NovelToon NovelToon

Sensasi Duda Seksi

Bab 1

Jalanan malam serasa sunyi seakan di selimut keheningan. Aku berjongkok di tepi jalan setapak yang dihiasi oleh deretan bunga-bunga mekar, seolah-olah dunia ini sedang berpesta di bawah sinar rembulan. Aku masih mengamatinya dengan seksama.

Cahaya lembut yang memantul di kelopaknya memberikan mereka kilau yang mempesona, seakan sedang memamerkan keindahan yang tersembunyi di balik warnanya. Aku merasa iri, bahkan pada daun-daun yang tampak cacat namun menyatu dengan bunga indah yang memikat.

Aku mencoba menatap diriku. Rasanya wajahku menjadi terlihat kacau karena mata yang bengkak dan riasan yang luntur, dan juga memar merah di kakiku akibat sepatu hak tinggi berwarna hijau yang kini kupegang di tangan membuatku mengasihani diriku sendiri.

Aku melangkah menyusuri jalan tanpa alas kaki, lelah hingga rasanya tulangku akan patah. Kelelahan yang kurasakan bukan hanya dari fisik, tetapi dari semua beban emosional yang menggerogoti diriku. Rasanya sakit di dalam sana. Aku telah menjadi sebatang kara, tak punya siapapun lagi. Aku hanya punya aku.

Kurasa tidak, aku memang sudah seperti ini sejak lama. Sejak kecil aku tinggal bersama nenek, tumbuh dan besar hingga sekarang dengannya. Aku sering berhalusinasi tentang sosok orang tua yang seharusnya ku panggil ayah dan ibu.

Nenek bilang orang tua ku sedang bekerja di tempat yang jauh dan akan kembali. Saat itu aku mempercayainya, umurku masih tujuh tahun saat nenek mengatakannya. Tapi sekarang aku sudah tidak polos lagi.

Mereka meninggalkanku, aku tak punya orang tua. Mereka tak pernah datang dari dulu. Bahkan ketika nenekku meninggal satu minggu lalu, mereka tidak muncul.

Para tetangga dan orang yang melayat bergosip bahwa nenekku tidak punya anak membuatku terjaga dalam kebingungan. Banyak pertanyaan muncul dalam benakku. Aku lahir dari mana? Mungkinkah aku dibuang atau dipungut?

Terlepas dari itu semua, naasnya, aku harus menghadapi kenyataan pahit tentang pacarku. Kami telah menjalani hubungan selama setahun, yang kurasa penuh dengan kebahagiaan. Namun, tampaknya semua itu hanyalah ilusi yang kurasakan sendirian.

Aku berencana memberi kejutan untuknya, karena hari ini adalah anniversary kami. Aku menunggu nya di lobi kantornya dengan penuh harapan, senyum lebar menghiasi wajahku saat melihatnya keluar dari lift. Langkahku begitu ceria, hingga aku mendengar suara seorang wanita bersorak di belakangku.

Sontak aku berhenti dan menoleh. Wanita itu berlari dan memeluk kekasihku dengan penuh cinta, seolah dunia ini hanya milik mereka berdua. Aku terdiam, kakiku rasanya lemas, namun itu tak bisa dibiarkan. Aku harus menuntut penjelasan. Namun, kecupan yang diberikan wanita itu sudah menjelaskan semuanya.

Hatiku terasa hancur seperti puing-puing yang pecah berserakan yang tidak akan bisa di satukan kembali. Tatapan kami bertemu sejenak sebelum dia menghindarinya. Tanganku mengepal, rasa sakitnya seperti terbakar di dalam perapian. Rasanya aku ingin menghilang, tapi aku tahu aku tak bisa meninggalkan pria itu begitu saja.

Dengan sekuat tenaga, aku menamparnya, dan anehnya, wanita itu langsung membalas dengan menamparku. Dia mengangkat tangannya dengan ringan. Kami bahkan tidak saling mengenal, tetapi dia menyebutku wanita gila saat aku mengatakan pria itu adalah kekasihku. Dan sialnya, pria itu juga membantah, mengaku tidak mengenalku.

Lalu, satu tahun ini bagaimana? Aku menatapnya lama sebelum bergegas pergi dengan air mata yang tak tertahan. Aku tak akan menampakkan betapa hancurnya aku pada mereka berdua.

Hingga akhirnya, aku berakhir di sebuah bar. Aku tidak berniat mabuk, hanya saja aku ingin duduk menikmati keheningan sambil menyesap mocktail yang aku pesan.

Bar ini sepi. Hanya ada pasangan-pasangan yang lewat di belakangku, menuju lorong kecil di pojok bar. Mungkin mereka mencari kehangatan malam, tapi aku hanya mencari ketenangan. Itu sudah lebih dari cukup.

"Apakah kau akan bertahan di sini semalaman?" tanya pria di seberang meja, Ryan, bartender yang sudah cukup dekat denganku. Kami selalu berbagi cerita. Dia adalah seorang pendengar yang baik.

"Ya, jika memungkinkan. Rumahku terlalu sepi." Jawabku dengan nada yang penuh keputusasaan dan wajah yang lagu.

"Ck. Di sini juga sepi. Bukankah kau punya kekasih? Bermalam saja bersamanya. Malam yang sepi ini bisa jadi malam yang penuh gairah, benar kan?" dia menggoda ku sebelum kembali ke tempatnya dan menaruh gelas tinggi yang dia pegang di lemari penuh gelas.

"Mungkin, tapi bukan untukku. Dia akan menikmati malam ini dengan selingkuhannya." Aku menghela napas.

"Apa? Benarkah? Si brengsek itu selingkuh darimu setelah memeras uangmu?" Ryan berkata dengan nada marah, dia menaikkan lengan bajunya. Ryan melangkah keluar dari zona nyamannya dan berdiri di sampingku. "Orang tak tahu malu seperti nya harus diberikan pelajaran," ujarnya dengan tegas.

Aku hanya menatapnya dari permukaan meja, merebahkan kepalaku lemas. "Sudahlah, aku tak ingin berurusan lagi dengannya. Mungkin aku harus mencari om om kaya saja?"

"Apa? Aku tidak salah dengar?" Ryan tampak terkejut.

"Ya, aku hanya ingin duduk di rumah dan berhenti memikirkan segala sesuatu."

"Wow, aku tidak menyangka wanita yang selalu bersemangat dan penuh energi seperti mu sekarang menyerah karena diselingkuhi. Tapi kau tenang saja, kau datang pada orang yang tepat. Sebentar," Ryan berkata sebelum kembali ke tempatnya.

Aku menegakkan kepala dan menatapnya yang sibuk mencari sesuatu. Aku penasaran dan sedikit curiga. Jangan-jangan dia ingin menjadikanku simpanan untuk pria beristri yang haus nafsu. Tidak, itu bukan yang kuinginkan.

"Di mana ya, aku yakin meletakkannya di sekitar sini." Ryan masih mencari dengan cermat.

"Apa yang kau cari?" tanyaku penasaran.

"Kartu nama," jawabnya singkat.

"Jangan bilang kau akan menjual ku pada muncikari. Aku tidak akan menjual tubuhku. Dan aku masih per—"

"Ha, ini dia," Ryan memotong ucapanku seolah aku tidak mengatakan apapun. dia menepukkan kartu itu di meja. Kartu nama elegan itu tampaknya terlalu mewah untuk seorang muncikari.

[Rhine Morris]

/Bar Vios

"Bar? Kau ingin aku menggoda pemilik bar?"

"Ya, kenapa tidak? Dia kaya. Lihat baik-baik. Dia pemilik bar Vios. Siapa yang tidak tahu bar itu."

"Ya, dan karena dia pemilik bar yang sukses, dia pasti sudah tua. Bukankah kau bisa mencarikan pria yang sedikit lebih tua dariku?"

"Aish! Kau terlalu sering menonton drama. Dia tidak setua itu. Mungkin delapan tahun lebih tua darimu. Dia juga tampan. Dan kabar baiknya, dia duda tanpa anak."

"Benarkah?" Aku mengambil kartu nama itu, menatapnya dengan penuh arti. Artinya, aku tidak perlu menjadi simpanan.

"Oke. Aku akan mencobanya," kataku sambil tersenyum meski mataku masih bengkak. "Ayo Jade, waktunya mengubah hidupmu." Aku menguatkan tekadku. Aku Jade Rowland, baru dua hari lalu aku seorang karyawan di sebuah perusahaan swasta, aku berhenti bekerja karena lelah dengan potongan gaji yang tidak adil. Sekarang, aku pengangguran dan siap untuk memulai babak baru dalam hidupku.

...----------------...

Bab 2

Aku menatap pantulan diriku di cermin, aku mengenakan gaun putih dengan renda, rok hitam pendek, legging ketat, dan sebuah bando yang bertengger di kepalaku. Rambut panjangku yang lurus menjuntai lembut, menyembunyikan dada ku yang agak menonjol. Aku merasa seperti wanita malam yang baru saja melangkah keluar dari bayang-bayang, siap untuk bekerja.

Tidak sekadar berpura-pura, aku kini adalah bagian dari kehidupan malam yang gemerlap di Bar Vios. Aku bekerja disana. Ryan, memiliki hubungan dalam dunia ini, dia menjadi jembatan yang membawaku ke tempat ini tanpa harus melewati pintu wawancara yang kaku. Hari ini, Ryan menyampaikannya dengan tiba-tiba, tak terduga. Memang, punya koneksi sering kali mempermudah segalanya.

"Hei. Kau Jade, kan?" suara seorang pria tiba-tiba mengguncang kesunyian di belakangku. Aku mengira ruangan ini adalah zona eksklusif untuk wanita, tetapi kini tampak ada pria di sini. Aku berbalik dan menatapnya, "Ya," jawabku dengan nada penuh keraguan.

Aku mengamatinya sekeliling, dan akhirnya sadar bahwa ini adalah ruang staf, tempat di mana semua pekerja, baik pria maupun wanita, bisa keluar masuk.

"Ah, aku Deon. Teman Ryan," ujarnya sambil mengulurkan tangan untuk berkenalan. Kami bersalaman. "Oh ya, Aku Jade. Senang bertemu denganmu dan terima kasih."Aku yakin dia yang membantuku untuk dapat bekerja disini.

"Tidak masalah, kami juga kekurangan orang. Mereka mencari seseorang untuk di lantai dua, kau bisa kesana sekarang?"

"Ya, tentu. Aku akan segera kesana."

"Oke. Bye, ada hal yang harus kulakukan," Deon melambai sambil membawa kotak yang ada di atas meja, lalu keluar dari ruangan.

Aku kembali ke depan cermin, memastikan diriku sekali lagi untuk tampak rapi dan siap memikat hati "Baiklah, ayo Jade. Untuk masa depan yang lebih baik."

Aku menembus kerumunan orang-orang yang menari, menaiki anak tangga satu per satu tanpa menghiraukan hiruk pikuk di sekitarku. Aku melangkah dengan pasti, hingga akhirnya sampai di lantai dua. Aku melangkah menuju meja bartender yang berada tak jauh dariku. Seorang wanita disana memanggilku.

"Antar ini ke ruang VVIP," katanya sambil meninggalkan nampan berisi gelas dan botol wine di hadapanku. Dia tampak sibuk, dia hampir tenggelam dalam kesibukannya. Tapi aku tidak bisa membantu, tidak dengan keterampilan membuat minuman yang hanya terbatas pada sebuah jus dan semacamnya.

"Hei," suara seseorang memecah konsentrasi ku saat hendak membawa nampan itu. Ryan, dia datang dengan senyuman yang menenangkan, muncul di hadapanku. "Kau datang juga, kukira kau tidak akan datang."

"Ryan? Apa yang kau lakukan di sini? Bukankah kau seharusnya bekerja?" tanyaku dengan rasa heran yang mencuat. Ia tiba-tiba muncul entah dari mana dengan segelas wine di tangannya.

"Aku libur, aku menutup barnya malam ini," jawabnya.

"Aku? Kau menutup bar? Kau bicara seolah-olah bar itu milikmu saja."

"Ya, memang milikku. Aku pikir aku sudah memberitahumu," katanya dengan nada penuh keyakinan.

"Hah? Jangan berbohong. Aku tidak ingat kau pernah mengatakannya. Kau pasti bercanda, kan?" Aku menatapnya dengan penuh ketidakpercayaan. Selama ini, aku hanya melihatnya berkeliling, mengurus segalanya dengan semangat. Apakah seorang bos benar-benar bekerja sekeras itu?

Dia mengeluarkan kartu nama dari dompetnya dan memberikannya padaku.

/Ryan Khelled/

Bar Cats

Aku memandang kartu namanya lama, sebelum mengembalikannya. Dia tidak berbohong,"lalu kenapa kau tidak mempekerjakan ku saja? Kau tahu aku pengangguran dan bisa bekerja semalaman."

"Aku menikmatinya, kau tahu betapa aku suka meracik minuman. Lagi pula, untuk apa mempekerjakan mu jika kau hanya akan duduk di bar yang sepi? Kau tahu tempatku tidak seramai disini," Ryan tersenyum.

Senyumnya mengingatkanku pada saat ketika dia membuatku mencoba berbagai minuman racikannya, terkadang hasilnya menggoda, namun kadang juga mengejutkan. Aku adalah kelinci percobaannya, dengan beberapa minuman yang berhasil dan beberapa yang gagal.

Aku kembali memikirkan bar kecilnya, jumlah pengunjungnya memang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan bar besar ini. Tapi meskipun begitu, bagiku bar miliknya adalah tempat yang menenangkan, terutama untuk batinku. Tempat itu seperti pelabuhan yang damai untuk duniaku yang penuh dengan tipu-tipu.

"Kau akan mengantar ini ke VVIP?" tanya Ryan.

"Ya. Aku mulai bekerja hari ini, berkat bos baik hati ini," aku tersenyum lebar, hingga membuat mataku menyipit. Namun, senyumku langsung memudar saat aku berpaling darinya. "Bye."

"Kau mau ke mana? VVIP ada di sebelah sana," Ryan menunjuk arah yang berlawanan denganku. Aku berhenti, menghadapnya lagi. Ia menunjukkan arah yang benar. Dengan rasa terima kasih yang tulus, aku mengikuti petunjuknya, baru pertama kali aku ke sini, tanpa sempat berkeliling karena keterlambatan ku.

Memang, seharusnya aku tidak terlambat di hari pertama bekerja. Ryan mengikuti langkahku dari belakang. Aku berhenti sejenak dan langsung berbalik. Ryan berada sangat dekat denganku, hampir saja nampan itu mengenai tubuhnya. "Apa lagi sekarang?"

"Kita menuju arah yang sama. Lagipula, aku ingin membawamu pada seseorang. Kita akan mempercepat rencanamu," Ryan mengedipkan sebelah matanya dan meraih nampan dariku. Dia bergerak cepat, berlalu pergi dan membuatku mengikuti langkahnya di belakang.

"Hei, biar aku saja," aku mencoba merampas nampan dari tangannya, tetapi gagal. Dia menggenggamnya dengan kuat, entah dia kuat atau aku yang tidak bertenaga.

Langkahnya melambat, dan dia berbelok ke lorong kecil dengan satu pintu di ujungnya. Dia menyerahkan nampan kembali padaku sebelum membuka pintu dan masuk ke dalam ruang VVIP. Aku ikut masuk, terperangkap dalam rasa penasaran dan gugup yang tentang apa yang menungguku di dalam.

Saat aku memasuki ruangan, nafasku tertahan seolah sistem pernapasan ku berhenti bekerja seketika. Mataku menyaksikan pemandangan yang menggetarkan. Dua manusia berada dalam gelora panas, tidak sadar akan kehadiran kami.

Aku menelan ludah dengan dalam, mencoba menenangkan diri sebelum mereka menyadari kehadiranku. Aku berusaha mengalihkan pandangan ke bawah, kembali bernafas saat pria itu memandang ke arahku.

"Yoo, apa kau akan terus bermain-main dengan wanita?" Ryan duduk dengan santai di sofa, tampaknya dia tidak merasa bersalah sudah mengganggu momen intim mereka. Anehnya, aku merasa ada kedekatan antara mereka yang terasa kuat.

Wanita itu keluar, dia sempat mendorongku sedikit karena aku menghalangi pintu. Aku merasa bodoh, tetap berdiri di situ sementara panas dari ruangan itu masih terasa.

Aku segera mendekat pada Ryan dan meletakkan minuman di atas meja, berjongkok cepat untuk menempatkannya sebelum segera berdiri dan berbalik. "Jade, mau ke mana?" Ryan memanggilku, membuatku bingung antara tetap tinggal atau pergi. Aku merasa canggung, khawatir pria yang kulihat di atas ranjang tadi akan marah padaku.

Aku kebingungan.

...----------------...

Bab 3

Cahaya remang-remang berwarna ungu kemerahan memenuhi ruangan. Sebuah ruangan yang berisikan sepaket ranjang lengkap dengan bantal dan selimutnya, sofa yang berwarna hitam dan ada pintu lagi, mungkin itu kamar mandi.

Tak luas namun cukup membuat mataku dan batinku puas memandangi nya, suara musik di lantai satu tak terdengar sedikitpun di dalam sini. Padahal sebelum masuk masih terdengar dentuman musik meskipun tak jelas.

Hingga suara erangan wanita yang kudengar tadi membuat indera pendengaran ku hanya tertuju pada suara itu. Suara kenikmatan yang terdengar agak aneh.

Aku masih disana, aku memutuskan untuk tetap berada di ruang VVIP ini setelah Ryan memanggil pria telanjang yang kini hanya memakai handuk kecil menutupi dirinya dari pinggang hingga lutut dengan sebutan Rhine. Alasan mengapa aku memilih menetap.

"Rhine? Apa dia bercanda? Dia ingin menjodohkan ku dengan pria hidung belang sepertinya??" batinku sungguh tak terima. Aku menyilangkan kedua tanganku di dada.

"Aku yakin kau gagal lagi. Kau tidak melakukan apapun dengan wanita tadi, kan? Entah berapa banyak wanita yang kau mainkan agar bisa menjadi percobaan untuk kau.." ucapan Ryan terpotong begitu pria setengah telanjang itu menutup mulutnya.

Dia mendekap Ryan sebentar dan melepasnya begitu yakin jika Ryan tidak akan meneruskan ucapannya didepan pelayan bar nya, aku. Dia seakan tak ingin ada gosip tentang dirinya, mungkin terkait dengan wanita yang baru saja keluar.

"Apa lagi sekarang? Kenapa kau kesini?" Rhine melipat satu kaki dan menaikkannya di sofa, sementara kaki yang satu lagi menyentuh lantai. Dia tampak tak suka dengan kehadiran kami. Dia duduk menghadap pada Ryan, tangan satunya berada di sandaran sofa.

Mungkin jika aku masih berjongkok aku akan melihat nya, melihat itu pria yang bernama Rhine. Umurnya delapan tahun di atasku? Karena umurku dua puluh delapan tahun, berarti umurnya tiga puluh enam tahun. Wah, badannya masih begitu bugar untuk usia itu. Jika di suruh jujur, pria itu.. seksi.

"Ahh, Jade sadarkan dirimu," aku kembali bergumam dalam hati setelah terkesima melihat otot dada yang bidang dan otot perut yang six pack milik pria bernama Rhine. Pria yang ditawarkan oleh Ryan padaku untuk kurayu, bukan hanya itu.

Aku bahkan berniat ingin menikahinya. Jika saja aku tidak melihat kejadian tadi, mungkin aku bisa meneruskan rencanaku. Tapi kurasa tidak, aku tak ingin menikah dengannya meskipun seberapa seksi dia.

"Ini yang terakhir," Ryan melihat ke arahku setelah tersenyum ramah pada Rhine. "Dia Jade, wanita yang ku bicarakan di telfon denganmu tadi."

Rhine langsung melihat ke arahku, dari atas sampai bawah sebelum berkata, "Kau mencoba menjodohkan ku dengan pelayan di bar ku?" Aku bisa melihat jelas garis keningnya, sepertinya aku bisa menghitungnya.

Tiga garis. Dia tampak bingung dan jelas dia tak suka. Dan aku pun begitu, aku juga tak suka dia.

"Kau pikir aku mau dengan pria hidung belang seperti mu?" ucapku lantang. Aku merasa tersinggung dengan tatapannya. Cukup menyakiti hati kecilku yang lembut.

"Apa?!" Rhine tampak kesal.

"Tidak, tidak. Jade, kau salah paham. Mereka tidak melakukan apapun," Ryan menatapku, tatapannya seperti menyiratkan jika aku harus percaya padanya. "Percayalah padaku," ya dia mengatakannya, bukan terkaan ku lagi.

Dia memang memintaku untuk percaya padanya, tapi bagaimana mungkin aku akan percaya jika melihat pria itu berada di atas wanita lain dengan mataku sendiri. Dan lebih jelasnya, mereka berdua telanjang. Kurasa itu sudah cukup, ditambah dengan erangan yang kudengar saat masuk. Itu sudah cukup menjelaskan situasi nya.

"Ya, kenyataannya seperti yang kau pikirkan. Jadi keluar sekarang." Rhine berbicara seakan bisa membaca isi kepala ku. Dia berkata tanpa melihat ke arahku, dia meraih gelas dan botol wine yang kubawa tadi.

Aku terhanyut dalam pikiranku karena terpengaruh ucapan Ryan. Dia membukanya dengan mudah, menuangkan wine nya ke gelas dan meminumnya sedikit. "Apa lagi? Kenapa masih disana? Keluar." Dia menatapku. Mata kami bertemu. "Kau dipecat," lanjutnya.

"Kau bercanda kan?" Ryan langsung menatap Rhine tajam. Namun Rhine tak mengindahkannya, dia diam dan kembali menikmati wine yang baru dia tuang. Segelas wine.

Pria itu sungguh membuatku kesal. Seharusnya aku tidak berharap banyak dari pria kaya yang hanya akan mempermainkan wanita.

"Oke. Aku juga tidak mau bekerja dengan pria mesum sepertimu." Aku membela diri, tak ingin diremehkan oleh pria sepertinya.

"Apa? Mesum?" untuk kedua kalinya Rhine mengernyit melihat ke arahku. "Ck," Dia berdecak dan bangkit dari sofa.

Dia tinggi, dia berjalan ke arahku. Aku refleks melangkah mundur begitu dia semakin mendekat, mundur dan terus mundur hingga tubuhku bersandar ke pintu.

Klek.

Pintunya terdorong dan tertutup rapat, sepertinya wanita tadi tak menutupnya dengan benar. Suara itu membuatku terkejut, ditambah dengan pria setengah telanjang tadi tengah berada di hadapanku. Untung saja jantungku masih memompa dengan baik, aku masih hidup.

"Perlu ku perlihatkan padamu mesum itu seperti apa?" Rhine menunduk karena aku jauh lebih pendek darinya, dia mendekatkan wajahnya padaku. Sontak membuatku langsung mengalihkan pandanganku ke samping, namun dia memegang daguku hingga membuat mata kami bertemu. Dia membuatku untuk melihatnya. Tidak, aku tak ingin menatapnya sedikit lebih lama lagi.

Wajahku menghadap padanya namun mataku berkeliaran ke arah lain selagi dia tak masuk dalam pandanganku. Mataku menangkap seseorang, dia Ryan. Dia melihat ke arahku, dia menggeleng dan raut wajahnya itu seolah memintaku untuk tidak mempercayai pikiranku seperti yang Rhine mau.

Mereka muncul lagi di hadapanku, kejadian waktu aku masuk tadi. Aku mendorongnya, aku mendorong Rhine dengan sekuat tenaga agar pria itu segera menjauh dan berjarak dariku.

Aku menyerah. Jika pria kaya itu bersikap seperti Ryan, aku akan menggodanya semampuku agar aku memilikinya. Namun jika pria itu seperti pria bernama Rhine yang masih berdiri tegak dengan bangganya bertelanjang dada di depanku. Aku tak ingin.

Sudah cukup disini. Meskipun dia menawan aku tak merasa tertarik sedikitpun padanya kecuali tubuhnya. Yang benar saja, aku bukan penggila pria seksi. Aku juga butuh pria baik.

"Ryan, aku berterimakasih padamu karena kau sudah membantuku. Kalian sepertinya cukup dekat, namun kau bicara padaku seolah-olah kau tak mengenalnya. Aku tidak tahu apa yang kau coba lakukan tapi tetap saja itu tak mengubah apapun. Aku berhenti disini," aku berkata sambil menatap Ryan sebelum melirik sekilas pada Rhine.

Dia masih terlihat tak senang akan keberadaan ku disana. Sebaiknya aku pergi. Tepat saat aku membuka pintu dan ingin keluar, seseorang menahan ku.

Dia menggenggam erat pergelangan tanganku, itu Ryan. Entah bagaimana dia bisa begitu cepat berpindah dari sofa dan berdiri di dekatku sekarang, aku terheran-heran.

"Rhine.. ini yang terakhir," Ryan memelas padanya dengan begitu putus asa. Dia menatap Rhine dengan perasaan bersalah yang begitu dalam.

Aku bisa merasakannya dengan jelas. Aku bisa melihatnya dari mata Ryan betapa bersalahnya dia. Aku tidak tahu ada masalah apa di antara mereka tapi aku tidak ingin ikut campur.

"Tidak, Ryan." Dan aku tak ingin melihatnya memohon seperti itu. Ayolah aku tidak se-menyedihkan itu hingga orang lain memohon untukku. "Aku hanya bercanda waktu itu, aku..."

"Oke. Ini yang terakhir, kau tahu password Vila kan. Kau bisa membawanya kesana," ucap Rhine. Dia langsung berbalik seperti menghindari tatapan Ryan padanya. "Pergilah. Masih ada hal yang harus ku urus malam ini "

Ryan menghela nafas lega. "Kami pergi." Ryan menarik ku keluar bersamanya, dengan tanganku masih dalam genggamannya.

...----------------...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!