NovelToon NovelToon

Menaklukkan Suami Liar

Kehidupan Kedua

Suami yang penyayang, terobsesi dan begitu lembut hanya pada istrinya. Itulah sosok Willem Alexander Niel Andreas, di mata sang istri, Cheisia Muller.

Kala itu, dalam bangunan terbengkalai, ruangan terbakar, sang suami mengorbankan hidupnya. Berlumuran darah akibat tiga luka tembakan.

"A...aku, aku dapat menjadi tujuanmu. Aku mencintaimu." Cheisia terdengar benar-benar putus asa, menitikkan air matanya. Menyaksikan akhir hidup suaminya.

Neil menggeleng, masih tersenyum lembut."Tidak boleh, jalani kehidupanmu dengan baik. Lanjutkan hidupmu, raih impianmu. Pergilah! Aku sudah menyiapkan pengacara (warisan), dan orang-orang yang akan menjagamu nanti. Carilah orang yang dapat membuatmu bahagia. Itulah permintaan terakhirku..."

Neil masih tersenyum, matanya masih terbuka, walaupun tatapan itu perlahan dingin dan terasa kosong. Tangannya terjatuh lemas tanpa nadi yang berdetak. Tanpa napas hangat yang terasa.

"Sa... sayang...?" Cheisia tertawa, mengguncang tubuh suaminya."Kakanda..." Sebuah panggilan kesayangan penuh canda yang aneh.

Dalam candaan seharusnya ada tawa bukan? Tapi kali ini tidak. Rasa dendam, cinta, kerinduan, dan kemarahan."Neil...kamu begitu naif, aku akan membawa cinta ini hingga ke neraka..."

Cheisia memeluk mayat suaminya sembari tersenyum, tidak melarikan menyelamatkan diri, seperti keinginan Neil. 15 tahun dirinya tidak mendapatkan cinta dari siapapun. Dilukai oleh ayah, ibu, bahkan Hazel (tunangannya). Hanya karena kebohongan Bianca (saudara angkat Cheisia).

Tapi setahun ini, merupakan masa-masa yang begitu berharga baginya. Bagaimana impian masa depannya? Hanya hidup bahagia bersama Neil. Namun, itu juga direnggut Bianca. Seseorang yang terlibat dalam kematian suaminya.

Perlahan tubuhnya lemas karena terlalu banyak menghisap karbon monoksida. Tidak selangkah pun meninggalkan mayat Neil, walaupun kobaran api berada di sekitarnya, mendekap mayat yang mendingin tidak peduli seberapa tebal asap, seberapa panas hawa di sekitarnya.

"Neil..." Cheisia tersenyum, menyimpan dendam dan cintanya. Sebelum kesadarannya menghilang dan tubuhnya terlalap api.

"Carilah orang yang dapat membuatmu bahagia. Itulah permintaan terakhirku..." bukankah itu adalah permintaan terakhir suaminya sebelum tiada? Kalimat yang terus terngiang kala tubuhnya roboh di samping mayat sang suami.

"Jika aku dapat mengulangi waktu, aku tidak akan membiarkanmu mati..." bisiknya pada tubuh tanpa nyawa. Sepasang suami istri yang meninggal di usia 29 tahun.

Brak!

Api yang melahap bangunan sepenuhnya, Cheisia tersenyum setidaknya dirinya akan menemui Neil dalam kematian.

*

Namun, terkadang ada takdir yang aneh berlangsung.

"Neil!" Teriak Cheisia dengan napas tidak teratur. Remaja yang memakai seragam SMU.

"Cheisia kamu tidur di kelas!?" Bentak seorang guru yang tengah mengajar. Mata Cheisia menelisik mengamati keadaan sekitar. Seluruh siswa yang memandang sinis ke arahnya, bahkan menertawakannya.

Foto presiden yang terpajang? Mengapa foto presiden yang terpilih 11 tahun lalu?Tangannya gemetar, masih mencerna segalanya. Bahkan coklat buatan sendiri yang ada di bawah bangkunya.

Coklat yang dibuat sendiri oleh Cheisia, pada Valentine 11 tahun lalu di masa SMUnya. Coklat yang seharusnya diberikan pada Hazel, tunangannya.

Dan apa ini? Bukankah saat kebakaran terjadi dirinya mengenakan baju tidur berbentuk kimono satin? Mengapa menjadi seragam sekolah saat dirinya SMU?

Apa dirinya kembali ke masa lalu? Banyak pertanyaan dalam benaknya.

Hingga suara siswa yang berbisik membicarakannya terdengar.

"Dia tidak seperti Bianca yang pintar dan serba bisa ya?"

"Cuma modal tampang."

"Anak kandung tapi kwalitasnya kurang. Malah anak angkat yang lebih cerdas."

"Memalukan, aku akan merekam dan menyebarkan di media sosial. Bagaimana orang yang dibangunkan oleh guru."

Satu kelas yang mencibirnya, bahkan tertawa kecil. Sementara sang guru yang berdecak, kembali menulis menggunakan spidol di papan tulis.

Tidak mengerti, benar-benar tidak mengerti. Cheisia terdiam terpaku diam, bahkan tidak berani bergerak sama sekali. Apa ini surga? Neraka? Mimpi? Atau dirinya benar-benar mengulangi hidup?

Meraih handphonenya yang ada dalam tas tertanggal 14 February, dengan angka tahun 11 tahun lalu sebelum kematian dirinya dan Neil.

"A...apa aku mengulangi waktu?" Gumamnya tersenyum dalam air mata yang mengalir. Jemari tangannya gemetar, dirinya dulu terlalu baik, benar-benar terlalu baik, hingga Neil mati, karena dirinya yang terkena tipu daya.

Menghela napas berkali-kali. Tidak akan ada masa yang sia-sia lagi.

*

14 February, tahun 2013, itulah tanggal yang tertulis pada handphonenya.

Masa SMU yang memilukan dimana dirinya selalu menjadi bahan cibiran akibat gosip buruk yang disebarkan Bianca. Bagaimana Bianca merebut perhatian Hazel (tunangan Cheisia) dengan mengatakan Bianca lah yang mendonorkan hati untuk Hazel yang sempat mengidap kanker.

Menghela napas berkali-kali, begitu pengap rasanya mendengar cibiran.

Hingga, kala jam pulang sekolah, dirinya melihat ke arah Bianca yang basah kuyup di area depan sekolah. Inilah drama 14 February yang diingat oleh Cheisia.

Sebuah mobil mewah berhenti di hadapan Bianca. Seseorang yang kini berstatus sebagai mahasiswa di universitas ternama segera turun dari mobil.

"Bianca kamu tidak apa-apa?" Tanya Hazel cemas, memakaikan jaketnya pada Bianca yang terlihat menggigil.

"Ti... tidak apa-apa. Hazel, Cheisia tidak sengaja, jadi kamu jangan marah padanya. Aku hanya anak angkat di keluarganya jadi..." Bianca menunduk menangis terisak, merebut perhatian orang sekitar yang tengah menunggu jemputan. Benar-benar akting yang sempurna.

Di masa lalu Cheisia akan mendekat kemudian menjelaskan. Agar Hazel tidak kecewa padanya, walaupun pada akhirnya dirinya yang tetap akan disalahkan.

"Cheisia!" Bentak Hazel, menatap ke arah Cheisia yang acuh.

"Apa!? Suaramu seperti petir! Terlalu berisik." Cheisia membentak balik, menutup telinganya bagaikan mengejek.

Hazel pada awalnya tertegun tidak percaya. Untuk pertama kalinya Cheisia membentaknya balik?"Apa yang kamu lakukan pada Bianca? Walaupun kalian tidak memiliki hubungan darah, tapi dia diadopsi oleh orang tuamu. Kenapa kamu selalu memperlakukannya dengan buruk!?"

"Kakak pasti hanya cemburu karena aku dekat dengan Hazel. A...aku akan menjauh." Bianca masih tertunduk, diam-diam tersenyum. Mendengar hujatan semua orang pada Cheisia.

Tapi ada yang aneh, Cheisia yang biasanya penurut dan mengaku tidak bersalah kini tersenyum."Begini, aku dan Hazel tidak memiliki hubungan. Walaupun selalu ada pembicaraan tentang perjodohan. Jadi, jika kamu mau ambil saja. Karena dia bukan tipeku..."

"Hah?" Bianca mengernyitkan keningnya.

"Benar! Dia bukan tipeku." Cheisia kembali tersenyum menegaskan.

Bagaimana bukan tipe Cheisia, Hazel yang rupawan, dari keluarga konglomerat. Pintar dan memiliki kepribadian yang baik.

Semua siswa yang tengah menunggu jemputan, menatap tidak percaya mengingat Cheisia sudah bertahun-tahun mengejar Hazel.

Hingga keributan terdengar. Terkadang ada sebuah kebetulan yang tidak disadari, terjadi.

Tawuran di area depan sekolah. Antara anak-anak dari sekolah bertaraf internasional dengan sekolah mereka.

Seketika suasana ricuh. Mata Cheisia tertuju pada satu titik. Seorang remaja yang tidak menggunakan seragam, hanya mengenakan sweater dan celana panjang jeans hitam, bagaikan pemimpin tawuran dari kelompok sekolah bertaraf internasional.

Tersenyum berlari membawa balok kayu. Aneh bukan? Mengapa sekolah elite dapat terlibat tawuran? Tapi hal itu juga terjadi sebelum waktu terulang. Hanya saja Cheisia tidak memperhatikan dan tidak mengenal siapa yang terlibat.

Kali ini tidak, Cheisia membulatkan matanya. Bagaimana bisa Neil yang baik hati, lembut, begitu romantis dan perhatian, dapat terlibat tawuran di masa remajanya?

Tapi itu benar-benar dia. Wajah rupawan yang terlihat jauh lebih muda, senyuman mematikan yang dapat menaklukkan setiap wanita.

"I...itu dia tipeku! Kakanda! Adinda ada disini!" Teriak Cheisia berlari menembus kerumunan orang yang tengah tawuran. Memeluk seorang pria tidak dikenal.

Hal yang membuat Bianca mencubit pipinya sendiri, menatap Cheisia yang bertingkah manja pada remaja berandalan tidak dikenal."Apa aku bermimpi?"

"Cheisia! Disana berbahaya!" Hazel ikut-ikutan menembus kerumunan remaja yang tengah tawuran. Demi melindungi Cheisia.

Manja

Willem Alexander Niel Andreas, pemuda berusia 18 tahun. Rupawan? Benar-benar rupawan, tapi kelakuannya bisa dikatakan sudah seperti setan.

Brak!

Salah satu orang siswa dari sekolah lain baru saja roboh setelah terkena satu pukulan. Ini menyenangkan, usai mendapatkan pendidikan militer oleh sang kakek, bukannya berubah lebih baik. Pemuda ini semakin sadis.

"Neil... tanganku kotor. Menjijikkan melihat mereka memar. Kita kembali saja ya?" Pinta keluh Akira yang berkelahi dengan tangan kosong.

"Ini menyenangkan!" Dwika tertawa, sama seperti Neil, membawa balok kayu, menghajar lebih banyak orang.

"Pulang sana! Kembali ke kelas yang membosankan." Neil mengernyitkan keningnya.

Srak!

Brak!

Dengan dua gerakan pemuda yang hendak menyerangnya dibanting olehnya. Berkelahi untuk kesenangan? Sejatinya dirinya tidak mengetahui alasan tawuran. Yang jelas mendengar anak-anak kelas satu yang ingin berangkat, dirinya bergabung tanpa alasan.

Akira, Dwika, Jenard, Triton, Sean, Hilton, dan pemimpin kelompok mereka Willem Alexander Niel Andreas. 7 orang dari keluarga terpandang, yang selanjutnya akan mendapatkan julukan 7 tuan muda yang paling termasyur di masa depan.

Tapi siapa sangka 3 diantaranya benar-benar nakal, di masa remaja mereka. Mengikuti tawuran semacam ini.

"Aku tetap disini, tapi kurangi tenaga kalian. Jangan sampai membunuh orang." Nasehat Akira, menghela napas kasar.

"Baik!" Jawab Dwika.

"Cerewet!" Neil tetap menyerang membabi-buta.

Tapi, terkadang ada penyusup dalam tawuran. Seseorang yang tidak diduga akan menyerangnya. Menganggap wanita ini hanya sekedar lewat tapi.

Gadis berseragam sekolah lawan, tiba-tiba memeluknya dari belakang."Kakanda... Neil sayang..."

Seketika Neil mencoba mendorongnya. Tapi gadis itu malah kembali memeluknya semakin menempel.

"Neil, dia siapa? Pacarmu?" Tanya Akira, melindunginya dari serangan.

"Lepas!" Neil berusaha mendorong Cheisia.

"Tidak mau! Ih Neil jahat, aku tuh cinta berat. Sini dong dekat-dekat, ku pegang erat-erat." Tapi gadis aneh ini kembali menempel.

"Cheisia!" Hazel muncul diantara kerumunan. Berusaha keras menarik Cheisia agar tidak memeluk pria yang bahkan tidak dikenalnya.

"Cheisia! Jangan Begini!" Hazel menarik Cheisia.

"Bawa pergi pacar gilamu!" Tegas Neil, melepaskan diri dari Cheisia.

"Gila?" Cheisia mengernyitkan keningnya."Willem Alexander Niel Andreas! Aku tidak gila! Karena kamu yang gila! Ikat aku, kurung aku di kamar! Ayo kita menikah..." Ucap Cheisia berlutut melamar suaminya sebelum waktu terulang.

Seketika tawuran terhenti, gadis paling cantik di sekolah mereka (Cheisia) melamar anak dari sekolah elite yang tengah terlibat tawuran? Segalanya terpaku diam, termasuk Neil.

"Kamu mau mati!?" Neil menodongkan balok kayunya tepat pada leher Cheisia yang berlutut.

"Aku mati karena lemas oleh cintamu." Sebuah jawaban yang bahkan membuat Hazel tidak dapat berkata-kata.

"Hah?" Neil masih terdiam sesaat, menghela napas kasar terlihat begitu dingin."Kamu lumayan cantik...tapi sayangnya terlalu membosankan." Sebuah penolakan terus terang dari Neil. Pemuda yang berbalik hendak melangkah pergi.

Tidak! Tidak boleh seperti ini, Neil tidak boleh menolaknya. Dirinya harus mencari perhatian satu-satunya orang yang paling dicintainya. Tapi bagaimana? Hingga ide gila tercetus, mengingat bagaimana panas hubungan mereka di ranjang sebelum waktu terulang.

"Setan! Aku tau di bagian bawah perutmu, tepat sebelum benda pusakamu, ada tahilalat yang besar!" Teriakan dari Cheisia membuat langkah Neil terhenti. Pemuda yang bahkan merinding mendengarnya.

"Cheisia?" Hazel menarik Cheisia, agar segera meninggalkan tempat ini. Sekaligus meminta penjelasan.

"Sebentar!" Cheisia menepis tangan Hazel."Willem Alexander Niel Andreas, aku bahkan tau, dimana saja titik kelemahanmu. Kamu tidak akan tahan untuk bercinta, jika aku menjilat bagian dada, telinga, perut, dan---"

Neil bergerak cepat, membungkam mulut Cheisia menggunakan tangannya."Tutup mulutmu! Atau aku akan membunuhmu." Bisiknya, benar-benar geram dengan kalimat erotis wanita ini.

Gadis yang mengangguk, melepaskan tangan Neil yang menutupi bibirnya."Aku akan diam, tapi kita janji bertemu besok di tempat ini ya? Aku akan dandan yang cantik." Ucap Cheisia centil, mengecup telapak tangan Neil. Membuat sang pemuda dengan cepat menarik tangannya.

"Da...da! Sayang!" Barulah Cheisia melangkah pergi, membuat tawuran yang awalnya seru terhenti. Semua orang dari sekolah swasta elite, mulai diam-diam membicarakan Neil. Sementara orang-orang dari sekolah negeri tempat Cheisia bersekolah, membicarakan gadis tercantik itu.

"Neil! Dia pacarmu?" Tanya Dwika, yang melihat tadi Neil terang-terangan menolak. Tapi sang gadis malah mengatakan rahasia yang tidak seharusnya diketahui.

Tapi tidak ada jawaban dari Neil. Pemuda itu hanya terdiam menatap tajam. Hingga semua orang yang mencibirnya menunduk.

Tak! Tak!

Neil menjatuhkan kayu yang dipegang olehnya, kemudian meninggalkan tempat tersebut. Pertanda tawuran bubar, orang-orang dari sekolah swasta elite itu meninggalkan lokasi.

Sementara siswa dari sekolah negeri yang sudah terdesak sebelumnya hanya dapat bernapas lega. Apa sebenarnya cikal bakal tawuran ini? Saling ejek via media sosial antara anak kelas 10 sekolah negeri dengan sekolah swasta tersebut. Hanya saja Neil yang memang ingin menyulitkan ayahnya, mengikuti tawuran.

*

Berbaring di gazebo rumahnya."Kalian tidak akan percaya, berani-beraninya ada stalker (penguntit ) yang melamar ku terang-terangan." Ucap Neil lagi.

Sementara Dwika dan Akira saling melirik, menghela napas berkali-kali. Bukankah tadi Neil begitu dingin? Tapi kenapa sekarang malah bagaikan remaja tersipu-sipu?

Hilton yang tengah bermain catur dengan Sean menghela napas kasar."Perlu aku memberi pelajaran pada penguntit itu. Bukankah dia bahkan tau letak tahilalatmu? Dia mungkin memasang kamera tersembunyi di tempat yang tidak seharusnya."

"Jangan! Justru aku penasaran bagaimana dia bisa tahu. Dia mungkin begitu menyukaiku hingga diam-diam mengikutiku kemana-mana. Tentang pelajaran! Biar aku yang memberikan pelajaran padanya." Ucap Neil bangkit dari sofa panjang tempatnya berbaring.

Sementara Jenard yang tengah bermain biliar menggeleng sembari tersenyum-senyum sendiri.

"Neil kenapa? Tidak biasanya raut wajahnya tidak karuan seperti itu..." bisik Triton yang juga tengah memegang tongkat biliar.

"Neil mengatakan akan memberi pelajaran pada seorang gadis kecil yang berani melamarnya di depan umum." Jenard menghela napas, kembali berhasil memasukkan bola pada lubang.

"Pelajaran!? Apa Neil akan menghancurkan hidupnya?" Tanya Triton mengetahui sifat temannya.

"Mungkin..." Jenard tertawa kecil, untuk pertama kalinya Neil tertarik pada seorang wanita. Menghancurkan hidupnya? Tentu saja mungkin. Jika selaput dara itu robek. Benar-benar fikiran kotor yang membuat Jenard kali ini gagal memasukkan bola biliar.

"Giliranku." Triton terkekeh.

Sementara Neil menghela napas kasar, mengepalkan tangannya mengingat remaja yang memeluknya dari belakang. Kemudian melamarnya di hadapan umum, ditambah mengatakan terang-terangan tentang tahilalat. Itu sudah pasti wanita itu merupakan penguntit.

Tapi... mengapa begitu cantik? Dengan cepat Neil kembali menggeleng. Dirinya tidak akan pernah bertemu wanita aneh itu lagi.

*

"Aku mau pindah sekolah!" Teriak Cheisia merengek pada kedua orang tuanya. Menangis di lantai bagaikan anak kecil.

Satu hal yang disadarinya dari kehidupan lalu, dulu dirinya berpura-pura dewasa dan tegar. Ingin mandiri agar kedua orang tuanya memperhatikan dan bangga padanya. Tapi karena itu dengan mudah Bianca melakukan berbagai tuduhan palsu dan bertingkah manja pada kedua orang tuanya.

Tapi kali ini tidak! Dirinya akan berpura-pura bodoh, tidak memiliki ambisi dan tidak bersalah.

"Cheisia tidak bisakah kamu lebih dewasa seperti Bianca!?" Tanya Sela (ibu Cheisia) memijit pelipisnya sendiri.

"Tidak..." Jawab Cheisia polos, tangisannya terhenti sejenak. Namun, sesaat kemudian kembali merengek."Pokoknya aku mau pindah sekolah! Ingin bertemu dengan Neil, dialah cinta sejati ku!"

"Siapa Neil?" Tanya Sela pada Bianca.

"Tidak tau, tapi sepertinya anak berandalan yang mendekati kakak." Bianca tertunduk bagaikan anak baik-baik.

"Cheisia..." Kalimat sang ibu yang ingin putri kandungnya berhenti merengek disela.

"Apa? Apa ibu tidak sayang aku lagi? Aku janji akan menyayangi Bianca seperti adik kandungku. Aku mohon..." Sang anak kembali memasang raut wajah manis dengan mata berkaca-kaca. Membuat sang ibu tidak kebal dengan pesonanya.

Mengikuti

Ada yang namanya sifat kedewasaan, itulah yang disadari olehnya. Bianca bukan merupakan saudara kandungnya. Tapi merupakan anak adopsi, sebagai rasa terima kasih, mendiang ayah Bianca telah bersedia mendonorkan jantungnya pada Dirgantara (ayah Cheisia).

Pada kehidupan sebelumnya, sebelum waktu terulang, dirinya berpura-pura tegar, berpura-pura bersifat dewasa. Tapi Bianca selalu melemparkan tuduhan bahwa Cheisia menganiaya Bianca.

Tapi, sekarang tidak lagi, waktu akan berputar terbalik.

Manipulatif... itulah yang dipelajari oleh Cheisia. Untuk apa sok tegar?

"Ibu..." pinta Cheisia lagi memelas.

"Tidak!" Tegas Sela."Lihatlah Bianca, apa dia pernah meminta macam-macam pada ibu!?"

"Ibu ... tolong aku janji tidak akan minta macam-macam lagi. Tolong ya?" Cheisia memijat bahu ibunya, berpura-pura menjadi anak yang manis dan manja.

"Kakak, tidak seharusnya kamu begitu pada ibu. Merengek hanya karena seorang pria. Dia bukan pria baik, kak Hazel---" Kalimat Bianca disela.

"Hazel? Hazel menjemputmu tadi siang! Hazel menyukaimu, kamu fikir aku tidak tau. I...ibu, aku patah hati..." Cheisia kembali merengek mengadu bagaikan anak kecil."Jika ibu tidak mengijinkan aku pindah sekolah. Aku akan bunuh diri!" Tegasnya menaiki tangga dengan cepat.

"Cheisia! Cheisia! Cheisia! Cheisia!" Teriak Sela mengejar putrinya, tidak ingin sang putri bertindak gegabah.

"Kakak sedang emosi, biar aku yang bicara pada kakak." Bianca tersenyum menghela napas kasar.

"Baik, ibu mengandalkan mu. Cheisia memang sering membuat masalah." Gerutu Sela.

Tapi apa benar Cheisia tidak menyadarinya? Gadis itu mendengar segalanya dari lantai dua, segera masuk ke dalam kamar setelah memastikan Bianca naik ke lantai dua.

Senyuman menyungging di wajahnya. Inilah saatnya untuk memutar balik keadaan.

Sedangkan Bianca, membuka pintu kamar Cheisia dengan kasar beberapa saat kemudian."Mati saja sana! Lagipula tidak akan ada yang peduli padamu."

"Ada! Ibu peduli!" Cheisia tertunduk sembari merengek, padahal sejatinya merekam semua yang dikatakan Bianca menggunakan handphonenya.

"Peduli? Ayah dan ibumu lebih menyayangiku yang sudah jelas-jelas berprestasi. Bukan sepertimu yang tidak punya otak. Bahkan Hazel sekalipun lebih menyukaiku bukan? Walaupun kamu yang mendonorkan hati untuknya, tapi Hazel lebih mencintaiku." Bianca tersenyum mendekat menjambak rambut Cheisia.

Sedangkan Cheisia hanya dapat tertawa dalam hati. Hazel mencintai Bianca? Tidak! Dirinya menyadari dalam kehidupan sebelumnya, Hazel menyukai Bianca hanya karena kebohongannya saja. Bianca yang mengaku-ngaku mendonorkan hatinya untuk Hazel.

Gila! Bahkan luka pasca operasi di perut Cheisia masih terkadang perih hingga kini. Tapi Bianca malah memanfaatkan situasi.

Namun, sekarang bukan saat yang tepat mengungkapkan segalanya."Ibu! Bianca menjambak rambutku!" Teriak Cheisia, menangis lebih keras.

Bianca membulatkan matanya, kemudian berpura-pura jatuh tersungkur di lantai. Berpura-pura menunduk sembari menangis.

Dengan cepat Sela naik ke lantai dua. Menatap kedua orang remaja yang menangis bersamaan.

"A...apa yang terjadi?" Tanya Sela. Biasanya Bianca yang dianiaya dan dikucilkan oleh Cheisia, setidaknya begitulah yang ada di mata Sela. Tapi sekarang mengapa putri kandungnya ikut menangis?

"I...ibu, kakak tidak sengaja mendo---" Belum sempat Bianca menyempurnakan dramanya.

Cheisia menangis semakin kencang, berlari ke pelukan Sela."Bianca menjambak rambutku. Lihat! Beberapa helai bahkan ada di tangannya. Aku tidak mau tau, ibu aku ingin ke salon. Bagaimana jika aku jadi botak?"

Kata demi kata bagaikan seorang remaja lugu. Tapi menusuk tepat sasaran. Membuat Bianca bungkam sesaat berusaha membuat alasan."Cheisia mendorong---"

"Aku kan sudah janji akan damai denganmu jika ibu mengijinkan aku pindah sekolah. Tapi kamu malah menarik rambutku. Ibu..." Cheisia memelas bertambah terlihat manis dan manja dari waktu ke waktu.

"I...ibu kakak..." Kalimat Bianca terhenti kala Sela menghela napas kasar.

"Bianca, ada rambut Cheisia di jari tanganmu. Lebih baik kamu instrospeksi diri. Dan Cheisia, kamu tidak serius akan mencoba bunuh diri kan?" Sela menggenggam jemari tangan putrinya.

"Aku tidak serius, hidup masih panjang. Lagipula aku ingin pindah bukan karena pria yang baru pertama kali aku temui. Aku ingin pindah karena di sana ada ekstrakurikuler teater dan piano. Ibu tau kan aku suka main piano. Nanti aku buatkan lagu khusus untuk ibu, jika ibu mengijinkanku pindah." Jika sudah seperti ini bagaimana Sela tidak akan luluh? Sang putri yang memeluk ibunya erat.

"Seharusnya kamu konsentrasi belajar seperti Bianca. Jika kamu bercita-cita menjadi artis, siapa yang akan meneruskan perusahaan?" keluh sang ibu.

"Masih ada Bianca..." Kalimat Cheisia membuat Bianca diam-diam tersenyum.

Tapi.

"Oh! Aku salah bicara! Aku tidak pintar dalam akademis, mungkin aku akan mencari suami yang pintar, diktator dan kompeten untuk menangani perusahaan. Lalu mewariskan semuanya pada cucu-cucu ibu. Agar perusahaan tidak diambil oleh orang yang tidak memiliki hubungan darah." Lanjut Cheisia. Kata demi kata yang membuat Bianca mengepalkan tangannya.

Perusahaan, keluarga, dan Hazel semuanya adalah miliknya. Cheisia yang bodoh tidak pantas untuk segalanya.

"Dasar!" Tidak ada bantahan dari sang ibu."Sini biar ibu sisir rambutmu..."

Cheisia hanya mengangguk sembari tersenyum. Manja? Berpura-pura tidak mengetahui tentang dunia? Itulah cara terbaik mengendalikan hati orang tuanya.

Meninggalkan Bianca yang menunduk. Biasanya dapat dengan mudah mengendalikan situasi. Dirinya hanya tinggal menangis dan menunjuk ke arah Cheisia. Tapi sekarang Cheisia ikut menangis?

*

Tidak seperti di kehidupannya yang lalu, sebelum waktu terulang. Ibu yang membencinya, selalu berprasangka padanya. Bahkan ibunya lah yang membuat dirinya dan Neil berpisah.

Rasa kasih? Bagaikan berkurang dan membeku. Tapi ibu memang satu-satunya tempat untuknya berlindung.

"Coba kamu ceritakan Neil seperti apa? Orang yang membuatmu ingin pindah sekolah?" Tanya sang ibu, menyisir rambut putrinya.

"Dia...aku tidak tau. Yang jelas saat bertemu ibu tidak akan menyukainya. Omong-ngomong nanti kita membuat brownies untuk ayah dan Bianca ya?" Ucap Cheisia tersenyum.

"Kamu boleh pindah..." Keputusan sang ibu, mungkin dengan ini, putri kandung dan adopsinya akan akur.

"Aku sayang ibu!" Sang putri yang memeluk ibunya erat.

Di kehidupannya yang lalu sebelum waktu terulang. Cheisia akan mengurung diri, kecewa pada orang tuanya yang lebih membela akting Bianca. Tapi tidak sekarang, hati ayah dan ibunya adalah miliknya.

Walaupun samar, saat kebakaran terjadi. Dirinya mendengar suara sang ibu yang menangis dari bagian luar bangunan yang terbakar. Cheisia dapat keluar dari kebakaran saat itu melalui jalur yang ditunjukkan Neil sebelum kematiannya, tapi dirinya lebih memilih mati bersama Neil. Sebuah tangisan dan pernyataan rasa kasih serta penyesalan dari sang ibu.

"Cheisia! Cheisia! Ibu mencintaimu! Lepaskan aku! Putriku terbakar di dalam sana! Biarkan aku menyelamatkannya. Cheisia! Ibu tidak akan menghalangi kebahagiaanmu lagi! Cheisia jangan mati! Cheisia!" Kurang lebih itulah yang diteriakkan ibunya dari luar sana, di kehidupan lalu. Sebelum waktu terulang.

Kalimat demi kalimat yang membuatnya yakin betapa besar cinta sang ibu sejatinya. Tapi sayangnya berselimut dusta dan tuduhan Bianca padanya.

Cheisia mengepalkan tangannya, akan merebut segalanya dari Bianca kali ini.

*

Pindah secepatnya! Dirinya ingin pindah keesokan harinya. Ingin cepat-cepat keluar dari sekolah sebelumnya, dimana lingkungannya telah dikuasai Bianca. Sekolah lama dimana dirinya selalu tersisihkan, sebab tuduhan tidak berdasar Bianca.

Kini dirinya menghirup napas panjang. Kala mobil mengantarnya berhenti di tempat parkir sekolah.

Sekolah yang cukup elite, dimana penghuninya terdiri dari putra dan putri pengusaha, pejabat, serta seniman ternama. Ada dua jalur untuk memasuki tempat ini, kamu terlalu kaya, atau terlalu pintar.

Jalur beasiswa prestasi terbuka, maupun jalur umum. Kala itu Cheisia masih merupakan murid baru, matanya menelisik melihat ada beberapa orang yang mengamati tempat parkir khusus yang aneh.

"Maaf, aku siswa baru disini." Cheisia menyapa salah seorang siswi.

"Orang tuamu bekerja sebagai apa?" Tanya siswi yang disapanya. Mungkin ingin mengukur status sosial, berhati-hati dalam berteman.

"Ayahku Dirgantara Muller." Jawaban dari Cheisia membuat sang siswi bersedia berkenalan.

"Oh! Rupanya pemilik perusahaan kelas menengah. Jika begitu kamu aman, perkenalkan aku Jessie ayahku memiliki jabatan yang cukup tinggi di BUMN." Jessie memperkenalkan diri.

"Biar aku perkenalkan tentang sekolah ini terlebih dahulu. Ada sistem kasta yang harus kamu ketahui. Kasta pertama anak konglomerat yang kekayaannya di luar nalar. Kasta kedua, putra-putri pengusaha dan pejabat seperti kita. Dan kasta terendah anak dokter, jaksa, pengacara dan penerima beasiswa." Jelas Jessie membuat Cheisia hanya mengangguk.

Bukankah ini juga mirip dengan di luar sana, dimana sistem kasta berdasarkan kekuasaan? Entahlah, yang penting bertemu dengan Kakanda...

Kriet...

7 kendaraan masuk beriringan. Mobil dengan supir pribadi, ada pula yang mengendarai mobil sport. Benar-benar pamer kemewahan.

Tapi salah satu diantara 7 kendaraan yang baru masuk tersebut terdapat motor sport berwarna merah. Kala sang pemilik membuka helmnya, wajah rupawan itu terlihat.

Tidak ada wanita yang berani mendekat padahal mereka tertarik setengah mati.

"Kakanda! Adinda kangen!" Teriak Cheisia melambaikan tangannya.

Neil melirik dari jauh dengan wajah pucat pasi. Kemudian berjalan cepat agar tidak bertemu dengan wanita ekstrim yang terlalu mendebarkan.

"Orang gila itu lagi! Stalker!" Geram Neil dalam hati, tapi masih dengan raut wajah dingin. Bagaikan tidak peduli.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!