**Rumah Sakit, Malam Hari**
Di sudut ruang rawat intensif, Karlina duduk dengan wajah letih di samping ranjang ibunya yang terbaring tak berdaya. Matanya yang memerah dari kurang tidur mencerminkan kesedihan yang mendalam. Tangannya menggenggam erat tangan ibunya yang dingin, mencoba memancarkan kekuatan yang tak tersisa.
"Maafkan aku, Ma," bisik Karlina dengan suara serak penuh penyesalan. Ia mengambil novel dari meja di sampingnya. Novel itu bercerita tentang Alia (Lia) Naren, seorang remaja SMA yang hidupnya dipenuhi dengan cinta dan konflik. Cerita itu seolah menjadi cermin bagi kehidupan Karlina sendiri—sederhana namun penuh dengan tantangan yang rumit di baliknya.
Karlina mencoba menemukan pelarian dari kenyataan yang menyakitkan melalui halaman-halaman novel tersebut. Namun, takdir mempunyai rencana lain. Saat ia hendak meninggalkan rumah sakit, sebuah kecelakaan tragis mengubah segalanya. Tubuhnya terhempas ke dalam kegelapan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
---
**Kediaman Keluarga Naren**
Bulan Cahaya dan Alfa Sanders duduk di samping ranjang putri mereka, Alia (Lia), yang masih terbaring tak sadarkan diri. Ruangan itu terasa dingin, meskipun penuh dengan kecemasan. Alfa mengusap tangan Lia dengan lembut, matanya penuh dengan ketakutan yang tidak terucapkan.
"Sudah lebih dari dua minggu, Bulan," bisik Alfa dengan suara penuh keprihatinan. "Kapan Lia akan bangun?"
Bulan menahan air mata, bibirnya bergetar. "Aku tidak tahu, Alfa. Dokter bilang kondisinya kritis. Kita hanya bisa berdoa."
Detik berikutnya, monitor jantung di samping ranjang Lia berbunyi keras. Bulan dan Alfa saling pandang dengan panik sebelum berlari mendekati putri mereka.
"Lia! Lia, sayang," seru Bulan sambil meraih tangan putrinya dengan penuh kasih. "Bangun, Nak. Mama dan Papa di sini."
Namun, mata Lia tetap tertutup rapat, tubuhnya tak bergerak. Karlina, yang kini berada di dunia lain, merasa terhanyut dalam kehampaan yang dalam. Dalam kegelapan itu, ia melihat sosok Lia yang terbaring lemah.
"Mengapa aku harus menggantikan hidupmu?" desis Karlina, suaranya gemetar oleh ketidakpastian.
Dalam keheningan pikirannya, suara halus Lia muncul, "Ini adalah takdir, Lina. Tolong jalani hidupku. Aku mohon."
Karlina merasa hatinya hancur, tetapi tekad mulai tumbuh di dalam dirinya. "Baiklah, Lia. Aku akan melakukannya."
Saat mereka bertukar jiwa, monitor jantung Lia tiba-tiba berdetak kencang. Ruangan menjadi gempar dengan kehadiran perawat dan dokter yang bergegas masuk. Alfa dan Bulan terpaku, menyaksikan keajaiban terjadi di depan mata mereka.
"Lia?" Alfa bertanya dengan suara penuh harapan. Namun, ketika Lia membuka matanya, pandangan yang kembali tidak sepenuhnya miliknya. Ada kebingungan yang mencerminkan jiwa Karlina di dalam tubuh Lia.
"Siapa kalian? Di mana aku?" tanya Karlina dengan nada penuh kebingungan, merasa asing dalam tubuh yang bukan miliknya.
Dokter mencoba menjelaskan bahwa Lia mungkin mengalami amnesia sementara akibat trauma. Bulan dan Alfa hanya bisa menatap putri mereka—yang kini dihuni oleh jiwa Karlina—dengan perasaan antara lega dan khawatir.
---
**Hari Pertama sebagai Lia**
Pagi berikutnya, Karlina, yang kini hidup sebagai Lia, menatap pantulan wajah baru di cermin kamar. Wajah cantik Lia menatap kembali padanya dengan tatapan kosong. "Ini bukan aku," gumam Karlina, merasa terjebak dalam realitas yang tidak pernah dia bayangkan.
Di sekolah, Vera Nadir, sahabat Lia yang setia, mengamati perubahan dalam diri temannya dengan penuh keheranan. "Kamu terlihat berbeda, Lia," ujarnya sambil menyisir rambut panjangnya yang hitam. "Lebih... percaya diri."
Karlina, yang merasa asing dengan semua ini, hanya bisa tersenyum tipis. "Mungkin hanya perasaanmu saja, Vera."
Vera mengangguk mengerti, merangkul Karlina dengan penuh sayang. "Apa pun itu, aku senang kamu kembali."
Namun, kehidupan sekolah tidak sepenuhnya ramah. Dora Mira, gadis sombong yang menyukai Langit Alexa, memperhatikan perubahan dalam diri Lia dengan kecemburuan yang dalam. Bersama dengan Dela Sana dan Devi Jingga, sahabat-sahabatnya, Dora sering kali membuat masalah bagi Lia.
"Dia pikir dia bisa mengubah semuanya sekarang," celetuk Dora dengan nada sinis ketika melihat Lia dari kejauhan. "Tapi aku tidak akan membiarkannya begitu saja."
Di antara teman-temannya, Karlina yang kini hidup sebagai Lia berusaha menavigasi dunia baru ini dengan hati-hati. Dia tahu bahwa ini adalah kesempatan untuk memperbaiki hidup Lia, tetapi setiap langkah terasa seperti berjalan di atas tali yang rapuh.
---
Pertemuan Tak Terduga
**Di Rumah**
Hubungan Karlina yang kini sebagai Lia dengan Bulan dan Alfa semakin dalam. Mereka mencoba mengisi kekosongan yang dulu ditinggalkan oleh Lia, dan Karlina merasa terharu oleh kasih sayang mereka.
Pada suatu malam, ketika Karlina duduk sendirian di kamarnya, ponselnya berbunyi. Nama Langit tertera di layar, membuat jantungnya berdegup kencang.
"Hey Lia, bisa kita bertemu?" tanya Langit dengan suara lembut.
Karlina menelan ludah, mencoba menenangkan dirinya sendiri. "Sure, di mana?"
Langit memberi lokasi, dan Karlina merasa campur aduk antara gugup dan bersemangat. Ini adalah langkah pertama untuk memahami lebih banyak tentang hidup baru yang harus dia jalani.
---
**Di Luar Rumah**
Langit dan Lia bertemu di sebuah taman yang sunyi, dikelilingi oleh pepohonan yang menyelimuti mereka dalam cahaya bulan. Langit melihat Lia dengan pandangan penuh penyesalan, menyadari bahwa pertemuan ini adalah saat yang tepat untuk mengungkapkan keputusannya.
"Lia," panggil Langit dengan suara rendah, tetapi penuh dengan ketegasan. "Aku pikir kita harus bicara."
Lia menatap Langit dengan ekspresi campuran antara kebingungan dan sedih. "Yeah, aku mengerti."
Langit menghela napas, mencoba menemukan kata-kata yang tepat. "Ini bukan tentang kamu, tapi tentang aku. Aku tidak bisa melihat masa depan kita bersama jika kita terus begini."
Lia mengangguk, meskipun hatinya sakit. "Aku juga merasa begitu. Aku rasa kita tidak sejalan, ya?"
Langit menatap Lia dengan tatapan penuh rasa. "Kamu tahu aku selalu menghargai mu, Lia. Aku harap kamu bisa bahagia."
Lia tersenyum tipis, meskipun air matanya hampir tumpah. "Thank you, Langit. Aku juga berharap yang terbaik untukmu."
Pertemuan itu berakhir dengan pelukan singkat, sebelum keduanya berpisah dengan hati yang berat. Namun, di dalam hati Lia, ada rasa lega yang aneh. Meskipun putus, ini memberinya kesempatan untuk menemukan dirinya yang baru.
---
**Perubahan yang Semakin Tampak**
Beberapa hari setelah putus dengan Langit, Vera mengajak Lia ke salon untuk merayakan pembebasannya dari kacamata dan transformasi dirinya. Lia yang sekarang lebih percaya diri dengan penampilannya yang baru, mengangguk setuju dengan senyum gembira.
"Kamu benar-benar cantik, Lia," puji Vera sambil menatap temannya dengan bangga. "Aku bahkan hampir tidak mengenali kamu!"
Lia tertawa ringan, merasa bahagia melihat perubahan yang ia alami. "Aku juga merasa lebih percaya diri tanpa kacamata. Terima kasih telah selalu mendukungku, Vera."
Perubahan ini tidak hanya terlihat dari luar, tetapi juga dari dalam diri Lia. Ia mulai menemukan keberanian untuk menghadapi tantangan baru dan menjalani kehidupan yang sudah ditakdirkan untuknya.
---
Pertemuan dengan Langit ternyata lebih rumit dari pada yang dia bayangkan. Langit Alexa, yang tampan dan cerdas, memiliki niat yang tersembunyi, dan Karlina harus memutuskan bagaimana cara menghadapi situasi ini. Di sisi lain, Levi Nata Samudra, CEO yang dingin dan misterius, mulai menaruh perhatian pada perubahan dalam diri Lia. Pertemuan tak terduga ini membawa Karlina ke dalam dunia yang lebih berbahaya daripada yang pernah dia bayangkan sebelumnya.
Di tengah-tengah kerumitan ini, Karlina yang kini hidup sebagai Lia harus memilih jalan hidupnya sendiri, menghadapi tantangan baru, dan mencari cara untuk menjalani kehidupan yang telah ditakdirkan untuknya.
---
Bersambung_-
**Pagi yang Berbeda**
Karlina, yang kini menempati tubuh Alia, menatap bayangannya di cermin dengan rasa takjub. Rambut hitam panjang yang berkilau dan mata cokelat besar yang memancarkan keraguan menyambutnya dari cermin. Seragam SMA Bhakti Nusa terpasang rapi, tetapi setiap detail tubuh Alia terasa aneh dan tidak familiar.
“Wow, kamu cantik banget, Lia. Pasti banyak yang ngiri sama kamu,” gumamnya sambil tersenyum sedikit ragu. "Semangat, ya. Kamu bisa."
Pikirannya melayang ke kehidupan lamanya, tapi dia tahu sekarang dia harus fokus pada kehidupan barunya sebagai Alia. Dia mengambil napas panjang, mencoba menenangkan debaran jantungnya.
“Ini cuma awal hari baru, gak perlu panik. Kamu bisa hadapin semuanya,” bisiknya lagi, mencoba meyakinkan diri.
---
**Sarapan Bersama Keluarga**
Karlina menuruni tangga dengan langkah mantap, mencium aroma roti panggang dan kopi. Di meja makan, Alfa duduk dengan koran terlipat di tangan, sementara Bulan sibuk menyiapkan sarapan.
“Pagi, Lia,” sapa Alfa tanpa mengalihkan pandangannya dari koran. “Siap sekolah?”
Karlina tersenyum lebar. “Pagi, Ayah. Siap, dong. Gak ada alasan buat gak siap.”
Bulan berbalik dari dapur dengan jus jeruk di tangan, tersenyum lembut. “Ujian matematika hari ini, ya? Semoga lancar. Kamu pasti bisa, kok.”
Karlina menerima jus jeruk dari Bulan. “Makasih, Bu. Doain aja gak zonk.”
Alfa melirik dari balik korannya. “Zonk? Bahasa apa itu?”
Karlina tertawa kecil. “Ya, semoga gak gagal lah, Ayah.”
Bulan ikut tertawa. “Anak zaman sekarang memang punya bahasa sendiri, ya?”
Alfa mengangguk sambil melipat korannya. “Iya, kita harus ikutin perkembangan.”
---
**Di Sekolah**
Di sekolah, perubahan sikap Karlina dalam tubuh Alia langsung terlihat. Dengan langkah lebih percaya diri, dia memasuki kantin. Vera, sahabat Lia, segera melambaikan tangan dengan semangat.
“Hei, Lia! Kamu keliatan beda deh hari ini. Ada yang baru?” seru Vera sambil menariknya ke meja tempat biasa mereka duduk.
Karlina tertawa kecil, merasa agak canggung tapi berusaha tetap santai. “Gak tau ya, mungkin lagi dapet pencerahan hidup kali.”
Vera menatapnya dengan mata berkilau. “Apa pun itu, kamu kelihatan lebih pede. Keren banget.”
“Thanks, Ve. Lagi pengen jadi versi terbaik dari diri sendiri aja,” balas Karlina, menikmati interaksi yang hangat ini.
Di sudut kantin, Dora dan gengnya, Dela dan Devi, memperhatikan dengan tatapan dingin. Dora menyipitkan matanya, rambutnya yang selalu sempurna berayun saat dia memutar-mutar sedotan di gelasnya.
“Liat deh, si Lia sok berubah. Emang dia pikir dia siapa?” gumam Dora sinis, nada suaranya penuh sindiran.
Karlina, merasakan tatapan Dora, menatap balik dengan tenang. “Terserah deh kalian mau ngomong apa. Yang penting aku pengen jadi diri sendiri.”
Dora tertegun mendengar jawaban tegas Lia, tapi dia berusaha menjaga wajah tetap dingin. “Oke, kita lihat aja seberapa lama kamu bisa bertahan.”
---
**Pertemuan dengan Levi**
Hari-hari Karlina dalam tubuh Lia makin menantang, terutama dengan sikap Dora dan gengnya. Tapi tak disangka, dia menemukan dukungan dari Levi Nata Samudra, pemuda misterius yang baru saja pindah ke sekolah. Pertemuan pertama mereka terjadi ketika Karlina berlari menuju ruang kelas, terburu-buru untuk tidak terlambat, dan tanpa sengaja menabrak seseorang. Sebelum jatuh, sebuah tangan kuat menangkapnya.
“Oh, maaf! Aku gak liat...” ucap Lia buru-buru, merasa pipinya memerah karena malu.
Levi, dengan sikap dingin, menatapnya beberapa detik sebelum bicara. “Kamu oke? Hati-hati ya, koridor ini bukan tempat buat lari-larian.”
Lia merasa jantungnya berdebar. “Iya, makasih. Aku beneran gak bakal ngulangin lagi.”
Levi mengangguk, masih menatapnya dengan mata yang tajam. “Bagus. Gak mau ada kecelakaan gara-gara ketidaksengajaan.”
“Thanks ya. Aku... eh, aku pergi dulu,” kata Lia dengan cepat, melanjutkan langkahnya dengan perasaan campur aduk.
Setelah menjauh, dia merasakan tatapan Levi masih tertuju padanya. 'Cowok itu… siapa sih? Misterius banget,' pikirnya sambil melanjutkan langkahnya ke kelas.
---
**Bertumbuhnya Hubungan**
Hari demi hari berlalu, Karlina dalam tubuh Lia semakin menunjukkan perubahan positif. Keberaniannya semakin menarik perhatian Levi. Di perpustakaan, Karlina duduk dengan buku matematika di depannya ketika Levi tiba-tiba duduk di sebelahnya.
“Kamu sering ke sini?” tanya Levi, membuka percakapan dengan nada santai.
Karlina terkejut tapi berusaha tetap tenang. “Iya, suka suasananya yang tenang. Bikin bisa fokus.”
Levi mengangguk, memperlihatkan senyum tipis. “Aku juga suka di sini. Buku kadang lebih asik daripada dunia nyata.”
Karlina tertawa pelan. “Setuju. Dunia nyata kadang bikin capek.”
Levi menatapnya dengan sedikit rasa ingin tahu. “Kamu keliatan beda dari yang lain. Apa ada yang berubah?”
Karlina tersenyum, merasa sedikit bangga. “Cuma pengen jadi diri sendiri aja. Capek jadi orang lain.”
Percakapan mereka mengalir dengan mudah, membuat Karlina merasa semakin nyaman di dekat Levi. Di balik sikap dinginnya, dia menemukan Levi yang cerdas dan penuh misteri.
---
**Reaksi Langit**
Langit, mantan pacar Lia, merasa kehilangan kendalinya. Dia mencoba mendekati Lia di kantin, merasa frustasi dengan perubahan yang dilihatnya.
“Lia, kita perlu bicara,” kata Langit dengan nada memaksa.
Karlina menatapnya dengan tatapan tenang. “Gak ada yang perlu dibicarain, Langit. Aku udah mutusin buat jalanin hidupku sendiri.”
Langit terlihat bingung dan marah. “Kamu berubah, Lia. Apa yang terjadi?”
Karlina menatapnya dengan tegas. “Gak usah khawatirin aku. Aku bisa urus diriku sendiri.”
Langit merasa tersinggung dan kesal. Dia terbiasa memiliki kendali atas Lia, dan perubahan ini membuatnya merasa terancam. Tapi ada juga rasa kagum yang tumbuh terhadap keberanian baru Lia.
---
**Menuju Masa Depan yang Baru**
Interaksi yang semakin sering dengan Levi membuat Karlina dalam tubuh Lia merasa hidupnya mulai berubah. Dia lebih kuat, lebih mandiri, dan lebih siap menghadapi segala tantangan. Meski ancaman dari Dora dan gengnya masih ada, dia tidak lagi merasa takut. Dengan semangat baru, dia yakin bisa mengubah alur cerita menjadi akhir yang bahagia, untuk dirinya dan orang-orang yang dia sayangi.
Ancaman dari masa lalu dan konflik dengan musuh baru mulai muncul, membuat Karlina dalam tubuh Lia harus terus bersiap menghadapi ujian yang lebih besar. Namun, dengan keberanian dan keteguhan hatinya, dia yakin bisa menciptakan akhir yang bahagia untuk semua.
---
Bersambung
**Minggu yang Sibuk**
Minggu itu, suasana di SMA Bhakti Nusa semakin sibuk. Siswa berlomba-lomba menyiapkan diri untuk ujian akhir dan kegiatan kelulusan. Di tengah hiruk-pikuk itu, Lia, yang sekarang ditempati oleh jiwa Karlina, menemukan dirinya semakin sering menghabiskan waktu di perpustakaan bersama Levi. Meski canggung dengan tubuh baru, Lia mulai terbiasa dengan kehidupan sekolahnya.
**Di Perpustakaan**
Suatu sore di perpustakaan, Lia dan Levi duduk bersebelahan, tenggelam dalam buku masing-masing. Matahari sore menyoroti meja mereka, menambahkan sentuhan keemasan pada halaman-halaman buku yang terbuka. Levi sesekali mencuri pandang pada Lia, yang asyik mencatat dengan serius.
“Kamu benar-benar suka belajar, ya?” tanya Levi tiba-tiba, suaranya lembut dan penuh rasa ingin tahu.
Lia mengangkat kepala, tersenyum kecil. “Suka sih, tapi lebih tepatnya... mungkin aku baru sadar betapa pentingnya. Kayak menemukan bagian dunia yang selama ini gak aku tahu.”
Levi menatap Lia dengan mata yang penuh pengertian. “Dunia baru memang sering kali menarik. Kadang-kadang, itu yang bikin hidup lebih seru, kan?”
Lia menutup bukunya, menatap Levi dengan rasa penasaran. “Kamu sering ke sini juga? Aku kira kamu sibuk banget jadi CEO dan segala macamnya.”
Levi menghela napas, menatap buku di depannya dengan senyum tipis. “Justru karena itu, perpustakaan ini tempat pelarian yang sempurna. Di sini, semuanya lebih tenang. Di luar sana, semuanya berantakan, dan ini satu-satunya tempat di mana aku bisa bernapas.”
Lia mengangguk, merasa terhubung dengan pengakuan Levi. “Iya, aku juga. Kadang-kadang dunia di luar terlalu ribut. Di sini... rasanya kayak punya dunia sendiri.”
Mereka terdiam sejenak, menikmati kedamaian yang langka. Namun, kedekatan mereka kian terasa, seperti ada sesuatu yang tumbuh di antara mereka.
**Ajakan Makan Siang**
Beberapa hari kemudian, Levi tampak gelisah saat mereka duduk di perpustakaan. Dia memandang Lia dengan tatapan yang ragu-ragu sebelum akhirnya berkata, “Lia, gimana kalau minggu ini kita makan siang bareng? Sesuatu yang santai aja, biar kita bisa ngobrol lebih banyak.”
Lia terkejut tapi senang. Pipi merahnya menunjukkan kegembiraannya. “Wah, serius? Aku sih oke banget! Di mana kita ketemuan?”
Levi tersenyum lega. “Ada kafe kecil di dekat sekolah. Aku akan nunggu di sana.”
**Langit dan Kecemburuan**
Di luar perpustakaan, Dora dan gengnya, Dela dan Devi, memperhatikan mereka dengan tatapan tajam. Mata Dora bersinar dengan kecemburuan. “Lihat siapa yang lagi coba-coba jadi pusat perhatian,” gumamnya sinis.
“Kayaknya Lia mulai berani ya sekarang,” sahut Dela, menyeringai. “Gak bakal lama tuh. Kita kasih pelajaran aja biar dia ingat siapa bosnya.”
Di sisi lain, Langit yang melihat Lia semakin sering bersama Levi mulai merasa risau. Dia merasa terancam, takut kehilangan kendali yang selama ini dia rasakan atas Lia. Dia memutuskan untuk mendekati Lia di koridor saat jam istirahat.
“Lia, bisa ngobrol sebentar?” panggil Langit dengan nada mendesak.
Lia berhenti, menatap Langit dengan heran. “Ada apa, Langit?”
Langit tampak ragu-ragu, tapi akhirnya berkata, “Aku cuma... aku pengen kita coba perbaiki hubungan kita. Apa kita bisa mulai dari awal?”
Lia menatap Langit, mengenang masa lalu mereka yang rumit. “Langit, kita udah cukup jelas kan? Aku butuh ruang buat diri sendiri. Aku bukan Lia yang dulu.”
Langit merasa frustasi, tapi dia tahu memaksa Lia tidak akan ada gunanya. “Oke, Lia. Tapi, kalau kamu butuh sesuatu, aku selalu di sini.”
Lia mengangguk singkat dan pergi, meninggalkan Langit yang merasa terombang-ambing antara perasaan kehilangan dan ketidakberdayaan.
**Pertemuan di Kafe**
Akhirnya, hari pertemuan makan siang tiba. Lia merasa sedikit gugup saat mendekati kafe kecil di dekat sekolah. Levi sudah menunggunya di sana, duduk di salah satu meja dengan secangkir kopi di tangannya. Dia berdiri dan menyambut Lia dengan senyuman hangat.
“Lia, senang kamu bisa datang,” sapanya, menarik kursi untuk Lia.
Lia tersenyum, merasa lega. “Terima kasih sudah ngajak, Levi. Aku juga senang bisa di sini.”
Mereka memesan makanan dan mulai berbicara. Levi berbicara tentang kehidupannya yang rumit sebagai putra seorang ketua mafia, tekanan yang dia rasakan, dan bagaimana dia mencoba menemukan jalannya sendiri.
“Kadang-kadang rasanya kayak... ada beban yang super berat di pundakku,” ujar Levi, tatapannya jauh. “Tapi, aku harus nemuin cara buat ngadepin itu.”
Lia mendengarkan dengan penuh perhatian, merasa empati. “Aku gak bisa bayangin betapa beratnya. Tapi aku percaya kamu bisa nemuin jalannya. Kamu punya keberanian yang gak semua orang punya.”
Levi tersenyum kecil, matanya bersinar lembut. “Ngobrol sama kamu bikin aku merasa lebih baik. Rasanya kayak... bisa jadi diri sendiri.”
Percakapan mereka mengalir dengan alami, penuh tawa dan cerita pribadi. Lia merasa semakin nyaman di sekitar Levi, dan dia melihat sisi yang lebih manusiawi dan rapuh dari Levi, di balik sikap dinginnya. Mereka berbicara tentang mimpi, harapan, dan ketakutan mereka, saling memahami lebih dalam.
**Rencana Dora**
Sementara itu, di luar kafe, Dora, Dela, dan Devi mengamati mereka dari kejauhan. Mata Dora bersinar dengan kecemburuan yang intens.
“Kita harus lakukan sesuatu,” geram Dora. “Lia gak bisa dapet semua perhatian itu.”
Dela mengangguk setuju. “Aku punya rencana buat bikin dia kapok. Biar dia tahu siapa yang lebih berkuasa.”
Dora menyeringai, matanya bersinar dengan niat jahat. “Baiklah, mari kita lihat gimana Lia hadapi ini.”
**Harapan Baru**
Setelah makan siang, Lia merasa lebih baik dan penuh harapan. Mereka berpisah di depan kafe, dengan janji untuk bertemu lagi. Levi menatap Lia dengan senyuman penuh arti.
“Terima kasih, Lia. Hari ini menyenangkan banget,” katanya dengan tulus.
Lia tersenyum, merasa hatinya hangat. “Sama-sama, Levi. Aku juga senang bisa habisin waktu bareng kamu.”
Mereka saling berpamitan, dan Lia pulang dengan perasaan senang. Meski tahu tantangan besar masih menunggunya, dia merasa lebih kuat dengan Levi di sisinya. Dengan semangat baru, Lia bertekad untuk menghadapi apa pun yang datang dan mengubah nasibnya menjadi lebih baik.
Bersambung_-
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!