Dista Keinadira harus menelan rasa pahit kala pamannya menjadikan dirinya sebagai penebus hutang dengan seorang lajang tua yaitu, Lingga Maheswara. Seorang pria bersikap dingin yang siapapun yang mendengar namanya pasti akan merasakan takut.
Pernikahan yang hanya dianggap nyata oleh Dista itu selalu menjadi bumerang dalam rumah tangga mereka. Lingga selalu berbuat kasar kepada Dista yang selalu saja mengharapkan cinta darinya.
“Satu ucapan cintaku, akan setara dengan derasnya air matamu, istri ku..” Ucap Lingga disela isak tangis menyakitkan Dista.
∆∆∆∆∆∆∆∆∆∆∆∆ MULAI ∆∆∆∆∆∆∆∆∆∆∆∆
Seorang gadis terlihat sedang terburu-buru mengayuh sepedanya, ia takut terlambat hingga membuat Paman dan Bibinya marah nanti. Dista namanya, seorang gadis cantik berbalut hijab segi empat. Ramah tamah serta lemah lembut, ia tidak memiliki orang tua lagi untuk menjadikan sebagai sandaran hidup. Dista dibesarkan oleh Paman dan Bibinya yaitu, Javas dan Mutiara.
Sore ini ntah apa yang membuat Javas memanggil Dista untuk segera pulang ke rumah. Bahkan mengatakan jika ini sangat penting, hingga membuat Dista cepat-cepat mengayuh sepeda usang peninggalan sang Ibu.
Sesampainya di rumah, Dista melihat Mutiara yang menunggu nya didepan pintu. Tangan Mutiara menenteng plastik yang membuat Dista semakin penasaran.
“Maaf, Bi, Lama.. Tadi_”
“Sudah jangan banyak bicara, kamu yaaa.. Memang tidak pernah menghargai waktu, selalu saja sibuk dengan anak-anak panti kamu itu.” Hardik Mutiara kepada Dista yang kini hanya menunduk memainkan jari-jemarinya sendiri.
“Kamu itu kami besarkan bukan untuk bermain dengan bocah miskin itu, tapi untuk berguna." Hardik Mutiara lagi, Dista kini memberanikan diri menatap sang Bibi yang menatapnya dengan tatapan yang sangat benci.
“Suamiku, ini keponakan tersayang mu!” Teriak Mutiara yang berhasil membuat Dista terkejut setengah mati. Sebenarnya tidak heran karna juga Mutiara selalu seperti ini di rumah.
Tak lama Javas muncul, ia menghela napas lega melihat Dista yang sudah datang.
“Nak, sekarang cepat mandi dan berganti pakaian dengan pakain yang bagus.” Perintah dari Javas membuat Dista bingung sebenarnya.
“Ini..” Tangan Mutiara memberikan plastik yang sedari tadi ia pegang. Dista menerimanya, ia melihat ada pakaian gamis yang biasa Dista pakai. Pakaian itu terlihat mahal, tidak biasanya Mutiara memberikan pakaian mahal seperti ini untuknya.
“Cepat mandi sana!” Mutiara mendorong Dista agar segera mandi, karna langkah Dista terlihat lambat sekali. Dista pun terus melangkah cepat takut kalau Mutiara marah lagi.
“Kau yakin Tuan Muda itu akan mau menerima Dista?” Tanya Javas kepada sang istri yang masih terlihat gusar. Karna Tuan yang dimaksud lebih menyukai perempuan bar-bar yang berpenampilan sexy bukan tertutup seperti Dista.
“Hei, suamiku.. Tuan muda itu hanya meminta wanita saja, soal suka atau tidaknya.. Sebaiknya jangan dipikirkan.” Balas Mutiara yang mendapatkan anggukan saja dari Javas.
Javas tidak merasa bersalah sedikitpun atas apa yang akan ia lakukan kepada kehidupan seorang Dista yang merupakan keponakan kandung nya.
“Sudah lah, sudah saatnya Dista berbalas budi kepada kita. Jadi, jangan merasa bersalah padanya.” Tutur Mutiara kepada sang suami yang kini hanya diam menatap foto keluarga mereka.
•
Dista bercermin melihat penampilannya kali ini, memakai gamis berwana hijau mint dengan warna hijab yang senada. Dista tersenyum melihat pantulan dirinya sendiri dicermin itu. Terakhir tak lupa pula Dista mengoleskan pewarna bibir untuk bibirnya yang terlihat pucat.
“Kamu sudah siap?” Tanya Mutiara yang tiba-tiba saja muncul membuat Dista terkejut. “Ha gitu dong, terlihat cantik dan rapi..” Puji Mutiara yang mendapatkan senyuman manis dari Dista.
“Emm, Bibi.. Kita memangnya mau kemana?” Tanya Dista setelah lama berdiam diri dari rasa penasarannya. Jujur jantung Dista berdegup kencang menantikan jawaban dari sang Bibi.
Mutiara terlihat bingung ingin menjawab apa, tapi disebalik hati Mutiara yakin jika Dista merupakan anak yang penurut. Apa lagi hal ini soal Pamannya, pasti Dista tidak akan ragu untuk mengorbankan diri.
“Paman mu punya hutang dengan Tuan Muda Maheswara, jadi..” Mutiara tidak melanjutkan ucapannya karna melihat tatapan mata Dista yang sangat teduh.
“Hutang itu sudah menumpuk menjadi banyak, kalau kami tidak membayar minggu ini.. Maka Paman mu akan masuk di penjara dan tidak akan pernah keluar dari sana.” Timpal wanita separuh tua itu, ia seperti ragu-ragu untuk menceritakan semua kepada Dista.
“Lalu, apa hubungannya ini semua denganku, Bibi?” Tanya Dista dengan suara yang melemah, perasaan Dista menjadi tidak enak.
“Untungnya Tuan Muda itu meminta salah satu anak Paman mu untuk menjadi istrinya. Kebetulan kami ada kau, karna juga Dinar belum niat menikah.” Pungkas Mutiara.
Bagaikan petir disiang bolong itulah yang Dista rasakan, ia menatap tak percaya kepada Mutiara yang terlihat biasa saja setelah menaruhkan hidup dari seorang keponakannya.
“Dengar, Dista.. Kamu tidak bisa memberontak ini semua, Paman mu sudah menggadaikan semua ini demi masa depanmu dengan Dinar. Jadi, jangan protes lagi.” Peringatan Mutiara membuat hanya air mata yang menjadi jawaban dari Dista.
“Bi, apa hanya aku penyebab itu? Kenapa harus aku yang berkorban? Jika memang pria itu kaya, tapi kenapa harus Dista yang menjadi_”
“Sudah jangan banyak drama! Kamu bakal enak nanti jadi nyonya besar, hanya mengurus suami tidak capek seperti Bibi yang harus berjualan gorengan. Bersyukur kamu, bukannya malah protes seperti itu.” Ucap Mutiara yang berhasil membuat Dista terdiam.
“Sudah, ayo kita berangkat.” Ajak Javas, bahkan pria itu tidak menatap kearah Dista terlebih dahulu.
Dista meremas gamis yang ia pakai, pantas saja Mutiara membelikan gamis sebagus ini untuknya. Ternyata kalau tidak ada niat terselubung maka sudah pasti Mutiara tidak akan pernah bersikap baik. Hingga kini Dista hanya pasrah, melawan juga hasilnya percuma. Berteriak-teriak meminta tolong kepada Pamannya juga percuma, semua juga akan terlihat tidak perduli kepada Dista yang selalu menjadi taruhan dalam hal apapun.
•
Sepanjang perjalanan yang mengendarai mobil butut Javas itu dinikmati oleh Dista. Ia terus mendengar ocehan dari Mutiara tentang seperti apa Tuan Muda yang akan menjadi suaminya nanti. Dista takut kalau akan dinikahkan oleh Tuan yang tua tapi hanya sebutan saja sebagai Tuan Muda.
“Mana ada Tuan Muda tampan yang harus menjadikan wanita tebusan hutang sebagai istrinya..” Gumam Dista didalam hati.
Hingga tiba-tiba saja mobil Javas berhenti tepat didepan pagar tinggi. Mata Dista melihat sekeliling perumahan mewah dan terkesan hanya orang-orang elite yang dapat tinggal ditempat ini. Dista turun dari mobil, ia melihat bangunan mewah dan megah itu dengan penuh kekaguman.
“Hei, Dista! Cepetan!” Panggil Mutiara yang langsung membuat Dista berlari. Mutiara memang tidak sabaran dengan langkah lamban dari sang keponakan, ia tidak mau semua berantakan karna ulah Dista.
Pintu pagar terbuka terlihat security yang berjalan kearah mereka. “Maaf, kalian siapa? Dan ada perlu apa?” Tanya security itu sambil menatap penuh curiga kepada ketiga manusia itu.
“Kami sudah ada janji dengan Tuan Maheswara, sore ini memang hari yang dijanjikan.” Jawab Javas, Security itu percaya saja. Menyuruh mereka untuk segera masuk, disaat itulah Dista merasa jika Tuan Maheswara ini merupakan sosok angkuh yang tidak menerima tamu dengan baik.
Keluarga Javas terus diarahkan menuju ruang tamu, dimana saat memasuki Rumah mewah itu tentunya tidak berhenti berdecak kagum. Apa lagi Dista yang baru pertama kali melihat hunian mewah seperti ini, ia merasa rumah mewah seperti ini hanya ada didalam mimpi.
“Kenapa lama sekali? Kalian kira, saya pantas menunggu kalian seperti ini?” Suara itu membuat Dista terkejut setengah mati. Matanya langsung tertuju kepada sosok pria tinggi jangkung dengan wajah super tajam dan tatapan mata yang seperti ingin membunuh sekarang juga.
Dista ter pelongo atas ketampanan dari seorang Tuan Muda yang akan menjadi suaminya itu. Ternyata tidak terlalu tua seperti yang Dista pikirkan, malah terlihat matang sebenarnya. Tatapan super tajam dan rahang sungguh sempurna para malaikat memahatnya.
“MasyaAllah, sungguh indah ciptaan mu kali ini, Tuhan..” Puji Dista didalam hati.
Pria yang bernama Lingga Maheswara itu duduk berhadapan dengan sosok wanita berhijab. Ia merasa aneh dengan wanita itu, sekalipun cantik tetap saja Lingga kurang tertarik sebenarnya.
“Apa ini wanita yang akan melunasi hutang-hutang mu?” Tanya Lingga dengan suara beratnya.
“I-iya, Tuan.. Dia lebih cantik kalau terbuka, hanya saja ia lebih alim dari kebanyakan wanita jaman sekarang.” Respon Mutiara karna sang suami mendadak tidak berguna kala didalam keadaan seperti ini.
Dista hanya menunduk dengan tangan meremas hijabnya, sebenarnya Dista takut dengan tatapan tajam dari Lingga. Terlebih lagi tatapan itu seperti ada rasa benci atau apalah, Dista tidak bisa mendiskripsikan seperti apa sosok Lingga Maheswara ini.
“Baiklah, aku terima dia.. Tapi, kalian harus meninggalkannya untuk malam ini. Besok tidak perlu datang untuk melihat pernikahan kami, karna aku benci sebenarnya..” Tangan Lingga menangkup dagunya. “Aku benci melihat sofa mahal ku diduduki orang-orang miskin.” Sambungnya.
Dista langsung mendongak hingga saling tatap dengan Lingga. Ada tatapan aneh dari Dista, ia tidak menyangka jika pria ini sungguh angkuh. “Tapi, Paman ku adalah wali sahku satu-satunya. Hanya dia yang bisa menikahkan ku, aku tidak mau_”
“Sejak kapan aku bicara kalau kau boleh mengatakan mau atau tidak mau?” Sela Lingga dengan pertanyaan yang sama sekali tidak bisa Dista jawab. “Kau orang miskin, cukup diam dan terima apa yang aku lakukan. Mengerti?”
Dista langsung mengangguk, ia memang barang sekarang. Maki-maki juga percuma, karna Dista yakin jika Paman dan Bibinya tidak akan menolong. Malah sekarang kedua orang yang sudah dianggap Dista sebagai orang tua, sudah pergi begitu saja meninggalkan Dista tanpa pamit.
Dista tidak tahu harus apa, matanya terus tertuju pada Paman dan Bibi yang sudah berjalan jauh. Air mata Dista mengalir, ia tidak bisa menahan semua rasa sedih lagi. Dista tidak menyangka jika kedua orang yang teramat ia sayangi rela melakukan hal seperti ini kepada hidupnya.
“Siapa namamu?” Tanya Lingga kala melihat Dista sesenggukan menahan tangis.
“Dista Keinadira, Tuan..”
“Nama yang bagus, dengar.. Aku tidak mempermasalahkan cara berpakaian mu, hanya saja aku merupakan orang yang sulit hidup bersama dengan orang lain.” Ungkap Lingga yang membuat Dista tidak mengerti dengan cepat.
“Turun!” Perintah Lingga, tentu saja Dista bingung harus turun kemana. Tapi, tangan Lingga menunjukkan seperti Dista harus turun dari sofa itu.
Dista baru sadar dengan arti perkataan Lingga beberapa menit yang lalu. Dista pun bangkit dari sofa, lalu duduk berlutut dilantai. Ia menunduk hormat kepada Lingga yang duduk disofa, pria itu tersenyum puas kepada Dista yang mudah sekali patuh.
“Berbicara denganmu tidak perlu menghabiskan banyak waktu, karna kau cepat sekali mengerti.” Ntah pujian ntah apa, Dista tidak tahu maksud perkataan dari Lingga.
Tiba-tiba ada pria menuju Lingga, dan Dista memerhatikan pria tampan yang berjalan kearahnya. “Semua berkas sudah beres, Tuan..” Ucap pria itu yang bernama, Malik.
“Bagus, sekarang urus wanita miskin itu. Besok pagi adalah acara pernikahan kami, dan jangan sampai ada yang tidak beres besok.” Perintah Lingga yang mendapatkan anggukan mantap dari Malik.
Lingga berlalu pergi, barulah Dista menghela napas lega. Dista hanya diam menatap lantai, ia tidak tahu harus apa sekarang. Menjerit sangat ingin ia lakukan, hanya saja tidak mampu baginya untuk melakukan itu.
“Nona, bangkitlah..” Ucap Malik yang berhasil membuat Dista tersadar dari lamunannya. Hingga Dista bangkit, ia mencoba tersenyum kepada Malik yang sepertinya memiliki kadar keramahan yang membuat Dista tidak ragu untuk ramah.
•
Malik membawa Dista menuju kamar utama, dimana satu kamar dengan Lingga. Dista ingin protes, tapi Malik sudah berlalu pergi begitu saja, Dista ditinggal seorang diri di kamar asing yang terlihat luas. Akibatnya Dista hanya diam berdiri ditengah kamar karna tidak tahu harus apa sekarang.
Kamar luas Lingga berwarna abu-abu terlihat manly sekali. Dan juga aroma parfum yang menenangkan ini membuat Dista langsung teringat dengan Lingga. Dista duduk dilantai dengan bersandar pada bangku sofa, ia melihat keseluruhan kamar yang terkesan mewah itu.
Pintu bathroom terbuka, terlihat Lingga yang keluar dari sana. Cepat-cepat Dista mengalihkan pandangannya, ia tidak mau melihat penampilan Lingga seperti itu.
“Kenapa kau menutup mata?” Tanya Lingga dengan senyuman smirknya. “Kau tahu, banyak wanita yang antri hanya untuk melihat dada bidang ku ini..”
Dista tetap bersikukuh menutup wajahnya dengan kedua tangan sambil didalam hati mengucapkan kata-kata istighfar sebanyak-banyaknya. Lingga hanya menghela napas panjang, ternyata cukup melelehkan dengan seorang wanita alim.
“Tuan..” Panggil Dista kala Lingga sedang sibuk berganti pakaian. Ketahuilah posisi duduk Dista kali ini membelakangi pria itu, ia tidak mau melihat seinci tubuh Lingga sebelum menjadi suami sah nya.
“Ada apa?”
“Kenapa kau ingin menikahi ku? Apakah tidak cukup kau menjadikan aku pelayan saja dirumah ini? Perlahan aku akan melunasi hutang Paman, aku berjanji akan itu.” Ucapan serta pertanyaan dari Dista itu hanya dapat tawa meremehkan dari Lingga.
“Bahkan sampai kau berkeringat kuning juga tidak akan bisa melunasi hutang Paman mu. Dan satu lagi..” Lingga berbalik badan, ia menyuruh Dista untuk kembali menatap kearahnya.
Pelan-pelan Lingga berjalan menuju Dista yang kini sudah berdiri berhadapan dengannya. “Aku menikahimu hanya untuk menjadi mainan ku saja, menjadi topeng penyelamat Perusahaan ku. Apa kau tahu definisi dari arti mainan?” Tanya Lingga dengan kedua tangan berkacak pinggang.
Dista mengangguk cepat, ia takut sekali dengan tatapan tajam dari Lingga. “Kau cukup diam dengan semua perlakuan ku, jika kau ingin Paman dan Bibimu bahagia. Mudah bukan?”
“Baik, Tuan.. Aku mengerti..”
“Aku tahu, kau itu cerdas, pasti akan cepat mengerti.” Kata Lingga, ia berlalu keluar dari kamar. Meninggalkan Dista seorang diri, Dista tidak bisa berkata-kata sekarang. Kala kepergian Lingga sungguh ia bisa bernapas lega, saat ada Lingga.. Sungguh pasokan oksigen sangat menipis.
•
Dista melamun memikirkan nasibnya besok, dimana seluruh kehidupannya akan dikuasai oleh Lingga. Dibalik hati atas semua ketidakberdayaan ini, Dista berjanji kepada diri sendiri. Bahwa menikah cukup satu kali ini saja, sekalipun sakit Dista berjanji untuk tetap bertahan sekalipun itu sulit.
“Aku akan belajar mencintai suamiku, dan semoga suamiku kelak.. Bisa mencintai ku juga.” Gumam Dista didalam hati, sambil merebahkan diri di lantai tanpa alas apapun.
Bukan tanpa alasan Dista seperti itu, semua itu murni karna mengingat kata Lingga untuk jangan menyentuh barang mahalnya sedikit pun. Dista tertidur dengan senyuman yang sungguh ia paksakan, berusaha berpikir positif untuk hari esok.
••••
~BERSAMBUNG…
Wanita mana yang tidak membayangkan hal indah untuk pernikahan yang hanya terjadi seumur hidup sekali ini. Bahkan pernikahan Dista kali ini sungguh tidak sesuai dengan bayangannya sewaktu kecil. Tidak ada tamu dan tidak ada orang terdekat yang datang. Hanya orang kepercayaan Lingga dan lebih tepatnya wajah Dista tidak dihias sama sekali oleh Lingga.
“Padahal ini momen seumur hidup sekali bagiku, kenapa semua tidak diadakan dengan sebagai mestinya?” Tanya Dista kepada Lingga yang kini sudah bersiap-siap memakai jam tangannya. Ya, keduanya masih berada didalam kamar.
“Sebagai mestinya gimana maksudmu? Apa aku pernah mengatakan bahwa aku membutuhkan saranmu?” Lingga malah bertanya balik, ia berjalan mendekati Dista yang juga berjalan mundur. Terus saja seperti itu hingga Dista terhenti di dinding, tatapan Lingga sungguh tajam.
“Seumur hidup bagimu, tidak seumur hidup bagiku.” Ucap Lingga sembari meludah tepat di samping Dista yang langsung memejamkan matanya.
Dista memberanikan diri menatap ke arah Lingga, wajah tampan itu sungguh menatap dirinya dengan penuh kebencian. “Aku sudah mengambil keputusan untuk menikahimu, seharusnya kau sudah cukup dengan itu.” Ujar Lingga yang kini langsung berlalu pergi meninggalkan Dista yang masih terkejut dengan semua perlakuannya.
Air mata yang ditahan Dista tadi jatuh sudah, Dista tidak tahan dengan semua hal yang terjadi. Melihat dirinya yang tidak berdaya melalui cermin, betapa tidak rapuhnya seorang Dista Keinadira. Kehidupan bahagianya telah tergadai kan sekarang, bahkan Dista tidak tahu alasan apa lagi untuk tersenyum sekarang.
Pelayan datang memanggil Dista, cepat-cepat Dista merapikan hijabnya yang sedikit berantakan. Menghapus sisa air mata yang masih membanjiri wajah cantiknya, pura-pura tersenyum seolah-olah tidak terjadi apapun.
“Dista.. Kamu bisa, kamu pasti bisa!” Gumam Dista didalam hati, ia ingin kuat sekarang.
~
Dengan lantang lafaz ijab qabul itu diucapkan oleh Lingga, hingga saksi mengucapkan kata SAH. Dista telah sah menjadi istri dari Lingga, sah secara agama dan negara. Dista duduk sedikit jauh dari Lingga karna ini semua perintah dari pak penghulu sendiri.
Tatapan Dista jatuh sempurna kepada Lingga yang kini telah menjadi suaminya. Pria itu tersenyum manis seolah-olah tidak ada keangkuhan yang mengerikan di sana.
“Suami wajib menyayangi istri, begitu pula istri wajib melayani suami. Pasangan yang saling menyayangi akan mendapatkan berkah dalam rumah tangga mereka.” Nasehat pak penghulu itu sebelum pergi.
Lingga memanggil Dista untuk duduk di sampingnya, dan Dista pun pelan-pelan melangkah menuju Lingga. Tangan Dista langsung diraih Lingga, bahkan pria itu tersenyum manis kepada Dista yang masih belum mengerti dengan apa yang terjadi.
Bahkan tangan Dista terus digenggam oleh Lingga sampai semua tamu pulang. Barulah Lingga melepas tangan Dista, ia mengelap tangannya dengan sapu tangan yang selalu ada di kantong jas yang ia pakai.
“Kau menjijikkan!” Umpat Lingga kepada Dista yang hanya diam.
“Dengar, jangan pernah berpikir jika pernikahan ini nyata. Aku hanya menikahi mu untuk keperluan ku saja, mainan ku. Jangan berharap ke hal lain, kau tidak pantas untuk itu.” Peringatan Lingga yang ntah sudah berapa kali Dista dengar.
Lingga berjalan menaiki tangga sudah pasti Dista menyusul di belakangnya. Dista pasrah dengan apa yang akan dilakukan Lingga kali ini, mengingat pria itu adalah suaminya sekarang. Dista memperhatikan dengan baik punggung belakang Lingga yang tegap sempurna. Sejujurnya tidak ada kekurangan dari seorang Lingga, pria itu hampir sempurna sebenarnya.
~
Lingga membawa Dista menuju kamarnya, ia membuka jas yang dipakai saat menikah tadi. Dista hanya diam berdiri seperti patung, perutnya sangat lapar. Tapi, dari kemarin Lingga tidak juga memberikan makan untuknya.
“Kenapa kau berdiri seperti patung begitu?” Tanya Lingga sembari berganti pakaian tepat di hadapan Dista.
Dista tersadar, ia membantu menaruh pakaian kotor sang suami menuju keranjang pakaian kotor. Lingga hanya diam saja, ia fokus berganti pakaian.
“Tuan, aku lapar sekali..” Ucap Dista dengan penuh rasa takut.
“Bekerjalah kalau ingin makan, setidaknya lakukan aktivitas yang bisa membuat ku berpikir jika kau pantas untuk makan.” Ujar Lingga dengan nada angkuh.
Dista terkejut sebenarnya. “Maksud Tuan apa?”
“Walaupun kau adalah istriku, kau tetap sama dengan pelayan disini. Bekerjalah, melakukan sesuatu hal yang berguna.” Jelas Lingga yang kini sedang sibuk bermain dengan ponselnya.
Dista melihat kesana-kemari, ia mengambil keranjang kotor itu berniat untuk mencuci saja untuk hari ini. Lingga hanya diam sibuk dengan aktivitas nya, bahkan tidak banyak bicara lagi kepada Dista yang kini sudah Sah menjadi istrinya.
“Hem, tunggu..” Panggil Lingga hingga langkah Dista terhenti. Dengan tangan menenteng keranjang Dista menatap bingung Lingga yang menatapnya dengan senyuman sinis. “Aku lapar, cepat sajikan makanan!” Perintahnya.
Dista mengangguk, ia langsung lanjut pergi menuju lantai bawah. Tidak ada rasa kesal dihati Dista sedikitpun, ia sudah berjanji untuk selalu menghormati sang suami. Bahkan Dista dengan sangat ikhlas melayani sang suami. Tidak perduli sekalipun Lingga tidak pernah menganggap nyata hubungan pernikahan ini.
Dista turun menuju dapur, ia melihat para pelayan yang langsung pergi kala kedatangannya. Dista tidak heran itu, ia meletakkan keranjang pakaian kotor itu ditempat laundry. Dengan sangat cekatan Dista menyajikan makanan yang baru saja siap dimasak oleh pelayan tadi. Menyajikan dengan rapi dimeja, bahkan perutnya menjadi sangat lapar kala melihat banyaknya makanan.
Tak lama Lingga datang dengan sambil bersiul, ia duduk dengan ekspresi wajah yang cukup angkuh. Dista mengambilkan piring untuk Lingga, menyajikan nasi untuk sang suami. Lingga memilih lauk yang menurutnya enak, makan dengan lahap di hadapan Dista yang dilanda kelaparan.
Mungkin karna efek lapar belum makan dari kemarin, Dista sampai termenung menatap semua makanan yang banyak itu. Tapi, meminta makan kepada sang suami sungguh Dista tidak berani untuk melakukan itu. Pada akhirnya Dista hanya diam berdiri di samping Lingga yang tengah asik makan dengan sangat lahap.
“Sangat enak, aku mau lagi..” Pinta Lingga yang menyodorkan piring kosongnya kepada Dista. Dengan patuhnya Dista mengambilkan nasi lagi untuk sang suami, dan tak lupa sekalian lauk ayam goreng.
“Tambah lagi nasinya dan juga ayam goreng tambah dua lagi.” Pintanya, Dista melakukan hal yang dipinta sang suami. Setelah merasa cukup segera memberikan piring itu kembali kepada Lingga.
Kali ini cara makan Lingga cukup berbeda dari yang biasanya. Lingga memainkan nasi itu hingga tidak terbentuk, bahkan menggigit potongan ayam goreng. Dista hanya diam memperhatikan sang suami, ia tidak berani banyak bertanya.
“Kau lapar bukan?” Tanya Lingga yang langsung mendapatkan anggukan mantap dari Dista. Sudah pasti lega sekali karna pada akhirnya rasa lapar ini akan hilang juga.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!