Hari itu awal januari 2024, dua orang remaja putra dan satu orang remaja putri sedang duduk di balai desa Agrosari. Ketiganya sedang bermain domino dengan sangat akrab dalam pondokan yang terbuat dari kayu, tempat itu memang sering dijadikan sebagai tempat nongkrong.
Melati devani adalah nama gadis yang duduk diantara dua remaja pria itu. Ia memiliki rambut lurus sebahu yang diikat kuncir kuda, berkulit kuning langsat seperti gadis desa pada umumnya. Melati juga memiliki bola mata cokelat madu yang indah, wajahnya berbentuk oval dengan hidung mancung kecil. Ia sebenarnya adalah gadis yang cantik, namun, karena penampilan urakan yang mirip pria membuatnya tidak terlalu dianggap sebagai wanita.
Mahendra anggara remaja pria berusia delapan belas tahun, dia satu tahun diatas melati. Pria itu memiliki potongan rambut cepak dengan fitur wajah agak panjang, wajahnya tidak terlalu ganteng tetapi lebih memancarkan aura maskulin ditambah dengan tinggi badannya yang diatas rata-rata anak desa lainnya.
Yang terakhir diantara remaja itu adalah Sultan Afkar juanda, anak kota yang baru tinggal didesa selama dua tahun. Ayahnya memiliki lahan lumayan luas didesa Agrosari.
"Psttt.. " Sultan memberi isyarat agar kedua temannya mendekat, mereka baru saja selesai main domino.
" kenapa? " Melati celingukan melihat sekeliling balai desa, barangkali ada seseorang yang datang. Tapi, tidak ada, padahal baru jam setengah lima sore tetapi desa sudah lumayan sunyi, tidak banyak orang yang berkeliaran.
" Bener ngga sih rumor hantu penghisap darah itu?" Tanya Sultan hampir berbisik.
" Enggaklah, ya kali beneran ada. " Sahut Mahendra. Anak dari adik kepala desa itu memang tidak mempercayai sesuatu yang berbau mistis padahal ayahnya masih keturunan dari orang yang mempunyai kemampuan supranatural.
" Kalau aku sih yakin ada. " kata melati menimpali.
" Itu cuma mitos yang dibuat keluarga Nek ijah untuk menakut-nakuti, mel. Mana ada hantu yang minum darah. " Ujar Mahendra menambahkan dengan pemikiran logisnya.
" kata siapa mitos? Kamu enggak lihat mayat Rosiana?" Melati menarik kepala kedua temannya lebih mendekat, "katanya ada bekas gigitan di lehernya. Nek ijah yang memandikan jenazahnya, beliau bercerita terdapat tiga bekas gigi di leher Rosiana. "
Angin berhembus kencang menerbangkan beberapa dedaunan kering di halaman. Langit berubah kelabu pertanda sebentar lagi akan turun hujan. Ketiga remaja itu mengbrol cukup serius mengabaikan suasana yang mendadak semakin sunyi.
" Selama dua tahun tinggal disini baru kali ini aku mendengar ceritanya, "Ucap Sultan sambil mulai merenung, ia seakan sudah masuk kedalam cerita yang disampaikan Melati.
" Halah, jangan percaya, tan. Lagipula tidak pernah ada bukti yang valid. Itu rumor kembali mencuat karena cucu Nek ijah sendiri yang sering menceritakan nya. Pendapatku sih keluarga itu halu, menceritakan yang nggak benar untuk menarik perhatian warga." Kata Mahendra sembari menyulut rokok yang ia ambil secara diam-diam saat ayahnya sedang tidur tadi malam.
" Warga ketakutan. Enggak ada yang berani keluar malam, nakutin aja si Tina itu. " Mahendra menggerutu. Tina yang ia sebut adalah cucu Nek ijah, seorang wanita yang sudah lanjut usia yang tinggal di ujung desa. Tina juga dikenal sebagai biang gosip didesa mereka, perempuan dua puluh tahun itu memang suka sekali bercerita kesana kemari tentang hantu penghisap kepala.
Menurut tetua desa juga awalnya cerita tentang hantu itu memang dari buyut Nek ijah jadilah cerita itu diceritakan terus dari generasi ke generasi di desa Agrosari.
" Kalau beneran gimana? "
" Kalau emang itu hantu beneran ada, kukabulkan apapun permintaan mu, mel. " Kata Mahendra lagi.
Saat mereka tengah mengobrol serius orang yang sempat mereka bicarakan lewat. Tina berjalan lumayan cepat, dia seperti terburu-buru kearah ujung desa, rumah neneknya.
" Aku pulang duluan yaa. " Pamit Sultan. Kedua temannya mengangguk.
Sultan setengah berlari menyusul Tina, gadis itu terus berjalan kearah ujung desa.
" Mbak Tina! " Panggil Sultan mensejajari langkahnya dengan Tina.
" Panggil Tina saja." Suara Tina lembut, rambut panjangnya yang dikepang dua terkadang menguarkan aroma vanila.
" Kamu mau pulang kan? "
Tina mengangguk.
"Saya antarkan, " Meskipun sudah tinggal lumayan lama didesa Agrosari, sultan tidak terlalu akrab dengan gadis yang tengah berjalan beriringan dengannya sekarang. Ia sejak datang kesini hanya sering berkumpul dengan Mahendra dan melati.
" Aku bisa pulang sendiri, tetapi kalau kamu memaksa, ya sudah kamu bisa mengantarkanku. " kata Tina mengulum senyum.
Sultan balas tersenyum canggung. Ia melirik Tina, wajahnya manis, ada lubang dangkal dipipi sebelah kirinya saat tersenyum dan tertawa.
" Hantu penghisap kepala, apa makhluk itu beneran ada?" Akhirnya Sultan memberanikan diri menanyakan pertanyaan yang membuatnya sangat penasaran.
" Tentu saja ada. "Jawab Tina, suaranya mengalun lembut seperti suara piano yang dulu sering Sultan mainkan.
" Kamu pernah melihatnya? "
Tina menggeleng, rumah sederhana milik Nek ijah sudah kelihatan. Itu artinya sebentar lagi mereka akan sampai.
" Terus darimana kamu yakin kalau dia ada dan nyata? "
" Aku memang tidak pernah melihatnya disini, tapi, aku tahu dimana mereka tinggal."
"Mereka? Maksudmu mereka lebih dari satu? " Sultan menghentikan langkahnya sejenak.
" Dia beneran ada, sultan. " Tina ikut berhenti, sekarang mereka saling berhadapan. " Dia bukan makhluk halus seperti yang kamu pikirkan. Dia adalah entitas lain yang lebih menakutkan. " Tina menatap lurus ke ujung desa, hari sudah rembang petang, sepertinya ia harus secepatnya pulang dan membantu neneknya menyiapkan makanan.
"Terimakasih sudah mengantarku. " Ucap Tina.
Sultan mengangguk, dilihatnya Tina setengah berlari menuju rumahnya.
Setelah memastikan gadis itu masuk kedalam rumah, ia juga berbalik pergi dan pulang ke rumahnya yang terletak ditengah desa.
Makhluk itu ada.
Dia bukan makhluk halus, dia lebih mengerikan.
Perkataan Tina terus terngiang dikepala Sultan. Bahkan setelah memasuki rumah dan melewati ayahnya yang duduk diruang keluarga, kata-kata masih ia pikirkan.
" Kalau bukan hantu kenapa dinamakan hantu penghisap darah? Apa karena dia minum darah?" Monolog Sultan sembari membaringkan diri diatas ranjang.
" Ah, sepertinya aku harus bertanya pada melati. Dia mungkin lebih tahu, kalau Hendra kan dia tidak percaya. " Sultan mengambil ponsel nya dan menghubungi melati.
" Hallo, tan. Kenapa? " Terdengar grasak grusuk diseberang telepon, melati sepertinya sedang mengerjakan sesuatu.
"Sibuk mel? "
"Apaan sih, kayak sama siapa saja. Mau ngapain emang? " Suara melati agak menjauh tapi masih terdengar jelas.
Trang... Shkk.. Tangg..
Beberapa saat masih terdengar suara grasak-grusuk. Lalu...
Hening.
Mungkin melati menghentikan sementara pekerjaannya.
" Kalau sibuk nanti aku telepon lagi. " Sultan tak enak hati.
" Gak apa-apa, aku sudah selesai. "
" Mel-"
"Yaa... "
" Tadi aku mengobrol sebentar sama Tina. Kata dia, makhluk itu beneran ada. Dia juga bilang kalau hantu penghisap darah itu bukan makhluk halus. "
"Lah terus makhluk apaan?!! "
Sultan sedikit menjauhkan ponsel dari telinga, suara Melati kalau sudah berteriak menggelegar sekali.
" katanya lebih mengerikan dari hantu, mel. Aku mau dengar dong apa aja yang kamu tahu tentang han-"
" Kerumah aja, tan, aku ceritakan disini saja." potong Melati.
Setelah setuju untuk mengobrol dirumah melati, sultan segera mandi dan berganti pakaian kemudian pergi kerumah melati yang hanya berjarak sekitar tiga rumah dari rumahnya.
*
Melati mengajak Sultan duduk di teras belakang, sudah hampir jam enam sekarang.
" Yang pernah aku dengar, hantu penghisap darah itu meminum darah manusia. Kamu tahu kan Rosiana? "
Sultan mengangguk, ia beberapa kali berpapasan dengan gadis itu dijalan sebelum dia kuliah di kota.
" Nah, dia itu enggak ada sakit. Tiba-tiba saja meninggal, dileher nya ada bekas gigitan. Banyak orang percaya kalau dia meninggal karena kehabisan darah. " jelas Melati.
Sultan memang tidak pergi melayat ke rumah rosiana karena saat itu dia pergi ke kota bersama ayahnya. Ia baru pulang dua hari lalu, sementara Rosiana meninggal tiga hari sebelumnya.
" Kedengarannya mirip dengan vampir. "Kata Sultan.
" Asal usulnya cukup ngeri, " kata Melati hampir berbisik, ia melirik ibunya yang sedang memasak, ia menghela nafas lega kala perempuan paruh baya itu tidak menoleh sama sekali.
" Aku lumayan dekat sama kak Tina. Dia mengatakan kalau hantu penghisap darah sebenernya mayat hidup, aku tidak tahu kebenarannya sampai sekarang. Tapi, aku yakin kak Tina tidak mungkin berbohong. " Melati melanjutkan.
Bulu kuduk Sultan langsung berdiri mendengarnya, matanya awas menatap sekitar, khawatir kalau tiba-tiba makhluk yang mereka bicarakan akan muncul.
" Dia tahu dimana tempat tinggal makhluk itu, mel."
Sang surya sudah sepenuhnya terbenam di ufuk barat, perlahan kegelapan mulai melaksanakan tugasnya menggantikan siang.
"Mel, Sultan, masuk kedalam! Sudah maghrib, " Ibu melati berteriak dari dapur.
"Iyaaa, bu, " Sahut Melati lalu mengajak Sultan masuk.
Krakk....
Patahan rating cukup keras terdengar di bawah pohon mangga milik ayah melati. Keduanya kompak menoleh kebelakang,
Krak....
Krakk...
Kembali terdengar suara ranting patah,
"Sepertinya dari belakang pohon mangga. Ayo kita kesana, " Melati mengajak Sultan untuk memeriksa. Barangkali ada orang yang menguping pembicaraan mereka dari tadi.
" Mel, masuk sekarang!! " Suara ibu kembali terdengar.
Mengabaikan ibunya, melati berjalan dengan suara sepelan mungkin kearah pohon mangga.
Keduanya sekarang berdiri dibagian depan, melati mendorong bahu Sultan pelan memintanya untuk memeriksa terlebih dahulu apa yang ada dibelakangnya.
Sultan mengintip sebentar. Tidak ada apa-apa. Menoleh kearah melati lalu memberi gelengan singkat, " cuma ranting jatuh mungkin, " jawaban yang terdengar ambigu.
"Masa sih? Sampai tiga kali gitu, keras lagi suaranya. " Tidak yakin, melati dengan cepat berpindah kebelakang pohon mangga. Memang tidak ada. Tidak ada orang seperti yang melati pikirkan, juga tidak ada rating yang jatuh dan patah seperti yang mereka asumsikan.
" Ayo masuk, ibu sudah teriak dari tadi. "
Namun saat ingin beranjak melati melihat benda putih kecil diantara dedaunan kering. Ia tidak menyadari Sultan sudah masuk kedalam rumah, perlahan ia berjongkok, tangannya meraih benda tersebut.
"Aelah, cuma gigi. Siapa sih yang buang giginya kesini. " Gerutu Melati kemudian melemparkan benda tersebut dengan jijik. Ia segera masuk dan bersiap untuk mendengarkan omelan ibunya.
...***...
Haaiii...Terimakasih sudah mampir dan baca cerita aku. Jangan lupa vote, komen dan subscribe ya😉
Follow IG aku @aca_0325
Sudah tengah malam, hujan turun sangat deras sejak Maghrib tadi. Semua orang sudah tertidur lelap, tetesan air yang seolah dicurahkan dari langit menjadi melodi indah yang menghantarkan setiap insan menuju mimpi indah mereka.
Ditengah jalan setapak desa Agrosari sepasang kaki berjalan cepat dibawah guyuran hujan. Kakinya tidak menggunakan selop sehingga tidak menimbulkan derap langkah. Pakaian yang dikenakan orang itu senada dengan malam, berwarna hitam pekat. Kain tipis yang berwana sama menutupi dari belakang kepala hingga hidung, dia berhenti sebentar. Matanya berkilat tajam menatap pada salah satu rumah warga yang terletak didekat sawah.
Kemudian, dengan sangat terburu-buru dia mendekati pintu. Dia mengeluarkan benda kecil dari dalam lipatan kain yang ia pakai, lantas dia menggunakan untuk membuka pintu dari luar.
Pintu terbuka lebar. Hawa dingin merayap masuk kedalam rumah, menembus pintu kamar yang hanya menggunakan kain. Pemilik kamar tersebut menggeliat pelan, dia menarik selimut untuk membungkus tubuhnya.
Sosok yang tadi membuka pintu melangkah lebar kearah kamar.
Tes...
Tes...
Tes...
Tetesan air dari pakaiannya membasahi lantai meninggalkan jejak yang jelas disana.
Sejenak dia hanya berdiri diam didepan pintu memperhatikan satu anak manusia yang terbaring dengan lelap di ranjang. Kain tipis yang menutupi kepala sampai hidungnya membuatnya terlihat lebih misterius. Mulutnya terbuka, ia menyeringai lebar memperlihatkan gigi putih dan rapi.
Sosok itu mendekat, tangannya terulur menyibak rambut panjang disekitar leher remaja perempuan yang sedang tidur nyenyak.
Lalu sepersekian detik dia mendekatkan mulutnya pada leher tersebut, giginya menancap kuat pada daging leher. Darah segar menyembur masuk kedalam mulutnya, sementara itu rasa sakit membuat sang gadis terbangun dan berteriak. Malangnya tidak ada teriakan yang keluar sebab mulutnya dibekap. Matanya memutih menahan sakit, tubuhnya mengejang. Seluruh cairan dalam tubuhnya seakan tersedot masuk kedalam mulut sosok itu. Tangannya mencengkram kuat pada seprai ranjang sebelum akhirnya terjatuh lemas. Dia meninggal.
Sosok itu berbalik pergi secepat dia datang. Hanya jeda sekitar sepuluh detik leher gadis malang itu hanya meninggalkan bekas samar yang akan sulit dikenali jika tidak dilihat secara dekat.
*
Azan subuh berkumandang di desa Agrosari, melati sudah bangun lima menit yang lalu karena dipaksa ibunya.
"Melll!!! Mandi sana! Malah bengong."ibu muncul di pintu mendelik galak sambil berkacak pinggang.
"Masih pagi, Bu. Aku masih ngantuk," melati memejamkan mata sambil duduk, hampir kembali terjatuh di ranjang jika ibu tidak menghampiri dan memukul bahunya cukup keras.
"Heh! Hari ini kan kita mau bantu-bantu di rumah Sri, masa datang kesana gak mandi." Ibu memaksa melati untuk segera berdiri. "Sana mandi, terus sholat subuh. Habis itu kita berangkat ke rumah Sri. " Titah ibu.
Melati hanya bisa pasrah dan berjalan gontai kekamar mandi. Sri adalah sepupu melati, anak dari kakak ibunya yang tinggal di desa Anggrek, desa sebelah yang terletak paling dekat dengan desanya.
Lima belas menit kemudian melati selesai mandi, ibunya sudah tidak ada dikamarnya.
"Innalilahi Wainnailaihi Raji'un, kapan meninggalnya, sep?"
"Belum tahu pasti, bi, ketahuan nya juga belum lama saat ibunya hendak membangunnya untuk sholat subuh"
"Astaghfirullah, padahal kemaren dia masih sehat."
"Sehat tidak menjamin umur panjang, Bu En."
"kenapa belum di umumkan di mesjid? "
"Tadi Yanto sudah jalan ke mesjid."
Alis melati bertaut mendengar suara ribut-ribut diluar, Pintu kamarnya yang terbuka lebar membuatnya bisa mendengar dengan jelas percakapan didepan pintu rumah. Segera gadis itu menguncir asal rambutnya dan keluar kamar dengan cepat.
"Siapa yang meninggal, bu? " Tanya Melati berdiri di sebelah ibunya, hari masih gelap tetapi beberapa warga desa sudah berkumpul dihalaman depan rumahnya. Ada Asep, bujangan tiga puluh tahun yang belum berniat menikah sama sekali. Juga ada, Nia dan ibunya, buk Lela. Pak Mukhtar kawan karib asep yang sejak tadi belum bersuara sama sekali.
" Dewi teman SMA kamu, itu yang rumahnya didekat sawah. " Buk Lela yang menjawab.
"Hah, kapan? " Tentu saja Melati kaget mendengar kabar duka tersebut. Ia cukup dekat dengan Dewi, apalagi mereka satu SMA dan satu kelas. Ia tidak menyangka gadis seceria Dewi akan meninggal secepat ini.
"Tadi malam, Kak," Jawab Nia.
"Mel, kamu gantiin ibu pergi melayat, ya. Biar ibu sama adikmu saja yang pergi ke rumah Sri, ibu nanti malam aja ikut takziah dirumah Dewi. " Kata ibu.
"Siap, Buu." Melati menjawab sambil cengengesan, ia senang sekali tidak jadi pergi ke desa sebelah.
" Nek ijah sudah diberitahu kalau ada orang meninggal? "
"Kebetulan saya yang akan kesana, mel. " Sahut Asep.
"Saya saja bang, sekalian mau olahraga pagi. " Tentu saja melati punya maksud terselubung. Sengaja mengajukan diri untuk bisa mengetahui mitos yang selama ini sering Tina ceritakan. Rosiana bahkan belum sampai satu minggu meninggal dunia, sekarang Dewi juga sudah berpulang.
Setelah berpamitan pada ibunya dan mengangguk sopan pada orang-orang yang berkumpul di rumahnya, melati segera pergi, dia ditemani Nia.
Belum terlalu jauh meninggalkan rumah, terdengar suara dari toa mesjid yang memberitahukan meninggalnya Dewi.
" Tadi mau kemana, Nia? "Tanya Melati melirik sekilas.
" Kerumah kepala desa, kak. Kebetulan lewat rumah kak Dewi, saat aku sama ibu lewat ibunya berteriak histeris. Orang tua kak Dewi juga baru tahu anaknya meninggal saat akan membangun kan untuk sholat subuh. " Cerita Nia.
"Kamu ngulang jawaban bang Asep, " Melati sedikit tertawa saat Nia memberikan jawaban yang hampir sama dengan Asep.
"Ya, kan, biar lebih lengkap. " Nia menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Agak ganjil gak sih belum satu minggu Rosiana meninggal sekarang Dewi juga meninggal. " Ujar Melati.
" Namanya juga ajal, kak. "
" Siapa tahu dia dibunuh hantu penghisap darah. "
Nia refleks berhenti,
"kenapa? " tanya Melati juga ikut berhenti.
" Ihhh.. kak mel, jangan ngomong sembarangan. " Delik Nia.
"ya, siapa tahu kan? "
Keduanya kembali melanjutkan jalan mereka. Setelah sampai dirumah nek ijah, Melati mengetuk pintu beberapa kali.
"Eh, Mel, Nia, masuk! " Tina menyambut mereka dengan ramah dan mempersilahkan keduanya masuk.
" Kak, ada yang meninggal kak, bilang sama nek ijah ya kak. " Kata Nia langsung saja menyampaikan niat mereka.
" Iya, nek ijah juga sudah dengar kok dari pengumuman mesjid. "
" Ya, sudah kalau gitu kami mau kerumah Dewi dulu kak. " Pamit Nia.
" Barengan aja kesana, kak Tina mau kesana juga kan? " Melati menatap Tina penuh harap.
"Duluan saja, Aku mau bantu nenek nyiapin alat-alat dan perlengkapan. "
Melati mengangguk-anggukan kepala, ia masih bisa mendekati Tina nanti dan bertanya mengenai hantu penghisap darah, ia yakin kalau kematian kedua temannya ada hubungan nya dengan makhluk yang dianggap sebagai mitos belaka oleh warga. Melati dan Nia segera meninggalkan rumah nek ijah.
Hari sudah lumayan terang saat mereka sampai dirumah Dewi. Melati juga bertemu Sultan disana, dia datang bersama ayahnya. Sementara itu ia tidak melihat mahendra sama sekali, pria itu pasti masih tidur sekarang. temannya yang satu itu memang kebiasaan tidur larut malam dan bangun saat matahari sudah tinggi.
...***...
Jangan lupa vote, komen dan subscribe ya😉
Follow juga ig aku @aca_0325
Disebelah barat desa Agrosari terdapat sebuah lembah kecil, beberapa warga menggembalakan ternaknya disana karena banyaknya rumput jadi tidak perlu bersusah payah mencari rumput untuk makanan ternak. Ditengah lembah juga ada sungai yang mengalir tidak terlalu deras, airnya jernih. Kalau sudah musim kemarau warga akan mengambil air dari sungai tersebut untuk mandi dan kebutuhan sehari-hari mereka.
Ditepi padang rumput, tiga batang akasia tumbuh dengan rindang dan menjulang tinggi. Dua orang sedang berdiri berdampingan sambil menatap aliran sungai.
" Dasar bodoh! Kau itu bodoh sekali!" Salah satu dari dua orang itu mengumpat, lebih tepatnya mengumpati temannya. Dia memakai jeans biru ketat, dan sweater hitam, dia memakai topi. Tapi dari suaranya sudah dipastikan dia adalah seorang wanita muda.
" Aku tidak bodoh, " Temannya membantah, oh, ternyata dia seorang pria. dia memakai pakaian yang senada dengan wanita disebelahnya.
"Apa namanya kalau tidak bodoh, bagaimana mungkin kau menyantap anak kucing dibelakang rumah warga, mana ada orangnya lagi. Hiiihh....menjijikkan, sejak kapan kau menyukai makanan kualitas rendah itu? "
" Dan yang paling bodoh dan memalukan kau kehilangan gigimu, lihat gigimu sudah ompong satu. " Si wanita kehilangan kesabaran, dia mendamprat dengan ketus. Puas mengeluarkan mengeluarkan unek-unek dikepala, dia segera pergi kearah utara lembah dan menghilang diantara pepohonan yang cukup rimbun.
" Wanita itu benar-benar bermulut cabe. Lihat saja, aku akan mencari gigiku kembali dan memasang nya. Setelah itu akan kuhisap darahnya, biar dia tahu apa konsekuensi menghina ku." Tekad pria itu kemudian dia juga beranjak pergi kearah yang berbeda, dia kembali ke desa Agrosari.
*
Pagi hari cukup mendung, disalah satu rumah warga yang terletak di dekat sawah terlihat ramai sekali, sebagian besar orang-orang memakai pakaian serba hitam. Wajah muram terlihat diwajah mereka, dibagian paling belakang rumah Nek Ijah yang memimpin memandikan jenazah dewi terlihat beberapa kali memeriksa lehernya, meski samar dia masih bisa melihat bekas gigitan disana.
Tina yang juga ada disana membantu Nek ijah juga ikut melirik, ia yakin kalau dewi memang dibunuh oleh makhluk itu. Cara meninggal nya yang mirip sekali dengan Rosiana.
Setengah jam kemudian jenazah sudah selesai dimandikan, lalu di kafani dan setelah itu dibawa ke mesjid untuk di sholatkan.
Tina membereskan peralatan bekas memandikan jenazah, ia mendekati Nek ijah yang hendak pergi, " Dia dibunuh oleh makhluk itu kan, Nek? "Tanyanya hampir berbisik.
"Jangan ngomong sembarangan disini, tin, mereka sedang berduka. Jangan menambah beban pikiran mereka. " Nek ijah memberi nasehat pada cucunya itu, setelah memberi cubitan singkat di pinggang Tina sebagai peringatan perempuan tua itu segera pergi.
"Kak Tina, " Saat keluar dari rumah duka, Melati menghampiri Tina bersama Sultan.
" Dewi meninggal kenapa, kak? " Melati mengekori Tina yang hendak pulang kerumah.
" Dia dibunuh sama hantu penghisap darah. " Tina memang tidak pernah merahasiakan tentang makhluk mengerikan itu pada siapapun. Bahkan terkadang dia sengaja menceritakan pada orang lain, Tina berharap dengan cara itu makhluk itu akan merasa terganggu dan terusik sehingga tidak lagi membunuh warga desa.
" Kamu tahu darimana? "Tanya Sultan. Selain Melati, dia adalah orang yang paling penasaran dengan mitos tersebut.
" Dewi memiliki bekas gigitan yang sama dilehernya sama seperti Rosiana"
"Halah, jangan percaya. Eh, Tina, jangan menebar gosip yang enggak jelas disini. " Mahendra tiba-tiba datang dari belakang mereka dan langsung menyambar.
"Hen, gak boleh gitu. Gimana kalau ternyata makhluk itu beneran ada? Sudah dua orang lho yang meninggal." Kata Melati mengingatkan.
" Emang gak wajar. Tapi, mempercayai hantu gak jelas itu lebih ke halu dan gila sih, mel. " Sinis Mahendra. Dia tidak suka sekali dengan cerita mistis, konyol sekali kalau manusia harus takut dan kalah melawan makhluk halus.
" Kamu punya dendam sama saya? "Tanya Tina dingin. Mereka berhenti di pertengahan jalan, Tina dan Mahendra saling tatap penuh permusuhan.
" Enggak, "
"Terus kenapa terus menyudutkan saya? "
"Siapa yang menyudutkan kamu? Toh, emang bener kan kalau kamu sama keluargamu itu halu."
"HENDRA!! " Melati dan Sultan kompak berteriak." Kamu enggak sopan banget, sih. Kak Tina itu lebih tua dari kamu, " sentak Melati kesal.
"Terus kenapa kalau lebih tua, mel? Kamu kenapa sih mel? tiba-tiba membela dia? -"
"AKU NGGAK MEMBELA SIAPAPUN. KAMU YANG KETERLALUAN! "
"JANGAN MEMBENTAKKU, MEL! "
Mahendra menahan diri untuk tidak memukul Melati. Kalau saja ia tidak ingat Melati masih perempuan tentu saja satu pukulan sudah melayang ke wajah gadis itu. Anak seusia mereka tidak ada yang berani melawan Mahendra, selain dia punya watak yang berapi-api, cowok kelas tiga SMA itu juga jago beladiri.
" Sudahlah. Aku pulang dulu, Mel. " Tina tidak ingin terlibat lebih jauh. Dia melewati mahendra begitu saja, menganggapnya seolah tidak ada. Ia dan Mahendra memang tidak pernah akur, sejak dulu keduanya sudah bermusuhan. Tidak diketahui pasti penyebab nya, yang jelas Tina lebih baik menghindar dari pria itu daripada harus berdebat dan berakhir dengan kebencian yang semakin dalam.
" Hen, sudahlah. " Sultan menenangkan, ia juga mengusap pelan lengan Melati, " Kenapa jadi kalian yang bertengkar? "
" Dia yang aneh, Tan. Kita gak ngejelekin dia, tapi dia langsung emosi. Kan yang kita bahas hantu penghisap darah, lagian kenapa sih tiap bahas makhluk itu dia marah? " Dengus Melati.
" Aku yakin di desa ini banyak yang membenci Tina. Dia selalu mengatakan hal yang sama, dia berusaha sekali meyakinkan semua orang untuk percaya sama cerita dia yang membuat orang ketakutan. Desa kita jadi suram gara-gara dia, kamu masih gak sadar juga, mel? " Dengus Mahendra yang masih teguh dengan pendiriannya bahwa pertengkaran yang terjadi adalah salah Tina, perempuan halu yang sangat ia benci.
" Dasar aneh." Melati mendelik kesal.
"Aku pulang duluan, tan." Melati hanya berpamitan dengan Sultan, saat melewati Mahendra ia dengan sengaja menabrak keras bahunya. Melati bisa mendengar Mahendra mengumpat, tapi siapa yang peduli? Melati mencibir, lagian siapa suruh jadi orang menyebalkan.
Padahal kalau Mahendra tidak datang mengacau pasti Melati bisa mendapatkan banyak informasi dari Tina.
*
Jenazah Dewi baru saja selesai dimakamkan, awan yang sejak tadi pagi kelabu semakin menggelap lalu hujan turun sangat deras seolah ikut bersedih atas meninggalnya gadis itu.
"Bang, kita berteduh dulu disini! " Melati turun dengan cepat dari atas sepeda motor Asep, ia berlari masuk kedalam rumah singgah yang sengaja dibuat oleh pemuda desa. Rumah tanpa dinding itu biasanya digunakan untuk tempat berkumpul pemuda di malam hari dan biasanya remaja juga sering nongkrong disana sepulang sekolah.
Melati dan Asep masih memiliki hubungan keluarga, pria dewasa yang lebih dikenal sebagai perjaka mapan itu adalah anak dari kakak ibu Melati. Asep memiliki beberapa kebun sayur yang bisa dipanen setiap minggu, dia juga memiliki sekitar lima ekor sapi. Tadi sehabis pulang dari rumah Dewi, ia pergi ke desa tetangga bersama Asep, maklum Melati belum terlalu bisa bawa motor.
"Deras juga ya hujannya, " Gumam Asep seraya mengikat rambut gondrong nya.
" Semoga aja Dewi sudah selesai di makamkan." Celetuk Melati dari samping.
" Bang! "Panggil Melati saat pria dewasa itu hanya diam dan tidak menanggapi sama sekali.
"Yaa.. "
"Abang percaya ngga kalau hantu penghisap darah itu beneran ada? " Melati ingin tahu bagaimana pendapat Asep mengenai makhluk mitos itu.
Asep hanya mengedikkan bahu, tidak terlalu peduli.
"Kata kak Tina, Dewi sama Rosiana dibunuh oleh hantu itu. " Ujar Melati.
"Katanya, Darah mereka diminum untuk bertahan hidup-"
"Bertahan hidup gimna? yang namanya hantu pasti orang mati yang jadi-jadian, mana ada orang hidup dua kali. Ngaco kamu, mel."
"Tapi kan-"
"Bentar lagi ujian semester, daripada memikirkan itu lebih baik kamu belajar yang rajin. Tahun kemaren nilai kamu anjlok lho. " Asep memberi nasehat.
Melati mengerucutkan bibirnya, ia tidak lagi membahas hantu, juga tidak membantah kata-kata asep. Ia memandang ke seberang jalan, kearah semak yang sudah lumayan tinggi, hujan yang masih sangat deras mengaburkan penglihatan melati. Namun, sekarang ia melihat seseorang berdiri disana, karena tidak menghadap kearah jalan melati hanya bisa melihat punggungnya.
Sebuah truk pasir lewat menghalangi penglihatan Melati. Lalu setelah jalan kembali kosong, sosok itu sudah tidak ada lagi disana. kemana dia? Melati yakin tadi memang ada orang berdiri disana, namun cepat sekali hilang nya.
Melati termangu saat menyadari sesuatu, tempat ini lumayan dekat dari pemakaman. Seingat nya diseberang jalan sana, setelah melewati semak tersebut bisa langsung sampai. Ah, mungkin yang Melati lihat tadi orang yang pulang dari malam Dewi. Tapi...
"Mel, ayo pulang. Hujannya sudah lumayan reda. "
"eh, iya, bang. " Melati lantas naik keatas motor matic milik Asep. Sepanjang perjalanan ia masih memikirkan orang yang dilihatnya tadi, benarkah dia kerabat Dewi? benarkah dia pulang dari makam? Kenapa pula dia berdiri ditengah hujan, tidakkah dia merasa dingin?
Tidak lama kemudian Melati sudah sampai dirumah, ia langsung membersihkan diri dan berganti pakaian. Ia hanya sendirian dirumah, ibu sama adiknya masih dirumah Sri. Sementara Ayah Melati berkerja di kapal, pulangnya sekali tiga bulan.
...***...
Jangan lupa vote, komen dan subscribe yaa😉
Follow juga ig @aca_0325
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!