NovelToon NovelToon

Istri Kedua Tuan Vi

Chapter 1

Season 2 Pengganti Mommy sudah Up lagi nih, yang kemarin sempat saya hentikan publish dulu karena ada suatu kendala. Yuk ikuti kisah anak-anaknya Maya dan Erga!

Vi menatap pintu kamar yang terbuka. Seorang perempuan dengan tubuh indah, memakai gaun yang mahal, dan menjinjing tas mahal brand ternama itu masuk ke dalam kamar. Vi hanya mentap dengan tatapan kesal dan jengkel pada perempuan yang disebut sebagai istri. Mata Vi beralih menatap arloji yang masih melingkar di tangan kirinya. Dengan gaya cool dan tegas ia menatap kembali perempuan yang bernama Nara Sirta, istrinya yang cantik yang sangat ia cintai.

“Perempuan, jam segini baru pulang, ke mana saja kamu?” tanyanya ketus dan dingin.

Memang Vi seperti itu, dia laki-laki yang terlahir dari kutub utara, laki-laki dingin yang ditaklukkan oleh Sirta, dan menjadi sangat bertekuk lutut pada Sirta. Akan tetapi malam ini Vi tampak jengkel pada Sirta yang baru pulang di pukul satu dini hari. Sudah hilang kesabaran Vi kali ini.

Vijendra Eka Wijaya, putra sulung dari pasangan Ergantara Wijaya dan Elisia Maya Anastasia. Pria terdingin bahkan kulkas dan AC pun kalah dinginnya, karena dia terkenal pria jelmaan dari kutub utara. Begitulah perempuan jika memberikan julukan Vijendra yang akrab disapa Vi. Laki-laki tampan, bahkan Daddy nya sangat kesal, karena Vi lebih tampan darinya, terlebih Opa Ehsan pun kesal, karena memiliki cucu yang sangat tampan, dan ketampanannya melebihi dirinya dan Elang, anak sulungnya.

Vijendra CEO muda tertampan, terdingin, akan tetapi memiliki segudang prestasi yang sangat membanggakan. Nara Sirta, perempuan yang berhasil merebut hatinya itu, perempuan yang sangat ia cintai dan sudah ia nikahi selama lima tahun, namun belum ada keturunan, dan Vi sangat merindukan seorang bayi hadir di tengah keluarganya yang harmonis itu. Seperti adiknya yang sudah memiliki dua anak. Akayla menikah muda, lulus kuliah langsung menikah, karena ia dilamar pengusaha kaya raya yang umurnya dua puluh tahun lebih dewasa dari Akayla.

Erga dan Maya tidak mempermasalahkan itu, karena pria itu adalah pilihan putri sulungnya. Jadi mau tidak mau Erga dan Maya merestui pernikahan mereka. Sekarang sudah menjadi desainer ternama, sekarang dia sudah memiliki anak laki-laki berusia lima tahun yang sangat tampan, dan anak keduanya perempuan berusia satu tahun yang begitu cantik, lucu, dan menggemaskan yang membuat Vi iri sekali, dan ingin segera memiliki anak.

Namun, semua itu hanya mimpi dan angan-angan Vi saja, karena sang istri masih belum mau hamil. Bukan belum mau saja, Sirta malah tidak mau hamil dan melahirkan karena ia takut tubuh seksi dan indahnya akan rusak dan kendor. Ia sangat menjaga tubuhnya, demi kepuasan sang suami, supaya suaminya tidak melirik perempuan lain yang lebih seksi darinya.

Sirta mengambil ponselnya, lalu meletakkan tasnya. Ia tidak peduli pertanyaan suaminya itu, malah bermain ponselnya dan bergabung di grup sosialitanya lagi untuk membahas esok hari akan pergi hangout ke mana lagi.

“Sirta, apa kau tidak mendengar apa yang aku katakan?! Kau dari mana jam satu pagi baru pulang, hah?!”

Nada bicara Vi semakin tinggi. Ia makin jengkel dengan istrinya, dan baru kali ini Vi bicara sekasar dan seseru ini pada Sirta.

“Kau membentakku, Vi?”

“Lebih tepatnya bertanya, dan memaksa meminta jawaban darimu!”

“Kamu seperti tidak tahu aku saja, Vi? Kamu curiga aku pergi dengan laki-laki? Kamu kan selalau memerintahkan anak-anak buahmu buat mengintai aku kalau aku sedang di luar?” ucap Sirta enteng.

“Yang aku permasalahkan, kenapa sampai jam satu pagi, Sirta! Apa kurang puas kamu keluyurannya? Kamu keluar dari pagi, bareng aku ke kantor!”

“Ya biasa, aku cari tempat yang enak buat hangout, buat ngobrol sharing-sharing usaha yang menghasilkan.”

“Usaha apa? Punya butik dan salon kecantikan saja kau tinggal kelayaban terus?”

“Ada karyawan yang bisa aku percaya ngapain aku turun tangan? Memangnya kamu? Punya orang kepercayaan kamu masih ikut pusing?”

“Aku mempertahankan kualitas perusahaanku, aku membangungnya dari nol, jadi aku sangat menjaga nama baiknya! Tidak seenaknya!”

“Ya sudah sih apa sih yang kamu permasalahkan? Maunya apa, Sayang? Aku tahu kamu hanya kangen sentuhanku, kan? Oke aku kasih kamu servis terbaik.”

Vi menarik napasnya berat. Sirat benar-benar sudah susah diatur akhir-akhir ini, apalagi kalau Vi membahas soal anak, Sirta pasti akan mengalihkan pembicaraan, atau akan terjadi perdebatan panas antara mereka.

Sirta meletakkan ponselnya, perempuan dengan tubuh seksi itu perlahan berjalan dengan anggun mendekati suaminya. Tubuhnya berlenggak-lenggok dengan indah, bak model papan atas yang sedang berjalan di atas catwalk.

Sirta memeluk Vi dengan menyentuh dadanya intim. Memberikan sentuhan yang membuat Vi memejamkan matanya, merasakan sentuhan lembut dari jari-jari lentik istrinya. Perlahan Sirta menautkan bibirnya di bibir laki-laki yang sangat ia cintai dan ia kagumi ketampanan juga keperkasaannya. Laki-laki bertubuh sempurna itu menghela napas, lalu menyingkirkan tangan Sirta, dan melepaskan pelukan Sirta.

“Sampai kapan kamu akan begini, Sirta?” tanya Vi dengan mentap mata Sirta dalam-dalam.

Sirta memeluk Vi, menenggelamkan wajahnya di dada Vi yang datar dan seksi, lalu ia kembali mentapa suaminya yang dari tadi menatapnya penuh dengan emosi dan kemarahan.

“Sampai aku puas dengan kesenanganku, Vi. Bukankah kita sudah sepakat sejak awal kita menikah? Kau bilang kau tidak akan melarang aku melakukan apa pun yang aku suka? Ini yang aku suka, ini duniaku, Vi,” jawabnya dengan senyum angkuh.

“Kamu hanya memikirkan kesenangan dan kebahagiaanmu saja tanpa memikirkan kebahagiaanku, Sirta! Kamu tahu sendiri aku sudah ingin memiliki anak, begitu juga Mommy dan Daddy, tapi kamu selalu menolak, kamu bilang masih terlalu mudalah, belum siap repotlah, inilah, itulah! Kau tidak lihat Akayla masih muda sudah punya dua anak!”

“Ya itu adikmu, aku belum mau kok! Kan aku bilang aku gak mau punya anak, aku belum siap, jangan paksa aku!”

Vi menatap nyalang istrinya. Dia langsung menjauhkan tubuh istrinya dan pergi ke kamar mandi untuk menghindari perdebatan yang bisa meruncing jadinya. Vi membuka seluruh bajunya, ia berdiri di bawah shower, membiarkan tubuhnya dibasahi oleh aliran air yang cukup menenangkan pikirannya yang sedang panas karena Sirta.

“Aku memberikan kebebasan kamu bukan untuk seperti ini, kamu malah keterusan tidak mau hamil. Sepertinya aku sudah salah memberikan kebebasan ini padamu, Sirta!” batin Vi.

Vi memejamkan matanya sambil menengadahkan wajahnya, membiarkan germercik air membasahi pahatan wajahnya yang sempurna. Vi membayangka bagaimana dulu pertama kali mengenal Sirta. Gadis cantik yang ia kenal sejak SMA, yang membuat hatinya menghangat karena cinta Sirta yang tulus. Vi mengingat kebahagiaan yang ia ukir bersama dengan Sirta sejak awal pacaran hingga menikah, dan sekarang malah semakin memanas keadaannya hanya karena Vi ingin memiliki anak, dan selalu ditolak oleh Sirta. Vi benar-benar merindukan momen romantis dan harmonis seperti dulu lagi.

Dada Vi merasakan sentuhan yang begitu intim dari jari seorang perempuan yang sangat ia kenal. Sentuhan yang begitu memabukkan Vi, namun kali ini rasanya beda. Mata Vi terbuka dan menatap tajam pada perempuan yang sedang menyentuh dadanya, mengusap dadanya dengan lembut penuh gairah, bahkan sudah menyentuh bagian inti tubuh Vi yang sangat disukai perempuan itu.

“Mau apa kamu!” tanya Vi dengan tatapan nyalang. Emosi yang baru saja reda, kini kembali tersulut saat tangan Sirta berselancar di tubuh Vi untuk membangkitkan gairah Vi.

“Aku kangen begini, Honey? Kita main di sini ya?” ajaknya dengan penuh gairah, dan mulai mencumbu suaminya.

“Aku akan melayani kamu, kalau kamu mau stop meminum pil kontrasepsi itu, dan memberiku anak!”

Vi langsung menyingkir dari Sirta. Mengambil handuknya lalu melilitkannnya di pinggangnya. Vi langsung keluar dari kamar mandi, lalu memakai kaos dan celana pendek, dia langsung pergi ke kamar tamu untuk tidur di sana. Sedangkan Sirta yang hasratnya sudah menggebu, dia tidak bisa menahan hasratnya itu, ia mulai bermain sendiri, membayangkan tubuh suami yang sangat ia cintai.

“Diajak enak-enak gak mau! Maunya anak, anak, dan anak! Aku ingin bebas tanpa anak, Vi!” ucapnya kesal dengan menyenangkan tubuhnya sendiri.

Chapter 2

Keesokan harinya, Vi bersama Sirta pergi ke rumah Mommy Maya. Seperti biasa setiap weekend mereka berkumpul bersama dengan keluarga di rumah Mommy Maya atau di rumah Opa Ehsan. Acara seperti ini yang sangat tidak disukai Vi terlebih Sirta, karena akan ditanya soal anak pada mereka semua. Jelas mereka menanyakan keturunan pada Vi dan Sirta karena sudah lima tahun mereka belum memiliki anak. Sedangkan Akayla, Elang, dan Zefarina sudah memiliki anak.

Kadang Vi iri dengan mereka yang hidupnya terlihat sempurna oleh kehadiran buah hati di tengah-tengah keluarga kecil saudaranya. Elang selalu ingin pulang cepat dari kantor karena sudah ingin bertemu dua anaknya yang kata Elang sangat menggemaskan dan selalu Elang rindukan setiap harinya. Sedangkan dirinya setiap kali meminta Sirta hamil, malah yang muncul adalah perdebatan dan perdebatan. Sirta ngotot pada pendiriannya yang tidak mau hamil, dengan alasan dia tidak mau merusak tubuhnya, dia tidak mau tubuh seksi dan indahnya itu akan kendor, akan melar, dan lain sebagainya.

“Malas sekali aku Vi kalau weekend kumpul gini! Apa gak ada alasan untuk tidak usah ke rumah Mommy, Vi?” ucap Sirta yang tampak kesal.

“Alasan apa lagi? Weekend kemarin kita sudah tidak ikut kumpul, itu karena kamu kelayaban, ini mau alasan apa lagi?! Ini sudah jadi tradisi keluargaku, dan kamu juga dulu enjoy saja ikut?” jawab Vi.

“Itu dulu, sebelum mereka tanya anak, anak, dan anak!” jawabnya ketus.

“Makanya sudah stop minum pil kontrasepsinya! Kita harus menata itu dari sekarang mumpung umur kita belum kelewat batas, Sirta!” ucap Vi tak kalah ketusnya.

“Aku sudah bilang, aku gak mau hamil! Jangan paksa aku!” pekik Sirta.

“Lalu apa tujuan kita menikah, kalau gak ada keturunan? Aku butuh keturunan untuk menjadi penerusku nanti, siapa yang akan meneruskan mengurus perusahaan kalau aku gak ada?”

“Ya kamu punya orang kepercayaan, kan?”

“Segampang itu kamu bilang! Kelewatan kamu, Ta!”

Vi tidak menyangka, semudah itu istrinya berkata seperti itu. Istrinya selalu menolak hamil, bahkan Vi pernah ingin mengdopsi anak, pun Sirta menolaknya.

“Kamu sebetulnya ingin punya anak gak sih, Ta?” tanya Vi.

“Belum kepikiran, bahkan gak ada pikiran punya anak aku, Vi. Kamu kan sudah tahu dari dulu awal kita menikah, aku gak mau punya anak dulu, karena repot, sampai aku ingin, dan gak tahu aku inginnya kapan,” jawabnya dengan santai.

“Astaga, Sirta! Anak itu penting buat penguat keluarga kita, Ta! Penting buat keturunan dan ahli waris kita kelak!”

“Aku belum ingin, dan saat ini tidak ingin, Vi! Gak aku gak mau punya anak. Aku mau bebas!”

“Kenapa menikah kalau kamu ingin bebas? Gak usah nikah kalau begitu, Ta!”

Perdebatan di dalam mobil semakin panas. Sirta tetap pada pendiriaannya, dia tidak mau punya anak. Vi tidak habis pikir Sirta ternyata ingin bebas tanpa anak.

“Aku tidak mau repot karena anak, dan aku tidak mau merusak tubuh indahku ini karena aku hamil dan melahirkan! Aku tidak mau kamu melirik perempuan yang lebih seksi dan lebih indah tubuhnya dari aku!” ucap Sirta.

“Hanya karena itu?” tanya Vi dengan tatapan nyalang.

“Ya, semua karena itu!”

Vi menggelengkan kepalanya. Istrinya sudah benar-benar keterlaluan sekarang, bahkan sekarang dia terang-terangan tidak ingin memiliki anak karena hal tersebut. Ada perempuan yang seperti itu. Kebanyakan perempuan satu tahun belum hamil saja sudah panik, sudah periksa sana-sini untuk tahu keadaan rahimnya baik-baik saja atau tidak. Bahkan ada yang sedih berkepanjangan karena belum memiliki keturunan, dan takut suaminya akan menikah lagi demia memperoleh keturunan.

Namun, tidak dengan Sirta. Dia malah menolak punya anak. Dia lebih takut Vi melirik perempuan lain karena tubuhnya lebih seksi darinya, daripada dia takut Vi menikah lagi, mencari perempuan lagi untuk melahirkan keturunannya.

Setelah perdebatan panas, Vi memilih untuk diam. Dia sangat benci sekali berada di dalam keadaan seperti itu, di mana istrinya menolak hamil karena tidak mau merusak tubuhnya. Sampai di rumah Mommy Maya, Vi masih saja diam, tidak mau bicara dengan istrinya.

Vi berusaha menutupi apa yang sedang dialaminya sekarang dari keluarganya, tidak mungkin juga Vi menceritakan apa yang Sirta katakan pada Mommy dan Daddy nya yang sudah sangat menanti kehadiran cucu dari dirinya dan Sirta. Vi tidak mau kedua oran tuanya kecewa dengan Sirta yang memiliki keinginan seperti itu. Vi lebih banyak diamnya di rumah Mommy Maya. Tidak seperti biasnya, bercanda dengan adik semata wayangnya, juga dengan Mommy dan Daddy nya.

Setelah makan siang selesai, Vi memilih bermain dengan keponakan-keponakannya. Tidak memedulikan Sirta yang malah asik di kamar, asik berkirim pesan di grup sosialitanya. Sirta juga jarang mengajak keponakannya bermain, dia tidak suka anak kecil yang menurutnya sangat merepotkan.

Setelah semua keponakannya istirahat tidur siang, Vi duduk di ruang tamu sendirian. Dia masih memikirkan ucapan istrinya tadi.

“Kau kenapa? Ditekuk gitu wajahnya! Kurang jatah istri nih pasti!” ejek Elang.

“Apaan sih! Gangguin saja!” bentak Vi.

“Kenapa? Lagi marahan sama Sirta? Dari tadi juga Sirta di dalam kamarnya? Kak Maya juga tanya tuh, kenapa menantunya malah di kamar mulu dari selesai makan siang?” tanya Elang.

“Sirta memang begitu, biar saja,” jawabnya.

Elang tahu keponakannya itu pasti sedang punya masalah yang sangat besar karena sampai melamun sedalam itu. Meski umur mereka sama, tetap saja kedudukan Elang itu lebih tinggi dari Vi. Harusnya Vi memanggilnya paman, karena sudah biasa akhirnya dia hanya memanggilnya dengan nama panggilan saja, karena menurutnya lebih akrab.

“Yakin kau tidak mau cerita dengan Pamanmu yang bijaksana ini?” tanya Elang.

“Aku pengin punya anak, El,” ucap Vi.

Elang merangkul keponakannya itu, lalu menepuk-nepuk bahunya. “Kau kurang dalam kali? Kurang topcer!” gurau Elang.

“Sirta yang gak mau hamil. Selama ini, selama kita menikah Sirta minum pil kontrasepsi terus, El. Dia gak mau hamil. Aku harus bagaimana? Lima tahun El, aku kira dia akan berubah, dia akan rindu memiliki anak, ternyata sama sekali tidak. Dia tadi bilang punya anak akan merepotkan dirinya, dan membuat tubuhnya rusak. Wajar tidak aku marah?”

Elang juga tidak habis pikir Sirta berkata seperti itu pada Vi. Dari sekaian ribu perempuan mungkin Sirta sendiri yang tidak ingin punya anak. Setiap perempuan pasti ingin menjadi seorang ibu, bahkan kadang seorang perempuan yang belum pernah hamil dan melahirkan, merasa dirinya bukan perempuan yang sempurna.

“Kok bisa Sirta seperti itu?”

“Aku yakin pergaulannya, El. Semua temannya gak ada yang punya anak, jadi mereka bebas, main sana-sini. Semalam saja pulang jam satu pagi, El! Tolong jangan bilang Mommy sama Daddy, atau Opa sama Oma ya, El?”

“Aku gak akan ngomong, kalau masih bisa dikendalikan, kalau tidak ya gak tahu nantinya. Parah juga istrimu, ya? Kawin lagi saja deh! Cari perempuan yang mau melahirkan generasi kita, mau memberikan kita keturunan!”

“Mudah banget kau bicaranya!”

“Ya daripada kau sampai tua gak punya anak?”

Menikah lagi? Semudah itu El bilang pada Vi. Akan tetapi, Vi sempat membenarkan ucapan El yang menyuruhnya menikah lagi. Tapi dia tidak bisa karena dia sangat mencintai Sirta.

Chapter 3

Vi berusaha tenang dengan keadaan yang makin meruncing. Sirta semakin menjadi, bahkan sekarang dia liburan ke luar negeri tanpa Vi. Sirta hanya dengan teman-teman satu gengnya saja. Mereka pergi liburan ke luar negeri untuk senang-senang, untuk ia pamerkan di sosial media mereka, kalau mereka adalah istri-istri yang paling bahagia dimanjakan dan dibebaskan oleh para suaminya.

Sedangkan Vi masih jengkel karena Sirta sudah hampir satu minggu berada di Paris, dan setiap hari pengeluaran Vi makin bertambah, setiap hari Sirta memakai uang sesuka hatinya, untuk belanja barang-barang yang bagi Vi jauh dari kata penting dan bermanfaat.

“Tuan malam ini lembur?” tanya Sekretaris sekaligus orang kepercayaan Vi di kantornya.

“Iya, Lex. Aku masih banyak pekerjaan, lagian istriku masih belum pulang, jadi mumpung tidak sedang dipantau untuk pulang cepat, aku kerjakan semua ini, supaya besok kita tinggal menjalankan proyek ini,” ucap Vi.

“Baiklah, Tuan. Saya pamit mau ke pantry dulu,” pamit Alex.

Vi mengangguk, lalu ia kembali disibukkan dengan pekerjaannya. Malas untuk pulang, akhirnya Vi melanjutkan pekerjaannya sampai pukul sepuluh malam. Sedangkan Alex yang ada di pantry, ia meninggalkan pantry dengan gugup karena harus segera ke rumah sakit. Anaknya demam, dan tadi istrinya menelefon, memberitahukan kalau anaknya masuk rumah sakit. Dengan tergesa-gesa Alex meninggalkan pantry, dan meninggalkan kopi yang belum ia seduh, di atas meja yang berada di pantry. Alex langsung izin pada Vi, untuk segera pulang.

Vi merasa sedikit lelah, ia butuh minuman hangat seperti kopi atau teh untuk menemaninya bekerja. Ia menelefon OB dan menyuruh membuatkan kopi untuknya. Tak lama kemudian kopi yang Vi minta datang, dibawakan oleh OB yang baru sehari bekerja di perusahaannya.

**

Gadis berusia sembilan belas tahun itu, baru satu minggu bekerja di perusahaan milik Vi menjadi seorang OB. Ardini namanya, karena dia tidak bisa melanjutkan kuliah, dia terpaksa bekerja menjadi OB, beruntung ada saudara yang menyalurkan bekerja di perusahaan Vi.

Ardini baru saja mengangkat telefon dari Vi, yang meminta untuk dibuatkan kopi lalu dibawakan ke ruangannya.

“Ah pakai kopi milik Pak Alex sajalah, sama juga palingan sama kopi yang ada di kotak itu. Daripada gak diminum, aku juga gak bisa minum kopi, Pak Satpam baru saja bikin kopi tadi sebelum Pak Alex? Mau pulang malah disuruh lembur? Lagian kenapa Tuan Vi harus lembur sih?” gerutu Ardini.

Seharusnya jam sembilan malam Ardini pulang, namun ia harus lembur menggantikan temannya yang katanya sedang kurang enak badan. Itu juga karena Alex dan Vi malam ni lembur, dan ada beberapa karyawan yang juga lembur sampai jam sebelas malam.

Ardini membawakan kopi dan cemilan yang Vi mau. Dia mengetuk pintu ruangan kerja Vi.

“Permisi, Tuan. Ini kopi yang Tuan minta,”

“Kamu masih di kantor? Bukannya perempuan pasti pulang lebih dulu dan kalau ada yang lembur laki-laki?

“Maaf, Tuan, teman satu tim saya ada urusan, jadi saya yang gantikan lembur,” jawab Ardini.

“Oh, ya!”

Ardini meletakkan kopi di atas meja kerja Vi. Vi langsung meminumnya karena dia sudah ingin minum kopi. Sedangkan Ardini dia langsung pergi dari ruangan Vi, karena dia akan bersiap untuk pulang. Semua tugas sudah selesai, membuat kopi Vi juga sudah, tidak mungkin Vi akan menyuruhnya lagi.

Ardini berkemas, ia mengganti baju seragamnya, lalu ia bergegas untuk pulang. Akan tetapi, saat melangkahkan kakinya, dia mendengar telefon berdering, Ardini menerima telefon itu lebih dulu. Ternyata Vi yang menelefonnya, meminta Ardini membawakan air putih karena tubuhnya merasa tidak enak setelah minum kopi.

Tidak biasanya Vi minum kopi merasakan tubuhnya panas seperti sekarang. Kali ini Vi merasa tidak nyaman dengan tubuhnya setelah meminum kopinya tadi.

Ardini masuk ke dalam ruangan Vi lagi, dia membawakan segelas air putih untuknya. Melihat Vi sedang tidak baik-baik saja, Ardini menanyakan keadaan Vi.

“Tuan, anda baik-baik saja?” tanya Ardini.

“Saya baik-baik saja, agak pusing saja,” jawab Vi.

“Ini air putihnya, Tuan.” Ardini memberikan segelas air putih pada Vi.

Vi meneguknya, setelah itu ia kembali merasakan tubuhnya meremang. Tubuhnya semakin panas, gairahnya semakin membuncah. Entah kenapa bisa seperti itu. Vi benar-benar tidak bisa menahan hasratnya.

“Kamu gak salah buatkan saya kopi?” tanya Vi yang merasa aneh saat setelah meminum kopi buatan Ardini.

“Saya ambil kopi di pantry seperti biasanya, Tuan,” jawab Ardini menunduk. “Bedanya ini tadi milik Tuan Alex, tapi Tuan Alex tidak jadi bikin, jadi saya bikinkan untuk Tuan,” imbuhnya.

“Shit!” pekiknya menahan gairahnya yang terus memuncak.

Mata Vi makin berkunang, perlahan kesadarannya pun semakin terganggu. Ia hanya merasakan tubuhnya semakin panas, dan gairahnya bertambah besar. Ingin sekali ia menyalurkan hasratnya malam ini. Dengan pikiran yang terganggu, Vi menatap Ardini yang masih berdiri di depannya. Matanya menyipit karena pandangannya semakin kabur, dan wajah Ardini pun makin memudar, lalu ia melihat sosok Sirta pada diri Ardini.

Vi beranjak dari tempat duduknya. Ia berdiri di depan Ardini, lalu ia pandangi wajah Ardini dan tersenyum dengan senyum yang sangat menakutkan bagi Ardini. Perlahan tangan Vi menyentuh lembut pipi Ardini, lalu akan mencium pipi Ardini.

“Tuan, jangan seperti ini!” Ardini menepis tangan Vi dengan kasar.

“Sirta, Kau sangat cantik dan anggun sekali malam ini, Sayang? Kenapa gak mau aku sentuh dan cium?”

“Tuan, saya Ardini, bukan Sirta!” ucap Ardini ketakutan karena tangan Vi semakin keras mencengkeram lengannya.

“Kau sangat manis sekali, Sayang. Aku sangat menginginkanmu,” bisik Vi dengan penuh gairah.

“Tuan lepaskan!” pekik Ardini. Akan tetapi Vi makin erat memeluk Ardini.

“Aku mau kamu sayang,” bisiknya.

Tangan Vi membelai wajah Ardini lagi, dan detik itu juga Vi mendekatkan wajahnya lalu membenamkan ciuman di bibir Ardini. Bola mata Ardini melebar sempurna, ia semakin takut karena Vi melakukan hal seperti itu. Ardini langsung mendorong tubuh Vi. Namun sayangnya doroang sekuat apa pun kalah dengan rengkuhan tubuh Vi. Vi membawa paksa Ardini masuk ke dalam kamar pribadinya yang ada di ruang kerjannya.

“Tolong jangan lakukan ini, Tuan!” pekik Ardini dengan meronta.

“Tolong!” teriak Ardini.

Sayangnya teriakan Ardini percuma saja, karena ruangan yang digunakan Vi untuk istirahat kedap suara, jadi tidak ada satu orang pun di luar yang mendengar teriakan Ardini.

“Kau kenapa meronta seperti ini, Sayang? Ayolah istriku yang cantik, kita lakukan ini, aku ingin kamu hamil, aku yakin kau belum meminum pil itu setelah pulang liburan, kan?”

“Tuan, sadar Tuan! Saya bukan istri Tuan!”

Ardini semakin meronta, dia memukul-mukul dada Vi yang sudah berada di atas tubuhnya. Vi tidak peduli Ardini meronta ketaakutan. Ia melucuti semua penutup tubuh Ardini, hingga Ardini polos di depannya.

“Kau cantik sekali, Sayang. Kau membuatku candu, tubuhmu buatku kecanduna,” racau Vi dengan menjelajahi tubuh Ardini dengan bibirnya.

Ardini hanya menangis, berontak pun tidak bisa, karena sudah terkunci dengan tubuh kekar Vi di atasnya. Juga sentuhan lembut Vi yang membuatnya semakin tidak bisa berontak.

“Tolong jangan lakukan ini, Tuan. Saya mohon,” ucap Ardini dengan sesegukkan.

“Kenapa menangis, Sayang? Kita akan senang-senang malam ini, kau sudah merindukannya bukan?” bisik Vi.

Vi menghentakkan inti tubuhnya ke dalam inti tubuh Ardini. Ada rasa yang beda. Vi merasakan susah memasukkan inti tubuhnya ke dalam inti tubuh Ardini.

“Kau masih sama, kecang, kesat, aku suka sayang. Ini susah sekali masuknya,” bisik Vi.

“Tuan ... stop! Jangan lakukan ini, saya mohon.”

Ardini makin  berusaha keras untuk lepas dari rengkuhan tubuh kekar Vi. Ia memukul-mukul dada Vi, bahkan menggigit lengannya namun Vi tidak peduli. Ia menghentakkan sekali lagi miliknya pada milik Ardini.

“Akkkhhhh!” teriak Ardini dengan air mata yang semakin deras membasahi pipinya.

Pergulatan panas terjadi sampai Vi melakukan pelepasan yang sangat sempurna, sedangkan Ardini dia meringkuk menutup tubuhnya dengan selimut putih setelah Vi puas menggagahi tubuhnya. Ardini menangis, ia tidak kuat untuk bangun dan pergi dari kamar itu, karena bagian intinya sangat sakit dan benar-benar lemas tubuhnya. Sedangkan Vi, dia tertidur di sebelah Ardini. Namun samar-samar Vi mendengar suara perempuan menangis.

Kesadaran Vi kembali pulih setelah dua jam dia tertidur, dan akhirnya terbangun karena suara isak tangis perempuan. Ardini masih menangis, ia tak kuasa pergi, karena dia masih kesakitan. Ia duduk dengan bergelun selimut dan menangis.

“Astaga apa yang terjadi? Kamu?” Vi melihat seorang gadis menangis dengan keadaan berantakan, hanya selimut putih yang menutup tubuhnya.

“Apa yang terjadi? Kau kenapa di sini?” tanya Vi.

Ardini tak mampu menjawab, dia hanya bisa menangis. Mata Vi mengedar, ia melihat kamar yang berantakan, baju mereka berserakan di lantai, dan yang paling mengejutkan Vi melihat bercak merah yang ada di sprei berwarna putih.

“Da—darah?”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!