PERHATIAN! PERHATIAN!
Ini dunia penulis, jadi apapun yang terjadi didalamnya suka-suka penulis. Kalian para pembaca cukup menikmatinya saja dan tinggalkan jejak yang berarti untuk penulis sebagai dukungan agar penulis selalu dalam suasana hati yang baik dan bisa menyuguhkan cerita yang terbaik untuk menghibur pembaca semuanya.
Sayang pembaca banyak-banyak!❤️🧡💛💚💙💜🤎🖤🤍😘
Lorong bercat putih itu terasa dingin dan mencekam, ditambah dengan adanya seorang pria berjas yang sudah terlihat kusut tengah berjongkok mencengkeram erat rambutnya tanda amat tertekan didepan sebuah pintu bertanda ruang UGD.
Bersamaan dengan itu, keheningannya diganggu oleh suara dering telepon yang berada di saku celananya, terlihat nyaris keluar.
Tapi, pria itu tidak terlihat terganggu dengan suara tersebut. Dia tampak lebih fokus pada pintu ruangan didepannya dengan perasaan gusar dan takut. Sampai seorang perawat yang lewat menyadarkannya kalau ponselnya sedari tadi berdering.
Dalam keadaan masih linglung, dia pun mengangkat panggilan itu.
"Halo..." suaranya lirih sekali, sarat akan ketidakberdayaan.
"Sayang, syukurlah. Akhirnya, kau mengangkatnya. Aku pikir terjadi sesuatu padamu. Tadi, sekretaris mu menelpon ku dan memberitahu ku kalau kau tidak mengangkat telponnya. Padahal ada jadwal rapat penting pagi ini. Kau dimana? Apa sesuatu menghalangi mu?" suara seorang wanita terdengar dari seberang sana. Terdengar khawatir juga lega. Mungkin karena, akhirnya suaminya mengangkat telponnya.
Akan tetapi, pria itu sudah tidak bisa berpikir jernih saat ini. Sesuatu telah terjadi dan itu membuatnya ketakutan.
"Hah... Istriku..." dia menelan ludah sebelum kembali bersuara.
"Iya, ada apa?" suara sang istri masih lembut terkendali.
Pria itu merasa tak kuat untuk mengatakannya, tapi akhirnya yang dia ucapkan adalah... "Datanglah ke Rumah Sakit Amanda... Diruang UGD... Aku membutuhkanmu..." air mata menetes usai mengatakannya.
Di ujung telpon sana, sang istri dibuat ketakutan mendengar suaminya berada di rumah sakit. Ditambah dengan nada bicaranya yang seolah menyiratkan kalau sesuatu yang fatal telah terjadi.
Tanpa berlama-lama...
"... Oke! Tunggu aku kesana! Jangan khawatir! Aku bersamamu, sayang!" dan setelahnya panggilan itu diputus segera.
Pria itu kembali lemas seraya menatap penuh harap juga takut ke arah pintu ruang UGD.
Tak berselang lama, dokter yang bertanggungjawab keluar. Dia melepas maskernya, lalu berkata. "Kami telah berusaha semaksimal mungkin, tapi kondisinya terlalu parah. Operasi pun tak memungkinkan. Pendarahannya juga terlalu deras. Kami sudah berusaha menghentikan pendarahan agar operasi bisa dilakukan, tapi kami kekurangan waktu. Pasien sudah kehilangan banyak darah dari sebelum tiba di rumah sakit..."
"Jadi... Ma...ma..maksud, dokter..." pias sudah wajah pria itu kala mendengar kalimat pertama yang sudah jelas memberitahunya kalau kemungkinan diselamatkan teramat kecil.
Sang dokter hanya bisa menghela nafas atas ketidakmampuannya karena bagaimanapun dia hanyalah manusia biasa yang menjadi perantara dalam menyelamatkan orang menggunakan profesinya.
"Pasien di nyatakan meninggal hari ini pukul 10.18. Sekali lagi, kami minta maaf." Dokter tak bisa berbuat apapun.
Tubuh pria itu terhuyung kesamping sebelum berhenti karena seseorang memegangnya. Dengan sisa tenaga pria itu menoleh, dia pikir sang istri sudah tiba. Tapi, yang dilihatnya justru seorang gadis mungil yang cantik dan menggemaskan sedang menahan bobot tubuhnya bersamaan dengan matanya yang memerah dan berkaca-kaca. Tampak air mata siap jatuh dari pelupuk matanya kapan saja.
Gadis itu tidak melihat kearahnya, tapi kearah pintu. Melihat itu, pikiran pertama pria itu adalah gadis ini haruslah anak dari pria yang ada didalam ruang UGD itu. Pria yang baru saja dinyatakan meninggal dunia.
Sekujur tubuh pria itu tegang jadinya, menatap gugup dan bersalah pada gadis itu hingga spontan pria itu menjatuhkan tubuhnya menjadi berlutut didepan gadis yang berdiri dengan tatapan kosongnya. Bahkan saat pria yang dia tahan tubuhnya berlutut, dia terlihat tidak menyadarinya.
"T.. Tolong... Tolong maafkan saya. Maafkan saya. Tidak seharusnya saya melakukannya. Maafkan saya... Sungguh maafkan saya. Tolong maafkan saya. Saya mohon. Maafkan saya... Nak, maafkan saya. Tolong. saya mengaku salah. Tolong maafkan saya..." dan sisa kalimat yang pria itu ucapkan tanpa henti tak lagi terdengar ditelinga gadis itu.
Telinganya terasa berdengung dan memblokir segala suara yang ada disekitarnya sebelum memutar kembali beberapa kalimat yang pernah dia dengar dari pria didalam ruangan itu. Beberapa kalimat yang ternyata adalah pertanda.
Dengan langkah berat dia memaksa untuk masuk kedalam ruangan yang menjadi tempat terakhir dia bisa melihat pria yang tak lain adalah ayahnya dengan air mata berlinangan.
"Berapa lama kita sudah hidup berdua? 5 tahun, ya... Tidak terasa sudah selama itu. Haha..."
Dia ingat senyum tanpa bebannya kala itu.
"Nak, aku merindukan ibumu. Apa kau merindukannya juga?"
Dia ingat melihat pria paruh baya itu sedang memandangi foto istrinya dengan mata penuh cinta.
"Hei, carilah suami. Jadi, aku bisa lega. Jika, aku tiba-tiba pergi aku tidak akan merasa bersalah karena meninggalkan mu begitu saja... Ouh, kenapa kau memukul ayahmu. Hahaha..."
Saat dia kesal mendengar perkataan pria itu hingga memukulnya beberapa kali. Tentu saja bukan dengan pukulan yang sesungguhnya.
"Putriku, ini uang tabungan yang sudah ku kumpulkan selama 5 tahun terakhir ini. Kau pegang sekarang. Biar aku lega. Soalnya, hanya ini harta yang bisa ku tinggalkan untukmu. Hei, kau memukulku lagi. Dasar anak durhaka! Hahaha... Iya, iya... Maaf... Kau ini."
Dia ingat saat itu, kurang dari sebulan yang lalu dia sekali lagi memukulinya karena sering mengucapkan tentang kematian yang tak pernah mau dia dengar, tapi pria itu malah tertawa tanpa beban.
Selalu seperti itu...
"Putriku kenapa cantik sekali... Padahal ayah dan ibunya biasa saja. Aku jadi cemas jika tiba-tiba meninggal dan meninggalkan mu sendiri... Hah... Jangan marah. Ini adalah fakta yang tidak bisa dihindari. Jika bukan kau yang meninggal lebih dulu bukankah sudah pasti ayahmu ini? Tapi, aku berharap kau memiliki umur yang panjang, sampai menikah, memiliki anak, melihat anakmu tumbuh besar, melihatnya menikah, lalu memiliki cucu, membantu merawat cucu... Oh oh oh... Dipukul lagi? Iya, aku juga mau melihatnya. Iya, iya. Aku akan berumur panjang. Jangan khawatir."
Tiada hari dia dibuat kesal olehnya.
"Nak, tampaknya ayah berhasil membesarkan mu. Bagaimana ini?! Aku jadi khawatir meninggalkan mu lebih dulu. Haruskah aku mencarikan suami untuk mu dulu? Astaga, jangan menangis. Maaf, maaf, ayah mengatakan sesuatu yang salah."
Dia menangis mendengar pria itu kembali mengatakannya seolah tak ada harapan mereka akan bersama untuk Waktu yang lebih lama.
"Anakku, mungkin ini terdengar tak menyenangkan untuk mu. Tapi, tolong dengarkan saja. Kau pasti tidak senang jika aku mengatakan soal kematian. tapi, kau harus tahu kalau itu hal yang sudah pasti. Hanya saja, siapa diantara kita yang lebih dulu pergi adalah hal yang tidak bisa ditebak. Karena itu, ayah ingin kita siap lebih awal. Jangan sampai seperti saat ibumu meninggal. Kita tidak siap hingga nyaris mengacaukan hidup kita sendiri. Kali ini, kita harus siap pada apapun yang terjadi. Ayah hanya minta satu hal padamu... Jika, ayah pergi lebih dulu, entah dengan cara seperti apa, tolong ikhlaskan kepergian ayah dan berlapang dada lah pada apapun yang mungkin menjadi alasan ayah pergi. Jangan juga sedih berlarut-larut, ayah tidak suka. Sebagaimana ayah membahagiakanmu selama ini, kau harus menjaga hal itu meski nanti tanpa ayah. Paham, nak?"
Saat itu dia diam dengan banjir air mata sambil melihat pria itu berbicara.
"Putriku sayang, ayah pergi dulu ya. Jaga dirimu baik-baik. Jangan lupa makan tepat waktu. Ingat apa yang sudah ayah ajarkan padamu, tahu?! Anak ayah sudah besar dan sangat membanggakan. Jadi, ayah tidak khawatir. Kecuali satu, jodohnya belum juga kelihatan..."
Itu adalah kalimat terakhir dari sang ayah yang dia dengar pagi ini saat sang ayah keluar dari rumah sambil berpamitan hendak bekerja.
Tak disangka itu adalah kalimat serta pesan terakhir yang akan dia dengar.
Selesai suara itu menggema di telinganya, bertepatan dengan dia tiba di samping ranjang yang masih ditempati oleh sang ayah.
Wajah sang ayah masih terlihat dengan jelas , hanya saja kali ini tidak lagi memerah dan hangat dengan senyum yang tak pernah berhenti merekah. Sayangnya, badannya berbalut perban penuh sehingga dia tak bisa melihat apakah badannya baik-baik saja atau tidak. Tapi, mendengar pernyataan dari polisi yang menghubunginya membuatnya bersyukur karena wajah sang ayah masih bisa di lihat dan kenali.
Air mata mengalir tanpa bisa dicegah sedari tadi, hanya saja suaranya tertahan. Dengan gerakan kaku, dia menundukkan kepalanya dan mendekatkan bibirnya ke kening sang ayah. Menciumnya lama dengan air mata berlinangan.
Sebelum berbisik dengan suara sengau yang bergetar. "Aku ingat, ayah... aku sangat ingat. Aku sudah besar dan tidak akan membuat mu berhenti bangga padaku. Aku janji."
Dia tak berani memeluk tubuh sang ayah, karena takut kalau tubuh itu sebenarnya sudah tak berbentuk lagi tapi, pihak dokter berusia menyusunnya kembali seperti semula dengan segala usaha mereka.
Begitu dia menegakkan tubuhnya kembali, suara bergetar lain terdengar.
"Saya yang akan bertanggung jawab atas segalanya. Tolong izinkan saya."
Kini, barulah dia dapat melihat pria didepannya yang sesuai penjelasan polisi kalau pria ini adalah pria yang menjadi penumpang terakhir yang menaiki taksi yang ayahnya kemudikan.
Menurut kesaksian pria ini, dia mengakui kesalahannya karena saat itu sedang terburu-buru untuk pergi ke kantor tapi mobil pribadi yang dia tumpangi malah mogok ditengah perjalanan, membuat emosinya agak tak terkendali karena diburu waktu. Jadi, demi tidak menunda waktu pria ini pun meninggalkan mobilnya beserta sopirnya dan langsung mencari taksi. Begitu menemukannya dia langsung meminta sopir taksi untuk bergegas. Sampai di persimpangan lampu merah, pria ini yang menuntut sopir taksi agar mengebut setelah dia melihat waktu yang tertera di sisi lampu lalulintas dimana saat itu menandakan akan berubah dari hijau ke merah. Dia hanya berpikir tak ingin terlambat. Sayangnya, saat berhasil menerobos di detik terakhir lampu hijau, kendaraan disisi samping melakukan hal yang sama dan terjadilah kecelakaan itu.
Sebuah mobil box besar menghantam mobil taksi tepat di bagian samping pengemudi. Sisa cerita sudah bisa dibayangkan.
Dapat dia lihat pria yang seumuran ayahnya ini juga tak kalah berantakannya dengan dia, menandakan kalau dia benar-benar menyesalinya.
Dia juga tak bisa marah, dia mengingat perkataan sang ayah. Ini adalah takdir. Apapun cara sang ayah pergi, itu semua adalah takdir dan tidak perlu menyalahkan siapapun. Jadi, gadis itu hanya melihat dan tidak memarahi pria itu.
Dia memilih menerimanya, dengan tujuan agar pria didepannya ini bisa berhenti merasa bersalah.
"Terimakasih, Tuan. Semoga saya tidak merepotkan anda." senyum merekah di wajah kuyuh pria itu, seolah perkataannya ini adalah tanda kalau dia memaafkannya.
"Terimakasih... Terimakasih..." suaranya sampai serak karena sejak tadi terus memohon maaf padanya.
"Dan, Tuan... Tolong jangan menyalahkan diri anda. Ini sudah takdir. Sudah takdir Ayah saya pergi dengan cara seperti ini. Setidaknya ini lebih baik daripada dicelakai orang dengan sengaja, kan. Jadi, Tuan harus berhenti menyalahkan diri sendiri setelah ini. Saya sudah ikhlas." jelas gadis itu dengan sedikit senyum tulus di bibirnya.
Sisanya, pria itu yang mengurusnya ditemani sang istri yang kasihan melihat suaminya begitu menyedihkan.
Setidaknya, dia bersyukur anak korban tidak menyalahkan suaminya.
Gadis itu hanya terdiam dengan kesedihan yang tak kuasa diungkapkan sambil melihat proses dari sang ayah di bersihkan sampai di makamkan.
"Sekarang aku sendiri ayah, ibu." lirihnya lagi dengan airmata yang tak henti-hentinya mengalir sembari menempelkan keningnya ke batu nisan sang ayah.
.
.
.
.
.
.
.
Seorang pemuda berjalan memasuki rumah dengan santai. Sebelum menaiki tangga hendak naik menuju kamarnya, dia melihat ibunya baru saja keluar dari dapur dengan nampan berisi mangkuk dan segelas air putih diatasnya.
Alhasil, dia tak jadi naik dan malah berjalan ke arah sang ibu, lalu merebut nampannya dengan santai dalam diam yang sukses membuat ibunya kaget.
"Astaga, kau mengagetkan mama saja." Puk! Dihadiahi tepukan di lengan kekar sang anak.
Tanpa menghiraukan perkataan sang ibu, dia malah bertanya. "Papa masih sakit, ma?"
Sang ibu menghela nafas tak berdaya. "Iya. Yah, begitulah."
"Masih memikirkan kejadian itu?" sang ibu hanya melihat kearah putranya dengan makna yang jelas.
Iya.
Melihat ibunya diam, sebagai anak dia tahu pasti ada sesuatu yang belum tuntas.
"Sebenarnya, apa yang ingin Papa lakukan lagi? Bukankah putri korban sudah mengikhlaskan nya dan menganggap selesai masalah ini?" dengan dahi berkerut dia bertanya. Cukup bingung dengan kegelisahan ayahnya yang menurutnya sia-sia.
Dia tahu putranya tak lagi bisa di berikan alasan yang asal-asalan. Sejak awal putranya mengetahui tentang kejadian itu, dia sudah sangat berperan. Siap siaga dan sigap dalam memastikan kalau masalah ini tidak dianggap kesalahan ayahnya. Akan tetapi, pikiran orang tua jelas berbeda. Jadi, ini sudah berjalan 2 minggu lamanya tanpa kabar kesembuhan, jelas mengkhawatirkan. Tentu saja putranya bertanya-tanya.
Karena merasa percuma menjelaskan sendiri, jadi sang ibu hanya bisa berkata. "Tanyakan pada papamu. Jawabannya ada padanya." menepuk dua kali lengan putranya. "Bawalah makanan itu untuk papamu, dia sudah menunggu." tutur ibunya dan meminta bergegas. Jelas tak ingin berbicara lebih jauh, karena semua ini hanya suaminya yang rasakan.
Pemuda itu mengangguk menerimanya dan langsung berbalik menuju kamar orangtuanya usai berkata. "Istirahatlah, ma. Mama juga butuh relaksasi."
Sang ibu hanya mengangguk mengiyakan seraya memandang punggung tegap putranya.
Putranya sudah besar rupanya.
.
.
.
Ceklek...
Pintu dibuka, pemuda itu masuk dan mendekati ayahnya usai menutup pintu kembali. Terlihat, sang ayah berbaring beristirahat lagi dan lagi di ranjang. Wajahnya masih terlihat lesu, pucat, dan lemah, tampak jelas bila terlalu banyak beban pikiran.
"Pa..." panggilnya datar namun sedikit lebih lembut.
Sang ayah menoleh mendengarnya. "Oh, itu kau, Giass. Ada apa? Bukankah kau sekolah?" tanya sang ayah seperti biasanya.
"Aku bolos." tanpa ragu itulah jawabannya dengan wajah datar khasnya.
"Hah. Kau ini." sang ayah tak merespon lebih seolah sudah terbiasa dengan hal ini. "Serius lah belajar. Kau akan menjadi kepala keluarga suatu hari nanti. Jangan sampai istri atau mertua mu meremehkan mu." dan selalu itu nasihatnya.
"Jangan khawatir. Aku tahu apa yang aku lakukan. Jadi, berhenti membicarakan ku. Aku kemari untuk membawakan Papa makan siang." Giass mendudukkan dirinya di bibir ranjang sebelum menyodorkan nampan untuk diberikan ke sang ayah.
"Kemana, istriku?"
"Biarkan Mamaku istirahat. Papa membuatnya lelah."
Ginda sang ayah tak menyahut karena itu benar. Dia jadi merasa bersalah tapi beban itu belum bisa dia hilangkan.
Melihat itu, Ginda menerimanya dan sedikit bertanya sebelum menyuapi dirinya sendiri. "Kau sudah makan?"
"Akan kulakukan nanti." jawaban Giass membuat Ginda geleng-geleng kepala.
Ginda pun memakan makanannya hingga habis, kemudian Giass membantu membereskannya. Tapi, tidak langsung dia bawa pergi, sebab dia memiliki tujuan lain.
"Sebenarnya mau sampai kapan?" tanya Giass langsung ke intinya tanpa banyak berbasa-basi.
Ginda tertegun sejenak seraya menatap mata serius anaknya. Setelah beberapa saat barulah dia menjawab dengan tak berdaya.
Hanya cukup mengerti kalau masalah ini tak akan selesai kalau dipikir-pikir terus tanpa ada solusi. Yang ada dia makin drop dan keluarganya kian sedih.
"Papa bingung... Papa masih merasa bersalah atas kepergiannya. Karena, bagaimana pun penyebabnya adalah Papa... Papa merasa telah menghancurkan seorang anak karena cinta pertamanya Papa buat tiada..." tutur Ginda lesu.
"Papa berpikir terlalu jauh. Ini sudah takdir. Gadis itu juga berpikir begitu, kan." kernyit dahi Giass cukup kuat mendengarnya.
"Huh! Kau tidak mengerti..." Ginda menatap Giass dalam. "Papa tentu percaya kalau ini adalah takdirnya untuk tiada dalam keadaan itu, tapi mengingat Papa sebagai perantara kematiannya... Itu yang membuat Papa semakin merasa bersalah. Sekeras apapun Papa berkata kalau ini semua Tuhan yang tentukan. Tetap saja... Hati nurani Papa masih menyesal. Andai saja Papa tidak terburu-buru."
Giass diam mendengarkan sang ayah mengutarakan isi hatinya saat ini.
Ditariknya napas dalam-dalam sebelum Ginda buka suara. "Kau belum pernah melihatnya, kan?"
Giass menjawab dengan mengernyit bingung.
"Putri sopir taksi itu." jedanya. "Dia cantik dan lembut. Paras dan perilakunya benar-benar bagus. Sekali melihatnya saja, Papa bisa tahu kalau dia pasti di didik dengan baik oleh ayahnya. Apalagi ibunya sudah tiada sejak 5 tahun yang lalu. mereka hanya hidup berdua sampai 3 minggu yang lalu Papa buat ayahnya pergi. Sebagai seorang ayah juga, bagaimana bisa Papa menganggap semuanya baik-baik saja disaat hidup seseorang berubah karena kecerobohan Papa. Papa tidak bisa menerima itu, Giass."
Mata Ginda kembali merah tiap kali mengingat hal itu.
Meskipun Giass merasa itu merepotkan, tapi dia cukup mengerti. Membayangkan dia adalah sang ayah. Sedikit banyaknya dia pasti juga merasakan ketidaknyamanan itu.
"Lalu, kenapa tidak Papa bantu dia?"
"Sudah Papa lakukan. Usai upacara pemakaman ayahnya, Papa mendatanginya menawarkan dia banyak hal mulai dari menjadi anak angkat Papa, memberikan dia posisi di perusahaan, memberikan dia tunjangan bulanan. Tapi, dia menolak semuanya. Sampai Papa mendatanginya beberapa kali untuk membujuknya terus, tapi hasilnya tetap sama. Papa harus bagaimana?" nada tanyanya jelas terdengar putus asa.
"Padahal Papa ingin melakukan itu hanya sampai dia menikah saja. Disamping itu, Papa hanya ingin ketenangan hati Papa sendiri." tatapannya menerawang kembali ke adegan saat dia mencoba membujuk putri korban.
"Kenapa sulit sekali..." keluh Ginda sedih.
Kamar itu senyap sesaat. Giass cukup tertegun mendengarnya. Dia tak tahu, kalau ayahnya memikirkannya sampai sedemikian rupa. Apakah ini yang dinamakan hati orang tua? Tidak heran ayahnya sampai jatuh sakit. Sepertinya sang ayah lebih memikirkan nasib keluarga yang ditinggalkan, karena rasa bersalah yang tak mau hilang.
"Sekarang, Papa ingin bagaimana?" Giass bertanya dengan tujuan ingin membantu.
Ginda menatap putranya sedih. "Papa ingin dia mau menerima bantuan Papa. Paling tidak, bantu papa mengurangi rasa penyesalan Papa dengan memastikan kalau hidupnya baik sampai dia menikah. Tidak peduli berapa tahun Papa harus menunggu sampai dia menikah. Yang penting Papa lega. Hanya itu!" pintanya.
Tanpa menunggu putranya berbicara dia melanjutkan. "Papa gelisah sejak pertama kali melihatnya. Papa tidak menyangka, putrinya dirawat sebaik itu. Papa jadi bisa membayangkan apa yang dilakukan ayahnya dengan pengasuhan seperti itu. Dia pasti hanya ingin yang terbaik untuk putrinya."
"Seperti apa orangnya?" sang ayah menjawab tanpa sadar saking hanyut dalam rasa bersalah. Anak mana yang tega melihat orang tuanya seperti ini.
"Papa tidak tahu berapa umurnya, tapi dia bertubuh mungil seperti gadis berusia 15 tahun. Muda, cantik, dia juga sopan, manis dan polos. Benar-benar masih murni. Mereka tinggal hanya berdua saja disebuah apartemen kecil selama ini, ibunya sudah pergi lebih dulu 5 tahun yang lalu. Korban adalah sosok ayah yang bertanggungjawab, dia sangat menjaga putrinya dengan baik. Papa bisa melihat hasilnya langsung dari orangnya. Itu yang membuat Papa takut. Gadis itu sekarang tinggal sendiri. Papa takut terjadi sesuatu padanya, itu akan membuat Papa kian merasa bersalah. Papa membuatnya kehilangan cinta pertamanya sekaligus pelindungnya. Papa jatuh sakit karena masih belum menemukan cara agar bisa menggantikan mendiang Ayahnya untuk menjaganya. Setidaknya sampai dia menikah."
Giass mengangguk mengerti dengan pemikirannya sendiri.
"Itu pasti yang diinginkan Ayahnya juga. Membesarkan anak gadisnya dengan baik sampai suatu hari nanti datang pria meminangnya. Meskipun Papa tidak mempunyai anak perempuan, tapi Papa tahu. Papa hanya ingin melakukan itu." Ginda sangat emosional mengenai hal ini. Masalah ini seperti anak panah yang menancap di dagingnya. Jika tidak digerakkan rasa sakitnya tidak terasa, tapi begitu digerakkan rasa sakitnya akan seperti di ujung kematian.
Sayangnya, anak panah yang menancap itu tidak mungkin tidak bergerak, sebab dia selalu memikirkannya.
Kasihan melihat ayahnya terbebani sendiri, dia pun berkata. "Aku akan bantu memikirkannya. Jadi, berhentilah menyiksa diri sendiri. Setidaknya, ingat istri Papa. Mamaku pasti ikut merasa sedih dengan kondisi Papa."
Mendengar kata istri membuat Ginda semakin merasa bersalah.
"Aku keluar dulu. Istirahatlah lagi." bangkit lalu mengambil peralatan bekas makan ayahnya untuk ikut dibawa keluar.
"Nak, panggil istriku kemari." pinta sang ayah dari dalam kamar.
Giass langsung melirik jengah pada sang ayah yang selalu memproklamirkan ibunya seolah hanya miliknya seorang. Lalu, dia siapa kalau ibunya hanya milik ayahnya saja?
Mendapati tatapan putranya yang salah, Ginda langsung tersulut. "Apa! Itu kebenarannya. Kau akan merasakannya sendiri begitu kau menemukan tambatan hatimu. Karena, kau keturunan ku, pasti kurang lebih sama seperti ku. Jadi, jangan ganggu istriku! Tunggu saja sampai kau menikah!"
Mendengar ultimatum tersebut Giass malah geleng-geleng kepala. Ini bukan kali pertama, tapi rasanya tetap menjengkelkan. Dia berharap segera bertemu dengan jodohnya sehingga tidak perlu lagi cemburu dengan keromantisan orangtuanya.
Dia iri bisa memeluk, mencium, dan lain sebagainya seperti yang orangtuanya lakukan. Tapi, masalahnya ibunya bukan istrinya jadi tetap ada batasan dalam bersikap. Ini menjengkelkan semakin dia memikirkannya.
Begitulah isi hati terdalam seorang Giass Gianxa Droov yang tak pernah ada yang tahu, bahkan dia sendiri selalu menutupinya. Tak ingin orang lain tahu atau citranya sebagai badboy akan runtuh.
.
.
.
.
.
.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!