NovelToon NovelToon

DEWI ULAR

BAB. 1. BAYI YANG TERBUANG.

Owe.....owe...Terdengar tangisan bayi diantara tumpukan sampah yang berbau di penuhi rerumputan liar diujung jalan pinggir sungai besar.

Dinginnya malam dan hembusan angin di sertai gerimis membuat tangisan bayi itu semakin pilu terdengar. Kain putih yang membungkus tubuh si kecil basah oleh rintik air hujan yang turun dari atas langit.

Seekor tikus besar dan beberapa belatung kecil menempel pada kain yang pembungkus tubuhnya.

Miris memang miris kondisinya, bertahan melawan maut di tengah dinginnya malam yang kelam serta aroma busuk yang berasal dari limbah sampah.

Entah siapa yang membuang bayi mungil tak berdosa di tempat jorok dan menakutkan seperti itu.

Di tempat yang sama, terlihat seorang perempuan muda memakai daster berdiri di tengah jembatan menatap kebawa aliran sungai.

Kedua tangannya berpegangan pada besi jembatan. Air matanya jatuh tak kunjung putus.

Pelan-pelan sekali kaki kanannya terangkat, naik di salah satu besi jembatan.

"Tuhan, ampunkan hamba mu."

teriaknya menggema.

Owe.......

Belum lagi perempuan itu melompat, suara tangisan bayi terdengar lagi dan hanya sesaat itupun samar-samar di telinganya.

Perempuan itu memandang ke segala penjuru, menurunkan sebelah kakinya dari besi jembatan lalu mencari asal suara itu.

"Mungkin hanya halusinasi ku saja."

Perempuan muda itu kembali menaikan kakinya di atas besi jembatan dan mencoba melompat untuk yang kedua kalinya.

Owe.......Owe.....Owe.. Suara itu makin keras dan agak lama dari yang pertama.

"Ini benar-benar nyata. Ini bukan halusinasi."

Perempuan itu bertekad mencari ke segala penjuru hingga berhenti di tumpakan sampah yang berbau busuk.

Bunyi gresek dan daun kering terdengar jelas di telinganya seperti langkah kaki di balik tumpukan sampah-sampah itu.

Dengan mengumpulkan segala keberanian perempuan itu mendekat dan tiba-tiba seekor kucing melompat.

"Astaga"

Di usap dadanya saking kagetnya.

Dari kejauhan perempuan itu melihat bungkusan kain bergerak. Secepat mungkin dia mendekati bungkusan.

"Bayi? siapa yang tega membuangnya disini?"

Perempuan itu memandang sekeliling memastikan apa ada orang di sana selain dirinya, gelap gulita, hanya ada beberapa ekor kucing liar yang sedang mengais sampah mencari sisa-sisa makanan.

Perempuan itu mengangkat tubuh bayi karna kasihan, membersihkannya dari sisa sampah serta belatung yang menempel pada kain pembungkus.

"Wulan, rawat bayi itu baik-baik dan beri nama Dewi yang artinya perempuan pemilik kekuatan adikodrati, kelak dia akan banyak membantumu menghadapi orang-orang yang selama ini menyakitimu."

Terdengar suara seorang perempuan tua tapi tak berwujud, hanya segumpal asap putih melayang di udara.

Wulan tersentak, hampir saja bayi yang ada dalam gendongannya terlepas.

"Darimana kamu tahu namaku, dan siapa bayi ini sebenarnya?"

"Dimana aku mengetahui namamu itu tidak penting. Bayi itu titisan putri ular yang bereinkarnasi ke bumi, tapi sayang kedua orang tuanya tidak menginginkan kehadirannya. Waktuku tidak banyak, sekarang pulanglah."

Wulan berniat mencegah perempuan misterius itu untuk pergi, tapi terlambat, asap tebal sudah lenyap bersama hembusan angin.

Setelah asap itu menghilang, angin yang tadinya tenang tiba-tiba berubah menjadi badai. Sampah plastik dan dedaunan kering berterbangan tertiup angin di susul kilat menyambar di tengah malam buta.

Tidak lama kemudian turun hujan. Wulan bergegas pergi sambil menggendong bayi yang sudah tidur nyenyak dalam dekapannya.

Hujan semakin lebat mengguyur, seolah tak letih, Wulan terus berjalan hingga tiba disebuah rumah tua tak berpenghuni.

Rumah milik neneknya yang sudah lama mereka tinggalkan. Terbengkalai dan tak terurus.

Dibukanya pintu pagar dengan sebelah tangannya lalu di tutup kembali.

"Untuk sementara kita tinggal disini. Besok baru kita pulang ke rumah."

Wulan mengambil kunci dibawa pot bunga, kunci yang terbuat dari besi tampaknya sudah mulai berkarat terkena air dan juga sudah lama tidak terpakai.

Wulan membuka pintu rumah, gelap gulita di dalam sana. Dengan hanya menggunakan insting, Wulan melangkah masuk dan berhenti di sebuah kamar kecil.

Tangannya meraba-raba meja mencari gagang laci, menarik lalu mengeluarkan sebuah benda kecil berupa korok api dari dalam sana.

"Semoga saja ini masih bisa di gunakan."

Di pantiknya korek api itu. Pelita menyala dan menerangi seisi ruangan.

Terlihat jelas debu menempel pada lantai dan juga perabot yang ada di dalam ruangan. Sarang laba-laba bergelantungan diatas plafon membuat suasana kamar terlihat menyeramkan.

Dengan satu tangan, Wulan membersihkan kasur dengan sapu lidi. Setelah dirasa cukup, diletakkan bayi Dewi diatas pembaringan.

Di tatapnya bayi itu lekat hingga air matanya kembali berlinang.

Ingatannya terngiang di masa-masa sulitnya bersama suaminya.

Bertahan dengan perlakuan kasar dari suami dan mertua hanya demi sebuah amanah dari kedua orang tuanya' Jadi istri yang patuh'

"Besok, jika rahimmu belum juga terisi janinku maka aku akan menceraikan mu dan menikah dengan wanita pilihan orang tuaku."

Suara suami Wulan dengan lantang di dalam kamar. Hampir tiap hari pria itu membentak Wulan dan tidak segan-segan melakukan kekerasan fisik pada perempuan yang sudah menemaninya selama 5 tahun.

Bak disambar petir, Wulan yang sedang melipat pakaian hanya bisa menangis mendengarkan perkataan Bayu.

Segala upaya sudah dia lakukan demi mempertahankan rumah tangganya, tapi apa daya takdir berkata lain dia harus pasrah menerima keputusan Bayu, memilih perempuan lain sebagai penggantinya.

Bruk...............

Bayu keluar dari dalam kamar dengan menghempaskan pintu sekeras mungkin.

Tidak lama kemudian suara mobil meninggalkan rumah.

Wulan berdiri dengan nafas sesak, jantungnya bak dirajam dengan palu. Dengan sekuat tenaga Wulan melangkah keluar rumah, berjalan tanpa arah hingga bertekad menghabisi nyawanya di sebuah jembatan di pinggiran kota.

Untung saja takdir berkata lain, sosok bayi mungil menghentikan niat terkutuknya itu.

"Mungkin dengan adanya Dewi, mas Bayu tidak akan menceraikan ku. Selama ini dia sangat menginginkan seorang bayi dalam rumah tangga kami."

Wulan membelai lembut wajah Dewi yang sudah tertidur pulas. Dengan pelan sekali dibukanya kain yang menutupi tubuh bayi itu.

Sebuah kalung liontin berbentuk bulan dengan gambar ular di tengahnya.

Terpancar cahaya dari tubuh Dewi sehingga membuat seisi ruangan terang- benderang.

"Apa ini?"

Dengan kedua telapak tangannya, Wulan menghalau cahaya, dari sela jari-jemarinya Wulan mengintip.

Kedua matanya melotot tak percaya melihat sisik ular emas bercampur hitam pada tubuh mungil Dewi. Sisik yang belum sempurna betul bentuknya.

Sisik itu melilit mulai dari leher sampai bagian perut sang bayi itu.

Sedikit demi sedikit cahaya itu meredup dan hilang.

"Bayi ini benar-benar ajaib. Apa karena sisik ular itu hingga orang membuangnya?"

Wulan kembali menutupi tubuh mungil Dewi.

Diciumnya kening bayi menggemaskan itu hingga beberapa kali lalu membaringkan tubuhnya di samping sang bayi.

BAB. 2. BIKSU TONG.

Di sebuah biara diatas gunung yang jauh dari pemukiman penduduk. Seorang biksu tua bernama biksu Tong sedang bersemedi di ruangan khusus.

Entah sudah berapa lama biksu tua duduk menyendiri di dalam ruang gelap gulita.

Tujuannya satu, mendapat keabadian dengan munculnya mustika ular yang bisa membawa keabadian.

Ada sedikit cahaya yang masuk melalu ventilasi tepat di depan ia duduk sebagai pertanda kalau hari sudah siang.

Mulutnya tak henti komat-kamit membaca mantra sambil memutar juzu di tangan kanannya.

Tiba-tiba sebuah cahaya kuning keemasan berkelebat mengelilingi tubuhnya, mengangkat kemudian menghempaskan lalu pergi begitu saja melalui lobang ventilasi.

Dadanya sesak, biksu tua itu berdiri mengejar cahaya kearah ventilasi. Menengadahkan ke langit, bentuk bulan sempurna dengan cahaya kuning terang benderang.

Fenomena seperti ini jarang, hanya sekali dalam satu abad, itupun jika ada peristiwa alam yang akan terjadi.

Wajah keriput, tubuh kurus kerempeng seketika menjadi tegap dan perkasa hanya terkena sinar bulan.

"Mustika itu akhirnya muncul juga. Keabadian sebentar lagi menjadi milikku."

Diusap seluruh tubuhnya untuk mengembalikan energi yang hilang selama dalam pertapaannya.

Sang biksu keluar dari dalam ruangan, kondisi biara sudah sangat berbeda sebelum dia mengasingkan diri.

Beberapa biksu memandang anah padanya, apalagi biksu yang baru beberapa tahun tinggal di sana.

"Guru, maaf kalau sambutan kami kurang berkenan."

Seorang biksu paruh baya berlari mendekat, memberi kode pada teman-temanya.

Semua biksu berkumpul lalu bersujud mengikuti biksu paruh baya itu di hadapan biksu Tong.

Dengan kedua tangannya, biksu Tong menyuruh mereka berdiri.

"Biksu Sudarta, lakukan pemujaan sekarang sebelum fajar menyingsing. Aku akan menangkap ular emas itu lalu mengambil pusakanya."

Dengan arahan dari biksu Sudarta, para biksu mulai menyiapkan semua peralatan pemujaan.

Tungku raksasa di isi dengan air, bunga melati lalu dibakar menggunakan kayu di tengah-tengah lapangan. Api menyala membumbung tinggi di udara. Aroma bunga melati menusuk hidung seiring keluarnya gelembung air dalam tungku.

Biksu Tong berdiri menghadap tungku, bibirnya komat-kamit membaca mantra.

Cahaya merah keluar dari dalam tungku membentuk bola-bola kecil berputar lalu bersatu membentuk lingkaran.

Tubuh biksu Tong melayang mengelilingi api. Para biksu segera bersujud memberi menyembah.

"Mustika keabadian sudah turun ke bumi dan sebentar lagi akan jadi milikku."

Tubuh biksu Tong semakin cepat berputar mengelilingi api menyatu dengan cahaya merah, cahayanya begitu terang menyinari tempat itu.

Para biksu terkesima, pandangan mereka disilaukan oleh cahaya yang keluar dari tubuh biksu Tong.

Dari atas langit berkelebat sinar emas berbentuk seekor ular menyerang biksu Tong.

Pertempuran tidak bisa dielakkan. Keduanya saling serang satu sama lain.

Para biksu berhamburan mencari perlindungan, takutnya serangan meleset dari kedua cahaya yang sedang bertarung mengenai mereka.

Aaa......

Ular emas menyemburkan api dari mulutnya, dengan cepat cahaya biksu Tong menangkis semburan api itu, bertahan dengan kekuatan yang ada.

"Kekuatannya terlalu kuat, aku tak sanggup menahanya."

Biksu Tong terdesak mundur.

sebuah ledakan dashyat terjadi di udara, biksu Tong terlempar dan jatuh ke tanah.

Sambil memegang dadanya biksu Tong mencoba berdiri.

"Guru......"

Biksu Sudarta datang membantu biksu tong berdiri.

"Sungguh tidak disangka kalau kekuatannya ular emas bisa sekuat itu. Tambah api lebih besar lagi dan tuangkan bunga ke dalam tungku sebanyak mungkin agar aromanya semakin semerbak. Aku akan mengalihkan konsentrasi ular itu agar tidak pergi sebelum fajar menyingsing."

Biksu Sudarta mengangguk paham lalu memerintah sebagian biksu mengambil kayu bakar dari gudang penyimpanan dan sebagainya lagi disuruh memasukan bunga kedalam tungku.

Mereka bekerja cukup cepat, hanya sebentar saja api sudah membesar dengan aroma bunga dan kemenyan tercium tajam.

Aaaa.......

Kembali semburan api keluar dari mulut ular emas tapi kini lebih sedikit dari yang pertama.

Biksu Tong maju, tangan diletakkan di depan dada. Kedua matanya terpejam dengan mulut komat-komat kamit membaca Matra.

Tubuh biksu Tong melesat ke udara lalu berubah menjadi cahaya berwarna merah menyala seperti api, berputar mengelilingi ular emas.

Dari dalam tungku keluar bola-bola kecil berwarna merah seperti tadi, tapi kini jumlahnya semakin banyak. Bola-bola kecil dengan cahaya merah mendekat biksu Tong lalu bergabung membentuk bola besar dan mengeluarkan cahaya yang luar biasa.

Cahaya itu ikut mengelilingi ular emas mengikuti biksu Tong. Makin lama kedua cahaya itu makin mempercepat putar dan membungkus ular emas dalam bola api.

Aaa.....

Ular emas menyemburkan api, semburannya memantul mengenai dirinya sendiri.

Ular emas semakin mengamuk, di semburkan api ke segala penjuru tapi tetap saja senjata makan tuan, semburan apinya mengenai dirinya sendiri.

Cahaya dari ufuk timur mulai terlihat, kesempatan baik itu tidak disia-siakan oleh biksu Tong dan biksu Sudarta.

Biksu mengerahkan seluruh kemampuannya walau dia tahu kalau itu membahayakan jiwanya. sedangkan biksu Sudarta memerintahkan biksu lain untuk menambah kayu bakar agar nyala api semakin berkobar dan aroma bunga semakin keluar.

Inti dari kekuatan biksu Tong ada pada kedua elemen itu. Api dan aroma yang berasal dari tungku.

Lama kelamaan kekuatan ular emas semakin melemah. Api yang keluar dari mulutnya mengecil dan tak bertenaga.

"Kenna kau sekarang."

Biksu Tong berubah jadi manusia lalu menarik ekor sang ular dan memutarnya. Makin lama putaran biksu Tong makin cepat dan kuat, melempar sang ular ke arah tiang biara.

Tiang biara patah, reruntuhan atap terbuat dari genteng menimpa tubuh sang ular.

Ular emas tersungkur tak berdaya, tenaganya hilang seketika. Sedikit demi sedikit tubuhnya mulai menghilang seperti gumpalan asap akibat terkena sinar matahari pagi.

Mulai dari ekor merambat naik ke bagian perut.

Menyadari hal itu biksu Tong datang dengan membawa guci berwarna kuning keemasan.

Kembali mulut biksu Tong komat-kamit membaca matra lalu membuka penutup guci. Asap yang menguap dari tubuh ular emas berubah haluan masuk kedalam guci.

Makin banyak sinar matahari menerpa tubuh si ular emas maka makin cepat proses penguapan hingga habis tak tersisa sedikit pun.

Biksu Tong menutup kembali guci emasnya. Tampak kegembiraan di wajah biksu tua itu.

"Akhirnya, aku akan abadi, tidak ada lagi yang sanggup melawanku. Ha..ha....ha...."

Di usapnya guci itu dengan harapan asap dalam guci berubah menjadi mustika.

Di goyang-goyangkan tapi hasilnya masih sama, kosong melompong.

Dengan cepat biksu Tong membuka penutup guci. Kedua matanya melotot. Mustika yang diharapkan dari ular emas itu ternyata tidak ada sama sekali.

"Kurang ajar. Dimana siluman ular itu menyimpan mustikanya."

Biksu Tong begitu marah, di memasukannya guci kelantai. Harapannya untuk hidup abadi pupus sudah.

BAB.3. KEDOK TOMMY DAN RITA.

Pagi menyingsing, Kokok ayam saling bersautan menyambut datangnya pagi.

Tiupan angin sepoi menerbangkan dedaunan kering yang jatuh semalam.

Jam masih menunjukkan pukul lima pagi, biasanya penduduk kota masih terlelap dalam tidur panjang mereka di jam-jam seperti itu, tapi beda cerita di kediaman Rudy Anggoro, Pemilik perusahaan 'ANGGORO grup'. Perusahaan besar yang bergerak di berbagai bidang mulai property, pusat perbelanjaan dan juga bisnis ilegal.

Kesibukan sudah terlihat pada pukul empat dini hari di rumah mewah tersebut.

Para pelayan sibuk membersihkan rumah. Ada yang menyapu, mengepal, melap kaca dan juga menata meja serta aksesoris dalam ruangan aula.

Di bagian dapur juga sama adanya, para koki sibuk memasak, membuat kue dan berbagai jenis minuman.

Acara besar akan segera di gelar di rumah megah itu. Menyambut kelahiran anak pertama Rudy Anggoro dan Rani sulistiawati setelah penungguan selama empat tahun lamanya.

Karangan bungan menghias di depan pagar dengan ucapan selamat atas lahirnya Bintang Rudy Anggoro, nama yang disematkan pada putri merek.

Di dalam kamar tampak pertemuan keluarga sedang berlangsung, ada lima orang duduk saling berhadapan.

Anggoro (Ayah Rudy)

Rita (Ibu Rudy)

Tommy (Paman Rudy)

Rini (Istri Rudy) dan

Rudy.

"Dimana paman membuang putriku?"

Rini menatap kearah Tommy sambil menangis tersedu. Memaksakan diri duduk setelah melahirkan hanya untuk mendengarkan penjelasan dari Tommy.

Tommy terdiam, pria itu tidak berani menjawab. Dia ikut andil dalam pembuangan bayi Rini. Dengan bujukannya, Tommy mempengaruhi anggoro, Rita dan Rudy untuk membuang salah satu bayi kembar Rini.

Brak..........

Rudy berdiri sambil menghantam meja. Kedua tangannya gemetar menahan amarah.

"Aku sudah bilang, aku tidak menginginkan bayi itu tinggal di rumah ini. Kalau kamu mau mencarinya silahkan, tapi jangan harap kamu bisa kembali lagi ke rumah ini."

Sudah tidak kaget dengan apa yang didengarnya, hampir setiap hari caci makian bahkan tak sedikit Rudy ringan tangan Rini.

Rudy menikah dengan Rini karena balas jasa, ayah Rini sakit parah dan di tolong oleh nenek Sulastri. Sebagai imbalan Rini harus menikah dengan Rudy. Ayah Rini setuju, tapi dengan satu syarat sebagian harta keluarga Sulastri akan jadi milik Rini jika suatu saat Rudy menggugat cerai Rini. Kesepakatan itu di setujui langsung oleh nenek Sulastri.

Nenek Sulastri sangat yakin kalau Rini bisa menjadi istri yang baik buat Rudy.

makanya Rudy tidak berani menceraikan Rini karena perjanjian itu.

Anggoro diam sedangkan Rita tersenyum, perempuan paruh baya yang memang sejak awal tidak suka dengan Rini.

Mereka sudah merencanakan membuang bayi tak berdosa itu tanpa sepengetahuan Rini. Menurut mereka, bayi yang cacat aib bagi keluarga.

"Tapi itu darah daging kamu mas...."

Belum juga Rini menyelesaikan ucapannya Rita sudah berdiri sambil menunjuk Rini.

"Itu darah dagingmu, bukan darah daging kami. Keluarga kami tidak ada yang cacat. Kamu itu perempuan yang tidak tahu di untung, andai tua bangka itu tidak menjodohkan mu dengan Rudy kamu tidak akan bisa hidup mewah sekarang ini. Chiii...."

Bentak Rita, wajahnya yang putih seketika memerah. Bukan cuma memaki Rita juga meludah kelantai Saking jijiknya melihat anak mantunya.

Suasana seketika hening hingga seseorang mengetuk pintu.

Seorang pelayan datang menghampiri mereka.

"Tuan dan nyonya, semua persiapan acara sudah selesai dan tamu juga mulai berdatangan."

"Sekarang kamu kembali, lakukan penyambutan sebaik mungkin untuk para tamu." Perintah Rita pada sang pelayan.

Pria itu mengangguk lalu meninggalkan mereka.

Setelah kepergian pelayan itu, Rudy mengambil kursi roda dan memaksa Rini untuk duduk.

Rudy mendorong kursi roda Rini sedangkan Rita mendorong keranjang bayi. Kelimanya menuju kearah aula dimana pesta akan segera dimulai.

Para bangsawan, staf pemerintahan dan juga wartawan sudah berkumpul dalam satu ruangan, acara yang di gelar keluarga Anggoro.

Rudy memegang pundak Rini, memaksanya untuk tersenyum di depan banyak orang.

Perempuan itu bak boneka mereka, mengikuti setiap keinginan Rudy dan keluarganya.

Melihat kedatangan Rudy dan keluarganya, para tamu yang sedang berbincang mengalihkan pandangan.

Rudy menyampaikan sepatah dua kata sebagai sambutan sekaligus memperkenalkan nama putrinya pada orang-orang.

Beberapa wartawan mengambil gambar putri mereka. Satu-persatu tamu undangan memberi selamat pada Rudy dan keluarganya.

Acara berlangsung sangat meriah, lantunan musik terdengar dalam ruangan.

Para tamu undangan di persilahkan menyicipi hidangan diatas meja.

Di tengah meriahnya pesta, Rita memberi kode pada Tommy. Tommy mengangguk pelan lalu berjalan menuju kearah toilet. Tommy menengok ke kiri dan ke kanan, setelah dianggap aman dia masuk ke dalam kamar kecil.

Tidak lama kemudian muncul Rita dan langsung menutup pintu rapat-rapat.

"Dimana kamu membuang bayi itu?"

Tommy tak menjawab, kedua tangannya malah berkeliaran ditubuh Rita. Mencium bagian tubuh yang sensitif.

Perempuan paruh baya itu mendesah sambil menggigit ujung bibirnya.

"Hentikan Tommy, bagaimana kalau ada yang melihat."

Benar kata Rita, didepan pintu sudah ada Rini bersama seorang pelayan berdiri di belakang kursi roda.

Rini sungguh tak percaya kalau Tommy tega mengkhianati kakak tirinya. Berselingkuh dengan perempuan yang selama ini di panggil kakak ipar.

Rita mendorong tubuh Tommy tapi sayang tenaganya tak sekuat itu.

Tak hanya sampai disitu saja Tommy sudah mulai mengangkat baju Rita sebatas perut.

"Hentikan Tommy hentikan! ini tempat umum jangan sampai Anggoro menangkap basah kita disini."

Mulut Rita menolak tapi lain dengan tubuhnya. Sesekali dia mendesah panjang tatkala Tommy terus saja menggencarkan aksinya.

Keringat dingin mulai keluar dari tubuh Rita, melihat mangsanya sudah tak berdaya, Tommy buru-buru membuka baju, tapi sayang sebelum semua kain lepas dari tubuhnya sudah terdengar suara Rudy dari luar dan berhenti tepat di depan pintu.

"Apa yang kalian lakukan disini?"

Tommy dan Rita buru-buru mengenakan pakaian serta merapikan rambut. Rasa deg-degan, takut bercampur jadi satu.

"Kenapa hanya diam. Cepat kembali, orang-orang sedari tadi menanyakan mu."

"Bi Sri, tolong." pintah Rini.

Pelayan yang sedari tadi berdiri di belakang kursi roda Rini mengangguk lalu memutar balik haluan.

Setelah kerasa aman Rita mengintip di balik pintu.

"Hampir saja kita ketahuan. Apa tadi Rini mendengar pembicaraan kita?" ucap Tommy.

"Tidak mungkin, biarpun dia tahu dia tidak bakal berani bicara pada Rudy apalagi Anggoro."

"Makanya lain kali jangan teledor. Ayo kembali ke aula jangan sampai mereka curiga."

Keduanya segera keluar dan kembali bergabung dengan yang lain.

Pesta berjalan cukup meriah hingga sampai larut malam.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!