NovelToon NovelToon

Sang Pewaris Kerajaan St. Collins (The Heir Of St. Collins)

Chapter 1 - The Beginning

Warning 21+

*Karya ini mengandung unsur kekerasan, bahasa yang v*lgar dan kasar, serta adegan-adegan yang perlu ditelaah dengan cara yang bijak dan juga dewasa. Semua istilah yang digunakan dan dideskripsikan, hanya untuk keperluan penulisan karya yang bersifat fiksi dan bukan untuk menjadi sumber referensi. Silahkan mencari sumber referensi yang valid atau profesional bila ingin mempelajari lebih jauh atau menghadapi hal yang hampir mirip.*

Alur cerita di awal sedikit lambat, dan cukup banyak alur maju-mundur. Bagi para readers yang setia mau membaca, diucapkan terima kasih! Terima kasih banyak! Dan silahkan masukannya, agar karya ini bisa lebih baik. Selamat membaca :)

***

\= Zermatt, Switzerland \=

Badai yang tidak terduga berlangsung di salah satu pegunungan indah, yang biasanya menjadi tempat favorit bagi mereka yang suka tantangan. Daerah dengan penghuni sekitar 6000 ribu orang itu terkenal dengan lokasi indahnya bagi para peminat ski, yang cukup banyak berkunjung di bulan Oktober atau pun November untuk menikmati olahraga musim dingin tersebut.

Sayangnya, cuaca yang tidak terduga terjadi. Hari ini, cuaca tiba-tiba memburuk. Angin bertiup kencang, dan hujan salju yang cukup lebat pun turun menyebabkan beberapa turis yang tadinya masih di lokasi, segera harus meninggalkan tempat sesegera mungkin. Peringatan dari pengeras suara pun terdengar menggema, memperingatkan adanya kemungkinan badai dan juga longsor.

Suara-suara udara menggemuruh terdengar mengerikan. Seperti suara deruan dan juga siulan jarak jauh.

Di salah satu titik di sana tanpa diketahui siapa pun, terlihat ada beberapa orang menuruni lereng gunung dengan sangat cepat. Rombongan itu tampak saling berlomba kecepatan, sampai salah satu dari mereka mengeluarkan sebuah benda berkilat dari sakunya.

Menundukkan badannya, orang yang meluncur dengan menggunakan snowboard itu semakin mendekati orang di depannya. Menghunuskan benda di tangannya, tampak ia bersiap menghujamkannya ketika orang di depannya tiba-tiba saja menoleh dan dengan cepat menangkap pergelangan tangannya.

Kecepatan yang sangat tinggi itu membuat keduanya berputar-putar sejenak, sebelum akhirnya terjatuh dan bergulung-gulung tanpa kendali di lereng itu. Salah satu pe-ski di depan terdengar berteriak dan berusaha untuk mengurangi kecepatannya dengan menancapkan salah satu tongkat ski-nya ke salju.

"AARONNN!?"

Baru saja ia akan menyusul orang bernama 'Aaron' itu, tiba-tiba pe-ski lain tampak mengarahkan moncong senjatanya dan terdengarlah suara ledakan yang memekakkan telinga. Tidak sampai setengah menit kemudian, suara deruan mengerikan menggema di lereng itu dan tidak lama, muncullah gulungan demi gulungan salju dari atas lereng. Suara dentuman tadi telah memicu terjadinya longsor.

Menyadari situasi yang membahayakan, mereka yang ada di sana tampak panik untuk menyelamatkan diri. Semuanya berlomba adu cepat untuk menghindari buruan ombak salju tidak pilih kasih, yang akan menelan siapa pun yang terlalu lambat.

Tampak semua orang melupakan tujuannya masing-masing dan fokus untuk menghindar dari kematian yang semakin mendekat. Pe-ski yang ditembak tadi tampak menjatuhkan salah satu tongkat ski-nya. Ia mulai kehilangan kendali. Menoleh ke belakang, orang bermasker itu menatap pemandangan paling mengerikan dalam hidupnya dan ia bergumam lirih.

"Oh, Tuhan..."

Kedua mata gelapnya membelalak lebar, bersiap untuk menerima terjangan salju mematikan itu ketika tiba-tiba tubuhnya terasa ditabrak oleh sebuah truk dari arah sampingnya.

Ia merasakan tubuhnya berguling-guling di atas salju yang terasa seperti beton di bawahnya. D*danya sesak, ketika tumbukan demi tumbukan yang sangat menyakitkan menerpanya, seolah ia ditabrak berkali-kali. Sama sekali ia tidak mampu berteriak karena saking sakitnya. Sampai akhirnya punggungnya membentur sesuatu yang keras dan membuatnya berhenti. Benturan itu terasa bagai tonjokan di perut dan d*danya.

Nafasnya tersengal-sengal tapi telinganya dapat mendengar suara deruan salju yang anehnya, sekarang berasal dari arah sampingnya. Meski merasakan sakit di sekujur tubuhnya, orang itu pun membuka kedua matanya. Pemandangan yang ada di depannya, refleks membuat mata gelapnya berkaca-kaca.

"Abe..."

Tampak orang berkacamata pelindung di depannya juga masih kesulitan mengatur nafasnya. Tapi orang itu langsung bangkit untuk memeriksa orang di bawahnya. Ia membuka jaket tebalnya dan menemukan kalau orang itu telah tertembak, dan cukup parah. Pelurunya tembus sampai ke punggungnya.

"Kau tertembak, Ben."

Menekan luka yang terbuka itu, Abe membuka kacamata pelindungnya yang tampaklah sepasang mata gelap yang memandang dingin. Tampak ia merogoh sesuatu dari jaket tebalnya dan mengeluarkan sebuah telepon satelit berwarna terang. Tangan pria itu yang bersarung tangan menekan salah satu tombol di sana dan ia menempelkan benda itu di salah satu telinganya.

Memandang Ben yang tampak mulai memucat, ia berkata datar, "Kau akan selamat. Kau HARUS selamat."

Mendengar itu, salah satu mata Ben mengalirkan air di pipinya. Sekuat tenaga, ia mengangkat tangannya dan mencengkeram tangan kiri Abe yang sedang menekan lukanya sendiri.

Terdengar desakan dari suaranya, "Abe...! Abe!"

Tampak Abe menggertakan rahangnya. "Jangan banyak bicara, Ben. Kau membuat lukamu makin parah."

Perhatian Abe sejenak teralih ketika ia mendengar seseorang menjawab panggilannya. Dengan tenang, pria itu menjelaskan kondisinya dan meminta agar dilakukan evakuasi sesegera mungkin sebelum cuaca semakin memburuk. Menempelkan telepon ke bahunya, ia menekan sesuatu di jam yang ada di tangan kanannya.

Ben yang terbaring hanya dapat melihat tanpa mengerti satu patah kata pun hal yang dikatakan Abe. Dalam situasinya yang kritis, ia kembali merenggut jaket pria itu kasar dan memaksanya untuk memandang ke arahnya. Ia tahu kalau waktunya tidak lama lagi.

"Abe... Abe... Anna... An..."

Nama itu berhasil membuat perhatian Abe kembali padanya. Pria dingin itu mematikan panggilannya dan menyimpan kembali benda itu dengan aman ke sakunya.

"Berger akan segera datang. Bertahanlah."

Kepala Ben menggeleng. Ia panik ketika merasakan jerat kematian semakin mendekatinya.

"Anna... Anna... Dia..."

Suara bedeguk terdengar dari tenggorokan Ben. Pria itu memuntahkan darah dari mulutnya.

Khawatir, tangan Abe semakin menekan luka Ben dan menunduk. Salah satu tangannya membuka kacamata pelindung milik pria itu dan membuka maskernya, mencoba membantunya bernafas lebih baik.

"Ben. Ben, tenanglah. Jangan bicara. Lebih baik-"

Mengarahkan kekuatan terakhirnya, Ben semakin mer*mas lengan jaket Abe. Suara nafasnya terdengar kasar dan terasa sulit. Kedua matanya membelalak memandang pria di atasnya.

"Abe... Hati-ha... ti... Dia... lindung... b*nuh-"

Sebelum mampu menyelesaikan kalimatnya, aliran nafas Ben terhenti. Pria itu terlihat masih melotot ke arah Abe, namun mata gelapnya tampak tidak bernyawa lagi. Lelaki itu meninggal dengan mulut terbuka.

Mengerjapkan kedua matanya, Abe mengguncang bahu Ben. "Ben? Ben! BEN!?"

Teriakan pria itu teredam dengan badai salju yang mulai menguat, mengaburkan segala sesuatunya. Longsor yang sudah berhenti, menyisakan pemandangan putih sepanjang mata memandang. Tidak tahu apa saja yang telah terendam dalam timbunan salju yang tampak tidak berdosa itu.

Menegakkan badannya, tampak Abe berusaha mengontrol dirinya. Ia melepaskan tangannya dari d*da Ben yang terluka dan membiarkan aliran darah segar keluar dari sana. Seumur hidupnya, tidak pernah ia mengira kalau kejadian ini akan mempengaruhi dirinya. Telinganya sesaat tuli, membuatnya tidak mendengar suara deruman yang mulai mendekat dari kejauhan.

Raut Abe terlihat kaku dan selama beberapa saat, pria itu hanya duduk diam dan memandang wajah yang pucat di bawahnya. Dalam keterdiamannya, ia tidak tahu harus merasakan apa. Sedih? Bahagia?

Lamunannya terhenti ketika ia merasakan tekanan pada salah satu bahunya. Menoleh, ternyata seseorang berpakaian ski telah berdiri di belakangnya. Orang itu membuka kacamata pelindungnya, dan tampaklah sepasang mata bermata hijau sedang memandangnya bergantian dengan pria yang terbujur itu.

Saat bersuara, terdengar nada ragu-ragu dalam pertanyaannya. "Dia... meninggal...?"

Pertanyaan itu tampak membuatnya sadar, dan Abe mengerjapkan matanya. Ia kembali menatap Ben, dan tangan kanannya perlahan menutup mata pria itu yang masih terbuka. Ia masih menyempatkan diri untuk memeriksa denyut nadi di lehernya, memastikan kematiannya.

Menyarungkan kembali kaos tangan yang tadi dibukanya, Abe berkata datar. "Kita harus menguburkannya."

Kata-kata itu membuat pria yang baru datang itu terkejut. "Di sini? Kau yakin?"

Berdiri tegak, Abe menoleh dan melihat sebuah snowmobile terparkir di dekat mereka.

"Kau datang cepat, Berg. Bawa sekop atau semacamnya?"

Masih memandang Ben yang terbaring, Berger mengangguk. "Kau beruntung, lokasimu cukup dekat dengan lokasiku. Aku sudah menghubungi tim SAR. Dan ya, aku membawa sebuah sekop kecil."

"Bagus. Bantu aku menguburkan dia."

Melihat Abe yang akan berjalan ke arah snowmobile, Berger mencekal lengan pria itu. Tampak keduanya saling berpandangan dengan tajam, dan juga dingin. Suara angin yang bertiup kencang, menandakan situasi yang semakin berbahaya. Mereka harus segera pergi dari sana.

"Bram. Ini BEN yang kita bicarakan. Kau yakin-"

Melepas cekalan Berger kasar, pandangan Abe terlihat menggelap. "Justru karena dia adalah Ben, kita harus segera menguburkannya. Tidak ada yang boleh tahu kalau dia sudah m*ti. Kau tahu apa yang dapat terjadi, kalau sampai informasi ini bocor. Semua akan sia-sia."

Kedua mata Berger berkerut dalam. "Kau ternyata PEDULI. Tidak seperti katamu dulu."

Menarik nafasnya kasar, Abe membuang pandangannya. Sambil berjalan, ia berkata dingin. "Aku hanya tidak mau semua yang sudah kita lakukan bertahun-tahun, menguap karena kejadian hari ini. Dan kau sangat tahu, aku hanya PEDULI pada satu hal. Tidak ada yang lain."

Mengambil sekop dari kendaraan salju itu, Abe menyerahkannya pada Berger yang tertegun.

"Sekarang bantu aku menguburkannya. Setelah badai berhenti, akan banyak tim SAR berkeliaran di daerah sini. Aku tidak mau dia ditemukan semudah itu."

Tanpa membantah lagi, Berger mengambil sekop itu. "Untung kau bukan saudara kandungku, bro. Mungkin aku akan bangkit dari kematianku, kalau sampai mendengar kata-katamu tadi."

Dan selama beberapa waktu, dua pria itu sibuk menggali lubang yang tidak terlalu dalam karena tanah yang membeku. Sebisa mungkin, mereka menyembunyikan lokasi kuburan itu. Setelah mencatat koordinat tepatnya, keduanya pun akhirnya pergi meninggalkan lereng menggunakan snowmobile tadi.

Sambil melaju di atas snowmobile, Abe mer*mas kemudi di tangannya. Terpaan angin yang dingin dan membekukan tidak dipedulikannya. Fokusnya hanya satu, dan cuma satu.

'Kau tenanglah, Ben. Aku akan membalaskan dendam-mu. Kau berhak mendapatkannya.'

Semakin menekan pedal gas, Abe mempercepat laju kendaraan dengan Berger di boncengannya. Keduanya meninggalkan lokasi menyedihkan itu di belakang tapi mereka tahu, kalau peristiwa ini tidak akan pernah terlupakan. Kematian pria bernama 'Ben', akan sangat mengguncangkan dunia bila sampai diketahui umum.

Chapter 2 - The Accident

\= Kota CA, Amerika. Dua hari setelah kejadian di Switzerland \=

Setelah perjalanan yang cukup melelahkan, tampak seorang pria keluar dari pintu bandara internasional itu sambil menenteng duffel bag-nya. Ia ingin segera beristirahat dan bertemu orang itu. Sedikit terburu-buru, ia menyeberang jalan dan menelusuri pelataran parkir bandara yang tampak lengang serta sepi itu. Tampaknya banyak orang menghindari penerbangan malam, terutama dalam cuaca yang dingin seperti ini.

Berhenti di samping sebuah mobil, pria itu mengeluarkan ponselnya. Benda itu melekat di telinganya, saat ia merogoh saku celana dan mengeluarkan serentengan kunci dari sana. Baru saja ia akan memasukkan kunci itu ke mobilnya, ketika terdengar seseorang bertanya dari arah kegelapan.

"Tuan Collins? Benjamin Collins?" Aksennya terdengar seperti orang Eropa.

Pertanyaan itu membuat pria tadi menoleh cepat dan keningnya berkerut. Di depannya, tampaklah seorang pria besar dengan jaket motor berwarna gelap. Muka pria asing itu tertutup bayang-bayang lampu yang cukup redup, membuatnya tidak dapat dikenali. Tapi kilauan di sana, menandakan kalau ia mengenakan perhiasan di salah satu telinganya.

Menurunkan ponsel dari telinganya perlahan, pria itu waspada ketika tampak beberapa orang lain yang hadir di belakang pria asing tadi. Mereka semua mengenakan tipe jaket yang sama dan memakai helm full face.

"Mau apa kau?" Kedua matanya memicing tajam.

Tidak menjawab, pria dengan aksen Eropa itu menggerakkan jari-jarinya ke arah para rekannya. Beberapa pria lain, mulai bergerak mengelilinginya dengan posisi yang mengancam. Jelas orang-orang ini memang ingin mencari masalah dengannya.

Menyimpan ponsel di saku jasnya, pria itu sedikit mundur dan mengepalkan tangannya yang bersarung kencang. Dagunya menantang, tampangnya dingin dan sama sekali tidak terlihat ketakutan dalam matanya.

"Aku tanya sekali lagi. Mau apa kau?"

Pertanyaan itu dijawab dengan seringaian mengerikan dari pria besar di depannya. Pria asing tadi merogoh sakunya dan mengeluarkan benda berkilat. Tampak sebilah pisau saku tajam berada di tangan pria besar itu.

"Sorry, mate. Aku hanya disuruh seseorang." Ia menjeda ucapannya. Menunggu reaksi pria di depannya.

Dengusan terdengar dari mulut pria berjas itu. Dia sangat tahu keinginan pria besar itu.

"Majulah, b*nci. Tidak usah buang waktumu, karena tidak akan ada diskusi."

Raut tertegun pria asing itu perlahan mulai memerah, dan teriakannya menggema di pelataran sepi itu ketika dia menyuruh anak buahnya untuk menerjang pria di depannya.

"B*NUH DIAAA!?"

Perkelahian tidak imbang pun terjadi. Meski seharusnya keributan itu dapat memancing kedatangan orang-orang tapi anehnya, tidak satu security-pun menampakkan hidungnya di sana. Tampaknya petugas di area tersebut telah disuap dan mungkin saja, CCTV yang ada di sana pun tidak berfungsi.

Tidak seperti perkiraan awal, ternyata pertarungan itu dimenangkan oleh pihak yang tidak disangka.

Dalam sekejap, beberapa pria berpakaian motor itu telah habis dihajar oleh pria berjas tadi. Dua diantaranya pingsan dengan kaca helm mereka pecah, menampilkan muka lebam penuh dengan darah. Sedangkan dua lainnya terkapar kesakitan, memegang salah satu kaki mereka yang sepertinya mengalami cedera parah.

Melihat kejadian tidak diduga ini, pria asing tadi tampak cukup ciut nyalinya. Hal ini sama sekali tidak sesuai dengan informasi yang diterimanya di awal. Sedikit gemetar, ia menghunuskan pisaunya membabi-buta.

"Kau! Kau, Benjamin Collins kan? Benjamin Jayden Collins!?"

Tersenyum dingin, pria itu melangkah ke arahnya. Semakin pria itu mendekat, semakin pria asing itu mundur. Dengan gerakan mengintimidasi, pria berjas itu membuka mantel luar dan jasnya. Ia melemparnya asal.

"Jawab aku, BR*NGSEK!? KAU Benjamin Jayden Collins, bukan!?" Ketakutan, ia kembali berteriak.

Bukannya menjawab, pria itu malah balas menyeringai pada pria asing tersebut. "Menurutmu...?"

Jawaban itu perlahan memasuki otak kecil si pria asing, membuat ekspresi yang tadinya ketakutan menjadi terkejut, dan akhirnya terlihat marah. Ia merasa sangat t*lol!

"KURANG AJAR!? Kau telah menipuku!"

Selesai mengucapkan sumpah-serapah itu, ia langsung menerjang pria di depannya.

Sudah jelas siapa yang akan memenangkan pertarungan tersebut.

Tidak butuh waktu lama, leher pria asing itu sudah berhasil dicekal oleh lawannya. Posisi mereka berdua di bawah, saling menggeliat dan berusaha menekan yang lain. Mereka seperti sepasang pegulat di arena tinju. Tapi meski dapat berada dalam posisi menang, kekuatan pria besar itu tidak bisa disepelekan. Pria di atasnya sadar, bahwa ia harus segera menghabisi orang di bawahnya.

Semakin menekan tenggorokan pria asing di bawahnya, pria itu bertanya dingin. "Siapa yang menyuruhmu?"

Tidak mau kalah, pria besar itu melotot menatap lelaki itu tajam tapi tidak mau menjawab apa pun. Mukanya semakin merah, menandakan aliran oksigen yang semakin berkurang ke otaknya.

Menekan d*da pria besar tadi dengan salah satu lututnya, ia merubah posisinya. Masih sambil mencekik leher pria di bawahnya, ia mengangkat satu tangannya. Bersiap memberikan serangan fatal.

Mendekatkan mukanya, pria itu bertanya lagi. "Sekali lagi aku tanya. Siapa bos-mu, B*NCI?"

Susah-payah, si pria asing mengeluarkan suara seperti geraman dari tenggorokannya. "Ke n*raka saja, kau!"

Jawaban tersebut membuat pria itu menjauhkan kepalanya. Tampak senyuman sadis di mulutnya.

"Baiklah, jika itu maumu." Satu tangannya mulai mengepal dan terangkat. Dengan kekuatan penuh, pria itu mengarahkan kepalannya pada kepala pria besar di bawahnya.

Deru angin dingin yang kuat menerpa wajah sang pria asing dan ia memejamkan kedua matanya. Di saat ia bersiap untuk menerima nasibnya, tiba-tiba deringan ponsel memecah kesunyian malam itu.

Interupsi tidak disangka itu menghentikan gerakan si pria, membuat bogem mentah itu terhenti di tengah jalan. Perhatiannya yang teralih, membuat cekikannya pada sang pria asing sedikit melonggar. Kesempatan itu sama sekali tidak disia-siakan oleh pria besar itu. Sekuat tenaga, ia mendorong orang di atasnya dan menyabetkan senjata yang tadi telah terlempar ke sampingnya.

"UH!?"

Posisi telah berubah. Tampak si pria melangkah mundur sambil memegangi salah satu lengannya. Terlihat darah mulai berceceran di lantai beton itu, yang berasal dari tangannya sendiri.

Menghela tubuhnya bediri, pria asing itu kembali menghunuskan pisaunya. Bercak darah tampak di ujung pisaunya yang berkilat tajam. Ia berhasil melukai lawannya.

"Kali ini aku akan benar-benar memb*nuhmu, br*ngsek!?"

Melirik menatap lengannya, sabetan itu ternyata berhasil merobek kemeja lengan panjangnya. Kekuatan pria asing itu sama sekali tidak boleh diabaikan. Hanya dengan sebilah pisau, ia dapat membuat luka yang cukup dalam. Kalau tidak bereaksi cepat, ada kemungkinan serangan itu fatal dan akan langsung mendiskon nyawanya di tempat. Orang di depannya ini cukup berbahaya.

Aliran darah tanpa henti membuat pria itu semakin sadar. Ia akan kehilangan banyak darah jika tidak segera menyelesaikan urusannya di sini. Senyuman sinis terbentuk di bibirnya. Ia harus memancing orang ini.

"Harus kuakui b*nci, kau ternyata lumayan juga."

"Jangan banyak omong kau!?"

Penuh kemarahan, pria besar itu menyerang pria terluka di depannya. Sama sekali tidak menyadari, kalau serangan itu memang telah ditunggu. Begitu si pria asing mendekat, lelaki itu lincah menghindar ke samping dan langsung mengarahkan tendangan lutut yang cukup mematikan ke arah kepala lawannya.

Bunyi retakan yang mengerikan terdengar dan tidak lama, suara bedebum pun menggema saat tubuh pria besar itu jatuh ke bawah. Ia tampak tidak sadarkan diri dan darah, mulai keluar dari area hidungnya.

Mengedarkan pandangannya, pria itu sadar kalau ia harus segera pergi dari lokasi ini. Tanpa tahu siapa lawan dan siapa kawan apalagi dengan kondisinya yang terluka seperti ini, akan sangat berbahaya kalau ia meminta bantuan dari seseorang di area bandara.

Tertatih-tatih, pria itu memungut jas dan mantel yang tadi dilemparnya. Susah payah, ia membuka pintu mobilnya dan menutupnya kencang.

Sedikit gemetar, ia merobek lengan baju dan membebat lukanya seadanya. Meski darahnya masih mengalir, tapi setidaknya sedikit terhenti. Dia sadar harus segera ke rumah sakit.

Menghidupkan mobilnya, ia mulai mengarahkan kendaraan itu ke arah jalanan. Situasi jalanan yang sepi, membuatnya semakin menekan pedal gas. Ia harus segera sampai di rumah sakit, sebelum kesadarannya menghilang. Makin mencengkeram kemudinya, pria itu menggeleng kuat untuk menghilangkan rasa pusing yang menderanya. Penglihatannya mulai berkunang-kunang.

Bunyi panggilan di saku jasnya membuat pria itu menoleh. Dengan lemas, ia berusaha meraih jasnya dan saat itulah kendalinya pada kemudinya memudar. Mobil itu melaju tanpa kontrol dan akhirnya menabrak pagar pembatas di sana dengan kecepatan tinggi.

Kecelakaan tunggal pun tidak terelakkan. Tabrakan kencang tersebut membuat mobil itu terbalik beberapa kali di jalanan yang sepi. Bunyi gesekan besi dengan jalanan dan pecahan kaca terdengar nyaring selama beberapa saat. Setelahnya, mobil itu berputar-putar dalam kondisi atap di bawah dan suara klakson tanpa henti bergema di keheningan malam. Asap mulai keluar dari mesinnya.

Di kursi pengemudi, kepala pria tadi terbenam dalam bantal pengaman yang besar. Luka di keningnya mulai mengeluarkan darah dan bantalan yang melindunginya tadi pun mengempis.

Antara sadar dan tiada, pria itu mengucap lirih. "An... na..."

Setelahnya, kepalanya terkulai ke belakang. Ia tidak sadar, dan tidak tahu apakah akan selamat. Lagi, ia telah menantang maut untuk kesekian kalinya.

Chapter 3 - Abraham, Benjamin, Anna

\= Di salah satu apartemen. Dini hari \=

Di sebuah balkon, tampak seorang wanita duduk termenung. Kedua kakinya yang jenjang terangkat ke pagar pembatas. Dalam keheningan, ia memandang kegelapan malam di depannya. Tidak ada yang tahu apa yang dipikirkannya tapi yang jelas, sangat banyak hal yang saat ini berseliweran dalam benaknya.

Salah satu tangannya menumpu di lengan kursinya. Di jari-jarinya, terlihat rokok yang hampir terbakar habis. Di tangan lainnya, ia memegang longgar benda berkilat yang terayun-ayun pelan di jari lentiknya.

Ketika akan menghisap benda di tangannya, ia merasakan sensasi panas yang membuatnya menunduk. Ternyata, batang rokoknya telah mencapai pangkalnya. Mend*sah, wanita itu menekan puntung pendek itu ke asbak dan mematikan baranya. Baru saja ia akan meraih kotak rokoknya, ponselnya bergetar.

Meraih benda itu, ia menatap beberapa saat nomor yang tertera di layar ponselnya.

"Rumah sakit?"

Menempelkan benda itu ke telinganya, ia menjawab pelan. "Halo?"

"Nyonya Collins?"

Sapaan tidak dikenal itu membuatnya sedikit mengerutkan alisnya, tapi ia menjawab halus.

"Ya. Saya sendiri. Dengan siapa saya bicara?"

"Maafkan saya, Nyonya Collins. Nama saya Martha Thomas, kepala perawat di rumah sakit St. Collins. Suami Anda, Tuan Benjamin Collins mengalami kecelakaan tunggal. Saat ini, Tuan Collins dirawat di rumah sakit. Ruang ICU. Kondisinya masih belum sadar."

Berita itu membuat wanita tadi tertegun. Ia tersadar saat mendengar penggilan dari seberangnya kembali.

"Nyonya Collins? Anda masih di sana?"

"Saya akan segera ke sana." Setelahnya, ia pun memutus panggilan itu.

Selama beberapa waktu, wanita itu hanya memandang ponsel di tangannya. Dengan tenang, ia meraih kotak rokoknya dan mengambil sebatangnya. Ia menyulutnya dan kembali menikmati rokoknya. Ponsel tadi ia letakkan begitu saja di atas meja. Benda berkilat di tangannya, ia lempar asal ke meja di depannya.

Barulah 15 menit setelah panggilan tadi, wanita itu masuk ke apartemen dan 5 menit kemudian, terlihat melajukan kendaraannya menuju rumah sakit.

***

\= Flashback 8 tahun yang lalu. Kantor B2B Universal. Kota B, Jerman \=

"Ayolah, Bram. Ini sudah ke-3 kalinya kau menolak. Aku minta tolong padamu, SEKALI SAJA. Untuk sekali saja, kau menghadirinya. CNC adalah salah satu klien pertama, dan terbesar kita. Kerjasama ini juga sudah berlangsung hampir 10 tahun. Tidak mungkin aku hadir di sana tanpa dirimu!"

Tidak mengangkat muka dari laptop-nya, pria yang dipanggil 'Bram' menggelengkan kepalanya tegas.

"Sekali 'tidak' maka selamanya 'tidak', Berg. Kau pun tahu alasannya tanpa harus kujelaskan. Kenapa kau masih memaksa?"

Melongok sebentar ke luar melihat situasi, Berger kembali ke dalam dan menutup pintu kantor itu pelan.

Ia mendekati meja Bram dan melemparkan undangan perusahaan itu ke atas meja. Tindakannya ternyata dapat memancing wajah pria dingin di depannya sedikit terangkat. Mata gelap itu memicing tidak suka.

"Sebenarnya, ada alasan kenapa aku ingin kau menemui orang itu. Dan ini cukup ada hubungannya dengan temanmu yang mantan FBI itu."

Informasi itu membuat raut Bram yang keras perlahan melembut. Tahu kesempatan telah terbuka, Berger langsung duduk di depannya dan mulai menyerocos.

"Kau tahu kalau Tuan Tanner memiliki seorang puteri?"

Menghela nafas dalam, Bram menegakkan tubuh dan menyender di kursi besarnya. Sambil menyilangkan tangan di depan d*da, ia mengangguk.

"Ya. Dia pernah sedikit menceritakannya. Dia punya satu puteri yang sekarang tinggal di Amerika."

"Kau tahu siapa namanya?"

Kening Bram sedikit berkerut dan ia mengangguk kembali. "Kalau tidak salah, namanya Anna."

Senyum lebar mencurigakan Berger, membuat kening Bram semakin dalam mengerut. Ia mulai tidak sabar.

"Apa yang sebenarnya ingin kau katakan, Berg? Kau tahu aku tidak punya waktu meladeni permainanmu. Aku sibuk sekarang."

Melihat Bram akan kembali ke laptop-nya, salah satu tangan Berger sigap akan menutup benda pipih itu. Dan seperti yang diduganya, refleks temannya terlalu baik untuk dikelabui.

Mencengkeram pergelangan tangan Berger, Bram bertanya dengan nada sangat dingin.

"Apa MAUMU?"

Masih belum meninggalkan senyuman di wajahnya, Berger berkata santai. "Lepaskan tanganmu dulu."

Mata Bram semakin memicing. Cengkeramannya menguat. "Katakan maumu, Berg."

Melihat tangannya mulai memerah dan terasa kebas, Berger memutuskan mengalah.

"Baiklah, tapi lepaskan tanganmu dulu. Aku masih membutuhkannya."

Bukannya menjawab, Bram malah semakin mer*mas tangan pria di depannya. Cekalannya seperti besi dan warna tangan itu mulai berubah menjadi ungu.

"Bram!"

"Katakan maumu dulu."

"Baiklah! Baiklah! Ini ada hubungannya dengan Anna yang itu! Anna-mu!"

Kata-kata itu membuat Bram melepaskan cengkeramannya. Ia terdiam sejenak dengan raut datar, sebelum berkata dengan nada penuh tuduhan.

"Kau menyelidikinya?"

Mengibas-ngibaskan tangannya untuk mengembalikan peredaran darahnya, Berger menatap Bram sebal.

"Kau akan berterima kasih aku sudah melakukannya!"

Menutup laptop di depannya, Bram menumpukan kedua telapak tangannya ke atas meja.

"Kau menerobos privacy-nya, Berg. Jangan lakukan itu lagi."

Tiba-tiba, Bram berdiri dan mengambil jaket casual-nya dari tiang gantungan.

"Kau mau pergi kemana? Aku belum selesai bicara!"

Menoleh sebentar pada Berger, Bram mendesis sinis. "Aku tahu apa yang akan kau katakan, tanpa kau mengeluarkan satu patah kata pun dari mulutmu. Annabelle Reyes adalah Anna Tanner. Keduanya adalah orang yang sama. Anak dari Francis Tanner dan dia sekarang bekerja di CNC sebagai Public Relations."

Tidak menghiraukan temannya sama sekali, Bram membanting pintu kantornya kencang. Ia meninggalkan Berger yang masih terduduk melongo di kursinya.

Setelah pulih dari keterkejutannya, terdengar kekehan pelan dari pria itu. Ia mengusap salah satu telinganya.

"Sepertinya ini akan menarik. Aku yakin, dia pasti mau untuk datang ke sana."

Sementara itu, Bram melajukan kendaraannya menuju suatu tempat. Setelah menempuh perjalanan selama 30 menit, akhirnya ia pun mencapai tujuannya. Membuka pintu mobilnya, pria itu menoleh dan memandang sekitarnya. Suasana tampak sepi dan sedikit berkabut. Hampir tidak ada pengunjung yang datang pagi ini.

Merapatkan jaketnya, uap dingin keluar dari lubang hidung dan mulutnya. Ia mulai melangkah pelan.

Bunyi gemerisik daun dan rerumputan yang diinjaknya memasuki telinga pria itu. Selain suara langkahnya sendiri, hampir tidak ada suara lain yang terdengar. Suasana benar-benar sepi.

Langkah kakinya akhirnya berhenti di sebuah lokasi pemakaman yang cukup baru. Menghembuskan kembali nafasnya yang beruap putih, Bram menunduk ke bawahnya.

"Halo, Frans. Aku datang lagi."

Berjongkok di depan makam itu, dengan lembut Bram mengusap nisannya. Terbaca nama seseorang di sana, beserta tahun kelahiran serta kematiannya.

Ingatannya kembali ke beberapa tahun lalu, ketika ia berada di tempat yang sama tapi dengan situasi yang berbeda. Masih lekat di benaknya, gambaran sosok seorang wanita cantik berambut pendek yang saat itu berdiri di depannya. Wanita itu menangis anggun, dan meletakkan sebatang mawar di atas makam ayahnya.

Saat itu ia sebenarnya ingin menghampiri wanita itu, menyampaikan belasungkawa-nya. Tapi beberapa tamu lain yang mengelilinginya, membuat Bram mengurungkan niatnya. Ia memang mengenal ayahnya, tapi ia sama sekali tidak mengenal wanita itu. Mereka adalah orang asing.

Kembali mengusap nisan di depannya, Bram berkata dalam hati.

'Francis. Akhirnya aku jatuh cinta. Aku bisa jatuh cinta lagi dan kau tahu, siapa yang aku cintai? Aku ternyata mencintai puterimu sendiri. Apakah kau memang malaikat yang diturunkan oleh Tuhan untukku? Di saat aku sudah hampir kehilangan kepercayaan pada-Nya, kau muncul dan membimbingku. Dan sampai kematianmu pun, kau tetap berusaha untuk menjagaku. Bagaimana aku membalas budi baikmu?'

Semakin menunduk, untuk pertama kalinya sejak kejadian buruk dahulu, Bram memanjatkan doa kembali. Hari ini, pria itu seolah mendapatkan lagi rasa imannya yang dulu sempat hilang.

Beberapa bulan kemudian, kedua pria itu terbang ke Amerika untuk menghadiri undangan acara ulang tahun perusahaan CNC yang ke-100. Di saat rekannya dengan luwes berbaur bersama kerumunan orang-orang di sekelilingnya, Bram justru menghindari keramaian dengan pergi ke balkon.

Baru saja kakinya menyentuh lantai balkon, ia melihat pemandangan yang membuat akal sehatnya hampir menghilang. Wanita yang dicarinya sedang berada di pelukan seorang pria. Dan pria itu adalah salah satu orang yang paling dibencinya seumur hidupnya.

Berusaha mengendalikan amarahnya, Bram meletakkan gelas tingginya di meja sudut. Perlahan, ia menutup pintu ganda di belakangnya dan membuat pria di depannya menoleh kaget.

"Siapa kau!?"

Bayang-bayang gelap yang melingkupi sosok Bram perlahan menghilang, saat pria itu melangkah mendekati pria br*ngsek di depannya. Ia yakin pria ini br*ngsek, karena ternyata wanita berambut pendek itu dalam kondisi sempoyongan. Keributan kecil ini tampak membuat wanita itu tersadar dan segera melepaskan diri dari pelukan pria berjas di sampingnya. Tapi tiba-tiba, tubuhnya luruh dan jatuh ke bawah. Dia pingsan.

Dua pria di depannya berteriak bersamaan, "ANNA!?"

Belum juga sampai di tempat Anna, d*da Bram ditahan oleh tangan pria di depannya. Tatapannya berang.

"Jangan berani kau mendekat padanya, br*ngsek!"

Balas mendorong pria berjas itu mundur, Bram menyeringai. Giginya terlihat putih dibalik jenggotnya.

"Aku yakin kalau kau-lah orang br*ngsek di sini, Benjamin! Apa yang sudah kau lakukan padanya?"

"Apa! Kau-"

Kata-kata balasan tertahan di lidah Ben saat ia mulai menyadari siapa orang di depannya ini. Sepasang mata gelap di balik kacamata itu sangat familiar. Demikian pula bentuk hidung dan mulut yang ada di balik jenggot tebal itu. Menelusuri tubuh pria itu dari atas ke bawah, raut lelaki itu memucat.

"Abe... Abraham...?"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!