Wajah masam langsung Yusuf dapatkan dari Kirana sang istri, ketika ia memasuki kamar mandi. Kirana yang ada di depan tengah dua wastafel, menatap pantulan bayangan Yusuf pada cermin di dinding hadapannya.
Pagi ini Yusuf bangun agak telat karena merasa kurang enak badan. Pekerjaan yang menumpuk di perusahaan dan kurangnya waktu istirahat maupun asupan gizi, menjadi alasannya. Terlebih, akhir-akhir ini Yusuf jarang tidur. Malahan sekitar pukul setengah empat pagi tadi saja, Yusuf baru tidur dan itu saja karena ketiduran.
Dengan pandangan masih agak kabur dan kedua mata terus saja menyipit, Yusuf mendekap pinggang Kirana. Andai bisa mengeluh, Yusuf ingin melakukannya. Ia ingin berkata bahwa dirinya kelelahan. Pria bertinggi tubuh 177 senti meter itu butuh semangat khusus dari sang istri. Masalahnya, Yusuf tak mungkin melakukannya karena tak mau Kirana ikut terbebani.
Kini, Yusuf memilih menaruh kepalanya di pundak kiri Kirana seiring kedua matanya yang terpejam. Berharap, dengan begitu, ia bisa menemukan kedamaian meski hanya sebentar.
“Coba kamu tidur dengan wanita lain. Lakukan itu sampai dia hamil!” ucap Kirana menahan kesal.
Seperti yang Yusuf khawatirkan, bukannya menemukan kenyamanan, ia malah mendengar bisikan horor dari sang istri. Yusuf langsung menarik diri dan menatap Kirana yang masih memakai gaun malam seksi sangat transparan warna merah. Jantung Yusuf menjadi berdetak sangat kencang, tapi bukan karena ia bergairah pada istrinya yang sangat cantik sekaligus selalu tampil seksi. Melainkan, ini mengenai permintaan sang istri yang baginya sudah di ambang wanita waras.
Istri waras mana yang rela membiarkan suaminya tidur bahkan menghamili wanita lain? Jangankan melakukan hal gila barusan, jika bisa semua wanita pasti maunya suaminya tidak pernah memiliki urusan dengan wanita lain, apalagi wanita yang sampai membuat sang suami tergoda!
Tak ada sedikit pun keraguan yang Yusuf dapati dari tatapan maupun ekspresi sang istri. Seolah, Kirana sudah tidak memiliki cara lain untuk solusi atas momongan yang belum hadir. Bagi Yusuf, ada dan tidaknya anak dalam pernikahan mereka bukan masalah. Namun itu tidak berlaku untuk sang istri yang sudah sangat menginginkannya.
“Jangan bermain api kalau kamu enggak mau kebakar apalagi terluka lebih dalam!” tegas Yusuf, tapi masih dengan suara tenang.
Dengan cepat, Kirana yang awalnya membelakangi Yusuf, berangsur balik badan kemudian menghadap Yusuf. “Aku enggak apa-apa. Beneran. Sumpah, Sayang! Karena aku akan melakukannya juga dengan laki-laki lain. Aku akan minta dihamili laki-laki lain agar akhirnya terbukti, siapa yang mandul!” tegas Kirana berucap lirih sekaligus tegas sambil tetap bersedekap. Di hadapannya, Yusuf yang jadi menatapnya kecewa, berangsur menggeleng berat.
“Dulu kamu pernah kurang subur, tapi katamu sudah sembuh setelah menjalani pengobatan. Atau memang, ... justru aku yang mandul!” berat Kirana yang kemudian melempar sesuatu dari tangan kanannya ke hadapan mereka.
Yang Kirana lempar itu test pack. Alat tes kehamilan itu hanya dihiasi satu garis. Hasil yang masih sama selama dua tahun terakhir di setiap Kirana melakukan tes kehamilan.
Yusuf yang melihatnya refleks menghela napas dalam sekaligus berat. “Alasan kita nikah bukan anak, kan, Ki? Sayang kamu harus ingat! Bahwa dulu, kamu yang ngebet banget ngajak aku nikah! Dulu kamu yang selalu berusaha meyakinkanku buat menjalani pernikahan setelah aku yakin, menjadi orang tua tunggal untuk Oskar merupakan satu-satunya kebahagiaanku!” ucap Yusuf masih berusaha tenang.
“Kita cukup bahagia saja!” Kali ini Yusuf melakukannya sambil menahan tangis sebab di hadapannya, Kirana sudah menangis parah.
“Kalau kamu ingin anak, ayo kita adopsi. Kita pilih, dan aku terserah kamu. Aku ikut kamu saja yang penting kamu bahagia. Karena kebahagian kamu menjadi alasanku bisa bahagia juga. Kamu cukup terima beres. Semua urusan perusahaan, biar aku yang urus. Kamu enggak usah setres. Mau belanja, mau jalan-jalan, ... sudah kamu lakuin saja ajak mama papa kamu!” Yusuf membingkai wajah sang istri menggunakan kedua tangannya. Ia mengelap setiap air mata Kirana menggunakan kedua jemari tangannya.
“Sumpah demi apa pun, aku lebih suka kamu begitu daripada kamu stres begini!” lembut Yusuf masih berusaha meyakinkan sang istri.
Yusuf mengecup mesra bibir Kirana, tapi tangis sengaja ditahan dari wanitanya itu makin terdengar menyakitkan. Dadanya terasa sangat sesak mendengarnya. Kedua matanya dan awalnya sulit dibuka karena masih sangat mengantuk, juga jadi terasa sangat panas sekaligus basah.
“Masalahnya enggak segampang itu. Beneran enggak segampang itu loh, Sayang! Terlebih ketika dalam sebuah pernikahan sampai tidak ada anak, yang disalahkan selalu istri!” raung Kirana meronta-ronta. “Aku ... aku yang disalahkan termasuk oleh orang tua kita apalagi mama kamu! Akuuuuh yang disalahkan, beneran aku! Mereka terus menuduhku mandul!”
“Rasanya sakit sekali, meski enggak sampai berdarah-darah, Sayang! Malahan kadang aku sampai takut hanya buat keluar dari kamar. Karena saat mereka melihatku, dari cara mereka menatapku saja sudah jelas, oh itu istri mandul. Dia pasti sengaja enggak mau hamil biar tetap perawan. Biar dia enggak mengalami turun mesin apa malah payudar.a kendor!”
“Kira—na ... kamu menikahnya dengan aku, bukan dengan kata orang maupun pandangan orang! Bagiku, seumur hidupku hanya hidup dengan kamu saja sudah sangat cukup!” sergah Yusuf masih bertahan membingkai wajah Kirana menggunakan kedua tangannya. Namun baru saja, Kirana menyingkirkan kedua tangan Yusuf dengan sangat kasar.
“Katakan kepada semuanya. Bahkan aku juga akan mengabarkannya, jika memang dalam hubungan kita tetap tidak anak, ... AKU ... AKU YANG MANDUL!”
Yusuf menatap tak percaya, sekaligus penuh terka Kirana yang tampak jelas tidak bisa percaya kepadanya. Karena sedikit banyaknya, sebagai suami Kirana yang sudah terbiasa menghabiskan waktu bersama, ia sudah paham watak istrinya itu.
“Sebelum kamu berbicara, biarkan aku melakukannya lebih dulu.” Yusuf berusaha membuat mental Kirana kembali stabil.
“Ayo kita menjalani hubungan dengan orang lain seperti—” Kirana tidak bisa melanjutkan ucapannya karena Yusuf menahan ucapannya.
“Aku enggak butuh bukti. Percaya kepadaku, yang mandul aku. Kamu sehat, ... sumpah!” berat Yusuf, tapi Kirana malah meledak-ledak.
“Ketimbang melakukan hal sin.ting begitu, lebih baik kita ke dokter. Kita sama-sama konsultasi. Andai ada yang enggak beres ya diobati!”
“Temanku juga sudah membuktikannya, Sayang!”
“Enggak, Kiiiiii, aku enggak mauuuuu! Kalau kamu terus memaksa, lebih baik kita CERAI SAJA! AKU IKHLAS! AKU YANG MANDUL, AKU YANG SALAH, DARIPADA AKU MEMBIARKANMU TERJERUMUS DOSA. JIKA AKU BUKAN LAGI SUMBER SEKALIGUS ALASAN KAMU BAHAGIA, AKU SIAP MUNDUR!”
“Masalahnya, aku enggak bisa tanpa kamu, Suuufff! Aku enggak bisaaaa!” Kirana histeris dan memeluk tengkuk Yusuf sangat erat. Ia sungguh tidak bisa tanpa Yusuf, hingga ia nekat menampung sederet tips dari teman-temannya.
Namun, percaya tidak percaya, penilaian demi penilaian yang kadang kita berikan kepada orang lain, memang menjadi alasan mental seseorang terluka. Karena pada dasarnya, lingkungan tumbuh memang menjadi alasan seseorang berproses. Begitu juga yang sedang Kirana alami saat ini.
Mampukah Kirana bertahan, jika pada kenyataanya dirinya tidak bisa tanpa Yusuf?
❤️❤️❤️❤️❤️
Suasana kamar bernuansa putih emas milik Kirana tak lagi dihiasi suara penuh emosi maupun tangis penghuninya. Keadaan di sana sudah kembali sunyi. Hanya aktivitas Yusuf dalam bersiap-siap pergi kerja saja yang kadang menimbulkan suara berarti.
Di ranjang tidurnya, Kirana yang sudah memakai piyama lengan panjang warna kuning, duduk selonjor. Tubuhnya sudah berselimut, sementara ia masih mengawasi saksama apa yang sang suami lakukan. Di sebelahnya, Yusuf masih membelakanginya. Yusuf memakai kemeja lengan panjang biru gelap dan tengah mengancing setiap kancingnya.
“Sayang, pakai jas biru gelap yang aku beliin di Singapura minggu lalu. Itu lebih cocok dengan kemeja yang sekarang kamu pakai,” ucap Kirana ketika Yusuf meraih jas hitam dari dalam lemari gantung khusus pakaian suaminya itu. Sebab sekadar lemari pakaian saja memang sengaja dipisah.
Pakaian Yusuf yang tak sebanyak pakaian Kirana ada di ruang tempat tidur mereka. Sementara pakaian Kirana ada di ruang sebelah. Di sana merupakan ruang khusus barang-barang Kirana dan lebih mirip dengan toko fashion. Sebab apa-apa serba ada.
Mengenai fashion, Yusuf memang masih nol besar. Karena sebelumnya, Yusuf memang tidak terbiasa dengan fashion maupun hal yang berkaitan dengan kemewahan. Yusuf yang awalnya hanya karyawan biasa di perusahaan suami mantan istrinya, kini telah mengurus sekaligus memimpin perusahaan milik orang tua Kirana.
Keuletan sekaligus kerja keras Yusuf menjadi alasan orang tua Kirana sangat percaya kepada Yusuf. Perusahaan yang awalnya dipegang Kirana maupun sang papa, kini telah sepenuhnya berpindah kepada Yusuf. Keadaan tersebut terjadi, selain Kirana jadi makin tempramental gara-gara tak kunjung hamil, kesehatan pak Ilyam papanya Kirana, memang sudah kurang baik.
“Enggak perlu pakai dasi. Gitu saja sudah cukup. Keren!” manja Kirana yang tak segan memuji suaminya.
Karena tak perlu memakai dasi, Yusuf berangsur menaruhnya kembali di tempat dasi. Ia melakukannya dengan sangat buru-buru karena mengejar waktu. Kini sudah siang dan ia bahkan belum sarapan.
“Peluk dulu,” rengek Kirana yang juga langsung membuat Yusuf memeluknya.
“Enggak usah pegang hape karena sebaik-baiknya teman kamu. Mereka bisa jadi orang yang paling bang.sat pula buat kamu. Kamu fokus istirahat,” bisik Yusuf. Kedua tangannya mengelus-elus punggung Kirana, sementara bibirnya mengecup kepala atau malah pipi Kirana.
Ciuman bibir yang terbilang sangat mesra sekaligus berlangsung lama, mengakhiri kebersamaan mereka. Yusuf menaruh ponsel sang istri di meja bawah televisi LED, persis di sebelah pot kaktus. Agar sang istri tidak sibuk berkomunikasi dengan teman-teman yang hanya meru.sak mental Kirana.
“I love you ...,” manis Kirana melepas kepergian suaminya.
Yusuf mengangguk-angguk sambil berbisik, “I love you too!” Ia berangsur menekan sakelar lampu dan membuat lampu di area ranjang tidur padam.
Sebelum benar-benar pergi, Yusuf sengaja menunggu sang istri memejamkan kedua mata. Iya, Kirana yang memang sangat manja kepadanya, memejamkan kedua mata dengan bibir yang masih tersenyum.
“Ya Allah ... izinkan kami menua bersama. Izinkan kami selalu bersama-sama. Namun jika bersamaku hanya membuatnya terluka, ... jauhkan lah kami segera!” batin Yusuf sambil menahan tangis.
Dari pagi menuju siang hingga sore, Yusuf sibuk kerja. Sementara Kirana yang hanya istirahat di rumah, pada akhirnya merasa bosan.
Kirana berangsur meninggalkan tempat tidurnya. Awalnya ia tak berniat meraih ponsel selain untuk menghubungi sang suami. Namun sederet pesan belum dibaca di ponselnya, membuatnya penasaran.
Seperti perjanjian, Kirana memang Yusuf wajibkan untuk istirahat. Sekadar memegang ponsel saja, sebenarnya Yusuf tak mengizinkannya. Alasan tersebut pula yang membuat Yusuf menaruh ponsel Kirana di sebelah pot kaktus berukuran mungil. Kaktus yang sengaja Yusuf beli khusus untuk menghindari radiasi dari gawai mereka. Diharapkan adanya kaktus mungil di sana juga mampu membuat Kirana tenang. Agar Kirana tak tempramental.
Kini karena teringat suaminya dan baginya sempurna jika tidak melibatkan momongan dalam hubungan mereka, Kirana luluh. Kirana menaruh ponselnya dan meninggalkan kamar untuk ke dapur. Ia sudah berjanji untuk makan tepat waktu kepada sang suami agar ia tak sakit lagi.
Sementara itu di tempat berbeda, ada Zico yang jadi sibuk muntah-muntah di wastafel toilet sebuah restoran.
“Gi.laaaa! Ada cewek sehitam bahkan sejelek itu, tapi bermimpi jadi istriku?! Andai pun dia kaya, ngapain juga enggak perawatan atau langsung operasi plastik sekalian?!” batin Zico yang kemudian buru-buru membasuh wajah menggunakan kedua tangan.
Dari belakang Zico, ada seorang wanita paruh baya berdandan elegan dan menenteng tas mahal. Wanita bertubuh gempal tersebut menghampiri Zico.
“Sayang, kamu jangan gitu dong. Masa kamu langsung nyeletuk Lalisa hitam mengkilap bahkan buru.k rupa,” ucap si wanita bernama ibu Meganti dan tak lain mamanya Zico.
Mendengar itu, Zico langsung balik badan menatap sang mama tanpa bisa menahan rasa kesalnya. “Ma ... perjodohan sih perjodohan. Masa iya enggak seimbang!”
“Mama lihat ... aku yang sekeren ini dan semuanya tahu bahwa aku ini play boy. Semua mantanku enggak ada yang jel.ek atau setidaknya di bawah standar, Ma!”
“Masa foto sama asli beda banget. Di foto yang Mama kasih ke aku dia cantik banget, makanya aku mau. Namun pas ketemuan tadi, ... ihhh, ngeri! ”
“Masa ada manusia yang kelihatan cuma giginya saja, itu saja kalau dia meringis, kalau enggak ya dikira arang raksasa!”
Mendengar keluh kesah sang putra, ibu Meganti jadi harap-harap cemas. “Kan tadi sudah dijelasin, bahwa ternyata itu foto setengah tahun lalu sebelum dia kecelakaan lalu lintas dan bikin sekujur tubuhnya gosong permanen.”
“Pokoknya aku enggak mau, Ma! Apaan sih ... jijik iya!” protes Zico yang sekadar bersuara saja tak kuasa mengontrolnya.
Zico terus meledak-ledak hingga wanita bertubuh semampai berkulit hitam mengkilap dan tak lain Lalisa, mendengarnya. Lebih kebetulan lagi, Lalisa sengaja menguping dari sebelah pintu masuk utama area toilet di restoran merek berada.
“Pokoknya kamu harus mau. Karena selain semua persiapan pernikahan sudah final, orang tua Lalisa juga yang sudah menyumbang banyak dana ke perusahaan kita! Awas saja kalau kamu sampai berulah!” tegas ibu Meganti.
“Ma ... dia sehitam itu ... jijik aku! Sekarang saja aku jadi mual terus, sementara pernikahan kami justru lusa! Sssttt! Bang.sat aku ditipu mentah-mentah! Andai tahu begini, aku enggak sudi dijodohkan dengan dia seberapa pun kaya orang tuanya, Ma!”
Mendengar setiap umpatan Zico, Lalisa menggeleng tak habis pikir. “Ternyata Zico memang enggak pernah berubah. Untung aku melakukan penyamaran ini. Andai aku tetap tampil cantik sesuai foto yang dikirimkan ke dia, ... dia pasti tetap hanya memanfaatkan aku. Orang seperti dia memang susah tulus!” batin Lalisa bergegas mengakhiri persembunyiannya. Namun alih-alih menghampiri Zico, ia memilih pergi kembali ke meja makan tempat orang tuanya sekaligus papa Zico menunggu.
Ketika Zico dan sang mama kembali bergabung, kebersamaan di meja yang sudah dipenuhi hidangan khas Jepang, masih diselimuti ketidaknyamanan.
Lalisa yang sudah lebih dulu bergabung, langsung pura-pura perhatian kepada Zico. Jemari kedua tangannya yang gelap mirip arang, meraih segelas es lemon tea dari tangan kanan pramusaji. Es tersebut merupakan pesanan tambahan yang Zico minta.
“Lihatlah ... sama pramusaji saja dia enggak ada apa-apanya. Lagian, ... ah ... katanya dia orang kaya kok kampungan gini sih?!” batin Zico refleks berdiri ketika segelas es lemon tea miliknya, malah Lalisa siramkan ke dada bahkan ... pangkuannya.
Zico yang langsung menatap marah Lalisa nyaris mengumpat, tapi sang mama sudah lebih dulu bertindak. Ibu Megan yang duduk di sebelah Zico, meraih kemudian menarik paksa sebelah tangan Zico. Ia memaksa Zico untuk kembali duduk.
“Maaf ... maaf. Lalisa benelan enggak sengaja!” sedih Lalisa, si hitam nan jelek yang sekadar berucap saja cadel sekaligus manja. Kenyataan yang membuat Zico ingin menyewa pembun.uh bayaran untuk meng.habisinya.
“Ngomong R saja belum bisa, wujud buru.k rupa, mimpinya dapat suami sempurna!” batin Raga yang dalam hatinya jadi berkata, “Lama-lama beneran aku sewakan pembun.uh bayaran buat habisin nih betina. Aku bunu.h orangnya, terus aku ambil hartanya!”
“Enggak apa-apa Lalisa Sayang. Tante tahu, kamu pasti masih sangat gugup!” balas ibu Megan yang pada akhirnya berhasil memaksa Zico untuk kembali duduk. Selain itu, ia juga meminta Zico untuk melepas jas biru gelapnya untuk menyelimuti pangkuannya yang basah.
Keadaan kini membuat orang tua Lalisa jadi kerap bertatapan sambil mengumbar senyum sungkan. Sementara hal serupa juga dilakukan orang tua Zico. Hanya Zico yang benar-benar diam dan hanya mengumbar senyum terpaksa di setiap interaksinya. Sementara Lalisa masih kerap berceloteh cadel layaknya balita yang baru akan lancar berbicara.
“Ayo, ... mau sampai kapan kamu bertahan? Aku pastikan, anggapan orang tuaku bahwa kamu pria sempurna yang tepat menjadi pendampingku, salah besar! Ibaratnya, loe jual gue beli! Dikiranya aku wanita bodo.h yang akan silau dengan tampang sekaligus rayuan bu.sukmu? Ciih!” batin Lalisa yang memang sengaja menguji kesabaran Zico di pertemuan awal mereka.
***
Satu hal yang Yusuf rasakan ketika malam-malam pulang, tapi ponsel sang istri masih di meja dirinya menaruhnya. Iya, Yusuf merasa sangat lega. Ditambah lagi, sang istri juga masih tiduran sementara piyama yang dipakai juga sudah ganti.
Yusuf tak membangunkan Kirana atau sekadar mengusiknya. Yang langsung Yusuf lakukan ialah mandi, sebelum Kirana protes dirinya bau keringat atau aroma lain yang Yusuf bawa dari luar. Tentunya, mencari warna pakaian berwarna sama layaknya yang dipakai sang istri juga yang tidak lupa untuk Yusuf jalani. Itu sebagai wujud menghargai, dan sudah mulai Yusuf lakukan setelah sederet protes yang pria itu terima di awal pernikahan mereka.
Beres mandi, Yusuf juga tak langsung menghampiri Kirana. Yusuf hanya mengawasi dari kejauhan kemudian meninggalkan kamar. Kirana masih lelap dan baru Yusuf bangunkan setelah ia memboyong dua buah nampan berisi makanan untuk mereka. Salad sayur, dan satu porsi ikan bawal putih rebus menjadi menu untuk Kirana. Sementara di nampannya berisi nasi komplit dengan sayuran sekaligus daging.
“Sepertinya aku sudah tidur terlalu lama. Dari kamu berangkat kerja, aku cuma bangun buat makan karena aku sudah janji ke kamu. Ini jam berapa sih?” Kirana langsung bersandar manja ke tubuh Yusuf. Ia masih enggan menyentuh jatah makannya.
“Sudah setengah dua belas malam. Hari ini mama papa mampir ke kantor. Kaget aku,” balas Yusuf sudah langsung makan karena ia memang kelaparan setelah seharian bekerja dan sampai membuatnya lupa makan.
Disinggung mengenai kedatangan kedua orang tuanya ke kantor, Kirana jadi penasaran. Namun kemudian, kebahagiaan ia petik lantaran alasan kedua orang tuanya datang ke kantor, murni memberi Yusuf selamat. Yusuf baru saja mendapatkan proyek kerja sama besar dan itu akan membuat mereka memperoleh banyak keuntungan.
Kabar yang baru saja Yusuf sampaikan juga membuat kebersamaan mereka langsung diselimuti kebahagiaan. Kirana langsung bersemangat, baterai kehidupannya seolah langsung full, padahal sebelumnya ia sempat bermalas-malasan.
Setelah mengobrol panjang lebar dan makanan juga sudah habis, Yusuf pamit untuk tidur dulu. Sementara Kirana yang sedang dalam suasana hati bahagia juga memilih menaruh bekas makan mereka ke dapur. Yusuf langsung memberinya pujian karena hal semacam itu memang sangat jarang Kirana lakukan. Malahan karena Yusuf juga, Kirana mulai bisa belajar mengontrol emosi. ART di rumah yang sering jadi sasaran kemarahan Kirana juga berdalih Kirana jadi jauh lebih manusiawi, semenjak menikah sekaligus mendapat arahan dari Yusuf.
“Pantas lah papa mama sampai berbondong-bondong ke kantor buat menemui kamu, padahal kita masih tinggal satu atap. Proyek yang kamu dapatkan saja enggak kaleng-kaleng!” batin Kirana yang sudah kembali kemudian memandangi wajah Yusuf dari jarak sudah sangat lelap.
“Sayang, aku belum ngantuk,” rengek Kirana berusaha membangunkan sang suami.
Kirana sampai mencium-i pipi Yusuf lantaran suaminya tetap lelap di antara dengkuran agak keras yang menyertai.
“Mmmm,” gumam Yusuf yang kemudian meraih tangan kanan Kirana seiring ia yang merangkul tubuh istrinya juga. Tanpa berkata-kata karena memang sudah tak sanggup–terlalu ngantuk, Yusuf menggunakan kedua tangannya untuk menepuk-nepuk asal tubuh sang istri.
Yusuf bermaksud membuat Kirana tidur juga, tapi usahanya sia-sia. Karena selain ia yang pada akhirnya makin lelap. Kirana yang sudah seharian penuh tidur juga tetap tidak mengantuk.
Karena Yusuf sudah pulang, Kirana merasa berhak main ponsel. Apalagi terjaga sendirian membuatnya bosan.
Setelah mengambil ponselnya, Kirana juga langsung kembali tiduran di sebelah Yusuf. Ia bahkan tak segan bersandar manja ke Yusuf. Kecupan demi kecupan juga masih kerap Kirana layangkan di wajah, leher, dada, maupun tangan Yusuf, meski sang suami sudah tidak merespons.
Kirana yang awalnya melihat-lihat konten vir.al menjadi terusik oleh sederet notifikasi WA dan itu dari grup SMA angkatannya.
“Penasaran, ... kenapa sampai rame banget padahal sudah dini hari.” Bertepatan dengan Kirana yang membuka ruang obrolan grup tersebut, sebuah foto pria terpampang sangat tampan dan itu Zico.
“Wah ...,” refleks Kirana seiring jantungnya yang menjadi berdetak lebih kencang. Dengan refleks, jempol tangan kanannya yang jadi gemetaran, justru memberi 👍 ke foto Zico.
Di tempat berbeda dan itu di dalam kamarnya, Zico yang sedang gabut parah langsung terusik atas notifikasi like dari kontak baru.
“Siapa, ya? Soalnya dari tadi, aku nyari-nyari Kirana enggak ketemu. Padahal harusnya ada. Namun dari semua kontak maupun foto profil, enggak ada yang Kirana,” pikir Zico yang langsung mengeklik nomor ponsel Kirana. Nomor ponsel yang turut memberi fotonya like, setelah sebelumnya sempat ramai tanggapan jempol juga.
Foto profilnya sepasang boneka tedy bear putih ... jangan-jangan ini Kirana.”
Baik Zico maupun Kirana mendadak deg-degan parah. Zico sengaja menge—chat nomor Kirana.
Zico : Hai ....
Kirana yang masih memandangi foto Zico dan sampai memenuhi layarnya, langsung terusik bahkan deg-degan.
“Hah ...? Si Zico ngechat aku?” batin Kirana yang kemudian refleks menoleh ke suaminya. Di belakangnya, Yusuf masih lelap bahkan sangat lelap.
+628~❤️ : Haii
Zico : Kirana, ya?
+628~❤️ : Iya, ... siapa, ya?
Padahal, belum apa-apa Kirana sudah senyum-senyum sendiri. Sementara di kamar, Zico juga langsung kegirangan. Zico sampai guling-guling dan berakhir jatuh ke lantai.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!