diculik orang tersebut. Sedangkan Azka, putranya berhasil meloloskan diri.

Angga menghembuskan napasnya kasar, merobohkan tubuhnya ke kursi dengan kasar. Bekerja pun tidak fokus, selalu teringat putri kecilnya yang menggemaskan. Bahkan, gambar anak itu tak pernah lepas darinya. Di setiap sudut rumahnya ada foto-foto gadis kecilnya itu.

"Sayang, kamu dimana sekarang?" Anggap mengambil fotonya, yang ia simpan di meja. "Ayah rindu kamu, Sayang."

Disela lamunan Angga, pintu ruangannya diketuk oleh seseorang dari luar. Gegas, ia seks air mata yang sempat merembes di pelupuknya. Ia taruh kembali foto itu di meja. Angga membenarkan posisi duduknya, setelah itu menyeru tamunya untuk masuk.

"Masuk!" sahut Angga, terdengar tegas.

Tak berapa lama, seorang pemuda yang memiliki senyuman khas masuk ke dalam. Pemuda itu segera menghampirinya.

"Azka," ujar Angga, sedikit terkejut dengan kedatangan anak bujangnya. "Tumben, kamu kesini? Gak kuliah?"

Pemuda yang bernama Azka itu, duduk tepat di seberang ayahnya. "Mampir kesini dulu, Yah," jawabnya memperhatikan ruang kerja ayahnya. "Gimana, Yah. Udah ada kabar dari kakak?" tanyanya, kemudian. Angga menggeleng.

"Azka juga udah berusaha nyari, nyebar foto kakak. Tapi, gak ada hasilnya. Rencananya, Azka mau nyari kakak lagi, nanti sama temen-temen," terang pemuda itu, mengutarakan niatnya.

"Kamu mau nyari kemana? Orang suruhan ayah aja gak berhasil, apalagi kamu." Angga ragu, Azka bisa menemukan kakaknya.

"Yeaa, Ayah. Bukannya doain biar cepat ketemu, malah nyumpahin." Azka mengerucutkan bibirnya. "Ya udah, Azka pamit. Sekalian izin, pulang malam," ucap pemuda itu, bangkit dari tempat duduknya. Meraih punggung tangan ayahnya.

"Jangan malam-malam, Azka. Awas, kalau kamu sampai salah pergaulan!" ancam Angga, tegas.

"Beres, Yah. Gak akan."

Angga bisa melepaskan putranya dengan tenang. Beruntung, Azka tidak pernah melakukan hal-hal yang membuatnya kecewa. Tidak seperti kebanyakan anak muda pada umumnya. Azka tergolong, pemuda yang bisa menjaga diri dengan baik. Bergaul pun ia memilih-milih teman. Tidak sembarangan orang ia dekati.

Pemuda yang menyandang gelar mahasiswa di sejuah universitas pilihan itu, tiba di kampusnya. Mobil mewah yang ia tumpangi, berhenti tepat di depan teman-temannya yang sudah menunggu kedatangannya.

"Wehh, bos kita udah datang!" seru pemuda yang bernama Rasya.

"Makin kece aja tuh, orang!" timpal, Randi menyunggingkan sebelah bibirnya.

"Tapi, sayang. Masih jomblo!" ejek, temannya yang bernama Deri.

Gelak tawa terdengar, menyertai kedatangannya. Azka memukul bahu Deri, yang selalu mengejek statusnya. Jomblo, itu pilihan. Jomblo itu bukan karena gak laku, tapi selektif mencari yang terbaik. Kata-kata itu yang selalu menjadi tamengnya, saat teman-temannya mengejek.

"Elo jadi ikut kita-kita gak, AZ?" tanya Randi, mereka mulai melangkahkan kaki masuk ke gedung kampus.

"Jadi, dong. Gue juga udah minta izin sama bokap gue," ujar Azka dengan bangganya.

"Idihhh, anak bokap," sindir Deri, mengundang kembali gelak tawa teman-temannya.

Kepolosan Azka, memang sering dibuat bahan ejekan teman-temannya. Namun, pemuda berusia dua puluh satu tahun uty tak sedikitpun merasa minder. Azka memegang prinsip, apa yang menurutnya benar, ia tidak akan malu dan takut untuk menjalaninya. Termasuk, apapun yang ia lakukan harus atas izin ke-dua orang tuanya.

Selama kurang lebih lima jam, mereka bergelut dengan materi-materi yang disampaikan oleh dosen. Waktunya, mereka mengakhiri penatnya aktivitas hari ini.

"Kita nge-mall dulu, ya?" usul Rendi, ingin membeli sesuatu untuk nanti malam.

"Boleh, sekalian nyegerin mata. Pengen liat yang bening-bening," timpal Deri, tersenyum kuda.

"Dasar otak mesum," ejek Azka, tahu betul apa yang ada dipikiran sahabatnya itu.

"Yealah, gak asyik Loh. Mau gak gue kenalin tante-tante girang yang cukup loyal sama brondongnya," ujar Deri, memasang wajah serius.

"Ogah," tolak Rendi, terang-terangan. "Enakan merawanin anak gadis orang. Rasanya, Mak nyusss. Kedut-kedut gimana gitu!" sambungnya, membayangkan saat sedang menggagahi pacar-pacarnya. "Setelah bosan, putusin!"

"Gila Elo Ren, udah berapa anak gadis orang yang Elo gituin?" Azka menggeleng, protes dengan pola pikir sahabatnya itu.

"Banyaklah, tiap Minggu juga ganti," pangkas Rasya, menyeringai.

"Alah, setelah itu juga Elo embat. Hahaha, bekas gue," sindir Rendi, membela diri.

"Mana ada? Gak pernah gitu gue," sanggah Rasya, memukul tubuh Rendi.

"Udah-udah. Ayo berangkat, keburu sore!"

************

Sesuai yang disepakati oleh mereka. Usai nge-mall. Keempat pemuda itu berada di sebuah cafe. Bukan, cafe yang pada umumnya didatangi oleh Azka. Namun, terlihat seperti mini bar yang sengaja disembunyikan di tempat umum.

"Loh, kok kita ke sini sih!" Azka mulai tidak nyaman dengan suara dentuman musik yang kencang. Apalagi, bau menyengat alkohol sangat kental di sana. Belum lagi, para wanita jalang yang menjajakan tubuhnya untuk mencari mangsa.

"Emangnya kenapa, AZ?" sahut Rendi, memaksa pemuda itu duduk. "Udah, Elo gak usah panik gini. Kita nikmati malam ini. Lagian, gak tiap hari juga. Itung-itung menghibur diri lah."

Azka masih bingung, apa yang akan ia lakukan sekarang. Pergi, meninggalkan teman-temannya dengan konsekuensi dia akan diejek oleh mereka. Bukankah itu hal yang biasa baginya. Namun, entah mengapa malam itu rasanya begitu lain. Dengan terpaksa, ia mengikuti kemauan mereka.

"Nikmati aja, Brow!" seru Rasya, memberikan segelas cairan biru muda pada Azka. Yang diduga cairan itu adalah salah satu jenis alkohol.

"Apaan ini?"

"Udah, minum aja!"

Terjebak

Sedikit ragu-ragu, akhirnya Azka mengambil minuman itu. Namun, tak langsung ia minum, karena baunya sangat menyengat.

"Ini apaan, sih!" Azka memperhatikan cairan itu, yang mirip spirtus menurutnya. Mau meminumnya pun ia ragu.

"Yealah, tinggal diminum aja, ngapa sih! Banyak tanya segala," timpal Randi, memberi contoh pada sahabatnya itu. "Kek gini, nah!"

"Kalian gak lagi jebak gue, 'kan?" Azka menatap satu persatu wajah sahabatnya yang tidak menunjukkan kecurigaan.

"Apaan sih, Elo!" sanggah Deri, menggeleng. "Gak ada gunanya juga, ngejebak Elo!"

Azka percaya, meski mereka tergolong teman-teman yang geje. Mereka tidak mungkin berbuat jahat padanya. Perlahan, ia tempelkan gelas berisi cairan biru itu ke bibirnya. Ia minum dengan sangat hati-hati.

"Ishhh, kok kek gini sih rasanya?" protes Azka, kembali menjauhkan minuman itu dari bibirnya.

"Astaga nih orang, tinggal minum aja banyak protes." Deri memaksa Azka untuk menghabiskan minuman itu. "Elo habiskan, kalau gak, gak asyik Lo!!"

Teguk demi teguk minuman itu masuk ke dalam tubuhnya. Bahkan, tanpa sadar, Azka sudah menghabiskan minuman itu. Semua sahabatnya tersenyum puas, karena berhasil membuat Azka mabuk. Hal yang tidak pernah dilakukan olehnya

Usai menghabiskan minuman itu, kepala Azka terasa berat. Sekujur tubuhnya memanas, seperti terserang aliran listrik. Sampai-sampai, ia mengibaskan kaosnya.

"Kok tubuh gue jadi panas gini, sih!! Jangan-jangan minuman yang kalian berikan itu alkohol, ya?" ujar Azka, disisa kesadarannya.

"Yealah, sedikit doang!" sambar Randi, menaikkan sebelah alisnya ke atas.

"Jadi, bener!!!" Azka sudah tidak bisa lagi mengontrol dirinya yang tengah dikuasai Alkohol. Tingkat kesadarannya perlahan melemah. Sehingga apa yang ia lakukan, tanpa batas nalar.

"Mau kemana, Lo?" Deri bertanya, saat Azka berdiri. Pandangan pria itu tertuju pada wanita cantik yang tengah duduk di depan mini bar sendirian.

"Gue mau nyamperin tuh cewek. Bening banget dah!!!" jawabnya, menunjuk wanita itu.

"Wehhh, yakin Lo?"

"Iya lah."

Perlahan Azka mendatangi wanita itu. Dengan senyum khasnya, ia menyapa. "Hai, sendirian aja!"

Wanita cantik bertubuh seksi itu tampak gugup. Karena, ini kali pertamanya ia bekerja di tempat itu. Menjadi wanita penghibur untuk mereka-mereka yang kesepian. Seperti yang ia kira pada pemuda yang baru saja menyapanya.

"Hai," balasnya, menunjukkan senyumnya. Meski, terlihat dipaksakan.

"Boleh kenalan?" Azka mengulurkan tangan, sembari menatap lekat wajah cantiknya.

"Bo___leh, Nadira." Wanita itu menyambut uluran tangan darinya. Meski masih malu-malu.

"Azka."

Setelah mendengar nama pemuda itu, ada yang aneh di telinga Nadira. Ia seperti tak asing mendengar nama itu. Namun, segera ia tepis semuanya. Kembali lagi dengan tujuannya, yaitu balas dendam pada para lelaki yang menurutnya sama. Brengsek, tidak punya hati.

"Kita jaged!" seru Azka mengajak Nadira turun ke lantai ajib-ajib.

"Boleh," ujar Nadira, menerima uluran tangan Azka. Mereka turun ke lantai ajib-ajib. Mengikuti gerakan musik yang diputar. Melenggak-lenggok tubuhnya, bak seorang yang sudah profesional. Sembari goyang kepala.

Mereka berdua larut dalam suasana. Tanpa disadari oleh Azka, ketiga teman-temannya sudah tidak ada di tempat itu.

Puas bermain dengan alunan musik yang kencang. Azka merasakan sesuatu yang janggal. Tubuhnya semakin panas, ada rasa yang aneh yang menjalar di tubuhnya. Sehingga, ia menarik tangan Nadira menjauh dari lantai ajib-ajib.

"Tubuh gue panas!! Tolong gue," keluh Azka, memegangi bagian intimnya. "Keknya gue dikerjai sama teman-teman gue," sambung Azka, meringis. Menahan rasa yang semakin bergelora dalam tubuhnya. Meminta pelampiasan, untuk mengurangi rasa sakit itu.

"Maksud Elo, apa?" tanya Nadira masih polos. Azka menggeleng, menatap curiga wanita yang ada dihadapannya itu.

"Elo wanita penghibur, 'kan? Bantu gue, ngurangin rasa sakit ini. Kek mana pun caranya. Yang penting rasa sakit ini hilang," jawab Azka juga bingung harus menjelaskannya.

"Di sini ada hotel atau penginapan, gak?" tanya Azka balik. Nadira pun mengangguk.

"Ada, di lantai dua tempat ini ada hotelnya kok. Gue antar Elo ke sana, ya?"

"Ok!"

****************

Mereka sudah berada di salah satu hotel yang terdapat di club' tersebut. Azka semakin meringis kesakitan, merasakan hasratnya yang semakin menjadi. Minuman yang ia minum tadi, ada obat perangsangnya. Sehingga apapun yang nampak di depan mata, terasa menggairahkan. Sama halnya dengan wanita yang memakai dres merah di atas lutut, dengan belahan dada yang memperlihatkan pemandangan mengembul di balik dres tersebut.

Tanpa persetujuan dari Nadira, Azka meremas kedua gunung kembar wanita itu. Memainkan dengan sangat lihai. Nalurinya yang membawa Azka berani melakukan hal di luar batas.

Tak hanya puas dengan itu, bibir Nadira yang terlihat seksi di matanya. Menjadi tempat ternyaman untuk ia jamah. Tanpa ragu lagi, Azka mengecup bibir itu, memperdalam kecupan itu menjadi lumatan. Dengan sebelah tangan yang masih bebas memberikan kenikmatan di bagian dada Nadira. Lenguhan kecil, tercipta begitu saja dari bibir wanita itu. Menambah gelora yang semakin menggebu.

"Pegangin burung gue," pinta Azka, melepaskan pangutannya.

"Hah, maksud Elo?" tanya Nadira bingung.

Azka menggeleng, menyangka Nadira bukan wanita penghibur yang seperti ia kira tadi. Dengan terpaksa, Azka mengarahkan tangan Nadira ke bagian sensitifnya yang masih terbungkus celana jeans.

"Ishh!" tolak Nadira, melepaskan tangannya dengan kasar.

"Kenapa? Gue bakal bayar kok, berapapun yang Elo minta. Gue janji, gak akan minta lebih dari itu. Gue hanya butuh Elo mengocoknya saja. Tanpa kita melakukan yang itu," terang Azka, menyadarkan Nadira dengan tujuannya.

Bukankah, itu yang seharusnya ia lakukan. Membuat para pria puas dengan pelayanannya. Kemudian ketagihan, dan akan mencarinya. Setelah itu, ia tinggalkan begitu saja, seperti dia yang ditinggalkan oleh Akram demi wanita yang bisa memberikan tubuhnya.

"Ok! Gue akan puaskan Lo!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!