NovelToon NovelToon

Apel : Sebuah Kecantikan Dari Kesederhanaan

Bab 1 : 16 Tahun Yang Lalu

Udara kota industri memang sangat berbeda dengan kota tempat tinggalku. Aku baru saja sampai di salah satu kota industri di Indonesia yang berada di provinsi Banten. Aku sampai disini dan hari yang lalu dan aku batuk-batuk karena tidak cocok dengan udara disini yang sangat menyesakkan dada.

Aku saat itu duduk di bangku SMP dan sedang liburan ke rumah salah satu paman ku. Terkadang, pergi ke kota besar tidak selalu menyenangkan. Di kotaku, udara pagi sangat sejuk. Ada banyak pohon apel di pekarangan kebun rumahku, aku hampir setiap hari bermain di bawah pohon-pohon apel yang ada di kebunku itu, sejak kecil aku sangat menyukai apel dari semua buah yang pernah aku makan.

Apel itu tidak manis, kadang sedikit asam. Bahkan jika tidak sengaja tergigit bijinya, rasa pahit memenuhi indera perasa di lidah ku. Tekstur apel juga menurutku tidak selembut pisang ataupun semangka. Rasa renyah dan berair yang memenuhi mulutku, benar-benar berbeda dari buah lainnya. Tekstur luarnya yang nampak keras tapi lembut dari dalam.

Selain rasanya yang berbeda dari buah lainnya, apel juga memiliki nurtisi yang sangat bagus untuk tubuh, vitamin B1, vitamin B6, vitamin C, dan berbagai macam antioksidan. 86% dari buah Apel juga mengandung air, unik kan? Tekstur luar yang keras, tapi diisi dengan air dalam kandungannya.

Saat musim panen tiba, aku adalah orang pertama yang memanen apel dari pekarangan, apel lebih dari sekedar buah-buahan. Bagiku, apel adalah sebuah ciptaan yang sempurna dari Sang Pencipta.

Siang itu cuaca sangat panas, menembus 32° Celcius, kepalaku pusing dan aku batuk-batuk karena tidak cocok dengan udara kota industri ini.

"Kamu tampak tidak baik Ryu? Mau makan sesuatu?" tanya Pamanku, sepertinya dia melihatku sedang tidak enak badan.

"Aku mau apel paman," jawabku.

"Ajak Ringa ke toko buah di depan," kata pamanku.

Seorang gadis kecil berambut pendek keluar dari kamarnya yang berada di ruang tengah. Wajahnya yang merah karena panasnya siang ini, nampak sangat lucu. Matanya yang besar dengan bibir yang cemberut, menambah keimutan anak ini. Sepertinya, dia masih kelas 3 SD.

"Ayah, ini panas banget loh, suruh Abang Ryu berangkat sendiri aja ke warung," kata Ringa dengan wajah kesal.

"Ringa, temenin sana, kan Abang Ryu gak tahu tempatnya," bujuk paman ku.

Wajah Ringa semakin menekuk karena kesal, tapi dia menuruti perkataan ayahnya dan menemaniku ke toko buah yang ada di depan gang rumahnya.

Ringa berjalan di depanku, tubuh kecilnya meliuk-liuk dan melompat-lompat ketika perjalanan menuju toko buah.

Aku tidak terlalu dekat dengannya, karena hanya beberapa kali aku bertemu dengan Ringa, hanya ketika musim liburan datang dan umur Ringa juga jauh berada dibawahku.

Aku mencoba mengajaknya berbicara untuk mencairkan suasana, "Kamu suka apel Ringa?" tanyaku.

"Abang gak tau arti nama aku? Arti nama aku itu apel, Bang, Ringa itu apel dalam Bahasa Jepang, sebenarnya Ringo, karena aku perempuan, jadi dikasih nama Ringa, gitu bang. Aku suka banget sama apel," kata Ringa menjelaskan.

"Aaaa..." aku tertegun.

Aku baru tahu, ternyata pamanku juga menyukai apel, sampai-sampai dia memberikan nama anaknya apel, tetapi dalam bahasa lain.

Kami akhirnya sampai di toko buah, aku membeli beberapa buah apel. Aku juga memberikan Ringa sebagian dari apel yang kubeli.

"Abang kenapa suka apel?" tanya Ringa.

"Apel itu enak," kata ku pendek

Ringa masih sangat kecil jika aku jelaskan panjang lebar tentang rasa, tekstur, ataupun kandungan buah apel. Jadi menurutku, cukup jawab dengan 'enak' pun sudah ebih dari cukup.

"Tapi bang," kata Ringa tiba-tiba "apel itu bergizi tau. Malah, biji apel itu ada sianidanya, tahu bang, beracun. Maka dari itu aku kalo makan apel, aku buang bijinya," kata Ringa meneruskan

Gadis kecil yang masih duduk di bangku kelas 3 SD sudah mengerti istilah sianida, Ringa sangat cerdas untuk gadis se usianya.

"Tapi bukan berarti kalau kemakan biji apel, kita bakal keracunan, karena kandungan nya gak lebih dari 0,25mg," aku menjelaskan.

"Berarti 25 biji kan bisa bahaya," ucap Ringa.

"Bukan begitu, jadi 1 biji apel itu kandungan sianidanya gak lebih dari 0,25mg, nah dalam 1 buah apel itu terdiri dari 5 sampai 8 buah biji, setidaknya dosis yang berbahaya untuk tubuh manusia itu di angka 50-300mg, artinya butuh sekitar 200 hingga 300 biji apel yang bisa membahayakan manusia," aku menjelaskan semampu ku dengan bahasa yang mudah di mengerti.

"Kan aku cuma makan 1 buah apel, gak mungkin sanggup lah makan 200 apel, kenyang banget pasti," ucap Ringa yang jauh dari topik yang aku bicarakan.

"Bukan 200 apel, tapi 200 biji apel, jadi sekitar 20 sampai 25 buah apel baru menghasilkan 200 biji apel," aku sekali lagi mencoba menjelaskan.

"Iya loh bang, 200 apel itu kenyang, mahal juga, Ringa makan 2 aja kenyang, apalagi 200 coba," kata Ringa dengan ekspresi yang polos

Ekspektasiku terlalu tinggi, rasanya percuma saja aku menjelaskan panjang lebar, Ringa masih belum mengerti dengan penjelasanku.

Aku baru ingat, apel juga beracun, biji nya mengandung sianida salah satu racun paling mematikan di dunia. Harus menumpuk biji untuk masuk dosis yang mematikan, jika aku makan 4 buah perhari, itu tidak akan membunuhku. Lagian, orang gila mana yang makan biji apel, rasanya kan pahit.

Aku dan Ringa sampai di rumah, siang itu ibunya Ringa memasak sayur asem, aku sangat suka sayur asem, jadi aku memakannya dengan lahap.

Setelah makan, aku buat jus apel dari apel yang aku beli di tokoh buah tadi, apel nya tidak matang sempurna, rasa masamnya lebih mendominasi daripada rasa manis buahnya. Walaupun di tambah dengan gula, kualitas apel ini jauh dari kualitas dari kebun orangtuaku.

Ringa menghampiriku, saat aku sedang duduk di teras depan rumahnya menikmati jus apel yang mengecewakan.

"Abang lagi apa?" tanyanya memecah lamunanku.

"Lagi duduk aja, sambil minum jus," jawab ku singkat.

"Bang, kan banyak buah lain yang lebih manis dari apel? aku masih penasaran kenapa abang suka banget sama apel?" tanya Ringa, dia duduk tepat di sebelah kursi yang aku duduki.

Ini kedua kalinya Ringa bertanya, aku harus mencari jawaban yang bagus, agar ke depannya dia tidak lagi bertanya alasan aku menyukai apel.

"Apel itu, istimewa." jawabku.

"Istimewa? Apa yang membuat apel istimewa bang?" tanyanya lagi.

"Apel itu sebuah kecantikan dibalik kesederhanaan." jawabku lagi.

Ringa tampak bingung dengan jawaban ku. Dia menatap aku dan tersenyum, aku menatap wajahnya, gadis kecil ini, suatu hari nanti akan menjadi gadis yang sangat cantik.

Saat itu, aku tidak pernah berpikir. Gadis kecil ini, akan menjadi cerita dalam kehidupan perjalananku.

16 tahun yang lalu, aku melihat, sebuah kecantikan dibalik kesederhanaan.

Bab 2 : Pesan

Bertahun-tahun berlalu, aku saat ini duduk di bangku SMA. Aku masih ingat dengan sangat jelas, saat itu aku duduk di bangku SMA kelas satu. Waktu itu, liburan semester datang, Ringa dan orangtuanya datang ke kotaku, mereka berlibur ke kotaku.

Saat tahu Ringa akan datang, aku menunggunya dengan sangat bersemangat. Aku menyiapkan perlengkapan berkebun, karena aku akan mengajak Ringa ke kebun apel milik keluargaku.

Ringa akhirnya datang, saat ini dia sudah hampir lulus SD. Ketika Ringa turun dari mobil, hangat senyumannya sangat cantik, dia sudah tak terlihat seperti anak kecil lagi. Dia terlihat lebih dewasa, walaupun tetap saja terhitung dari usianya, dia masih anak-anak.

"Ringa!" panggilku ketika dia turun dari mobil.

"Abang Ryu, udah lama gak ketemu, abang sehat?" tanyanya.

"Sehat, aku mau ngajak kamu ke kebun apel nanti? Mau?" tanyaku.

"Mau, tapi Ringa laper," jawabnya sambil memegang perutnya.

"Yaudah kita makan dulu."

Kami segera masuk ke rumah dan bergabung dengan keluargaku yang sudah menyiapkan makan siang. Selama makan, Ringa bercerita tentang sekolahnya dan berbagai kegiatan yang dia ikuti. Aku merasa senang mendengar cerita-ceritanya, dia tampak begitu antusias dan ceria.

Setelah makan siang, kami memutuskan untuk pergi ke kebun apel. Aku membawa tas yang berisi perlengkapan berkebun, dan Ringa terlihat sangat bersemangat. Kami berjalan bersama menuju kebun yang tidak terlalu jauh dari rumah. Selama perjalanan, kami berbincang-bincang dan mengenang masa-masa liburan sebelumnya.

"Abang Ryu, ingat gak waktu kita pertama kali kita makan apel bareng?" tanya Ringa.

"Ingat banget. Waktu itu kamu masih kecil banget, dan kita beli apel di depan gang rumah kamu," jawabku sambil tersenyum.

"Iya, aku juga ingat. Rasanya baru kemarin kita beli apel bareng di toko buah, eh ini udah mau ke kebunnya aja," kata Ringa dengan mata yang berbinar-binar.

"Hehe, iya."

Kami pun segera menuju kebun apel, sesampainya di kebun apel, kami langsung mulai bekerja. Aku mengajarkan Ringa cara merawat pohon apel dengan benar, mulai dari memangkas ranting hingga memetik buah yang sudah matang. Ringa belajar dengan cepat dan tampak sangat menikmatinya.

"Abang, ini gimana caranya?" tanya Ringa sambil menunjuk ke arah ranting yang sulit dijangkau.

"Biarkan abang yang urus, kamu perhatikan aja ya," jawabku sambil menunjukkan cara yang benar.

Setelah selesai berkebun, kami duduk di bawah pohon apel, menikmati angin sepoi-sepoi yang sejuk. Aku mengeluarkan beberapa apel yang sudah dipetik dan membaginya dengan Ringa. Rasanya manis dan segar, membuat kami merasa puas dengan hasil kerja kami.

"Enak banget ya apelnya," kata Ringa sambil menggigit apel.

"Iya, ini salah satu yang terbaik dari kebun kita," jawabku sambil tersenyum.

Kami terus berbincang-bincang, mengenang masa lalu dan berbagi cerita tentang masa kini. Aku merasa sangat nyaman berada di dekat Ringa, ada perasaan hangat yang selalu muncul ketika kami bersama. Waktu berlalu begitu cepat, dan tanpa disadari matahari mulai terbenam.

"Ringa, sudah sore. Kita harus balik ke rumah," kataku.

"Iya, abang. Ayo kita pulang," jawab Ringa sambil mengangguk.

Kami berjalan kembali ke rumah, menikmati suasana sore yang tenang. Sesampainya di rumah, Ringa langsung bercerita kepada orangtuanya tentang kegiatan kami di kebun apel. Mereka tampak senang mendengar cerita Ringa dan memuji hasil kerja kami.

Hari-hari berikutnya, kami terus menghabiskan waktu bersama. Kami pergi ke tempat-tempat wisata di kotaku, mencoba berbagai makanan lokal, dan tentu saja, sering kembali ke kebun apel. Aku merasa semakin dekat dengan Ringa, dan perasaan yang dulu hanya sekadar sebagai saudara mulai berubah.

Suatu malam, setelah makan malam, kami duduk di teras depan rumah, menikmati malam yang tenang. Ringa tampak lebih diam dari biasanya, dan aku merasa ada sesuatu yang ingin dia bicarakan.

"Ada apa, Ringa? Kamu kok kelihatan diam aja malam ini," tanyaku dengan lembut.

"Abang Ryu, aku mau bilang sesuatu," jawabnya dengan suara pelan.

"Apa itu? Bilang aja, abang dengerin kok," kataku sambil menatapnya.

"Aku... aku senang banget bisa liburan di sini sama abang. Rasanya kayak pulang ke rumah kedua," kata Ringa dengan mata yang berkaca-kaca.

"Aku juga senang, Ringa. Kamu selalu membawa kebahagiaan ke sini," jawabku dengan tulus.

"Abang, aku mau tanya. Apa abang masih suka apel?" tanyanya tiba-tiba.

"Tentu aja, apel itu buah favorit abang. Kenapa nanya gitu?" tanyaku dengan sedikit bingung.

"Aku juga suka abang," jawabnya dengan jujur.

"Eeeeh, maksudnya?" aku mulai panik ketika Ringa mengungkapkan isi hatinya.

"Kan abang suka apel, berarti abang suka Ringa," katanya.

Aku terdiam sejenak, merasa terharu mendengar kata-katanya. Ringa, yang dulu hanya seorang gadis kecil, kini telah tumbuh menjadi seseorang yang sangat berarti bagiku. Perasaanku padanya semakin jelas, bukan lagi sekadar perasaan sebagai kakak-adik.

"Ringa, abang juga mau bilang sesuatu," kataku dengan hati-hati.

"Apa itu, abang?" tanyanya dengan mata yang penuh harap.

"Abang juga merasa hal yang sama. Kamu selalu membuat abang bahagia, dan abang merasa sangat beruntung bisa ketemu kamu di hidup abang. Abang ingin kita selalu bersama, apapun yang terjadi, saat kamu besar, abang berniat mau nikahin kamu," jawabku dengan penuh keyakinan.

Ringa tersenyum, dan matanya bersinar dengan kebahagiaan. Kami duduk berdampingan, merasakan kehangatan yang luar biasa. Malam itu, di bawah langit penuh bintang, aku merasa bahwa cinta kami akan selalu tumbuh dan berkembang, seperti pohon apel di kebun kami.

Liburan itu menjadi momen yang tak terlupakan. Ketika liburan berakhir, Ringa dan keluarganya harus kembali ke kota industri. Namun, kami berjanji untuk selalu tetap berhubungan dan saling mendukung. Kami sering berkirim pesan dan menelepon, berbagi cerita tentang kehidupan sehari-hari.

Hingga suatu hari, aku mendapatkan pesan dari Ringa, tapi isi dari pesan itu benar-benar berbeda dari ekspektasiku.

[Kalian masih kecil, kalian juga saudara! Jauhin Ringa sekarang, mulai dari sekarang, jangan deketin Ringa lagi, ini mamanya.]

Aku terdiam sejenak, membaca pesan itu berulang kali untuk memastikan bahwa aku tidak salah paham. Hati rasanya seperti dihantam palu besar, hancur berkeping-keping. Pesan dari mama Ringa benar-benar menghantamku dengan keras. Aku mencoba memahami maksud dari pesan itu, namun kebingungan dan kekecewaan melingkupi pikiranku.

Aku segera mencoba menghubungi Ringa, tapi panggilan teleponku tidak dijawab. Aku kirim pesan, namun tidak ada balasan. Ketidakpastian semakin membuatku gelisah. Aku tahu betul bahwa hubungan kami selalu dijalani dengan penuh rasa cinta dan penghormatan, tanpa ada niat buruk atau melanggar batas moral.

Hari-hari berikutnya terasa seperti mimpi buruk. Aku terus mencoba menghubungi Ringa, namun semua usahaku sia-sia.

Aku terus menghubungi Ringa dengan perasaan campur aduk. Akhirnya teleponku di angkat, tapi ini bukan suara Ringa. Ayah Ringa yang mengangkat telepon. Suaranya tampak serius, tidak seperti biasanya.

"Paman, saya ingin bicara," kataku dengan suara gemetar.

"Ryu. Saya juga mau bicara," kata ayah Ringa singkat.

Aku menarik nafas panjang, mencoba menenangkan diri. Tak lama kemudian, mama Ringa yang berbicara dari balik telepon.

"Ryu, ada yang perlu kita bicarakan," mulai mama Ringa dengan nada serius.

"Saya menerima pesan dari mama yang mengatakan bahwa saya harus menjauh dari Ringa. Saya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi," tanyaku dengan penuh harap.

"Kami tahu bahwa kamu dan Ringa sangat dekat, bahkan mungkin lebih dari sekadar saudara sepupu. Kami khawatir hubungan ini akan membawa masalah di kemudian hari. Kalian masih muda, dan kita adalah keluarga. Kami tidak ingin ada kesalahpahaman atau konflik di masa depan," jelas mama Ringa dengan tegas.

"Tapi tante, kami tidak pernah bermaksud untuk menyakiti atau membuat masalah. Kami hanya saling mencintai dan ingin bersama," jawabku dengan penuh perasaan.

"Kami mengerti perasaanmu, Ryu. Tapi ini demi kebaikan kalian berdua. Kalian perlu fokus pada masa depan kalian masing-masing. Jarak mungkin akan membantu kalian melihat situasi ini dengan lebih jernih," kata ayah Ringa dengan suara yang lebih tenang dari balik telepon.

Aku terdiam, mencoba mencerna kata-kata mereka. Rasanya seperti ada dinding besar yang menghalangi cintaku pada Ringa. Aku tahu niat mereka baik, namun hati ini tetap saja tidak bisa menerima.

Akhirnya, dengan berat hati, aku memutuskan untuk menerima permintaan mereka. Aku tidak ingin membuat situasi menjadi lebih sulit bagi Ringa dan keluarganya. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk tetap mencintainya, meski harus menjalani hidup tanpa kehadirannya di sisiku.

Hari-hari berikutnya terasa hampa. Aku fokus pada studiku dan mencoba mengalihkan pikiranku dari rasa sakit kehilangan Ringa. Namun, setiap kali melihat pohon apel atau merasakan aroma segarnya, kenangan indah bersama Ringa selalu kembali.

Aku tahu bahwa waktu akan membantu menyembuhkan luka ini, namun cinta kami tetap abadi dalam hati. Mungkin suatu hari nanti, takdir akan mempertemukan kami kembali, di bawah pohon apel yang selalu menjadi saksi bisu cinta kami. Hingga saat itu tiba, aku akan terus menjalani hidup dengan harapan dan cinta yang tersimpan rapi di sudut hati.

Bab 3 : Hana

Aku berusaha keras fokus pada studiku di SMA. Aku mulai aktif dalam berbagai kegiatan ekstrakurikuler seperti pecinta alam dan olahraga untuk mengalihkan pikiranku dari Ringa. Namun, setiap kali aku berada di kebun apel, kenangan bersama Ringa selalu muncul. Untuk mengatasinya, aku memutuskan untuk mencurahkan lebih banyak waktuku membantu ayahku mengelola kebun apel dan mencari cara-cara baru untuk meningkatkan produksi dan kualitas buah.

Setiap pagi, sebelum matahari terbit, aku sudah bangun dan bersiap-siap untuk pergi ke kebun. Ayahku mengajarkan banyak hal tentang cara merawat pohon apel, dari cara memangkas cabang hingga bagaimana cara mengenali tanda-tanda penyakit pada tanaman. Aku merasa semakin terhubung dengan alam dan lebih memahami betapa pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem.

"Ryu, kamu harus memperhatikan daun-daun yang menguning ini," kata ayahku sambil menunjukkan beberapa daun yang tampak tidak sehat. "Ini bisa jadi tanda awal penyakit. Kita harus segera mengatasinya sebelum menyebar ke pohon lain."

"Baik, Ayah. Aku akan memeriksa pohon-pohon lain juga," jawabku sambil mencatat hal-hal yang perlu diperhatikan.

Di sekolah, aku semakin sibuk dengan berbagai kegiatan. Klub pecinta alam sering mengadakan perjalanan ke hutan dan gunung, di mana kami belajar tentang flora dan fauna serta cara melestarikan lingkungan. Kegiatan ini sangat membantuku mengalihkan pikiran dari Ringa. Selain itu, aku juga bergabung dengan tim olahraga dan mulai berlatih secara rutin. Meskipun awalnya sulit, aku mulai menikmati latihan-latihan yang melelahkan dan pertandingan yang menegangkan.

Namun, meskipun aku berusaha sibuk, kenangan tentang Ringa selalu datang saat aku sendirian. Aku sering kali mendapati diriku merenung tentang senyumannya, tawanya, dan saat-saat indah yang kami habiskan bersama. Kebun apel menjadi tempat di mana aku bisa merasa dekat dengannya, meskipun dia sudah tidak ada di sini.

Suatu hari, ketika sedang mengerjakan proyek penelitian di sekolah, aku bertemu dengan seorang gadis bernama Hana. Hana adalah siswi pindahan yang cerdas dan penuh semangat. Dia sangat tertarik dengan alam dan lingkungan, dan kami segera menjadi teman baik. Kami sering berbicara tentang proyek-proyek yang sedang kami kerjakan dan bertukar ide tentang cara-cara melestarikan alam.

"Hei, Ryu, kamu tahu tentang proyek penghijauan di daerah utara kota?" tanya Hana suatu hari saat kami sedang berdiskusi di perpustakaan.

"Aku dengar sedikit, tapi belum banyak tahu. Kamu tertarik ikut?" jawabku sambil menatapnya dengan rasa ingin tahu.

"Ya, tentu saja! Aku pikir ini bisa jadi proyek besar untuk klub pecinta alam kita. Kita bisa belajar banyak dan membantu lingkungan," kata Hana dengan mata berbinar.

Hana juga tertarik dengan berkebun, dan sering datang ke kebun apelku untuk belajar lebih banyak. Dia membantu merawat pohon-pohon apel dan bahkan membantuku mengembangkan beberapa ide baru untuk meningkatkan produksi. Kehadiran Hana di kebun apel membawa energi baru dan membuatku merasa lebih bersemangat.

"Kamu tahu, Ryu, pohon apelmu ini bisa lebih produktif kalau kita coba teknik baru ini," kata Hana sambil menunjukkan sebuah artikel di tablet-nya.

"Oh ya? Apa itu?" tanyaku penasaran.

"Ini tentang teknik pemangkasan baru yang bisa meningkatkan aliran udara dan sinar matahari ke bagian dalam pohon. Aku pikir kita bisa mencobanya," jelas Hana.

"Bagus sekali, Hana. Mari kita coba!" kataku dengan semangat.

Seiring berjalannya waktu, persahabatan kami tumbuh semakin erat. Kami sering menghabiskan waktu bersama, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Hana juga memperkenalkanku pada beberapa teman barunya, dan kami sering pergi bersama untuk menjelajahi alam. Persahabatan kami sangat berarti bagiku, dan meskipun aku masih merindukan Ringa, kehadiran Hana membantuku merasa lebih baik.

"Ryu, kamu harus ikut kami akhir pekan ini. Kami berencana mendaki gunung," ajak Hana suatu hari setelah sekolah.

"Daki gunung? Tentu, kedengarannya menyenangkan," jawabku.

Pada akhir pekan itu, kami mendaki gunung bersama-sama. Di puncak, kami duduk menikmati pemandangan yang menakjubkan.

"Ryu, aku senang bisa berteman denganmu," kata Hana tiba-tiba.

"Aku juga, Hana. Kamu membawa banyak cerita dalam hidupku," kataku sambil tersenyum.

Aku dan Hana semakin dekat, aku juga sering menyebut nama Ringa saat kami sedang berada di kebun apel. Suatu hari, ketika kami sedang bekerja di kebun, Hana berhenti sejenak dan menatapku.

"Ryu, kamu sering menyebutkan nama Ringa. Siapa dia?" tanya Hana dengan lembut.

Aku terdiam sejenak, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menjawab.

"Ah, dia sepupuku. Aku dilarang untuk menjalin hubungan dengannya. Aku dan Ringa pernah menghabiskan waktu di kebun apel ini. Mungkin saja dia adalah cinta pertamaku," jawabku dengan suara pelan, penuh kenangan.

Hana menatapku dengan penuh empati. "Ryu, aku bisa merasakan betapa berartinya dia bagimu. Aku senang bisa mendengar cerita tentangnya," ucap Hana dengan intonansi yang nampak sedih.

Aku tersenyum kecil, merasa lega bisa berbagi. "Terima kasih, Hana. Kadang-kadang, aku merasa bahwa kenangan tentang Ringa akan selalu ada di sini, di kebun apel ini. Tapi sekarang, mari kita lanjut berkebun," kataku mengalihkan lembicaraan tentang Ringa.

Kami melanjutkan pekerjaan di kebun dengan suasana hati yang lebih ringan. Hana membantu merawat pohon-pohon apel, dan kami sering berdiskusi tentang cara-cara baru untuk meningkatkan produksi dan kualitas buah. Kehadirannya membawa semangat baru yang membuatku merasa lebih bersemangat untuk mengembangkan kebun apel ini.

Suatu hari, saat kami sedang memanen apel, Hana tiba-tiba berhenti dan menatapku.

"Ryu, aku punya ide. Bagaimana kalau kita membuat kebun apel ini menjadi lebih dari sekadar tempat menghasilkan buah? Bagaimana kalau kita menjadikannya sebagai tempat edukasi bagi anak-anak sekolah tentang pertanian dan lingkungan?" usul Hana dengan antusias.

Aku tertegun sejenak, lalu tersenyum lebar. "Itu ide yang brilian, Hana. Aku yakin ayahku juga akan setuju. Kita bisa mengundang anak-anak untuk datang dan belajar tentang cara merawat tanaman, pentingnya pertanian organik, dan bagaimana menjaga lingkungan."

Kami segera mulai merencanakan program edukasi tersebut. Hana dan aku bekerja keras, menghubungi sekolah-sekolah di sekitar dan menyiapkan materi edukasi. Kami juga membangun area khusus di kebun untuk kegiatan belajar mengajar. Tidak lama kemudian, program kami mulai berjalan, dan anak-anak sekolah datang berkunjung dengan penuh antusias.

"Hana, lihatlah mereka," kataku sambil melihat anak-anak yang sibuk belajar tentang tanaman apel. "Mereka sangat bersemangat. Aku senang kita bisa berbagi pengetahuan dan kecintaan kita terhadap alam dengan mereka."

"Ya, Ryu. Ini adalah langkah besar untuk kebun apel kita. Aku bangga dengan apa yang kita capai bersama," jawab Hana dengan senyum bahagia.

Hari-hari berikutnya diisi dengan kerja keras dan kebahagiaan. Hana dan aku terus mengembangkan kebun apel, menjadikannya tempat yang penuh makna dan kebahagiaan. Aku belajar bahwa hidup adalah tentang terus bergerak maju, menghargai kenangan, dan menciptakan masa depan yang lebih baik.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!