NovelToon NovelToon

Tertipu Dengan Sikap Suamiku

Bab 1

Ica Lestari sahabat Rani atau mungkin lebih di kenal adik sepupu Putra (Kelanjutan Novel Cinta Tak Harus Memiliki) Ica sempat menjalin hubungan dengan Azzam kakak sepupunya Rani, ketika hubungan mereka ingin jalan satu tahun tiba-tiba Azzam menghilang bak di telan bumi.

Tak ada alasan apapun yang di berikan pada Ica tentang hubungan mereka sampai pada akhirnya Ica menyerah dan memilih menikah dengan pria lain, syukurnya pernikahannya dengan suaminya berjalan harmonis seperti rumah tangga kebanyakan orang pada umumnya.

Bahkan di pernikahan mereka yang kini berjalan delapan tahun Ica sudah memiliki dua anak perempuan, putri sulungnya baru saja menduduki bangku sekolah kelas satu SD. Sedangkan putri bungsunya baru berusia satu tahun, Mentari dan Senja itulah nama kedua anaknya.

Jarak yang cukup pas antara anak pertama dan anak kedua, sebab itu memang rencana Ica dan suaminya Hendra sewaktu Ica melahirkan anak pertama. Setelah selesai resepsi pernikahannya dan Hendra, Ica di boyong ke kota dimana tempat tinggal suaminya.

Cukup jauh dan memakan waktu sampai delapan jam jika mengendarai mobil, semenjak melepas masa lajangnya Ica memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya waktu itu yang bekerja sebagai wakil CEO di perusahan Sisil mamanya Rani berdampingan dengan Azzam yang sebagai CEO.

Namun Azzam hilang tanpa kabar hingga detik ini Ica tak tahu lagi mengenai kabar Azzam, apakah sudah kembali lagi menjadi CEO di perusahaan Sisil mamanya Rani atau masih menghilang bak di telan bumi. Ica berhenti bekerja atas permintaan suaminya, tentu saja Ica setuju apalagi dirinya di boyong jauh dari tempat tinggalnya dulu.

Dan beginilah keadaan Ica sekarang, di sibukkan dengan mengurus rumah tangga tapi meski Ica tidak lagi menjadi wanita karir kehidupan ekonominya cukup baik. Memiliki suaminya yang punya usaha rental mobil, dan dua cabang minimarket yang tersebar di kota tempat tinggalnya saat ini.

Usaha itu di bangun setelah acara pernikahan mereka selesai, membangun usaha itu mengunakan uang dari para tamu undangan dan tabungan mereka berdua yang di satukan. Lambat laun usaha itu berjalan lancar, hingga akhirnya bisa melebar dengan membuka gerai minimarket.

"Pa, bangun" ujar Ica menggoyangkan lengan suaminya berusaha membangunkan suaminya

Dan tentu tidur suaminya terasa terganggu, tubuh suaminya bergerak tapi tak membuka mata sama sekali. Namun terdengar juga suaminya mendengus kesal, karena merasa tidurnya yang sangat nikmat di ganggu begitu saja.

"Pa, sudah jam delapan loh"

Mendengar istrinya mengatakan jika sekarang pukul delapan pagi, sontak saja membuat kedua mata Hendra yang engan terbuka kini membelalak dengan sempurna. Bahkan tubuhnya yang tadi berbaring langsung terduduk, pandangan Hendra tertuju ke arah jam dinding.

"Ma, kemarin aku sudah bilang minta tolong bangunin jam enam" protes Hendra

"Udah dari tadi Mama bangunin Papa"

Terdengar hembusan napas berat dari mulut Hendra, tanpa menjawab lagi Hendra beranjak dari ranjang lalu berjalan ke kamar mandi yang ada di dalam kamar. Selang berapa detik terdengar bunyi gemericik air, melihat sikap suaminya Ica tak ambil pusing sebab sudah biasa.

Suara tangisan bayi yang ada di box bayi membuat Ica mengalihkan pandangannya, terlihat bayi kecilnya menangis dengan suara cukup keras. Bergegas Ica meraih bayi kecilnya lalu di dekapnya sembari di timang-timang, untuk menenangkan bayi kecilnya dan akhirnya tangis itu mereda.

Berapa menit kemudian tidak terdengar lagi gemericik air dan suaminya pun keluar dari kamar mandi, sementara Ica masih menggendong bayi kecilnya di dalam kamar. Suaminya yang hanya mengunakan handuk yang menutupi bagian pinggang sampai lutut, berjalan menuju nakas.

"Jadi pergi, Pa?"

"Iya, Ma. Sudah janji dengan teman, mau bahas soal usaha yang ingin kami buka" sahut Hendra

Terlihat Hendra meraih HP-nya yang tergeletak di atas nakas, kemudian Hendra membaca rentetan pesan di HP-nya yang sudah berapa jam lalu masuk. Bergegas Ica kembali membaringkan bayi kecilnya ke dalam box bayi, lalu Ica mengambilkan satu stel baju kemeja dan celana untuk suaminya.

"Bajunya Mama taruh disini, Pa" ucap Ica sembari meletakan satu stel pakaian di atas tempat tidur

"Iya, makasih ya"

Hendra menoleh ke arah istrinya, setelah itu pandangan Hendra kembali menatap ke layar HP-nya yang ada di tangannya. Hendra membalas pesan lalu terkirim, Hendra meletakkan kembali HP-nya di atas nakas lalu berjalan ke arah dimana istrinya meletakkan satu stel pakaiannya.

"Sarapan dulu, Pa" ujar Ica pada suaminya yang baru saja duduk di kursi makan

Hendra mengangguk kemudian membuka tudung saji, menu makanan kesukaannya terhidang di depannya. Udang saos pandang dan tumis kacang campur toge, segera Hendra mengisi piringnya yang sudah ada nasi dengan lauk pauk tersebut.

Hendra mulai menyantap dengan sangat lahap hidangan yang di masak oleh tangan istrinya, bahkan tak jarang Hendra sampai nambah lagi. Hendra dan Ica menikmati sarapan pagi, sembari membahas tentang perkembang putri sulung mereka di sekolah.

"Kalau kamu kelelahan mengurus rumah, bilang saja ya. Nanti Papa carikan ART, yang bisa bantu kamu" ucap Hendra

"Iya, Pa. Untuk saat ini Mama lebih suka seperti ini, masih keurus semua kok" jawab Ica sembari memperlihatkan senyum manisnya, Hendra hanya mengangguk.

Setelah nasi di piring mereka masing-masing habis, Hendra beranjak dari kursi makan dan kembali masuk ke dalam kamar untuk mengambil kunci mobil dan dompet beserta HP-nya yang memang belum di bawanya. Sementara Ica membersihkan meja makan, sekaligus mencuci piring bekas mereka makan.

"Ma, Papa berangkat dulu ya"

Terdengar suara suaminya dari arah belakang, Ica langsung mencuci tangannya lalu mengerikannya dengan serbet yang tergantung di atas wastafel cuci piring. Ica menghampiri suaminya yang sudah berapa di ruang depan, kemudian Ica mencium punggung tangan suaminya dengan takzim.

"Jaga diri baik-baik di rumah" pesan Hendra setiap kali meninggalkan istrinya sendirian di rumah

"Iya, Pa. Hati-hati di jalan, kalau pekerjaan Papa udah selesai langsung pulang ya"

Hendra mengangguk lalu melangkah pergi, Hendra berjalan keluar rumah menuju garasi mobil. Sementara Ica kembali ke belakang untuk melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda, pasalnya masih ada beberapa pekerjaan yang belum Ica kerjakan.

Jarum jam terus berputar, Ica telah selesai mengurus pekerjaan rumah dan kini Ica di sibukkan mengurus bayi kecilnya. Sampai membuat Ica tak menyadari bahwa HP-nya yang tergeletak di atas nakas itu dari tadi bergetar, bahkan di layar HP-nya terpampang jelas ada empat panggilan tak terjawab dan ada juga dua pesan masuk dari nomor yang tidak di kenal.

Bab 2

Ica melihat ke arah jam dinding dan ternyata sudah pukul setengah sebelas siang, yang artinya sebentar lagi putri sulungnya pulang sekolah. Ica bergegas bersiap-siap lalu melepas daster yang di melekat di tubuhnya dan di ganti dengan baju lengan panjang di padukan dengan celana kulot tak lupa memakai hijab instan.

Drrtt....Drrtt.....

HP-nya kembali bergetar, ketika Ica menoleh terlihat layar HP-nya berkedap-kedip kemudian Ica meraih HP-nya. Terpampang nomor tidak di kenal menghubunginya, tanpa pikir panjang Ica langsung menggeser ikon warna merah dirinya memilih menolak panggilan itu.

Tapi baru saja Ica meletakkan kembali HP-nya di tempat semula, HP-nya kembali bergetar. Ica melihat foto yang terpampang di profil itu, berusaha mengingat siapa orang itu namun tak ingat sama sekali. Akhirnya Ica mengusap icon hijau itu, hingga sambungan telepon terhubung.

"Hallo, selamat siang" ucap Ica sembari menempelkan HP-nya di telinga

"Siang, Mbak Ica"

Terdengar suara wanita dari seberang telepon, mendengar namanya di sebut oleh pemilik nomor asing itu membuat Ica menatap ke layar HP-nya lalu mengamati nomor tersebut bersamaan dengan foto wajah yang terpampang disitu.

"Maaf, ini siapa yah?" tanya Ica sebab tak mengenal wanita di foto itu

"Sebelumnya maaf sudah menganggu waktunya, nama saya Loli, Mbak?"

"Loli? Loli siapa? Apa kamu teman kerjaku? Atau teman sekolahku? Maaf saya tidak mengingatnya" tanya Ica lagi

"Bukan, Mbak. Saya temannya Mas Hendra, suami Mbak Ica"

"Ohh, temannya Mas Hendra. Ada apa ya, Mbak?"

"Mbak, bisa kita bertemu? Ada sesuatu yang sangat penting untuk kita bicarakan berdua"

Ucapan wanita yang ada di seberang sana sontak saja membuat kening Ica mengerut, apa ada masalah dengan suaminya? Tapi wanita di seberang tetap kekeh ingin bicara langsung pada Ica membuat Ica mendengus kesal di buatnya karena memaksa kehendak sendiri.

"Mbak, jika memang ada yang ingin anda bicarakan sama saya. Katakan saja sekarang, saya sibuk mau menjemput putri saya"

"Tapi masalah ini tidak bisa di bicarakan melalui sambungan telepon, Mbak. Kita perlu bertemu karena ini sangat penting sekali, saya mohon Mbak. Saya sudah berada di cafe Kasih Sayang yang ada di samping sekolah Mentari, saya tunggu Mbak disini dan saya menunggu kedatangan Mbak"

Lagi ucapan wanita itu membuat kening Ica semakin mengerut, entah mengapa tiba-tiba perasaannya tidak enak. Bagaimana bisa wanita di seberang sana mengetahui nama putri sulungnya, bahkan mengetahui dimana putri sulungnya bersekolah.

"Astagfirullah" gumam Ica lirih

Ica mengusap wajahnya dengan telapak tangannya saat bayangan buruk tiba-tiba melintas di matanya, entah mengapa perasaan Ica menjadi tidak enak. Seperti ada sesuatu yang akan menimpanya, tak ada jawaban dari Ica membuat wanita di seberang mematikan sambungan telepon begitu saja.

"Main mati gitu aja" gerutu Ica lalu kembali meletakkan HP-nya di atas nakas

Ica segera menggendong bayi kecilnya itu mengunakan gendongan depan tapi bayi kecilnya menghadap ke arahnya, Ica membawa bayi kecilnya karena akan menjemput putri sulungnya yang sepertinya sudah keluar dari kelas saat ini dan pasti putri sulungnya sedang menunggunya.

Ica menjemput putri sulungnya ke sekolah mengunakan motor maticnya, karena jarak tempuh dari rumahnya ke sekolah putri sulungnya hanya membutuhkan waktu 15 menit saja. Sepanjang perjalanan pikiran Ica benar-benar tidak tenang, kalimat demi kalimat yang di ucapkan wanita tadi sangat menganggu pikirannya.

Sesampai di sekolah, Mentari langsung menghampiri Mamanya yang baru tiba di halaman sekolahnya lalu Mentari naik di jok belakang sembari berpegangan dengan Mamanya. Setelah itu Ica kembali melajukan motor maticnya, hingga akhirnya Ica menghentikan laju motor maticnya di depan cafe Kasih Sayang.

Cafe yang tadi di sebut oleh wanita yang mengenalkan diri bernama Loli, disisi lain hati Ica ingin sekali menemui wanita bernama Loli karena penasaran tapi disisi lain Ica merasa waktunya terbuang sia-sia untuk meladeni wanita asing yang sama sekali tidak di kenalnya.

"Ma, kok berhenti? Mentari sudah laper" keluh Mentari yang berada di belakang

"Iya, Nak. Kita pulang sekarang"

Ica kembali menyalakan mesin motor maticnya, Ica hendak melajukan motor maticnya menuju jalan pulang dan memilih mengabaikan wanita tak di kenalnya yang tadi menghubunginya, akan tetapi saat Ica hendak menarik gas tiba-tiba terdengar suara teriakan memanggil namanya.

"Mbak Ica"

Ica menoleh ke sumber suara dan terlihat seorang wanita yang mungkin usianya berkisar dua puluh lima tahun dan berjalan tergopoh-gopoh menghampiri Ica yang masih di atas motor maticnya, wanita itu memegang stang motor matic Ica agar Ica tak bisa pergi.

"Mbak, sebentar saja" pinta Wanita itu setelah berada di dekat Ica

Ica memperhatikan wajah wanita itu berusaha mengingatnya, wanita itu terus meminta waktu Ica sebentar saja karena ada yang ingin di bicarakannya. Ica menghembuskan napas dengan kasar, lalu akhirnya mengangguk menyetujui permintaan wanita itu.

"Nak, kita makan siang disini ya"

"Iya, Ma" jawab Mentari

Ica memarkirkan motor maticnya lalu turun dengan menggendong Senja dan menggandeng tangan Mentari, Ica masuk ke dalam cafe sementara wanita itu mengekor di belakang Ica lalu mereka berdua duduk di salah satu meja yang belum ada yang menempati.

"Mbak ada yang ingin saya bicarakan, ini sangat penting sekali" ucap Loli saat mereka sudah duduk di kursi dan saling berhadapan

"Sebentar ya saya mau membantu putri saya makan dulu, baru setelah itu kalau mau berbicara"

Meski berat, Loli tetap mengangguk. Ica memesan nasi dan ayam krispi untuk Mentari dan tak butuh waktu lama pesanan Ica pun datang, dengan pintar Mentari makan sendiri nasi dan ayam krispi itu tapi Mentari sedikit protes karena lebih enak ayam krispi buatan Mamanya.

"Iya donk, Nak. Masakan seorang Mama itu paling lezat, tidak ada yang bisa mengalahkan kelezatannya" ucap Ica menimpali ucapan putri sulungnya

Cukup lama menunggu putri sulungnya menghabiskan makanannya, setelah itu Ica pun menyuruh Loli untuk mengatakan apa yang ingin Loli bicarakan padanya sehingga menganggu waktunya yang menurut Ica sangat berharga setiap detik.

"Mbak, saya hamil"

Ucapan itu seketika membuat Ica terperangah tapi itu hanya sesaat, setelah itu Ica akhirnya tergelak lucu sekali ucapan wanita itu.

"Terus apa maksudmu mengatakan ini padaku? Apa aku yang menghamilimu lalu kamu minta pertanggung jawaban denganku? Ahh, lelucon macam apa ini?"

"Jika memang tidak ada sesuatu hal yang lebih penting ingin kamu bicarakan dari soal kehamilanmu, saya mau pulang" ucap Ica beranjak sembari menggandeng tangan Mentari

"Tapi yang saya kandung saat ini, benih Mas Hendra suami Mbak Ica"

Bab 3

Sejenak Ica mematung tapi setelah beberapa saat Ica menoleh ke arah wanita itu, kedua mata mereka bertatapan. Ica menelisik wajah wanita yang ada di depannya, mencari sesuatu kebohongan atau candaan yang tersirat di ekspresi wajahnya namun justru sebuah keseriusan yang terpancar.

"Mbak, saya ingin membicarakannya lebih lanjut. Jadi tolong beri saya kesempatan, untuk berbicara lebih lama dengan Mbak" pinta Loli

Ica terdiam tak memberikan jawaban sama sekali pada Loli, jangankan untuk berbicara bernapas pun rasanya terasa sesak. Kejutan macam apa ini? Di ajak bertemu oleh wanita asing lalu mengatakan jika saat ini dirinya sedang hamil, janin yang di kandungannya benih suaminya.

"Ma, ayo pulang" ajak Mentari sembari menggoyang-goyangkan tangan Mamanya yang sedang menggandengnya

"Kau pikir saya percaya begitu saja dengan ucapanmu itu"

Satu kalimat akhirnya berhasil keluar dari mulut Ica yang terasa terkunci tadi, tak bisa di pungkiri bahwa saat ini jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Wanita itu mengatakan bahwa apa yang di ucapkannya serius, tapi Ica tak bisa langsung percaya.

Setelah itu Ica kembali menggenggam tangan putri sulungnya lalu mengajaknya untuk pergi dari sana, melihat orang yang dari tadi di tunggunya pergi tentu tak membuat Loli diam. Loli langsung berdiri, lalu mengejar langkah Ica yang sudah berapa langkah di depannya.

"Mbak, saya mohon....." ucap Loli menghentikan langkah Ica dengan berdiri di depannya

"Apa yang harus aku lakukan ya Tuhan? Haruskan aku mendengarkan bualan wanita yang baru pertama kali aku lihat?" gumam Ica dalam hati, gemuruh di dadanya terasa sangat bergejolak.

"Baiklah"

Jawaban singkat yang keluar dari mulut Ica membuat Loli membuat kedua sudut bibirnya tertarik membentuk lengkungan senyum, kemudian Loli mengikuti langkah Ica menuju ke arah tempat duduk mereka semula tepatnya di sudut ruang cafe.

"Mbak"

"Hem, katakan apa yang ingin kamu katakan. Waktu saya terlalu berharga, jadi jangan buang-buang waktu saya" ketus Ica

Ica sudah berusaha untuk mengontrol emosinya namun tak berhasil juga, tapi Ica bisa menahan tangannya agar tidak menyerang wanita di depannya ini yang telah mengaku sebagai selingkuhan suaminya meski belum terbukti karena Ica tak mau langsung percaya.

"Mbak, saya hamil tiga bulan" ucap Loli seraya memainkan jari jemarinya untuk menetralisir rasa takut

Begitu mendengar ucapan Loli, Ica hanya mengangguk. Ica belum memberikan respon apapun, Ica hanya ingin mendengar cerita yang entah sebuah fakta atau bualan dari mulut wanita asing yang baru pertama bertemu dengannya.

"Ini hasil dari hubunganku dengan Mas Hendra suami Mbak Ica, maaf....."

Wajah Loli semakin tampak ketakutan, bahkan kepalanya menunduk. Sementara Ica menampakkan senyum sinisnya, meski sebenarnya Ica ingin sekali menyerang Loli dengan membabi buta.

"Maaf juga, tapi saya tidak percaya dengan omong kosongmu" ucap Ica masih berusaha untuk tetap tenang

"Ta--Tapi saya serius" jawab Loli terbata-bata sembari menatap wajah Ica dengan rasa takut

"Lalu saya harus percaya begitu saja tanpa ada bukti?"

"Mbak perlu bukti? Saya ada hanya saja maaf jika bukti itu membuat Mbak Ica jijik, karena hanya itu saya punya"

"Ya, perlihatkan lah" titah Ica

Ica menghela napas dalam-dalam lalu mengeluarkan secara perlahan, Ica berharap bisa memendam gejolak di dalam dadanya. Ica terdiam tapi matanya memperhatikan gerak-gerik Loli yang sedang membongkar tasnya lalu Loli mengeluarkan HP-nya dan mengotak-atik HP sampai akhirnya di sodorkannya ke arah Ica.

Ica mengambil HP yang ada di atas meja, terpampang jelas di layar HP sebuah foto yang memperlihatkan pria dan wanita sedang berpelukan dengan posisi duduk tanpa sehelai benang. Dada Ica kembali bergemuruh, lalu Ica menggeser layar HP dan semakin banyak foto pria dan wanita itu tanpa sehelai benang.

"Menjijikan" cibir Ica lalu meletakkan kembali HP itu ke tempat semula, kini kedua bola mata Ica menatap tajam ke arah Loli yang terlihat ketakutan.

"Maaf, Mbak. Saya awalnya gak tahu kalau Mas Hendra seorang suami, karena dia mengaku duda di tinggal mati oleh istrinya"

"Lalu sekarang kamu tau kalau Mas Hendra itu punya istri?" tanya Ica lalu di angguki oleh Loli

"Mbak kita sama-sama wanita, pasti Mbak paham gimana rasanya jadi saya yang hamil tanpa suami"

"Enak sekali kamu bicara, itu resiko kamu yang terlalu murahan. Lalu bagaimana tanggapan kekasihmu itu, setelah tahu kamu hamil?" tanya Ica dengan wajah datar

"Mas Hendra gak mau bertanggung jawab dan justru menuduh saya hamil anak pria lain, dia menghindar dan bahkan nomor saya di blokirnya"

"Makanya Mbak jadi wanita jangan murahan, suami orang di deketin akhirnya di tinggal juga kan"

Ica tersenyum getir, Ica tak menyangka jika masalah seperti ini akan menghampiri rumah tangganya. Ica merasa hidupnya seperti sebuah permainan, hidup dengan kedua orang tua yang jarang ada waktu untuknya. Terus menjalin kasih dengan seorang pria yang di kira akan menikah dengannya, ternyata di tinggal tanpa alasan.

Ica pikir ketika menikah kebahagiaan akan menghampirinya, karena selama ini dirinya melihat suaminya tipe suami family man yang sangat menyayangi anak-anak dan peduli dengan istrinya. Bahkan suaminya selalu meluangkan waktu bermain dengan anak-anak, serta selalu ada untuk keluarga.

"Mbak, saya hanya ingin mencari keadilan dan pengakuan atas ayah dari janin yang saya kandung saat ini. Mbak tolong, tolong ikhlaskan Mas Hendra untuk saya. Saya yakin, jika Mbak Ica mau meninggalkan Mas Hendra pasti Mas Hendra mau bertanggung jawab pada saya. Saya gak mau bayi saya lahir tanpa seorang ayah, saya gak mau bayi saya tumbuh tanpa kehadiran seorang ayah. Mbak kita sama-sama wanita, pasti Mbak Ica memahami posisi saya"

Panjang lebar Loli berucap dan dengan entengnya Loli mengatakan kalimat itu pada Ica, Ica terkejut sampai terperangah mendengar permintaan wanita di depannya yang menurutnya sebuah permintaan konyol dan tak tahu malu.

"Enteng sekali kamu meminta aku untuk menyerahkan Mas Hendra demi janin yang kau kandung, terus kau pikir dua bocah ini tidak membutuhkan figur seorang ayah. HAH...." pekik Ica, mendengar ucapan tegas yang keluar dari mulut Ica seketika membuat wajah Loli jadi pucat pasi.

"Tapi bagaimana dengan nasib janin saya, Mbak?" tanya Loli dengan bibir bergetar

"Kenapa kamu tanya saya? Asal kamu tahu saja, anak hasil hubungan di luar nikah itu mutlak tanggung jawab ibunya. Nanti coba kamu tanyakan pada kekasihmu itu gimana nasib kehamilanmu itu, jika Mas Hendra memang sudi menikahimu detik itu juga saya yang akan pergi"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!