"Tidak!!!!" Teriak Aris saat di rumah sakit.
Kabar duka istrinya yang bersamaan dengan lahir anak pertamanya.
"Kenapa kau meninggalkan aku! Laura!" Teriaknya lagi.
Anaknya di lahirkan secara paksa melalaui operasi disaat usia delapan bulan, akibat kecelakaan. Naasnya Aris yang mengemudi tidak mendapatkan luka berat. Hanya luka ringan seperti lecet dan geger otak ringan.
Malam itu harusnya menjadi hari yang paling bahagia usia pernikahan yang baru satu tahun, pulang setelah menikmati dinner romantis. Terjadilah peristiwa naas itu, sebuah tabrakan yang tidak bisa di hindari yang berakhir menabrak mobilnya di saat hujan deras. Walau dirinya melajukan mobil seperti biasa, jarak pandang yang kabur dan pencahayaan yang minim salah satu faktor pendukung.
"Aris, ikhlaskan," peluk Vira dalam dekapannya.
Kenapa bukan aku saja yang mati! Kenapa Engkau renggut dia, Ya Allah coban apa yang datang padaku ini.
Sungguh hebat Engkau ya Allah, telah memisahkan aku dengan belahan jiwaku. Kenapa tidak bawa aku saja bersama dengannya? Aku tidak bisa hidup tanpa dia!
Apa lagi ini aku yang menyebabkan dia pergi meninggalkan aku! Aku sungguh jahat padanya! Aku yang mencintainya tapi aku pula yang membuatnya meninggal dan pergi dariku!
Aku tidak sanggup hidup dalam bayang bayang sebagai pembunuh! Ya Allah, bantu aku pergi bersama dengannya saja.
Yang menangis, meraung, saat belahan jiwanya tidak lagi bersama dengannya. Penyesalan yang tidak bisa mengembalikkan waktu, cintanya, wanitanya, istrinya.
Sedangkan bayi perempuan yang dalam box dan alat medis di tubuhnya yang kecil berjuang untuk tetap hidup. Malam ini hanya sendirian tanpa ada yang melihatnya. Semuanya tertuju pada ibu kandung bayi ini.
Seakan merasakan kehilangan sosok penting dalam hidupnya, jantungnya kian melemah. Untung saja dokter segera menangani hal itu. Dan bisa kembali normal.
Hanya Si kembar yang menemani bayi malang itu melewati masa kritisnya. Tidak ada yang peduli padanya. Bahkan Vira ataupun Aldi sekalipun. Tergantikan rasa kehilangan Laura teramat besar.
Semuanya keluarga malam itu langsung datang ke rumah sakit, baik keluarga besar Aldi maupun besannya. Pihak kepolisian sudah langsung menangani lokasi kejadian. Begitupun dengan hadirnya seluruh keluarganya untuk mengucapkan rasa bela sungkawanya.
Bahkan rasa sakit keluarga Laura kehilangan anaknya tidak bisa di ungkapkan dengan apapun. Ikut bersedih yang sangat dalam di rasakan ibunya.
"Rara, Pa!" isak tangis Nabila memeluk suaminya. Sangat kehilangan dan sedih anak perempuannya kini telah pergi selamanya.
"Rara, Pa," terus saja Nabila berucap yang tidak bisa menerima hal itu.
Berlanjut berpelukan antar Nabila dan Vira.
"Rara, Jeng," ucap parau Nabila yang menangis bersama keduanya.
"Rara telah pergi selamanya, ikhlaskan," ucap Vira yang sama sedih dan kehilangannya.
Menangis sesegukan. Kehilangan sosok anak dan menantu yang sangat di sayanginya. Baik dan penyayang keluarga.
*
Esok hari setelah pemakaman Laura Maharani, istri dari Aris Bima Pradana.
Aris yang tidak ingin pergi dari pemakaman terus memeluk pusara istrinya itu, kembali meraung dan menangis. Menyesal akan dirinya sendiri, tapi tidak mungkin mengembalikan waktu lagi.
Hingga menghabiskan waktu setegah hari disana seorang diri, tidak memperbolehkan siapapun disana.
Aku pembunuh! Aku tega membunuh istriku sendiri! Aku tidak bisa melewati ini sendiri tanpamu, Ra.
Aku mencintaimu tapi aku pula yang membunuhmu! Kejam sekali aku padamu.
Apakah permintaan maafku bisa termaafkan? Apakah rasa sesalku bisa tergantikan? Apakah rasa kehilanganku bisa di gantikan?
Aku tidak bisa hidup tanpamu, Ra! Maafkan aku, Ra! Aku mencintaimu, tapi aku yang membunuhmu!
Sedangkan pihak keluarga Laura sangat terpukul. Anak yang selalu menurut dan baik ternyata sudah pergi untuk selamanya.
"Pa, Rara," tangis Rafania terus turun di pelukan suaminya.
Berusaha tegar menjadi seorang Kakak nyatanya luluh sudah air matanya keluar berpelukan bersama istrinya dalam dekapannya.
"Rara sudah tenang, biarlah pihak berwajib yang melakukan sisanya," ucap Luis.
Si kembar An dan Ad kembali menyusul kakaknya ke dalam makam untuk membawa pulang paksa Aris.
"Kak, tidak baik terus disini. Ini akan menyiksa Kak Rara," ucap An.
"Kak An, sepertinya Kak Aris tidak bisa di ajak bicara. Kita lakukan yang seperti biasa saja," bisik Adriana.
"Ok," jawab An.
Mau tidak mau An dan Ad mengangkat Aris secara paksa, walau berontak dan dengan marah marah tentunya. Si kembar pantang menyerah demi kakaknya kembali pulang.
Bukan apa apa tapi gerimis sudah mulai turun membasahi tanah pemakaman.
Sesampainya di rumah Aris langsung masuk ke dalam kamarnya.
"Akkkkkhh!!!" teriaknya yang menghancurkan isi kamar sendiri.
Beberapa menit setelah lelah menghancurkan seluruh kamarnya, duduk di bawah bersandarkan pada tempat tidur miliknya.
"Aaaaaakkkkkkhhhhh," teriak Aris yang mengacak acak rambutnya.
Sampai malam hari Aris tidak keluar dan tidak ingin menemui siapapun. Bahkan Vira tidak bisa membujuknya, dengan terpaksa Aldi membiarkan dulu putra sendiri.
Sementara di luar malam ini diadakan pengajian untuk mendoakan almarhumah Laura, keluarga Laura, tetangga dan kerabat banyak yang hadir mendoakannya.
Memang sementara waktu keluarga Laura tinggal di tempat Aldi, sebab tinggal di luar kota. Tidak mungkin bila harus menginap di hotel.
*
Hingga tujuh hari berlalu, telah selesai acara pengajian setiap malam untuk selalu mendoakan almarhumah Laura.
Aris yang memang tidak ingin beranjak dari kamarnya, hanya Vira yang bisa masuk dan berusaha menenangkan anaknya itu. Sudah lupa makan dan lebih banyak diam, walau sifat Aris pendiam tapi ini jatuhnya lebih parah lagi. Hanya mau berbicara dengan Vira yang lainnya tidak akan di jawab. Bahkan saking kesalnya Aldi ingin rasanya tangannya melayang pada anak sulung, untung saja Vira menahan hal itu.
Sangat tidak terurus dan butuhnya sudah kurus yang tidak mau makan dan beraktifitas.
"Sayang," ucap Vira.
Aris yang di peluknya, tanpa sadar Vira meneteskan air matanya lagi. Tidak tega melihat anaknya seperti ini.
"Ar, kamu harus bangkit. Masih ada buah cinta kalian yang harus kamu jaga." pelan Vira berucap pada Aris.
"Aku tidak ingin anak itu, aku ingin Rara, Mom," ucap Aris.
"Ar, Mommy tau ini bukan kamu. Jangan buat Mommy merasa terus bersalah pada keluarga Rara." sedih Vira yang selalu saja Aris menolak anak kandungnya.
Bahkan yang mengadzani dan komat adalah Aldi, Opanya. Dan yang selalu melihat kondisi bayi itu adalah si kembar adiknya.
"Ar, hidup masih terus berlanjut. Rara sudah tenang disana, doakan dia setiap hari jauh lebih baik dan Rara pasti senang. Mommy yakin Rara tidak suka kamu begini, mengabaikan anak kalian. Mau sampai kapan begini? Mommy sedih memang kehilangan Rara, bagi Mommy Rara lebih dari menantu bahkan sudah di anggap anak, kami semuanya sangat menyayanginya. Bukan kamu saja yang kehilangan tapi kami pun sama, Ar. Mau sampai kapan kamu begini?" Vira yang harus bisa mengatakan hal itu. Agar bisa Aris kembali sadar.
"Aku pembunuh, Mom!" lirihnya.
...****************...
Terima kasih pada pembaca setia setiap karya mommy JF. Semoga suka karya yang satu ini lagi ya.
Ini karya Mommy yang ke empat, semoga bisa membuat kalian para pembaca setia suka dan menghibur.
Like, vote, subscribe dan komentar di tunggu ya.
Hadiahnya jangan lupa ya.
Love all 🌹🌹🌹🌹🌹
"Kamu bukan pembunuh, Aris!" bentak Vira.
Dengan memegang wajah anaknya sangat erat.
"Siapa yang bilang kamu pembunuh, hah!" penasaran Vira.
Padahal tidak ada yang mengatakan hal itu padanya, bahkan omongan orang orang pun tidak ada yang mengatakan hal seperti ini.
"Aku memang pembunuh, Rara. Mom! Aku yang mengatakannya, andai aku tidak memaksakan diri untuk pulang padahal masih hujan deras saat itu," sesal Aris.
"Semuanya sudah suratan takdir dari Allah, Ar. Mungkin jalannya seperti itu, ikhlaskan dan jangan terus merasa bersalah. Pihak kepolisian sudah menjelaskan kemarin, bila kesalahan terdapat pada sopir truk yang remnya blong dan kaget karena mengantuk juga akhirnya malah di gas oleh dia. Setelah itu karena oleng jadinya menabrak mobil kalian, sopirnya sudah di tangkap karena memang mengalami luka sedikit," jelas Vira. Agar Aris bisa merasa tenang tidak selalu mengatakan pembunuh.
Aris diam mendengar Vira mengatakan kebenarannya. Namun tetap saja di hatinya masih menyalahkan diri sendiri, bila tidak langsung pulang pastilah Rara masih bersamanya.
"Tata hidupmu kembali, Sayang. Anakmu masih di rumah sakit menantikan Daddynya sebagai orang tuanya. Apakah kamu tidak rindu dan penasaran pada anak kandungmu? Mana Aris anak Mommy yang selalu penyayang ini? Mommy merasakan bila kamu bukanlah Aris anakku," isak tangis Vira yang tidak mau mendengar lagi jawaban anaknya.
Rasa sakit hati Vira sebagai ibunya rasanya tidak pernah mendidik anak anaknya untuk kejam ataupun tega pada yang tidak bersalah. Kalaupun memang bersalah harus di lihat dulu dari kesalahannya.
"Sudahlah, Sayang. Beri Aris waktu lagi," ucap Aldi yang memeluk istrinya agar tenang.
Vira yang akhirnya keluar bersama Aldi dari kamar Aris, membiarkannya sendiri berharap bisa tenang anaknya itu.
*********
Tiga bulan kemudian.
Kondisi Aris yang telah berangsur lebih baik tidak lagi menyalahkan diri sendiri, setelah menyaksikan sopir truk yang menabraknya mendekam dalam jeruji besi.
Tapi sikapnya yang telah berubah, dingin dan sangat pendiam. Menjadi sosok yang paling malas untuk di ajak bicara oleh orang rumahnya. Teruma si Kembar yang sudah pasti ogah ogahan berurusan dengan kakaknya. Mungkin hanya Vira yang bisa Aris berkata sedikit panjang.
Sedangkan anaknya yang masih bayi sudah berusia tiga bulan dan juga sudah keluar dari rumah sakit setelah dua bulan lamanya tinggal disana. Kondisinya sudah lebih baik dan mulai menunjukan perkembangan.
Namun akhir akhir ini bayi itu selalu menangis dan tidak mau dengan siapapun kecuali Vira. Otomatis membuatnya seperti mempunyai bayi kembali, itu pasti menyita waktu istirahat malamnya. Namun demi cucunya Vira rela melakukan hal itu, bersama Aldi mengurus cucunya.
Hingga seorang wanita datang ke kerumah mereka.
"Assalamualaikum," sapanya.
"Waalaikumsalam, masuk," pinta Vira.
"Maaf Sayang sebentar Dira lagi rewel," ucap Vira yang sedang menggendong cucunya yang menangis siang ini terus menerus. Padahal sudah di beri susu, di gendong dan timang timang. Tetap saja belum bisa membuatnya tidak menangis. Bahkan semua yang ada di rumah ini sudah bergantian mencoba menggendongnya hasilnya nihil.
"Boleh, aku menggendongnya, Tan?" berharap dengan keberuntungan yang baru saja dia dapatkan hari ini.
"Hem," jawab Vira yang memberikan Dira pada wanita itu.
Set.
Terdiam dalam pelukannya, dan langsung membuat heran Vira bahkan yang melihat disana.
Satu menit.
Lima menit.
Sepuluh menit.
Bayi itu tertidur dalam gendongannya. Saat wanita itu duduk di sofa ruang tamu saja Dira tidak bergerak. Sangat nyaman di lihatnya.
"Alhamdulillah, akhirnya Dira bisa tertidur, bantu Tante letakkan Dira ke dalam kamarnya, Na," pinta Vira yang langsung di ikuti oleh wanita itu.
Setelah benar benar nyaman posisi bayi itu tertidur barulah, Vira mengajak kembali ke ruang tamu. Biar baby sisternya yang menunggu di dalam.
"Bagaimana kabar kamu, Na. Mamamu telp katanya kamu ada interview di Jakarta?" Tanya Vira.
"Alhamdulillah baik, Tan. Iya jadi aku mampir kesini. Kangen sama si bayi cantik Dira," puji wanita itu.
"Kamu baru selesai studimu kan," tebak Vira.
"Benar, Tan. Maaf kan aku tidak bisa pulang saat Kak Rara meninggal dan harus menunggu aku selesaikan urusan disana. Aku turut berduka, aku tidak menyangka umurnya sesingkat itu, kasihan Dira," sesal Nana yang tidak lain kembaran mendiang istri Aris yang harus bertahan di negri orang lain.
Keluarga dan teman temannya selalu memanggil Nana, nama asli wanita cantik itu adalah Liana Maheswari. Adik kembar dari Laura Maheswari.
Nana menunduk untuk menyeka air matanya yang telah keluar, sangat sedih tentu saja. Bahkan ketidak berdayaan nya mengharuskan tetap disana. Saudari satu satunya telah tiada dan itu dia tidak bisa hadir di pemakamannya.
"Tante mengerti,"usap Vira yang memeluk Liana.
"Aku ingin ke makan Kakak, dimana tempatnya Tan?" Tanya Liana setelah mereda isak tangisnya.
"Tidak jauh dari sini, Aris kamu mau ke makan Rara kan?" ucap Vira bertepatan dengan Aris memasuki rumah.
Aris hanya menganggukkan kepalanya saja, tanpa melihat wanita yang disamping mommynya.
"Kalau begitu bawa sekalian Liana," lanjut Vira.
Sekali lagi Aris tidak berkomentar hanya masuk ke dalam beberapa menit kemudian sudah akan keluar rumah.
"Na, ikut dengan Aris." pinta Vira.
"Terima kasih, Tan." jawab Liana.
Bahkan keduanya diam tanpa kata yang terucap, ini pertama kali bertemu dan juga berada dalam satu mobil yang hening.
Liana yang memang tidak mempermasalahkan kakak iparnya itu yang diam, dan tidak mengenalnya. Hingga beberapa menit kemudian telah tiba di makan sebelumnya Aris behenti membeli bunga mawar putih kesukaan Laura. Namun Liana membeli bunga tulip yang juga di sukai Luara kakaknya.
Bersama memasuki pemakaman, Aris yang sebagai juru petunjuk berada di depan.
Terdiam dan hening tanpa ada kata yang terucap hanya kaca mata hitam Aris terlihat oleh Liana terus di usap dengan tisunya.
Liana memberikan waktu dan tetap berdiri di belakang, setelah Aris pergi kini Liana yang duduk di samping papan pusara kakaknya.
"Kak, maafkan aku, aku selalu tidak ada di sampingmu, aku bahkan tidak bisa membantumu, aku turuti semua keinginan kakak. Namun apa balasan untukku, kakak pergi juga? Kak, menikah tanpa ada aku, bahkan pergi pun tanpa bisa aku melihat terkahir kalinya." ucap Liana yang mengusap air matanya yang telah jatuh.
"Kak, aku sekarang harus bagaimana? Aku sudah menjadi adik yang penurut dan anak yang baik. Namun tetap saja aku sendiri. Selalu tidak bisa melihat ke arahku orang tua kita, hanya kakak yang memberikan semangat dan meminta aku terus bersabar, namun apa disaat aku sudah berhasil mendapatkan yang kakak inginkan. Apalah artinya ini tanpa kakak!" lirih Liana.
...****************...
Terima kasih atas dukungan semuanya.
Like dan komentarnya di tunggu ya.
Setelah satu minggu Liana tinggal di rumah Vira dan Aldi.
"Ar, lihatlah!" ucap Aldi.
"Apakah kamu tidak melihat itu!" lanjut Aldi.
"Katakan maksud, Daddy?" pinta Aris yang sepertinya sudah menebak akan ke arah mana.
"Huf, kamu berubah anakku. Bukalah kembali lembaran baru hidupmu, bahkan jangan terus menyiksa dirimu. Dira sangat nyaman dengan Liana, bahkan sudah lepas dari mommymu. Apakah kamu juga akan mengorbankan bayi kecil yang tidak berdosa, ikut dalam kubangan penyesalanmu," ucap Aldi.
"Menikahlah dengan Liana," lanjut Aldi.
Tatapan tajam Aris mengarah pada Aldi yang tampak tidak menyukai kata kata terakhir Daddynya.
"Tidak, Dad." tegas Aris.
"Pikirkan demi anakmu, Dira! Lusa Liana akan pergi!" ucap Aldi yang kemudian meninggalkan putranya sendiri di atas balkon kamarnya.
Yang tampak jelas Dira menurut dan tidak rewel bersama Liana.
"Modus!" sarkas Aris.
Yang memilih masuk dan menutup balkon kamarnya.
Hingga malam hari bergantian Vira yang masuk ke dalam kamar Aris.
"Jangan memaksa aku untuk menikahi dia, Mom! Aku tidak mau!" tegas Aris yang langsung menolak sebelum Vira berucap.
"Anak Mommy sudah berubah, mommy tidak pernah mendidik anak anak menjadi keras hati dan kejam. Pikirkan Dira, dia butuh kamu dan sosok ibu di sampingnya. Apakah ada yang se sayang itu padanya? Apakah kamu mau menggendong atau memeluknya? Aku kecewa padamu," lirih Vira yang merasakan kecewa sangat besar anak yang dari bayi tidak pernah di sentuh dan di gendong oleh ayah kandungnya dialah Adira Putri Pradana putri semata wayang Aris.
"Jika memang kamu tidak mau, relakan Dira di bawa oleh Nana. Setidaknya ada yang menginginkan hidupnya. Pengganti orang tua tunggalnya, Mommy yakin Liana mau membesarkannya. Dari pada disini dengan keluarga kita tapi tidak pernah dianggap keberadaanya oleh ayah kandungnya." sesal Vira yang sudah tidak bisa menahan diri lagi atas kekecewaannya pada anaknya ini.
Keluar sudah Vira dan langsung masuk ke dalam kamarnya memeluk Aldi, menangis sesegukan.
"Aku tidak pernah mengajarkan dan mendidik Aris seperti itu," lirih Vira yang terus terisak.
"Bukan kamu saja yang kecewa sayang tapi aku pun sama," ucap Aldi.
"Cobalah besok Mommy bicara dengan Liana lebih dulu tentang maksud perjodohan ini. Lusa akan kembali dia," pinta Aldi setelah beberapa menit Vira tenang.
"Mommy akan bicara dengannya," ucap Vira.
Esok hari tepat setelah sarapan Liana yang memang bekerja dari rumah jadi masih bisa terus bersama Dira. Tetapi besok sudah akan masuk ke kantor.
"Tante," sapa Liana.
"Tante senang kamu merawat Dira dengan baik. Bahkan Tante bisa bebas selama kamu disini," ucap Vira yang duduk bersama cucunya yang di gendong Liana.
"Aku jatuh cinta dan sayang banget sama Dira, Tan. Aku melihat dia seperti Kak Rara." ucap Liana yang tersenyum.
Kak, aku akan berusaha merawat dan menyayangi Dira seperti anak kandungku sendiri. Walau nanti aku menikah sekali pun aku tidak akan membedakan dengan anak kandungku.
Aku rasanya ingin selalu bersama dengannya, Kak. Dia adalah penggantimu yang bisa membuat aku tenang dan bahagia. Dan bersyukurnya Dira pun sama sepertiku yang nyaman.
"Boleh Tante meminta satu hal darimu?" ucap Vira.
"Katakan Tan, jika aku sanggup pasti aku penuhi," ucap Liana.
"Jadilah ibu sambung untuknya," ucap Vira.
"Tanpa diminta pun aku sudah menjadi ibu untuknya, Tan," enteng jawab Liana.
"Bukan itu, tapi jadi menantu Tante. Menikah dengan Aris," ucap jelas Vira.
"HAH!" terkejut Liana.
Menikah dengan kanebo dan es balok? Tidak! Tidak! Batin Liana menolah keras.
"Tidak mau ya," menunduk Vira yang sepertinya akan gagal.
Liana tidak menjawab saat ini. Semua berkecamuk di dalam pikirannya. Menikah dengan suami almarhum kakaknya? Menjadi ibu sambung bagi Dira? Suami yang menurut Laura adalah orang yang penyayang dan perhatian, tapi itu tidak pernah dia lihat untuk Dira? Akan seperti apa jika menikah dengannya.
Menghela nafas dan mengatur agar bayi kecil itu tidak terganggu wakti tidurnya.
"Tan, aku rasa aku bukan wanita yang tepat untuk Mas Aris. Jika memang Dira disini tidak ada yang bisa mengasuhnya, aku akan membawanya," tolak halus Liana.
Senyum kecut terlihat Vira yang tentu saja sudah akan di tolaknya. Selama Liana di rumahnya tidak pernah Aris menggendong dan menimang anaknya.
"Jika Aris yang memintamu, apakah akan kamu pikirkan?" usaha Vira yang genjar agar bisa Liana menjadi menantunya. Karena Vira yakin Aris dan Dira bisa hidup bahagia dengan adik mendiang istri anaknya.
"Aku tidak bisa menjawabnya, Tan. Tante pasti tahu jika dia tidak pernah berbicara denganku atau pun sekedar menyapa. Sepertinya hal itu mustahil, Tan. Jangan berharap banyak dengan hal ini. Yang jelas aku bisa dan mampu membesarkan Dira seorang diri," ucap Liana.
Vira sudah tidak bisa menjawab lagi. Semua yang di katakan Liana benar adanya.
Setelah pembicaraan itu, Liana di malam harinya meminta izin pada Vira dan Aldi akan membawa anak dari kakaknya. Merasa disana tidak ada yang bisa membuat Dira mau di gendong kecuali Vira. Dan merasa kasihan bila Omanya yang merawat.
"Aku tidak setuju!" ucap Aris yang baru masuk pulang dari kantornya.
"Aku tidak akan setuju dia anakku!" lanjut Aris.
Ini adalah kata kata yang pertama dan itu lumayan panjang di dengar Liana.
"Lalu, apakah kamu bisa merawatnya? Tidak kan! Bahkan selama aku disini kamu tidak pernah menggendongnya!" bentak Liana yang kesal sekali.
Arogan sekali! Cih! Tidak sudi ponakanku punya ayah yang tidak mau merawatnya! Kesal Liana.
"Kamu saja yang merawatnya dan tetap disini dan jadi ibunya!" ucap Aris yang menatap Liana.
"Aku memang ibu untuknya dan itu tidak perlu kamu ragukan lagi. Dan aku akan membawanya!" tantang Liana.
Vira dan Aldi jadi penonton, hanya memantau jika sudah akan bersitegang yanh tidak baik pasti keduanya akan bertindak.
"Menikahlah denganku!" ucap Aris.
"Hah! Tidak salah!" ejek Liana yang sekali keduanya berbicara sudah adu mulut dan sangat sengit.
Vira dan Aldi hanya tersenyum di balik kedua orang yang saling adu mulut di depan.
"Kamu ingin jadi ibu untuknya kan. Maka menikahlah denganku!" kembali lagi Aris memperjelas.
"Tidak! Aku menolak, jadi ibunya bukan berarti harus menikah denganmu! Tidak menikah dengan es balok dan arogan sepertimu!" tolak Liana yang menatap tajam sepeerti Aris menatapnya.
Aris maju ke depan dan mengikis jarak pada Liana, hatinya kesal dan tidak terima penolakan dari wanita di depannya.
"Aku tidak meminta persetujuan darimu, itu adalah perintah!" tajam Aris.
"Mom, Dad, penghulu sudah akan datang, dan Mama, Papa sudah dalam perjalanan kemari. Aku akan bersiap dulu," enteng sekali Aris dan pergi dari sana.
...****************...
Terima kasih semuanya ini karya mommy yang ke empat, meminta dukungan dan subscribenya ya.
Like dan komentar di tunggu ya.
Mumpung hari senin boleh yang punya vote di kasih ke karya baru mommy ya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!