NovelToon NovelToon

Rabu Kliwon

Dukun Beranak Bu Inggit

"Siapa yang melahirkan , Bu?" Tanya pak Bari yang langsung menebak kesibukan istrinya yang sudah sepuh berkemas, memilah beberapa racikan orang menyebutnya bau-bauan, biar tidak ada jin atau setan yang mendekat.

Suuut ... "Famali." Cegah Bu Inggit pada Suaminya itu sambil kembali sibuk berbenah.

"Bapak antar? Kemana?" Pak Bari bertanya lagi, tidak mungkin tega membiarkan istrinya yang sudah sepuh di tengah malam seperti ini harus keluar rumah.

Pak Bari masih sabar sembari mengikuti Bu Inggit yang sibuk mencari-cari sesuatu dari dapur lalu ke kamar lagi.

"Bu, mau kemana sih? Ibu tahu malam ini malam apa?" Pak Bari mulai bicara tentang rasa cemasnya.

Bu Inggit balik melotot ke arah Pak Bari. "Suuuttt... Jangan banyak omong!" Bantahnya lagi.

"Ibu ini udah tua, lagian udah ada bidan toh Bu, kenapa sih harus tetap berangkat?" Pak Bari semakin cemas. Apalagi malam ini adalah malam Rabu Kliwon. "Aku panggilkan si Anton ya!" Ucapnya lagi masih kekeh.

"Buat apa Pak? Aku udah mau berangkat ini." Bu Inggit benar-benar tidak bisa dihentikan saat malam itu.

"Ibu mau berangkat kemana dulu?" Pak Bari menarik tangan istrinya ketika tampak Bu Inggit sudah akan membuka pintu.

"Pak, udah tua masih saja percaya yang gituan. Udah ibu mau berangkat dulu, kasian ada yang perlu bantuan ibu Pak!" Bu Inggit menaikan nada bicaranya.

Apa boleh buat Pak Bari hanya bisa menahan mulutnya untuk bicara lagi. Benar-benar aneh, di mata Pak Bari sikap istrinya yang tak biasa itu membuat dia tidak bisa tenang.

Pak Bari duduk di kursi seperti orang linglung, dia melamun dan masih bergelut dengan rasa cemasnya itu. Pikirannya benar-benar bingung, mungkin faktor usia juga jadi dia tidak bisa cepat memutuskan tindakan yang lebih baik.

Tok... Tok... Tok

Suara pintu terdengar diketuk.

Pak Bari dikagetkan dengan suara pintu itu, dia berdiri terperanjat dan ragu-ragu mendekat.

"Pak! Buka Pak!" Terdengar suara yang tidak asing dari arah luar.

"IBU!" Ucap Pak Bari kaget sambil memburu pintu dan segera membukanya.

"Bapak udah tidur Pak? Ibu capek banget ini. Untung tadi si Anton ada nganter Ibu pulang." Istrinya terus bicara. Tapi Pak Bari masih bungkam seribu bahasa.

"Capek banget Pak, tadinya ibu mau nginep aja di rumah ibu restu, tapi gak tau kenapa kok gak tenang ya mending pulang aja." Cerita lagi Bu Inggit sambil menurunkan barang bawaannya kemudian duduk.

"Oh ia, tadi siang ibu lupa gak pamit. Tapi si Retno ada kan datang?" Tanya istrinya. Kemudian saatnya momen mata Bu Inggit menangkap keanehan dari sikap suaminya.

"Pak! PAK!" Sambil memandangi Pak Bari yang diam saja. Bu Inggit menggoyahkan tubuh Pak Bari saat itu.

"Ia Bu, ibu dari mana Bu?" Tanya Pak Bari terdengar seperti bingung.

Bu Inggit tampak menarik napas, entah jengkel. "IBU, TADI SIANG PERGI KE DESA SEBELAH PAK!" Ibu Inggit mulai jengkel. Tanpa menunggu respon suaminya dia langsung berdiri bangkit dan seperti berbenah melepaskan baju di dalam kamar.

Tanpa terlihat dan disadari oleh Bu Inggit, pak Bari dari tadi sudah tampak gemetar tak biasa menahan rasa takut karena sesuatu yang terjadi lagi di rumahnya.

"Pak! Kok di kamar berantakan?" Teriak Bu Inggit dari dalam kamar.

Pak Bari terperanjat kaget mendengar istrinya berteriak.

Tok....tkk...tok....

"Pak! PAK! PAK!" Terdengar suara lirih seperti sangat dekat sekali dari arah pintu.

Mematung mendengarnya, di luar terdengar suara istrinya els sekali, tapi di rumah istrinya juga baru saja datang.

Pak Bari yang bingung menjadi diam lagi seribu bahasa. Apa yang terjadi? Pa Bari tak bisa berkata-kata.

Selama beberapa menit berpikir panggilan di luar pun sudah tak terdengar lagi, hanya sebatas 3 kali panggilan yang terdengar kemudian diam lagi. Begitu pun suara dari dalam kamar. Pak Bari memandangi pintu kamar dengan takut, sekarang dia tidak mendengar suara istrinya yang baru saja datang. Perlahan suasana di sana sangat sepi sekali, menjadi sunyi tanpa ada suara dari siapapun yang bicara.

Pak Bari bingung tidak tahu harus bagaimana. Dalam kondisi lemah karena usianya juga sudah tua, langkah kaki Pak Bari yang sekuat tenaga kedua kakinya itu dia seret untuk melangkah ke arah kamar.

Langkah demi langkah sampai akhirnya dia tiba di depan pintu kamar.

Kedua tangannya yang gemetar mendorong pintu kamar untuk mengecek siapa yang ada di kamar, apakah istrinya masih di dalam.

Dan tanpa disangka di dalam kamar ternyata kosong tak ada siapapun. Pak Bari benar-benar setengah mati merasa takut. Sampai ada sesuatu yang bergerak keluar, seperti rambut dari bawah kolong tempat tidur. Melihatnya sekilas kedua mata Pak Bari melotot takut. Entah apa yang terlihat pada detik itupun Pak Bari langsung pingsan.

####

"Astaghfirullah, udah Ton. Lu udah ikhlas, harus ridho dengan kematian Bu Inggit. Lu udah dewasa juga." Terdengar Bu Retno yang terus bicara menenangkan Anton saat itu.

Pak Bari yang duduk melamun sedikitpun tak bereaksi saat itu menambah kesan yang sangat menyedihkan.

"Nak Anton, Ibu pamit pulang ya." Terlihat dua orang tetangga menyerahkan amplop ke tangan Anton yang masih menangis saat itu.

"Jang. Abah pamit ya! Jag bapak mu tuh!" Ucap Ki Basri sambil menunjuk ke arah Pak Bari.

Rumah Pak Bari seketika dipenuhi para tetangga. Sedangkan yang menjadi mayat di depan orang-orang adalah jasad Bu Inggit. Tadi subuh para warga menemukan jasad Bu Inggit di tengah jalan. Keadaannya sangat mengenaskan sekali, katanya Bu Inggit mati seperti orang melahirkan, ada sesuatu yang keluar dari dalam rahim Bu Inggit, tapi kata yang tahu itu adalah rahim milik Bu Inggit, terjuntai begitu saja keluar.

Naas sekali, tidak ada yang tahu juga bagaimana keadaan keluarga Pak Bari. Kemarin malam istrinya tiba-tiba ada di dalam rumah saat Pak Bari sedang tidur. Ketika bangun di tengah malam Pak Bari melihat istrinya yang sibuk mempersiapkan bekal untuk lahiran orang lain dan pamit pulang. Tak lama istrinya pulang bersama Anton anaknya.

Begitupun sesuatu yang terjadi pada Anton adalah didatangi oleh Ibunya sendiri di tengah malam dan diminta untuk diantar pulang. Anton tak sempat bertanya mengapa malam-malam ibunya itu datang ke tempat pos kamling dan harus diantar pulang, padahal jarak pos dengan rumahnya tidak begitu jauh.

Tidak ada satupun orang yang tahu tentang cerita yang menimpa keluarganya Pak Bari.

Seolah menjadi Kila-kila atau pertanda malam itu adalah memang kematian dari istrinya Pak Bari seorang dukun beranak di desa itu.

Mengenaskan sekali entah apa yang terjadi Bu Inggit meninggal dengan cara yang tragis.

Gentayangan, Famali!

"Bu, tahu gak Bi Inggit. Kok bisa ya orang yang suka nolong gitu meninggalnya dengan cara yang di luar Nurul." Seorang tetangga julid yang baru saja pamit langsung menggosip pada lawan bicaranya ketika di perjalanan pulang.

"Astaga Bu, siapa yang tahu sih keburukan orang. Kita gak tahu ya, bener gak sih Bi Inggit itu nolong orang?" Timpal ibu-ibu yang sedang bersamanya tak kalah julid.

"Zaman sekarang masih ada yang mau lahiran sama dukun , jangan-jangan bukan lahirnya toh Bu." Mulutnya memang tidak bisa dijaga dan paling enak kalau bicara yang tidak-tidak.

"Alasannya saja ya. Ih merinding aku kalau inget lagi. Mana dia meninggal di jalanan di depan sana lagi." Ucapnya yang langsung menghentikan langkah.

Teman bicaranya langsung balas melihatnya. "Terus kalau meninggal di sana, hantunya juga ada di sana gitu?" Sewotnya tampak percaya diri. "Mana coba, biar aku samperin hantu Inggit itu." Celotehnya tak kenal sopan santun. Sambi berlagak jalan dengan percaya diri maju ke depan sendirian. Sedangkan temannya tadi yang sudah setengah mati merinding diam saja melihat dari belakang.

"Yang beginian mah Cemen. Mana ada hantu di siang bolong. Makan tuh hantu!" Seperti orang kesetanan, dia berbicara sendiri sambil memaki orang yang baru saja meninggal di sana. "Cepat kita pulang sekarang!" Ajaknya kemudian berbalik.

"SETAAANNNN!!!" Teriak Rita sambil berjalan menjauhinya.

Mendengarkan istilah yang harusnya dia takuti seketika bagi Lilis mau tak mau dia tak bisa menyangkalnya, memang sedikit merinding sih. Apalagi saat temannya lari seperti itu artinya ada sesuatu yang tidak beres.

Kedua kakinya terdiam di tempat. Lilis berpikir dia terlalu gugup sampai tidak bisa melangkahkan kakinya itu.

Dicobanya lagi. "Astaga berat sekali." Pikirnya dalam hati.

"Lis, ngapain kamu di situ?" Seseorang terdengar bertanya.

"Tolong.... Tolong! Cepat bantu saya ini. Kakinya mendadak berat." Tanpa basa-basi Lilis langsung menyahut.

Seperti yang diharapkan, tampak seorang yang memakai kerudung merah dengan sarung yang dipakai dan baju gamis pendek yang menolong Lilis. "Coba angkat kakinya, Lis!" Ucapnya.

"Ah, yang bener dong Git! Angkat yang bener nih susah lah." Protes Lilis karena dia tak terima jika kakinya masih sulit diangkat meski sudah ada yang membantunya.

"Udah dicoba sekali lagi!" Ucapnya membalas protes Lilis.

Dalam detik ke lima akhirnya kaki Lilis berhasil diangkat.

"Wah ajaib. Akhirnya kaki yang berat bisa diangkat juga." Ucapnya senang. "Ngomong-ngomong mau kemana, Git?" pekik Lilis langsung menghentikan ucapannya saat itu juga. Terngiang jelas nama INGGIT terekam oleh otaknya, apalagi wajah INGGIT yang jelas terlihat tadi. Di saat-saat terlambat Lilis baru sadar jika INGGIT sudah meninggal.

Sekarang bukan lagi masalah pada kakinya yang berat, percaya tidak percaya Lilis melihat Inggit yang datang.

Wajahnya langsung panik, ketakutan karena terus mengingat kejadian 5 menit yang lalu. Lilis sampai tidak berani menoleh juga saat itu, dia tidak berani jika ternyata Inggit masih ada di belakangnya.

Alih-alih berbalik Lilis malah menangis dan juga sampai dia mengompol di celana. "Pak RW tolongin gua kenapa. Tolong! Tolong! Takut ini." Lilis terus bicara sendirian dengan rengekannya seperti anak kecil. Sedihnya tidak ada satupun orang yang lewat di sana.

"Tolong woy!" Ucapnya lagi sambil merengek.

Setelah menit berlalu barulah tampak dari kejauhan ada rombongan orang yang berjalan kearahnya. Lilis menebak jika orang-orang itu baru saja pulang dari rumah Inggit tadi.

"Tolong! Tolong!" Teriak Lilis sengaja terus histeris.

Mendengarkan teriakkan Lilis orang cepat-cepat berlari datang menghampiri.

"Astaghfirullah, Lilis." Ucap pak RT yang memimpin beberapa orang tadi.

Lilis berhenti merengek, setidaknya dia sudah merasa lega karena yang datang adalah rombongan Pak RT. Tapi kenapa dia harus mengompol juga di saat-saat seperti ini? Lilis mulai tak enak berdiri, dia menyembunyikan gamis basah karena ompolnya sendiri.

"Wah, Lis kamu ngompol?" Tebak mang Harun di samping Pak RT. "Kenapa Pak RT? Lihat tuh!" Pinta Harun malah mempertegas orang-orang yang ikut melihat ke arah gamis basah yang dipakai Lilis.

"Udah tua gini kamu masih ngompol Lis." Ejek Pak RT menggelengkan kepala. "Kenapa kamu Lis ngompol sampe teriak-teriak minta tolong." Pak RT TK habis pikir dengan tingkah Lilis.

"Bikin malu aja!" Pak Samsul tiba-tiba datang dan tak peduli dengan Lilis istrinya, dia langsung menarik tangan Lilis sampai akhirnya pak Samsul membawa Lilis pulang melewati jalan tadi.

Lilis hanya diam pasrah, dia juga malu.

"Astaga kelakuan nenek-nenek." Ejek Hardi anak kecil yang ikut rombongan Pak RT.

Pak RT mulai memimpin orang-orang untuk jalan, tujuan Pak RT membawa rombongan yang terdiri dari bapak-bapak dan orang dewasa juga ada anak kecil yang ikut tidak lain ingin menggali kuburan tak jauh dari jalanan yang baru saja mereka lewati. tempat itu adalah pemakaman umum, semua warga yang meninggal di makamkan di sana.

"Lanjut saja Pak RT, kayak yang mau hujan gini." Setibanya di tempat yang sudah diberikan patok sebelumnya Parto berkomentar dan ingin cepat menyelesaikan pekerjaannya.

"Ayo dibantu bapak-bapak! Kita lanjutkan sekarang." Pak RT mengajak yang lainnya.

Karena sudah mengumpulkan dan masing-masing membawa alat lengkap akhirnya penggalian kuburan untuk Bi Inggit dilakukan saat itu juga, berharap tidak keburu turun hujan.

"Pak RT. Kayaknya mending pasang tenda dulu, takut hujan!" Sambil melihat ke arah langit Parto terus mengingatkan orang-orang sekalian karena dia merasa benar akan turun hujan.

Pak RT melihat sejenak, benar saja awan hitam sudah mengumpulkan di atas langit sana.

"Coba minta bantuan warga lain, biasanya di mesjid juga ada buat tenda-tenda. Bener mau hujan." Pak RT meminta salah satu orang untuk cepat pergi ke mesjid.

"Kamu aja Man! Pergi sana ke mesjid!" Perintah Parto mempertegas maksud Pak RT!

"Yuk anter Hamid!" Mandra malah meminta Hamid mengantarnya, tampak dia sedikit ketakutan. Alasan Mandra takut karena ketika kejadian pada malam itu dia yang sedang bersama Anton, Mandra jelas melihat BI Inggit meminta Anton anaknya untuk diantarkan pulang.

"Astaga, masih siang woy. Pergi sendiri.!" Pak Parto geram dengan tingkah Mandra.

Mandra diam dan masih memperlihatkan rasa takutnya itu.

"Lah, udah hujan aja ini!" Pak RT langsung merasa jika air hujan turun di atasnya saat itu.

Spontan karena ucapannya orang-orang ikut memastikan dan benar saja mereka semua melihat air hujan turun.

"Cepet Mandra!" Parto semakin marah dan memaksa Mandra untuk pergi. "Hardi! Ikut si Mandra!" Pak Parto balik bicara ke arah anaknya.

Hardi berdecak kesal. "Mandra... Mandra kebangetan." Celotehnya.

Mau tidak mau Mandra dan Hardi yang masih kecil bersama pergi ke mesjid untuk mengambil keperluan yang dibutuhkan.

####

Arwah BI Inggit

Di rumah Bi Inggit. Suaminya Pak Bari masih melamun, sorot matanya kosong. Mungkin dia masih kepikiran tentang kejadian malam tadi. Sedangkan Anton anaknya masih tetap histeris saat itu, dia tidak bisa menerima kematian ibunya apalagi dengan cara yang tidak wajar.

"Pak Bari! Udah jangan ngelamun terus gitu." Ibu-ibu menghampiri. "Gini ya, mending Pak Bari lapor polisi aja gimana? Biar gak penasaran semuanya kita serahkan ke polisi." Bisiknya.

Pak Bari tak bergeming. Tidak ada raut tertarik sama sekali dengan saran itu.

"Sut. Bu udah jangan ikut campur!" Seseorang lagi cepat mendekat.

"Aku toh kasihan sih, katanya itu, anu meninggalnya rahimnya sampe keluar gitu." Sambil bergidik ngeri ibu-ibu yang menghampiri Pak Bari berbicara pada temannya.

cepat-cepat Ibu-ibu sebagai lawan bicaranya langsung menyumpal mulut tak tahu malu itu. "DIAM! DIAM!" Makinya sambil melotot.

Tidak ada rasa iba sekali, di hadapan keluarga Mayat harus bicara seenaknya seperti itu.

Beruntung karena teguran berhasil mendiamkan Ibu-ibu yang seenaknya bicara.

Semuanya kembali duduk tertib.

Duaarrhh... Suara petir menyambar di tengah suasana hening di dalam rumah.

"Astaghfirullah..." Kebanyakan orang langsung beristighfar sambil menahan dada menunjukkan rasa kagetnya.

Semua orang, tanpa terkecuali tidak ada yang tidak terkejut mendengarnya, suara petir yang tiba-tiba menyambar membelah langit membuat setiap pasang mata langsung membulat kaget.

"Hujan." Kemudian seru seseorang yang saat itu langsung masuk ke dalam rumah. Setelah kejadian petir sekarang adalagi yang ribut terburu-buru masuk ke rumah menambah keruh suasana.

Orang-orang saling pandang. semua berpikiran sama, menunjukkan kebingungan satu sama lain. Memang betapa beratnya untuk saat ini jika harus mengantar jenazah ke pemakaman yang jaraknya itu lumayan jauh, ditambah turun hujan semakin lebat.

Bari memandangi jenazah istrinya yang sudah ditutupi kain. Sekarang baru tampak jelas raut wajahnya yang sedih, sangat sedih. Dukanya semakin dalam, karena dia mulai khawatir jika istrinya itu tidak bisa dimakamkan sebab tidak ada yang mau mengurusinya.

"Coba telpon pak ustad, kita salatkan jenazah di rumah saja sepertinya!" Saran seorang bapak-bapak seusia dengan Pak Bari memecahkan keheningan orang-orang. Dari pada tampak saling bingung lebih baik masalah cepat diselesaikan satu persatu.

Orang yang diajaknya bicara adalah Bu RT, tidak menunda waktu Bu RT langsung menelpon pak ustad dari hp miliknya.

Beberapa saat yang ditunggu.

"Assalamualaikum." Terdengar salam seseorang yang masuk. Bersamaan salam diucapkan orang-orang serentak menjawab. "Waalaikum salam."

Terlihat lega karena yang baru datang adalah anak dari pak ustad. "Maaf, hujan deras di jalanan tadi." Ucapnya ramah. "Bapak gak bisa datang, biar saya yang mengurusi jenazah Bi Inggit, kasian ya sudah lama menunggu." Ucapnya membuat semua orang terutama Pak Bari merasa lega seketika.

Tak menunggu lama, bapak-bapak yang sudah dari tadi menunggu di dalam rumah mulai mengambil wudhu untuk menyalatkan mayat bersama di pimpin oleh Anak dari Pak Ustad.

####

Malam di rumah Pak Bari.

Bersyukur sekali karena Pak Bari memiliki saudara yang sangat peduli. Meski melewatkan proses pemakaman tadi siang, tapi setelah malam saudara dari Pak Bari datang juga. Pak Bari sudah maklum karena saudaranya tidak tinggal satu desa dengannya, melainkan di desa sebelah.

Setelah acara doa dan tahlil selesai dilaksanakan, sesudah isya berkumandang dan solat pun sudah ditunaikan.

Sekiranya sekarang sudah pukul 09.30 malam. Maklum sekali karena tidak ada acara tv di rumah Pak Bari pasti membuat orang-orang pada mengantuk. Yang lainnya mulai izin untuk tidur, sedangkan Pak Bari masih duduk melamun di kursi di satu ruangan bersama yang lainnya.

"BI, mau tidur sekarang? Itu di kamar Anton saja Bi!" Anton sangat peka langsung menghampiri bibinya karena dia melihat bibinya yang sudah menguap beberapa kali.

"Tuh. Jangan ngelamun terus!" Ucap Bi Tari pada Anton menunjuk ke arah Pak Bari ayahnya yang masih duduk melamun.

Anton menghela napas. Bukannya dia tidak memikirkan bagaimana kematian Ibunya itu, tapi jika dia terus larut dalam kesedihan dan rasa tak terima, mungkin siapa lagi yang bisa menjadi penguat untuk ayahnya. Terutama Anton adalah anak satu-satunya BI Inggit dan Pak Bari.

"Pak! Anton mau pergi ke pos, mau jaga malam!" Ucap Anton berdiri di samping Pak Bari.

Bi tari yang kebetulan mendengarnya sampai tak percaya, ada apa dengan Anton? Kenapa Anton malah meminta izin untuk pergi ke pos? Benar-benar tidak bisa diharapkan.

Pak Bari langsung menoleh melihat anaknya. "Astaghfirullah, kamu mau pergi saja?" Terdengar Pak Bari bicara, begitu tidak bisa menyangka dengan keinginan Anton.

"Ibu baru aja meninggal ya Pak? Anton tahu Ibu baru meninggal." Jawab Anton masih dengan nada bicara yang sama.

"Kamu gak bisa berubah ya? Bicara gitu sama orang tua." Pak Bari seolah terpancing emosi.

"Kalau bapak ini orang tua, kenapa bapak gak bisa kuat kaya Hardi?" Ucap Anton, Hardi yang dimaksud adalah anak kecil, tak lain anak dari pak Parto yang ikut melayat tadi.

Pak Bari terdiam seribu bahasa. Mendengarkan nasehat anaknya dia tidak bisa berkata-kata. Benar mungkin seharusnya Pak Bari lebih bersikap dewasa lagi.

"Bapak mau tidur sekarang!" Seolah menyudahi perdebatan, Pak Bari akhirnya pergi ke arah kamar dengan sendirinya.

Anton terdiam, dia tidak benar-benar akan pergi ke pos, tidak mungkin.

"Udah, kamu juga istirahat di kamar!" Pinta bi Rita.

"Udah bibi aja sana yang di kamar, aku di sini saja." Anton kemudian duduk di kursi panjang tempat tadi bapaknya melamun.

"Bangunkan si tita, masa mau ditinggal di luar bi!" Anton mengingatkan bibinya untuk sekalian mengajak anaknya itu agar cepat berkemas ke kamar.

Setelah semuanya tidur, barulah yang tersisa di ruangan hanya Anton saja.

Anton semakin tidak bisa tidur saat itu. Dia terdiam dan beberapa kali melamun. Sayangnya lamunan Anton tetap tentang permintaan ibunya pada malam tadi yang memintanya harus diantarkan pulang.

Secepat itu kenyataan, ketika subuh pulang dari pos Anton harus melihat bapaknya yang pingsan dan ibu tidak di rumah.

Membahas tentang kematian ibunya, Anton merasa seperti diingatkan sesuatu, memang ada yang salah dengan kematian Ibunya itu.

Kenapa ibunya malah ditemukan meninggal subuh tadi di jalanan. Di rumah bapak juga pingsan sendirian, kenapa bapak pingsan? Apa terjadi sesuatu? Pasti ada yang tidak dia ketahui, tapi apa? Kenapa Pak Bari belum juga bercerita. Anton bertanya-tanya dalam hati, karena bekuk sempat bicara jadi dia tidak tahu alasannya.

00.35 WIB

Gubrak ...

Suara seperti ada sesuatu yang menggebrak pintu.

Tari berusaha membuka matanya itu, meski rasanya sangat susah. Tapi mendengarkan gebrakan seperti tadi membuat dia langsung terbangun karena suaranya.

Tari bangun dari tidur sambil mengucek mata. Samar terlihat sosok perempuan yang sangat dikenalnya.

Baru saja membuka pintu kamar. "Teh Nyai Baru pulang?" Sambil menguap tari bicara.

"Ini mau ada lahiran sebentar lagi. titip si Anton ya!" Terdengar suara Bi Inggit yang dipanggilnya Teh nyai.

Hanya mengangguk lembut, dia pun belum sepenuhnya sadar dan akhirnya memilih kembali tidur di samping anaknya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!