Arin Louery sudah berdandan dengan cantik. Malam ini, dia akan hadir di pesta tahunan Maximillian departemen store. Dengan bantuan tangan sahabatnya, Naura yang bekerja tanpa henti kini tampilan Arin benar-benar memukau.
“Seperti bukan diriku.”
“Jangan bercanda, aku tidak melakukan apa selain menggunakan make up untuk mempertajam wajahmu yang memang sudah terlahir cantik. Kamu hanya terlalu polos. Pasti Liam akan memujamu.”
Mata mereka bertemu di cermin dan Naura mengangguk untuk menyakinnya.
...***...
Arin tiba di pesta dengan diantar oleh Naura . Pesta tersebut diadakan di mansion keluarga Maximillian yang megah dan mewah dan sejenak Arin merasakan desakan untuk meminta sahabatnya memutar mobil dan pulang.
Segera turun, kamu sudah sampai.”
Arin menarik napas dalam dan menghembuskannya pelan.
“Bagaimana caranya nanti aku pulang?”
Naura berdecak pelan. “Kamu kan sudah punya pacar. Suruh dia yang mengantarkanmu pulang.”
“Apa kamu sudah gila? Ini acara kantor, bagaimana jika kami ketahuan pacaran?”
“Aku tidak mengerti, kenapa kalian menyembunyikan hubungan kalian? Apakah perusahaan Maximillian melarang pegawainya untuk berpacaran?”
“Naura!!”
“Baiklah, telepon aku. Aku akan memberimu tumpangan pulang nanti.”
“Oke.”
Saat Arin ingin membuka pintu mobil, namun butuh beberapa detik untuk berpikir keluar.
“Cepat turun, aku ingin segera pulang. Telepon saja jika nanti butuh.”
Setengah mencibir, Arin pun turun.
Mansion Maximillian memiliki ballroom yang mewah dan megah. Didesain khusu untuk acara-acara pesta besar seperti ini. Arin sudah pernah menghadiri acara-acara besar seperti tahun lalu dan kenangannya sama sekali berkesan. Di pesta ini, seseorang menyatakan cintanya.
Arin menarik napas dalam saat tiba-tiba perasaan rendah diri dan juga perasaan tak yakin bersama seribu satu perasaan negatif menyerbu pikirannya. Dia melihat para wanita dengan dandanan terbaik mereka .
Gugup dia langsung mengepalkan tangannya.
“Arin.”
Arin langsung menolehkan kepalanya dan mendapati gadis cantik dengan gaun bewarna navy yang tengah berdiri bersama seorang pria yang dia kenal.
“Rena?” Tebak Arin.
“Wah kamu tampak sangat cantik dengan gaun itu. Liam sampai tidak menyadari jika itu kamu.”
Arin langsung menatap Liam yang terlihat malu.
Mereka pun berjalan ke arah meja panjang dan mengambil sampanye. Rena melihat direktur baru di seberang ruangan dengan pakaian tampak memukau dan berbeda dari yang lainnya.
“Liam, kamu pasti senang, ya. Kalau kakakmu jadi direktur, pasti karirmu akann berjalan dengan mulus.”
“Kamu tidak tahu kakakku seperti apa? Dia bukan orang seperti itu.”
“Aku ke toilet dulu.”
Arin pun pergi ke toilet untuk memperbaiki riasannya. Saat dirasa sudah baik, dia langsung keluar namun baru saja dia mendapatkan langkah pertama, seseorang tengah menariknya dalam pelukannya.
“Akhirnya aku bisa memelukmu. Aku sudah menahan diri sejak tadi.”
Arin yang awalnya terkejut langsung bisa bernapas dengan lega. Dia pun membalas pelukan tersebut dan beberapa detik baru tersadar jika dia masih berada di dalam pesta dimana ada benyak orang-orang kantor di sekitar.
“Liam, lepaskan aku! Bagaimana jika orang-orang kantor tahu?” Arin langsung melepaskan pelukannya dan mendorong Liam menjauh.
Arin langsung meninggalkan Liam yang masih terbengong.
“Arin!”
Saat ini Arin sudah berada di tengah-tengah orang kantor sambil menikmati makanan yang sudah disajikan.
“Kamu bilang dulu pak direktur pacaran dengan rekan kantor?”
“Katanya 2-3 tahun yang lalu mereka terkenal sebagai pasangan yang menawan. Aku dengar mereka bahkan pernah membicarakan tenteng pernikahan,”
“Bagaimanapun, sekarang beliau jomblo kan?” Tanya Rena.
“Rena, apakah kamu tertarik dengan pak direktur?”
“Beliau terlihat seperti seorang idol, selain itu beliau juga sangan berkompeten dalam bekerja dan punya banyak uang! Aku sudah menjadikan pak direktur target lalu apakah di sini ada orang yang tidak tertarik dengan pak direktur? Bukan seperti itu Arin?”
Saat Arin ingin menjawab, Liam sudah duduk di sampingnya dan menatapnya dengan intens. Pria itu sedang mengawasinya.
“Bagaimana ya? Aku tidak pernah memikirkannya.”
“Wah apakah benar? Tidak ada rahasia di antara rekan kerja. Kami akan merahasiakan semua pembicaraan di tempat ini, jadi beritahu kami. Apakah kamu menyukai pak direktur?” Tanya Liam yang seolah menggodanya.
“Tidak, aku tidak tahu bagaimana bisa aku tahu. Aku sendiri tidak pernah bertegur sapa dengannya.”
“Tapi bukankah setidaknya kamu memiliki kesan yang baik padanya. Pak direktur kan sangat tampan,” ucap Rena.
Arin merasa kalang kabut, dia merasa seolah diintimidasi oleh banyak pasang mata. Wanita itu lantas menghela napas dan mengambil segelas sampanye dan menandaskannya.
“Tampan saja tidak cukup untuk menilai seseorang,” ucapnya saat cairan itu melewati kerongkongannya.
...…...
Arin bangun saat subuh baru mulai menjelang. Dia butuh sesaat sebelum kembali pada kesadaran bahwa dia berada di kamar orang lain. Degub jantung Arin seolah memompa dengan kencang. Kepalanya berdenyut dan tangannya berkeringan dingin.
Arin menoleh dan mendapatkan seorang pria tengah berbaring di sampingnya. Arin langsung menutup mulutnya agar suara keterkejutannya teredam. Arin menelisik pria tersebut dan damn, pria itu adalah direkturnya, Mavendra Maxmillian yang berarti dia adalah kakak dari Liam.
Arin langsung menelisik dirinya sendiri, dia sedikit bisa bernapas lega saat pakaiannya berada di tempatnya. Dengan pelan Arin melepaskan lengan yang melingkari tubuhnya dan pelan-pelan juga bergeser lalu turun dari ranjang.
Gerakannya sangat berhati-hati karena dia tak ingin membangunkan pria di sampingnya. Dia tidak meninggalkan jejak apapun di sana. Setelahnya, dia meraup tas dan sepatu lalu pelan-pelan keluar kamar. Di lorong, Arin dengan cepat bergerak turun ke lantai bawah dan menuju keluar.
...…...
Sambil mendesah pelan, Arin masuk ke dalam apartemennya. Sepanjang perjalanan pulang di dalam taksi, pikirannya hanya berfokus pada satu hal, dia terus menerus mengulang apa yang terjadi tadi malam dan terus teradang dia masih bingung dengan situasi yang dihadapinnya. Gadis itu berusaha mengatakan kalau segalanya tidak akan buruk. Semuanya akan baik-baik saja. Itu hanya sebuah kesalahan fatal dan tidak akan membuat Mavendra mengubah segalanya hal di dalam dirinya.
Mereka akan tetap menjadi atasan dan bawahan dan hanya sebatas terikat kerja.
Dia kembali mendesah lalu melemparkan diri ke atas ranjang. Tasnya mengenai tangan dan Arin langsung membuka lalu mengambil ponselnya dari dalam.
Ada pesan dari Naura dan beberapa sebagian pesan dari Liam. Pria itu pasti kebingungan mencarinya. Arin berpikir sejenak sebelum membalas pesan dari Liam. Cukup berpikira lama, pada akhirnya Arin menyerah dan lebih memilih membersihkan tubuhnya dari segala noda.
Saat Arin mengeringkan rambutnya, dia baru sadar dari pantulan cermin dia melihat salah satu antingnya menghilang.
“Huh? Apakah aku menjatuhkannya Tapi dimana?”
Suara ketukan di pintu membuat Arin terperanjat. Setelah merasa telah siap bertemu dengan siapapun pengeruk itu, Arin membuka pintunya dan melihat Liam di sana.
“Aku mencarimu tadi malam.”
Liam tampak merasa lega saat bisa melihat Arin di depannya. Dia sudah kelelahan mencarinya.
“Aku tidak terlalu nyaman dengan pesta jadi aku pulang lebih dulu.”
“Siapa yang mengantar?”
Arin mencoba tidak terlihat gugup. Dia tidak bisa ketahuan berbohong sekarang. “Aku meneleon Naura untuk menjemputku.”
“Seharusya aku yang mengantarmu.”
“Maaf.”
“Kamu tidak perlu minta maaf,” ucap Liam lalu pria itu membuka kedua lengannya dengan wajah memerah seolah ingin meminta pelukannya.
Arin pun mendekat dan memeluknya.
“Bolehkan aku memelukmu dengan erat?” Tanya Liam meminta izin.
#maaf kemarin ada kesalahan up
Mavendra Maxmillian mengganti posisinya dan tangannya terulur untuk mencari sosok di sampingnya. Mendapatkan tempat itu kosong, dia langsung membuka matanya. Apa? Dia bemimpi? Tapi dia bersumpah merasakannya. Dia tidak bermimpi.
Lalu segalanya berputar bagai ada di depan matanya. Memberikan gambaran jelas ata apa yang sudah dia lakukan. Dia bahkan tidak tahu dengan siapa dia melakukannya.
Mavendra segera bangun dari ranjangnya dan turun. Berjalan ke arah kamar mandi. Tidak ada tanda-tanda bahwa kamar mandi itu baru saja dipakai. Mavendra sudah akan beranjak dari kamar mandi tapi pantulan kaca yang memperlihatkan dirinya membuat dia tidak bisa beranjak.
Dia mendekat ke kaca untuk menelisik bekas gigitan dibahunya sebelah kanan. Bekas itu terukir sangat cantik di atas kulitnya. Untuk pertama kalinya dia begitu menyukai tanda yang ditinggalkannya. Dia tersenyu.
Segera dia keluar dan mengambil baju gantinya. Dia akan meminta CCTV di depan kamarnya agar bisa diakses. Dia harus melihat gadis seperti apa yang membuatnya begitu aneh seolah tak mengenali dirinya sendiri.
Dia meraih ponselnya yang ada di atas nakas tapi matanya tiba-tiba tertuju ke arah ranjang. Di sana ada benda berkilau dan langsung mengambilnya. Melihat dengan seksama salah satu anting indah itu. Pasti anting itu yang digunakan gadis misteriusnya.
Segera dia mengubungi bagian CTV dan meminta agar bisa melihat rekaman di depan kamarnya.
“Segera kirimkan ke emailku. Aku akan menunggu dan juga rahasiakan ini dari semua orang atau kalian tidak akan tahu akibatnya.”
“Baik Tuan Muda.”
Mavendra melihat anting itu di tangannya dan mengenggamnya dengan erat. Ingatannya sungguh tidak memudar di kepalanya. Sejak dulu Mavendra tidak pernah memikirkan hubungan dengan lawan jenisnya namun gadis itu sanggup membuatnya merubah pikiran itu.
Sampai di bekerja di kantorpun ingatannya tak pernah lepas dari kejadian semalam. Otaknya begitu penuh sehingga dia tak menyadari kalau sekretarisnya sudah berdiri di hadapannya. Mavedra menegakkan diri dan mengembalikan kontrol atas pikirannya.
“Ah benar, lanjutkan.”
Kelvin masuk ke kantor bertepatan ketika sekretarisnya berjalan ke pintu. Dia melihat sekretarisnya menyapa pelan pria itu keluar. Begitu pintu tertutup kembali, Kelvin berjalan mendekati meja Mavendra sambil memarmekan senyum khasnya.
“Bagaimana pestanya?” Tanyanya lalu duduk di hadapan Mavendra tanpa dipersilahkan.
“Seperti biasanya.” Mavendra berpura-pura. Dia tidak akan mengatakan apa-apa. “Kenapa pagi-pagi kamu sudah ada di sini?”
“Kenapa? Memangnya aku tidak boleh bermain-main dengan kantor temanku?”
“Ini kantor bukan taman bermain.”
“Kamu tidak asyik sekali. Pantas saja, setiap wanita yang dekat denganmu pasti kabur setelah melihat…” Kelvin diam saat Mavendra mengangkat telunjuknya.
Rupanya ponsel pria itu berbunyi. Mavendra membuka ponselnya dan menemukan video CCTV yang dikirim padanya.
“Pintu keluar ada di sana, akan kuhitung sampai tiga. Jika tidak keluar, aku akan menarik semua investasiku.”
Kelvin langsung menyebikkan bibirnya. “Baiklah aku keluar. Kamu tidak perlu mengancamku. Aku ada janji temu pagi ini di sekitar sini jadi aku mampir tapi begini perlakuanmu padaku.”
Kelvin berdiri dengan pelan-pelan berjalan ke arah pintu keluar. Setelah hanya dirinya saja yang berada di ruangan itu, segera Mavendra membuka rekaman video tersebut tanpa menunggu waktu lama.
Dia melihatnya. Seorang gadis masuk dengan kelelahan. Bahkan dia membuka banyak pintu di lorong kamar tapi tidak ada pun yang bisa dibukanya. Semua terkunci lalu dia beralhir di pintu kamar Mavendra.
Lalu videonya berubah waktu menjadi dini hari. Gadis itu keluar dengan langkah pelan, wajah tertunduk untuk membuat wajahnya terhindar dari CCTV. Pria itu menyeringai.
Apa yang akan dilakukannya pada gadis itu? Gadis itu telah mengubah pandangannya pada banyak hal.
...…...
Sepanjang hari, Arin memikirkan bagaimana caranya untuk mengambil anting-antingnya. Dia tidak kehilangan salah satu antingnya sejak tadi pagi. Sejak pulang dengan tergesa-gesa. lalu dimana antingnya?Arin tidak ingin memikirkannya ke sana tapi sepertinya memang itulah jawabannya. Dia kehilangan antingnya di kamar pria itu.
Apa yang dia lakukan sekarang? Dia pasti gila jika sampai dia masuk ke kamar itu tapi bagaimana jika MAvendra menemukan anting itu? Bisa gawat jika dia menemukannya dan mencari tahu dirinya. Arin tampak berpikir sampai-sampai dia mengabaikan Liam di depannya.
“Arin?”
“Ya?” Arin mendongak dan menemukan Liam dengan wajah tampak lesu.
“Aku tidak tampan ya”
“Ya”
“Aneh. Biasanya disaat seperti ini, kamu langsung tertarik denganku. Kenapa kamu bersikap dingin seperti ini? Apa hari ini wajahku sembab?”
“Tidak kok, kamu sangat tampan seperti biasanya,” ucap Arin sambil tersenyum manis.
Pria itu selalu bisa hadir dengan kehebatan dalam berpenampilan. Membuat setiap mata hawa hanya terfokus padanya. Arin menjadi salah satu yang tertakhluk.
“Makanlah yang banyak. Jangan sering-sering menunda makan. Kesehatan kamu itu jauh lebih penting.”
Dan sadarlah Aira apa yang Liam lakukan. Pria itu mengambil banyak makanan untuk dirinya.
“Apa aku terlalu kurus?” Tanya Arin dengan bisikan yang sangat kecil.
Liam langsung menggeleng. “Tidak! Kamu sangat sempurna.”
Arin mengangguk dengan lega dan bangga.
Liam memegang tangan gadis itu. Melihat jemarinya dan tidak menemukan apa yang harusnya ditemukannya. Arin yang melihat kerutan di wajah Liam bingung.
“Ada apa?”
“Seharusnya kita mengumumkan hubungan kita ke semua orang agar aku bisa memasang cincin yang cantik di jemarimu yang lentik.”
“Liam, kita sudah pernah membicarakan ini.”
Liam hanya menghela napas panjang.
“Ah benar, aku meninggalkan cushionku dan lip balmku di kamar saat pesta kemarin. Aku akan ke sana untuk mengambilnya.”
“Kamu sudah tahu paswordnya kan?”
Ya.”
...…...
Arin membuka pintu ruangan itu segera menutup pintunya. Dia harus mencari salah satu antingnya dan segera pergi. Arin mengamati kamar tersebut dan tampak persis dengan saat dia meninggalkannya.
Arin mulai menguncir rambut panjangnya dan bersiap untuk mencari barangnya ke semua arah. Menuju nakas tidak ada. Di bawah ranjang tidak ada. Lalu dia mencari dia atas ranjang dan menyibakkan selimut.
Suara pintu yang tiba-tiba dibuka membuat Arin terkejut membuatnya menoleh ke belakang. Dia melotot. Segera mengembalikan selimut ke tempat semula.
“Mavendra? Ah bukan maksudku pak Direktur.”
“Untuk apa kamu ke sini, Arin?” Pria itu memberikan senyuman. Dia bahkan masih memakai jubah mandi.
“Ah, itu aku meninggalkan sesuatu di sini. Kamu bisa bertanya pada Liam untuk lebih jelasnya. Aku sudah membawa barangnya, jadi aku akan pergi dulu.”
“Berhenti di sana!”
“Ada apa?”
“Apa kamu benar-benar sudah menemukan barangmu?”
“Ya.”
“Tadi malam aku bersenang-senang dengan seseorang. Aku rasa gadis itu akan kembali cepat atau lambat ke kamar ini. Karena ketinggalan sesuatu lalu aku menemukanmu di sini.”
Mavendra tampak santai dengan penjelasannya yang menyebalkan.
Arin menahan gerusan hatinya sendiri.
“Itu bukan aku!” Tampak terlihat konyol dengan ucapannya sendiri Arin langsung membungkam mulutnya sendiri dan Mavendra memberikan dia senyuman terbaiknya.
“Aku tidak mengatakan gadis itu dirimu.”
Arin menelisik sekitar, menghitung berapa langkah yang akan dia pakai untuk bisa sampai pintu dan keluar dari tempat ini. Pria itu menghalanginya, dia tidak akan berhasil melewati Mavendra tanpa bersentuhan dari pria itu jika Mavendra memang memutuskan untuk menahannya agar tidak pergi.
Mavendra bergerak satu langkah dan Arin mundur dua langkah. Dia merasa terintimidasi. Mau mengakuinya atau tidak, itulah yang dia rasakan saat berada dengan pria itu.
Mavendra bergerak satu langkah dan Arin mundur dua langkah. Satu alis Mavendra terangkat, merasa tertarik karena melihat bagaimana gadis itu berusaha menjauh darinya.
“Apa kamu menyukaiku?”
“Apa? Begini direktur Mavendra saya tidak menyukaimu.”
“Lalu bagaimana kamu bisa berakhir di kamarku?”
“Arin!!!”
Seruan itu membuat gadis itu menolehkan kepalanya. Menemukan Liam di sana. Mavendra berdecak.
“Bisa kamu mengetuk pintu sebelum masuk ke ruangan orang lain, Liam?” Mavendra memutar tubuhnya menghadap adiknya. Tidak terima atas sikap yang dilakukan Liam.
“Aku mencari pacarku.”
Arin langsung bergegas pergi ke samping Liam membuat Mavendra merasa marah.
“Apa kamu dan wanita itu tinggal bersama di sini? Dia masuk ke dalam kamarku dengan percaya diri.”
“Kemarin malam dia salah kamar. Aku memintanya istirahat di salah satu kamar dan dia malah ke kamar ini. Aku minta maaf untuk itu, dia tidak bermaksud melakukannya. Jika ingin menyalahkan maka salahkan aku saja.” Liam terlihat merasa sedikit bersalah.
“Jadi begitu ceritanya.”
Mavendra melirik Arin dan Arin membuang wajahnya. Tampak tidak berani menatap Mavendra.
“Ah iya, Sayang. Kosmetik kamu sudah ketemu belum?” Tanya Liam.
“Su…sudah.”
“Kosmetik? Aku yakin yang hilang bukan kosmetik. Memangnya seberapa pentingnya itu sampai dia berani kembali masuk ke kamarku?” Mata Mavendra memindainya. Mengawasi dengan tertarik saat beberapa detik Arin terus memandang ke wajah Liam.
“Aku yang membelikan kosmetik itu jadi menurutnya barang itu berharga. Ini bukan tentang harganya tapi tentang siapa yang memberikannya.”
Mavendra mendengus kesal.
“Terserah kamu ingin berpikir seperti apa. Aku tidak peduli. Aku kemari hanya untuk membawa pacarku pergi. Apa kamu akan menahan kami?”
Mavendra mengangkat tangannya. Dia memberikan tanda sebuah penyerahan namun segalanya belum selesai. Ini hanya permulaaan. Itu yang dipancarkan mata Mavendra.
Arin dan Liam pun keluar dari ruangan itu, Mereka masih berpegangan tangan saat keluar dari kamar bahkan saat berjalan di lorong tapi begitu sampai di halaman depan. Arin menghentikan langkahnya membuat Liam juga menghentikan langkahnya.
“Arin, kamu baik-baik saja?”
Arin mengangkat kepalanya. Dia tampak berkaca-kaca dan segera memeluk Liam. Melingkarkan lengannya di leher pria itu dan mendekap sangat kuat.
Arin ingin mengatakan semuanya pada Liam. Sayangnya dia tidak mempunyai keberanian untuk memulai semuanya. Jika Liam bertanya, dia akan mengatakannya. Dia hanya butuh tanda tanya dari Liam.
“Aku tidak peduli apa yang membuatmu berakhir di sana, Arin. Aku lebih tahu dari siapapun mengenai dirimu.”
Dan runtuhlah, Arin mendengarnya, dia tidak mendapatkan apa yang dia harapkan. Dia tidak bisa mengatakannya pada Liam, jika pria itu memutuskannya seperti itu. Arin melepaskan pelukannya dan memandang pada Liam.
“Aku tahu kalau Mavendra itu brengsek.”
“Brengsek? ya itu kata yang cocok untuknya.”
...…....
Arin masuk ke kamar mandi. Segera berdiri di depan wastafel. Mengikat rambutnya dengan tinggi. Dia beberapa kali menghela napas panjang dan membasuh wajahnya. Dia melakukannya dua kali dan menatap pantulannya di cermin. Menghela napasnya lagi dan rasanya dia ingin memaki sosok di depannya.
Kenapa dia begitu bodoh saat dia merasa kemarin malam adalah hal yang menakjubkan. Apa yang sebenarnya yang tertanam di dirinya tadi malam hingga dia berakhir dengan begini buruknya?
Dia kembali mengambil air dan membasuh wajahnya sampai sebuah ketukan membuatnya keluar.
“Ayo makan tteobokki. Ini makannan kesukaanmu kan? Aku membeli makanan yang kamu suka, ada ayam goreng juga.”
“Tteobokki dan ayam goreng adalah makanan yang paling enak.”
“Tunggu sebentar, aku akan menata mejanya dulu.”
...…....
“Arin tolong fotokopi ini sepuluh lembar untuk rapat nanti. Langsung diantar ke ruang rapat ya!”
Arin hanya menganggukan kepalanya, dia segera memfotokopi sepuluh lembar untuk dua belas orang. Setelah selesai, Arin segera buru-buru menuju ke lift. Saat tiba di ruang rapat, ruangan itu masih sepi. Arin segera meletakkan pekerjaannya di meja.
Segera gadis itu hendak berlalu begitu saja. Namun tatapannya terpaku saat seseorang tangah berdiri di depannya. Pria itu di sana. Pria itu berdiri dengan otoriter dan penuh kuasa. Terlihat tenang dengan tangan bersedekap. Dia memandang Arin dengan santai. Memberikan pandangan yang membuat Arin gelisah.
“Ha…halo pak direktur. Saya perimisi.”
Arin hanya basa-basi untuk menyapanya sebagai wujud kesopanan sebagai bawahan dengan atasan. Segera Arin meraih gagang dan membukanya tanpa memikirkan hal lainnya. Yang mengejutkan adalah pintu itu terkunci. Arin mencoba membuka pintu itu sekali lagi namun berakhir dengan hal yang sama.
“Kamu sedang apa? Mencoba membuka pintu itu?”
Arin menghela napas dan memandang Mavendra. Saat ini dia sudah melupakan rasa sopan santun dan menyingkirkan bahwa mereka adalah atasan dan bawahan.
“Pak direktur bisa buka pintunya sekarang?”
“Tidak.”
“Apa mau pak direktur” tanya Arin dengan kesal.
“Kamu masih bertanya?”
“Pak direktur ini dikantor jadi tolong jaga profesinolitas kerja anda.”
Mavendra menyeringai dengan mata yang begitu membuat tubuh Arin terperngaruh.
“Aku bahkan tidur dengan karyawanku sendiri. Jadi tidak perlu mempertanyakan profesionalitas kerjaku. Ah benar, karyawanku itu juga punya pacar yang satu perusahaan denganku,”
Arin terkejut. Dia kehilangan caranya bernapas. Oksigen disekelilingnya tiba-tiba menipis.
“Pak direktur…”
“Aku tahu itu dirimu, Arin. Jangan menyangkal hal yang bisa aku buktikan.”
“Pak direktur salah orang.”
“Kamu ingin aku membuktikannya?”
“Tidak!” Pandangan Arin menegaskan keinginanya.
“Kenapa kamu menyangkalnya dengan sepenuh hati?”
“Karena memang itu bukan saya.”
“Baiklah, anggap saja aku percaya.”
“Huh?” Arin langsung linglung seketika. Arin menganggap pria itu mudah ditipu.
“Apa adikku memperlakukanmu dengan baik?”
“Iya,” jawab Arin dengan penuh percaya diri.
“Dia memperlakukanmu seperti apa memangnya?”
“Apa?”
“Karena aku sendiri tidak begitu paham.”
Arin menatap tidak mengerti. Namun segalanya segera berubah saat Mavendra mengambil langkah panjang demi mencapai dirinya. Pria itu mengambil alih dengan telak, membuatnya tersudut dan Mavendra menjadi yang berkuasa. Mavandra menahan dengan satu tangannya sementara tubuh mereka menempel tanpa cela.
“Apa yang anda lakukan?”
Mavendra hendak mencium bibir itu namun Arin dengan sigap mengalihkan wajahnya membuat Mavendra hanya bisa mendapatkan rahangnya. Namun tidak memudarkan keinginannya. Dia terus mencium dan menggoda rahang Arin.
“Hentikan ini di kantor. Bagaimana jika orang lain melihatnya.”
“Akui dan aku akan berhenti.”
Mavendra menjilat di kulit leher Arin membuat gadis itu bergidik ngeri.
“Akui apa?”
“Bahwa wanita kemarin malam adalah kamu. Katakan. Akui setelahnya aku berhenti.” Pinta Mavendra.
“Kamu tidak bisa melakukan semua ini?”
Arin mengernyit saat pria itu menggigit kulitnya kecil dan menghisapnya. Dia sadar pria itu akan membuat tanda baru. Segera Arin langsung menginjak kaki Mavendra dengan kua, membuat itu terkejut dan mundur.
Arin menatap marah pada pria itu.
“Buka pintunya! Aku ingin pergi!”
“Bukan kamu yang memutuskan, Arin. Akulah yang memutuskan segalanya sekarang atau kita bisa mengatakan kebenarannya pada semua orang,” tantang pria itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!